Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

No. ID Peserta :
Nama Peserta : dr. Ricco Aditya Pradana
No. ID Wahana :
Nama Wahana : RSUD Cilegon
Topik : Empiema Paru
Tanggal Kasus : 15 April 2016
Nama Pasien : Tn. J No. Rekam Medis : 03.12.24
Nama Pendamping :
dr. H. Kamal Sumardin
Tanggal Presentasi : 19 Mei 2016 dr. Dian Arissanthy
Narasumber :
dr. Lulu Dian Sp.P
Tempat Presentasi : RSUD Cilegon
Obyektif Presentasi :

☐Keilmuan ☐Keterampilan √ Tinjauan pustaka ☐Penyegaran

√ Diagnostik √ Manajemen ☐Masalah ☐Istimewa


☐Neonatus ☐Bayi ☐Anak ☐Remaja √ Dewasa ☐Lansia ☐Bumil
Deskripsi : Membahas kasus Empiema paru
Tujuan : Mengetahui kasus Empiema paru
Bahan √ Tinjauan
☐Riset √ Kasus ☐Audit
bahasan : pustaka
Cara
☐Diskusi √ Presentasi ☐E-mail ☐Pos
membahas :
DATA PASIEN
Nama : Tn. J Umur: 63 tahun No. RM: 03.12.24
Nama Klinik : Telp: Terdaftar Sejak :

1
BAB I

STATUS PASIEN

Nama Dokter Internsip : Ricco Aditya Pradana Tanda tangan :


Pasien Masuk Rumah Sakit Tanggal : 15 April 2016 Pukul 12.30 WIB
No. Rekam Medik : 03.12.24

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Kebangsaan/Suku : Indonesia/Sunda
Pekerjaan : Petani
Alamat : Kp. Kalilanang 021/012, Pengarengan, Cilegon
Jenis Pembayaran : BPJS

2. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 15 April 2016 Pukul 16.00 WIB di IGD dan
didukung catatan medis.

A. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 4 hari SMRS

B. Keluhan Tambahan

Demam, nyeri dada kanan, batuk, nyeri perut kanan atas dan mual

C. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang ke UGD RSUD Cilegon pada tanggal 15 April 2016 pukul 12.30 WIB
dengan keluhan sesak napas sejak 4 hari SMRS. Sesak napas dirasakan semakin lama
semakin memberat, sesak napas terjadi terus menerus sepanjang hari tanpa dipengaruhi

2
oleh aktivitas. Selain itu, pasien juga mengeluhkan dada kanannya nyeri, timbulnya
nyeri dada dirasakan bersamaan dengan sesak napas, nyeri dada bersifat hilang timbul.
Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kehijauan, Pasien juga mengeluhkan
demam sejak 10 hari SMRS, demam dirasakan terus menerus dan hanya turun apabila
diberi obat penurun demam. Selain itu, pasien mengeluhkan perut kanan atas terasa nyeri
dan keluhan tersebut disertai mual. Pasien tidak muntah, BAB dan BAK pasien normal.

D. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya, riwayat darah tinggi dan
riwayat kencing manis disangkal oleh pasien. Pasien tidak pernah menjalani pengobatan
paru selama 6 bulan.

E. Riwayat Kehidupan Pribadi, Sosial dan Kebiasan


OS memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus sehari namun sudah berhenti semenjak sakit
sekarang ini. OS juga memiliki kebiasaan minum jamu saat pegal-pegal namun sudah
berhenti sejak 1 tahun yang lalu.

F. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)


Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat Keganasan (-)
Riwayat TBC (-)
Di keluarga pasien tidak ada yang menderita keluhan yang sama.

3. PEMERIKSAAN FISIK
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 15 April 2016 Pukul 16.30 WIB di IGD dan
didukung catatan medis.

Kesan Umum (Kesadaran dan Keadaan Umum)


Compos mentis, tampak sakit sedang dan kesan status gizi baik.

Tanda Vital
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
3
 Heart rate dan nadi : 98 kali/menit, regular, isi dan tekanan nadi cukup
 Pernafasan : 26 kali/menit, regular
 Suhu : 38,1 °C (Axilla)
 Tinggi badan : 165 cm
 Berat badan : 60 kg
 BMI : 22,0
Status Generalis
1. Kepala
Normocephali, rambut hitam bercampur putih terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak tampak ikterik, kulit kepala tidak ada kelainan.
2. Wajah
Simetris, tidak ada kelainan bentuk.
3. Mata
Suprasilia hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut; Kelopak mata tidak ada
kelainan seperti kalazion, ptosis dan lagofthalmus; Bulu mata tidak ada kelainan
seperti trikiasis; Konjungtiva anemis (-/-), injeksi siliar (-/-); Sklera ikterik (-/-);
Refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+).
4. Hidung
Bentuk normal, septum deviasi (-), sekret (-/-), konka tidak dapat dinilai karena
banyak silia, nafas cuping hidung (-/-).
5. Telinga
Normotia, nyeri tekan tragus dan mastoid (-), nyeri tarik (-), liang telinga tidak
tampak serumen, sekret dan benda asing, membrane Tymphani utuh, berwarna
seperti mutiara, reflex cahaya pada jam 5 di telinga kanan dan pada jam 7 di telinga
kiri.
6. Sinus
Tidak nyeri pada penekanan di sinus frontalis (dahi), sinus ethmoidalis (pangkal
hidung di antara sudut mata dalam), sinus maxilla (pipi) dan sinus sfenoidalis
(pelipis).
7. Mulut
Kering (-), sianosis (-), trismus (-), labioschizis (-), palatoschizis (-).

4
8. Tenggorokan
T1-T1 mukosa hiperemis (-), kripta melebar (-), detritus (-), mukosa faring
hiperemis (-), uvula berada di tengah.
9. Leher
Tidak ada kelainan, kelenjar getah bening tidak ada yang membesar.
10. Thorax
Paru
Inspeksi : Hemithorax dextra dan sinistra simetris dalam keadaan statis
maupun dinamis pada keadaan inspirasi dan ekspirasi, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus pulmo dextra menurun dibandingkan pulmo sinistra
Perkusi : Redup di lapang paru kanan bagian inferior dan sonor pada lapang
paru kiri
Auskultasi : suara nafas vesicular +/+, Suara nafas paru kanan melemah
dibagian inferior dibandingkan dengan paru kiri, rhonki (+/-),
wheezing (-/-), hantaran (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V medial linea midclavicularis dextra
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS III linea sternalis dextra, batas jantung
kiri, yaitu pinggang jantung di ICS III linea parasternalis sinistra
dan batas bawah jantung di ICS V medial linea midclavicularis
dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-) gallop (-)
11. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) 15 kali/menit
Palpasi : Supel, hepar teraba membesar 1 jari dibawah arcus costae,
permukaan licin dengan tepi tajam dan lien tidak teraba membesar,
nyeri tekan ( + ) di kuadran kanan atas, turgor kulit baik
Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen
12. Tulang Belakang
Spina bifida (-), meningokel (-).

5
13.Genitalia
Jenis kelamin laki-laki, tidak ada kelainan.
14. Anorektal
Anus (+) dalam batas normal, hiperemis (-).
15. Kulit
Tidak tampak efloresensi yang bermakna.
16. Ekstremitas
Superior Inferior
Deformitas - /- - /-
Akral dingin - /- - /-
Akral sianosis - /- - /-
CRT < 2 detik < 2 detik

4. HASIL PEMERIKSAN LABORATORIUM


15 April 2016
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,3 g/dl 14 - 18
Leukosit 19.200 103/uL 5 - 10
Trombosit 619.000 103/uL 150 - 450
Hematokrit 36,9 % 40 - 48
Ureum 33 mg/dl 17 - 43
Kreatinin 0,7 mg/dl 0,8 - 1,3
SGOT 40 U/L < 41
SGPT 151 U/L < 37
Gol. darah + Rhesus B+
HBsAg Negatif
HAV Negatif
Anti HCV Negatif

6
16 April 2016
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Natrium 130,4 mmol/L 135 - 155
Kalium 3,91 mmol/L 3,6 - 5,5
Chlorida 98,9 mmol/L 95 - 107

20 April 2016
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,8 g/dl 14 - 18
Leukosit 13.130 103/uL 5 - 10
Trombosit 483.000 103/uL 150 - 450
Hematokrit 37,4 % 40 - 48
SGOT 26 U/L < 41
SGPT 41 U/L < 37

25 April 2016
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,7 g/dl 14 - 18
Leukosit 11.800 103/uL 5 - 10
Trombosit 476.000 103/uL 150 - 450
Hematokrit 37,1 % 40 - 48
Ureum 27 mg/dl 17 - 43
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,8 - 1,3
SGOT 23 U/L < 41
SGPT 35 U/L < 37

7
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
A. Rontgen thorax PA

Cor : CTR <50%, aorta baik


Pulmo : Corakan bronkovaskuler kanan dan kiri baik, tak tampak infiltrat, hilus
kanan dan kiri tebal, sinus kanan tumpul dan terdapat air fluid level pada
lapang paru kanan, tulang dan jaringan lunak baik
Kesan : Efusi Pleura Dextra

B. Pemeriksaan BTA
Pada tanggal 28 April 2016 dilakukan pemeriksaan BTA melalui sampel sputum dan
didapatkan hasil “Negatif”

8
C. Pemeriksaan USG

Kesan : - Tak tampak Kelainan pada USG Abdomen saat ini

- Efusi pleura dextra

6. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 15 April 2016 pukul 12.30
WIB dengan keluhan sesak napas sejak 4 hari SMRS. Sesak napas dirasakan semakin
lama semakin memberat, sesak napas terjadi terus menerus sepanjang hari tanpa
dipengaruhi oleh aktivitas. Selain itu, pasien juga mengeluhkan dada kanannya nyeri,

9
timbulnya nyeri dada dirasakan bersamaan dengan sesak napas, nyeri dada bersifat
hilang timbul. Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kehijauan. Pasien juga
mengeluhkan demam sejak 10 hari SMRS, demam dirasakan terus menerus dan hanya
turun apabila diberi obat penurun demam. Selain itu, pasien mengeluhkan perut kanan
atas terasa nyeri dan keluhan tersebut disertai mual. Pasien tidak pernah menderita
penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien tidak pernah menjalani pengobatan paru selama
6 bulan. Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus dalam sehari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD : 130/80, Nadi 98x/menit regular, RR


26x/menit, suhu 38,1.
Pada pemeriksaan paru :
Palpasi : Stem fremitus pulmo dextra menurun dibandingkan pulmo sinistra
Perkusi : Redup di lapang paru kiri bagian inferior dan sonor pada lapang
paru kanan
Auskultasi : suara nafas vesicular +/+, Suara nafas paru kanan melemah
dibagian inferior dibandingkan paru kiri, rhonki (+/-), wheezing (-
/-), hantaran (-/-)
Pada pemeriksaan Abdomen :
Palpasi : Supel, hepar teraba membesar 1 jari dibawah arcus costae,
permukaan licin dengan tepi tajam dan lien tidak teraba membesar,
nyeri tekan ( + ) di kuadran kanan atas, turgor kulit baik
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai leukosit dan nilai SGPT yang
meningkat, selain itu didapatkan penurunan kadar natrium. Pada pemeriksaan foto
thorax PA didapatkan kesan efusi pleura dextra dan pada pemeriksaan USG didapatkan
kesan efusi pleura dextra dan tidak didapatkan kelainan pada abdomen. Pada
pemeriksaan BTA sputum di dapatkan hasil negatif.

7. DIAGNOSIS KERJA
Empiema Dextra dan Insufisiensi Hepar

8. DIAGNOSIS BANDING
Efusi Pleura Dextra E.C TB Paru

10
9. RENCANA PENGELOLAAN
- O2 nasal kanul 3-4 LPM
- IVFD Ringer laktat 20 tpm
- Inj. Ceftriaxon 1 x 2 gr (Skin test)
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Methylprednisolone 2 x 62,5 mg
- Ambroxol 3 x 30 mg P.O
- Cetirizine 2 x 1 P.O
- Retaphyl 2 x 1 P.O
- Curcuma 3 x 1 P.O
- Paracetamol 3x 500 mg jika T < 38,5
- Paracetamol 500 mg drip jika T > 38,5
- Nebulisasi Combivent/8 jam
- Pro WSD jika pada pungsi pleura didapatkan pus
- Konsul spesialis paru

10. RENCANA PEMERIKSAAN


Thorax PA
USG Abdomen
Cek BTA sputum SPS
Pungsi Pleura Diagnostik

11. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

11
BAB II
FOLLOW UP

Tanggal 20 April 2016


S Sesak +
0 Tampak sakit sedang, compos mentis
TD 130/90 HR 82 RR 22 T 37,2
Rhonki +/+
A Empiema dextra E.C suspect TB
P O2 nasal kanul 3-5 L/m
Inf. RL 20 tpm
R/H/Z/E 450/300/1000/1000
Metronidazole 3x500mg iv drip
Rencana WSD
Tanggal 21 April 2016
S Sesak dan nyeri dada kanan
O Tampak sakit sedang, compos mentis
TD 130/80 HR 84 RR 24 T 37,5
Suara nafas vesikular paru kanan menurun
A Empiema dextra E.C suspect TB
P O2 nasal kanul 3-5 L/m
Inf. RL 40 tpm
R/H/Z/E 450/300/1000/1000
Metronidazole 3x500mg iv drip
Gentamycin 1x160mg (skin test)
Meropenem 3x1 IV
Ketorolac 3x1 IV
Pasang WSD, keluar cairan berupa pus
Tanggal 28 April 2016
S WSD pus +, nyeri di lokasi WSD
O Tampak sakit sedang, compos mentis
TD 110/70 HR 82 RR 20 T 36,2
Status generalis dbn
WSD : undulasi +, pus +
A Empiema dextra
P O2 nasal kanul 3-5 L/m jika perlu
Inf. RL 20 tpm
RHZE stop
Meropenem stop
Gentamycin stop

12
Cefoperazone sulbactam 2x1gr IV
Ciprofloksasin 2x200mg IV
Itraconazol 1x200mg IV
Methylprednisolone 2 x 62,5 mg IV
Spooling WSD
Tanggal 3 mei 2016
S Sesak berkurang, demam (-), batuk (-)
O Tampak sakit sedang, compos mentis
TD 120/70 HR 82 RR 20 T 36,2
Suara napas menurun/+
WSD : pus (+), luka kering
A Empiema dextra
P O2 nasal kanul 3-5 L/m jika perlu
Inf. RL 20 tpm
Cefoperazone sulbactam 2x1gr IV
Ciprofloksasin 2x200mg IV
Itraconazol 1x200mg IV
Methylprednisolone 2 x 62,5 mg IV
Dilakukan Re-WSD karena pus menyumbat
Tanggal 4 Mei 2016
S Tidak ada keluhan
O Tampak sakit sedang, compos mentis
TD 120/70 HR 88 RR 20 T 36,7
Suara napas +/+
WSD : pus (-), undulasi (+), luka kering
A Empiema dextra
P Rawat jalan
Metronidazol 3x500mg P.O
Levofloxacin 1x500m P.O
Tramadol 2x50mg P.O
Omeprazole 2x1 P.O

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN

Pada tahun 600 sebelum masehi, Hippocarates mendefinisikan empiema thoracis

sebagai kumpulan nanah dalam rongga pleura dan menganjurkan drainase terbuka sebagai

pengobatannya. Sejak itu tata laksana kondisi ini telah menimbulkan tantangan bagi dokter

dan ahli bedah1.

Tube thoracostomy, image directed catheters, thoracoscopic drainage, trombolitik

intrapleural, dekortikations dan drainase terbuka semuanya telah digunakan dengan tingkat

keberhasilan mulai dari 10 sampai 90% . Variabel tingkat keberhasilan dari prosedur ini

dapat dipengaruhi, sebagian, untuk tahapan empiema. Pada tahap awal eksudatif, sebuah

bentuk efusi eksudatif terbentuk selama 72 jam pertama, yang biasanya akan berakhir

dengan pneumonia. Pada tahap ini antibiotik thoracentesis biasanya menghasilkan

penyembuhan. Pada tahap kedua akan terbentuk fibrino-purulen, antibiotik dengan

positioned chest tube drainage dapat menyelesaikan thoracis empiema. Kegagalan biasanya

disebabkan oleh posisi tabung yang salah, atau viskositas fluida meningkat. Kegagalan

dikelola dengan reseksi tulang rusuk, trombolitik intrapleural, thoraco-scopic drainase dan

decortications1.

Empyemas yang telah mencapai tahap organisasi ditandai dengan adanya penebalan

pleura dengan berbagai derajat yang menyebabkan parenkim paru terjebak. Biasanya,

reseksi tulang rusuk telah diperlukan untuk mengelola empyemas lanjut. Thoracoplasty

Limited dan rotasi flap otot juga dibutuhkan dalam beberapa kasus untuk melenyapkan

masalah ruang pleura1.

14
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA

Paru kanan normalnya terdiri dari tiga lobus (atas, tengah, dan bawah) dan merupakan

55% bagian paru. Paru kiri normalnya terdiri dari dua lobus (atas dan bawah). Pada lobus atas

paru kiri pada bagian bawahnya terdapat lingula yang merupakan analog dari lobus tengah paru

kanan. Paru mengalami perkembangan yang hebat, saat lahir, bayi memiliki 25 juta alveoli ;

jumlah ini bertambah menjadi 300 juta setelah dewasa. Pertumbuhan paling sering terjadi saat

usia 8 tahun. Pertumbuhan tercepat pada usia 3 – 4 tahun. Pleura adalah membran tipis terdiri

dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri

dari sel mesotelial, jaringan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang

sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,

sedangkan membran serosa yang melapisi dinding toraks, diafragma, dan mediastinum disebut

pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura

dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua

lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura

viseralis dan parietalis, diantaranya pleura viseralis memiliki ciri ciri permukaan luarnya terdiri

dari selapis sel mesotelial yang tipis < 30mm, diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit,

15
di bawah sel-sel mesotelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di

bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik, lapisan

terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah

kapiler dari a. pulmonalis dan a. brakhialis serta pembuluh limfa, menempel kuat pada jaringan

paru, fungsinya untuk mengabsorbsi cairan pleura. Pleura parietalis jaringannya lebih tebal

terdiri dari sel-sel mesotelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis), dalam jaringan ikat

tersebut banyak mengandung kapiler dari a. intercostalis dan a. mamaria interna, pembuluh

limfa dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan

temperatur. Keseluruhan berasal n. intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan

dermatom dada, mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya, berfungsi untuk

memproduksi cairan pleura2.

Volume cairan pleura selalu konstan, dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik sebesar 9

mmHg , diproduksi oleh pleura parietalis, serta tekanan koloid osmotik sebesar 10 mmHg yang

selanjutnya akan diabsorbsi oleh pleura viseralis. Penyebab akumulasi cairan pleura adalah

sebagai berikut :

1. Menurunnya tekanan koloid osmotik (hipolbuminemia)

2.Meningkatnya permeabilitas kapiler (radang, neoplasma)

3.Meningkatnya tekanan hidrostatik (gagal jantung)

4. Meningkatnya tekanan negatif intrapleura (atelektasis)

16
3. DEFINISI

Empiema adalah kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang

mengelilinginya (rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari

paru-paru dan menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga pleura2.

4. EPIDEMIOLOGI

Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan dan berat. Saat

ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang menderita empiema dan efusi

parapneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana rumah

sakit sebesar 500 juta dolar. Di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema toraks3.

Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang

berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi atau

bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada

cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan

membran yang menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru

terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel

sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin).

Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru

sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan

penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong

(lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya

mengakibatkan kerusakan yang permanen. Empiema biasanya merupakan komplikasi dari

infeksi paru (pneumonia) atau kantong kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru3.

17
Empiema dapat juga terjadi akibat infeksi setelah pembedahan dada, trauma tembus

dada, atau karena prosedur medis seperti torakosentesis atau karena pemasangan chest tube.

Pus yang berasal dari rongga abdomen yang berada tepat di bawah paru (abses subfrenikus)

juga dapat meluas ke rongga pleura dan menyebabkan empiema. Demam tinggi sering

ditemui, sama seperti gejala pneumonia yang berupa batuk, nyeri dada karena pleuritis, dan

kelemahan. Empiema juga dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan seperti septikemia,

sepsis, tromboflebitis, pneumotoraks spontan, mediastinitis, atau ruptur esofagus.

Infeksi ruang pleura turut mengambil peran pada terjadinya empiema sejak jaman kuno.

Aristoteles menemukan peningkatan angka kesakitan dan kematian berhubungan dengan

empiema dan menggambarkan adanya drainase cairan pleura setelah dilakukan insisi.

sebagian dari terapi empiema masih diterapkan dalam pengobatan modern. Dalam tulisan

yang dibuat pada tahun 1901 yang berjudul The Principles and Practice of Medicine, William

Osler,mengemukakan bahwa sebaiknya empiema ditangani selayaknya abses pada umumnya

yakni insisi dan penyaliran3.

5. ETIOLOGI

Stafilokokus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang paling sering

ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram negatif. Sering

ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya karena tingginya

insidensi resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia. Streptokokus

jarang menyebabkan empiema. Penyebab empiema polimikrobial juga pernah dilaporkan,

untuk menanganinya diperlukan antibiotik kombinasi. Pemberian antibiotik spesifik untuk

stafilokosus aureus yang dikombinasikan dengan antibiotik lainnya dapat melawan bakteri

gram negatif. Namun telah diketahui bahwa aminoglikosida memiliki kekuatan penetrasi ke

dalam ruang pleura yang jelek. Namun pemberian aminoglikosida dapat diberikan dengan

18
indikasi untuk mengatasi pneumonia. Selain itu pemberian aminoglikosida dimaksudkan

karena alasan biaya. Untuk penderita dengan sosial ekonomi yang rendah dan tidak mampu

untuk membeli sefalosporin. Tuberkulosis juga menyebabkan empiema terutama pada

masyarakat India. Mycobacterium tuberculosis sulit diisolasi pada pasien empiema. Namun

pada negara barat justru ditemukan mikrobakterium tuberkulosis yang tinggi. Fenomena

yang jelas ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Cairan pleura yang purulen

(empiema) hampir selalu disebabkan oleh bakterial pneumonia. Efusi pleura yang

berhubungan dengan peumonia bakterial, abses paru, atau bronkoektasis disebut efusi

parapneumonia. Sebelum antibiotika tersedia, pneumokokus atau beta-hemolitik

streptokokus merupakan penyebab tersering terjadinya empiema. Beberapa masa sesudahnya,

Stafilokokus aureus menjadi penyebab terbanyak, namun pada tahun tahun terakhir ini S.

pneumoniae kembali menonjol. Presentase penderita dengan pneumonia pneumokokal yang

mengalami efusi paraneumonik tidaklah tinggi seperti yang terlihat pada penderita dengan

empiema yang disebabkan oleh S. aureus (sekitar 80% anak yang mengalami pnemonia

dengan penyebab S. aureus); selain itu juga dapat disebabkan oleh infeksi streptokokus grup

A , jarang oleh F. tularensis, H. influenzae tipe b, dan bakteri usus gram negatif seperti

Pseudomonas atau Salmonela. Streptokokus dan difteroid (flora normal mulut) merupakan

penyebab pneumonia aspirasi, khususnya pada dewasa. Pasteurela multosida juga penyebab

empiema pada anak yang menderita pneumonia dan terekspos dengan binatang. Nokardia

jarang menyebabkan efusi pleura, khas pada penderita yang sistem imunnya tertekan.

Penyebab tidak lazim lainnya adalah Yersinia, klamidia trakomatis, dan Liseria. Spesies

bakteroides atau klostridium, aktinomises anaerob, dan streptokokus anaerob kadang juga

menyebabkan empiema (terutama pada usia dewasa), sehingga cairan dibutuhkan kultur

secara anaerob. Blastomikosis, histoplasmosis, dan koksidioidomikosis berhubungan dengan

efusi pleua purulenta ringan sampai sedang. fungi tersebut dan kriptokokus merupakan suatu

19
agen yang menjadi risiko penyebab infeksi pada penderita dengan imunodefisiensi. Namun,

penyakit paru yang masif kadang juga menyerang penderita dengan status imunologi yang

normal yang banyak terpajan dengan fungi. Empiema juga dapat disebabkan oleh parasit

seperti paragonimiasis (pada imigran timur jauh) dan amebiasis3.

6. PATOFISIOLOGI

Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari

pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi

penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung

elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam

dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas

dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase

(LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini

mungkin dapat mempercepat perbaikan3.

Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang

dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan

kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris

selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang

membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan

pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir

setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan

pemasangan tube3.

Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit

fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan

20
membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk

drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari

proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan

fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal3.

Empiema adalah adanya pus dalam rongga pleura. Penderita dengan efusi

parapneumonia yang tanpa disertai komplikasi ditangani dengan antibiotika, cairan pleura

dan fagosit akan resorbsi melalui sistem limfa di subpleura, sedangkan membran mesotelial

akan mengalami perbaikan. Jika tidak ditangani dengan antibiotika, respons inflamasi dini

tidak cukup untuk mencegah penyebaran bakteri, dan efusi parapneumonia dapat terus

berkembang menjadi empiema dan berakhir ke stadium kronik. Selama empiema terus

berlanjut, akan terjadi perkembangan fibrosis pada ruang pleura. Adanya fibrosis dalam

ruang pleura menggambarkan suatu keadaan yang paling menyebabkan kelemahan pada

penderita empiema toraks. Bila fibrosis pleura terus berlanjut akhirnya akan terjadi

fibrotoraks. Mekanisme yang pasti terjadinya fibrosis belum sepenuhnya dimengerti.

Membran pleura menghasilkan cairan pleura yang kemudian diserap oleh saluran limfa

yang terletak pada kedua lapisan pleura. Peningkatan produksi cairan atau penurunan

resorpsi cairan akan menyebabkan akumulasi cairan yang patologis pada ruang pleura.

Cairan pleura dapat berupa transudat, transudat serofibrin, hemoragik, atau kilosa. Dengan

pemeriksaan radiografi mungkin bisa membedakan jenis-jenis cairan pleura. Pleurosentesis

dapat dilakukan dibawah petunjuk teknik pencitraan. Transudat pleura biasanya berwarna

jernih, kekuningan dan biasanya bilateral. Penyebab tersering adalah gagal jantung.

Penyebab lainnya dapat karena gagal ginjal, hipoproteinemia atau overtransfusi. Eksudat

dapat berwarna kuning kecoklatan atau purulen, dapat disebabkan oleh tuberkulosis, infeksi

paru atau pleura lainnya atau karena abses subfrenikus. Penyebab lainnya adalah kanker

paru dan penyakit jaringan ikat sistemik seperti lupus eritematous sistemik atau rheumatoid

21
arthritis. Pada posisi tegak lurus, sedikit cairan akan berkumpul di sudut kostofrenikus,

pertama kali ke arah posterior kemudian ke lateral. Sepanjang diafragma dan dada terisi

dengan gambaran opak. Dimana selama volume cairan terus bertambah maka secara

bertahap akan semakin luas dan paru mengalami perselubungan. jika tidak ditemukan

kepastian antara cairan atau sisa infeksi pleura yang mengalami pengentalan maka dapat

diperjelas dengan pengambilan film tambahan, yakni penderita dalam posisi dekubitus

lateral, bila cairan maka akan mengalir ke bawah mengikuti gravitasi. Cairan pleura dapat

terkumpul dalam kantong tertutup ( lokuli ) yang dibentuk oleh proses infeksi aktif dan

menghasilkan pus dalam jumlah yang besar, cairan pleura tidak hanya mengalir secara pasif

sepanjang dada pada batas cembung medial tapi juga menuju batas cekung medial. Hal ini

mengarah kecurigaan pada empiema dimana dapat terjadi hubungan antara pneumoni

dengan abses paru. Empiema dapat menembus pleura viseral dan terhubung dengan

jaringan paru yang mengandung udara dan cabang bronkial. Hubungan seperti ini dapat

juga terjadi ketika suatu infeksi pada paru menembus pleura3.

7. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis empiema hampir sama dengan penderita pneumonia bakteria,

gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri dada (pleuritic chest pain), batuk, sesak, dan

dapa juga sianosis. Inflamasi pada ruang pleura dapat menyebabkan nyeri abdomen dan

muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan panas mungkin tidak dialami penderita dengan

sistem imun yang tertekan2.

Gejala dan Tanda Empiema biasanya adalah: Batuk, Pekak Pada Perkusi Dada, Dispneu,

Menurunnya Suara Pernapasan, Demam, Pleural Rub (pada fase awal), Ortopneu,

Menurunnya vokal fremitus, Nyeri Dada, Menyempitnya ruangan interkosta, Nyeri

Abdomen, Daerah mediastinal bergeser pada sisi yang sehat, Muntah2.

22
8. PEMERIKSAAN FISIK

Kualitas suara pernafasan yang dapat ditemukan adalah suara pernapasan bronkial,

normalnya didengar di trakea, yang pada auskultasi inspirasi dan ekspirasi jelas terlihat.

Suara pernafasan perifer lainnya yang dapat terdengar adalah suara pernapasan vesikular,

yakni rasio inspirasi yang terdengar lebih panjang dari ekspirasi. Suara pernapasan bronkial

yang terdengar pada paru perifer diperkirakan terjadi konsolidasi atau adanya efusi pleura.

Menurunnya suara pernafasan saat usaha bernapas merupakan alasan yang cukup untuk

mencurigai adanya atelektasis, konsolidasi lobaris (pneumonia) atau efusi pleura. Temuan

yang didapatkan dari pemeriksaan fisik, dipadukan dengan inspeksi yang terlihat adanya

deviasi trakea dengan jantung, pergerakan dinding dada, perkusi, fremitus, suara

pernafasan, dan melemah sampai menghilangnya suara pernafasan, dapat membantu

menemukan patologi intratoraks. Bentuk torak bayi lebih melengkung daripada anak anak

dan dewasa. Selain itu dinding dada bayi tipis dengan otot otot yang kecil sehingga suara

paru dan jantung diteruskan lebih jelas. Tulang dan tulang rawannya masih sangat lemah

dan elastis. Ujung dari prosesus xifoid sering terlihat menonjol ke depan di kulit pada apeks

lengkung iga. Pada bayi yang sehat, iga tidak banyak bergerak saat bayi bernapas biasa, iga

bergerak keluar karena diafragma turun dan menekan isi abdomen. Pergerakan dada yang

asimetris dapat disebabkan oleh space-occupying lesion seperti efusi pleura. Pada

pemeriksaan pernapasan yang harus dinilai : keadaan umum, laju pernapasan, warna,

pernapasan cuping hidung, suara pernapasan yang terdengar, dan usaha bernapas.

Pernapasan didominasi oleh gerak diafragma dengan sedikit bantuan dari otot otot dada.

Selain melihat gerak pernapasan, juga penting untuk menilai adakah retraksi ( chest

indrawing ) yang merupakan indikator adanya penyakit paru pada bayi kurang dari 2 tahun

oleh WHO. Tipe tipe retraksi : supraklavikular, interkosta, dan subkosta. Perkusi tidak

banyak membantu pemeriksaan karena pada bayi memang hiperesonansi dan sulit untuk

23
melacak abnormalitas dari perkusi. Selanjutnya dilakukan auskultasi, telah dikatakan

sebelumnya bahwa suara akan diteruskan menjadi lebih keras dan lebih kasar daripada pada

dewasa. Selain itu, sulit untuk dibedakan dengan suara dari saluran napas atas yang

diteruskan ke dada. Untuk membedakannya terdapat beberapa petunjuk yang berguna,

suara napas dari saluran napas atas cenderung kuat dan diteruskan simetris ke kedua dada

dan semakin menguat saat stetoskop digerakkan ke atas, biasanya saat inspirasi, terdengar

kasar. Suara pernapasan saluran napas bawah akan terdengarlebih kuat pada daerah yang

patologis dan sering asimetris, sering terdengar saat fase ekspirasi5.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Empiema merupakan perkembangan penyakit atau stadium dari efusi

parapneumonia. Drainase sulit dilakukan karena cairan yang bersifat kental dan adanya

lokulasi fibrin dalam ruang pleura. Meskipun beberapa penelitian menemukan adanya cara

efektif mendapatkan keparahan penyakit, memperkirakan prognosis dan merencanakan

penanganan anak yang menderita empiema dengan ultrasonik, terdapat ketidaksesuaian

pada hasil penelitian tersebut, karena setelah pemberian urokinase intrapleura secara acak

pada anak dengan empiema, ternyata hasil ultrasonik masih tidak berpengaruh. Selain itu

24
ultrasonik kurang spesifik dalam membedakan daerah kistik yang padat pada ruang pleura

dan menentukan apakah cairan pleura sudah terinfeksi atau belum. Walaupun gambaran

ultrasund anak dengan empiema biasanya ekogenik homogen, efusi hemoragik dan

kilotoraks juga memiliki gambaran yang sama. Ekogenitas cairan pleura disebabkan

karena elemen-elemen sel seperti eritrosit, sel-sel radang, droplet-droplet lemak atau

gelembung udara, dan uultrasonik tidak dapat membedakan elemen-elemen tersebut5.

10. METODE DIAGNOSIS EMPIEMA

▪ Foto dada posisi frontal, lateral, dan dekubitus

▪ Kultur darah

▪ Computed tomography/USG

▪ Apusan nasofaringeal/ sampel sputum

▪ Hitung arah lengkap dengan diferensiasi (tidak spesifik namun bisa mencari penyebab

infeksi atau diskrasia darah)

▪ Torakosenstesis jika etiologi efusi tidak diketahui atau tidak dapat ditentukan dari proses

infeksi yang telah dicurigai sebelumnya

▪ Pemeriksaan cairan pleura : Hitung sel darah dan diferensiasi, Protein, laktat

dehidrogenase (LDH), glucosa, dan pH, Kultur bakteri aerob dan anaerob, mikobakteri,

fungi, mikoplasma, dan bila ada indikasi disertai dengan pemeriksaan viral patogen.

Torakosentesis dapat membantu mengetahui penyebab efusi dan menyingkirkan

infeksi. Kekuatan diagnostik yang di ambil dari hasil kultur yang diambil dari

torakosentesis adalah lemah, namun tinggi pada anak dengan infeksi yang jelas dan

25
mendapatkan antibiotika lebih dalam waktu 24 jam. Tanpa adanya infeksi, normalnya

cairan pleura memiliki berat jenis yang rendah (<1.015) dan protein (<2.5 g/dL), kadar

laktat dehidrogenase yang rendah (3 g/dL) dan laktat dehidrogenase yang tinggi (>250

IU/L), pH yang rendah (<7.2), glukosa yang rendah (<40 mg/dL), dan hitung selular yang

tinggi dengan banyaknya leukosit polimorfonuklear. Diagnosis empiema ditegakkan bila

ditemukan cairan pleura yang purulen, terdeteksi bakteri gram atau adanya hitung sel

darah putih lebih dari 5 x 109 sel/l55,6,7.

11. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan tergantung dari penyebab efusi dan bertujuan untuk mengurangi

penumpukan cairan. Untuk efusi yang sedikit, khususnya jika jenisnya adalah transudat,

tidak diperlukan drainase. Untuk efusi yang banyak, diperlukan drainase dengan chest tube,

khususnya jika cairannya purulen ( empiema ). Pada kasus yang lain, cairan sering terjadi

pengentalan dan terlokalisasi sehingga membuat proses drainase menjadi sulit. Untuk itu,

chest tube dipasang sedini mungkin setelah dipastikan adanya empiema dari torakosentesis.

Pada kasus empiema dan efusi parapneumonia dimana drainase dipersulit dengan

pengumpulan cairan yang terlokulasi maka video-assisted thoracoscopic surgical

débridement dapat membantu menurunkan morbiditas dan lamanya rawat inap di rumah

sakit. Banyak kasus efusi parapneumonia dapat ditangani secara konservatif dengan

pemberian antibiotika intravena. Anak sehat yang menderita empiema masih dapat

berespons dengan pemberian antibiotika selama 3 – 4 minggu dan drainase dengan chest

tube. Pada kebanyakan kasus, proses penyembuhan dapat dipercepat dengan dilakukan

debridemen torakoskopi pada ruang pleura yang terkena infeksi dan terdapat lapisan fibrin

sehingga dapat mencegah penyebaran menyeluruh pada banyak kasus. Jika penyebabnya

sudah berhasil ditangani maka akan berprognosis baik. Bila seorang anak dengan pneumonia

26
tidak berespons dengan pemberian antibiotika dalam beberapa hari maka dapat dilakukan

radiografi dada posisi dekubitus atau CT scan untuk membantu penegakan diagnosis8.

12. ALGORITMA PENATALAKSANAAN EMPIEMA

Stadium 1Drainase dengan torakostomi, antibiotika spektrum luas

Stadium 2  Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) dengan antibiotika spektrum

luas, Drainase dengan torakostomi disertai antibiotika spektrum luas dan terapi fibrinolisis,

bila gagal maka dilakukan VATS.

Stadium 3 VATS dengan torakotomi disertai antibiotika spektrum luas, atau Torakotomi

terbuka dengan antibiotika spektrum luas.

Penanganan dengan antibiotika sebaiknya ditujukan pada stafilokokus yang resisten

penisilin dan S. pneumoniae walaupun hasil pemeriksaan apusan atau kultur menunjukkan

organisme lain sebagai penyebab. Sebagai obat tunggal, sefuroksim memiliki kerja khusus

melawan S. aureus dan pneumokokus, namun tidak untuk organisme lain. Kombinasi

oksasilin (untuk perlindungan terhadap S. aureus) dan sefotaksim (untuk perlindungan

terhadap S. pneumoniae) sering digunakan. Pada daerah dengan insiden bakteri

stafilokokus resisten terhadap metisilin yang tinggi, sebaiknya digunakan vankomisin dan

klindamisin. Jika cairan pleura berbau busuk, sebaiknya dipikirkan kemungkinan bakteri

anaerob sebagai penyebabnya dan diberikan terapi dengan klindamisin dan metronidazol.

Pemberian streptokinase intrapleura efektif dan aman dalam menangani empiema stadium

1 dan sadium 2. Selanjutnya akan cenderungan terjadi penurunan drainase dan penurunan

gejala demam dan gejala pernapasan, selain itu penanganan dengan fibrinolitik dapat

dijadikan petunjuk untuk intervensi bedah dini. Penanganan empiema masih kontroversial

khususnya pada anak anak. Pilihan penanganan mencakup pemberian antibiotika sistemik

27
saja, torakosentesis, torakostomi dengan menggunakan tuba, dengan atau tanpa pemberian

obat fibrinolitik. Teknik invasif lainnya adalah bedah torakoskopi, mini-torakotomi, dan

torakotomi standar dengan dekortikasi (menyingkirkan bekuan fibrin dari paru).

Bagaimanakah memilih terapi tersebut dan mengapa kontoversial itu karena beberapa

alasan, yang pertama, pengalaman terapi pada dewasa tidak bisa begitu saja diterapkan dan

diramalkan pada anak-anak. Berlawanan dengan penderita dewasa, kebanyakan anak

dengan empiema sebelumnya terlihat sehat. Yang kedua, faktor prognostik dapat

membantu meramalkan terapi invasif pada pederita dewasa seperti level laktat

dehidrogenase (LDH), glukosa, pH cairan pleura, yang tenyata semuanya tidak terlalu

berguna pada anak-anak. Seperti yang diterbitkan akhir akhir ini oleh British Thoracic

Society guidelines for the treatment of pleural space infection in children

merekomendasikan penggunaan agen fibrinolitik untuk menangani efusi parapneumonia

dengan komplikasi (cairan yang kental, gambaran fibrous) atau empiema dan dengan

tindakan bedah pada penderita yang tidak responsif terhadap fibrinolitik.

28
Penyembuhan anak dengan empiema toraks yang berhubungan dengan

Streptococcus pyogenes sering berjalan lambat. Demam, peningkatan laju endap darah dan

leukositosis tetap ada dalam beberapa minggu walaupun sudah diberikan penanganan yang

cukup. Meskipun outcome penderita biasanya baik. Penanganan awal anak dengan

empiema adalah dengan torakostomi dan terapi antibiotika secara empiris yang efektif

melawan Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae, penanganan tambahan

meliputi video-assisted thoracoscopic surgery atau fibrinolisis8.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Asif N, Aamir B, Shahkar AS. Presentation and management of empyema thoracis at lady
reading hospital peshawar. Department of Cardio-thoracic Surgery, Lady Reading Hospital
Peshawar Pakistan, 2008
2. Peter HM et all. Empyema :Epidemiology and Pathophysiology. Associate Professor of
Pediatrics, Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of
Medicine. Mar 18 2009
3. Peter HM. Empyema Clinical Presentation. Associate Professor of Pediatrics, Division of
Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of Medicine. Mar 18 2009
4. Peter HM. Empyema Medication. Associate Professor of Pediatrics, Division of
Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of Medicine. Mar 18 2009
5. Peter HM et all. Empyema : Treatment and Management. Associate Professor of
Pediatrics, Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of
Medicine. Mar 18 2009
6. Amit B et all. A study of empyema thoracis and role of intrapleural streptokinase in its
management. Department of Medicine, All India Institute of Medical Science, New-
Delhi-110029, India. BMC Infectious Diseases 2004; 4:19
7. Khaled MA. Management of tuberculous empyema. Division of Thoracic Surgery, King
Khalid University Hospital. Eur J Cardiothorac Surg 2000;17:251-254
8. Chest Online. Management of Acute Empyema. American College of Chest Physicians.
Chest. 1992; 102; 1316-1317

30

Anda mungkin juga menyukai