No. ID Peserta :
Nama Peserta : dr. Ricco Aditya Pradana
No. ID Wahana :
Nama Wahana : RSUD Cilegon
Topik : Empiema Paru
Tanggal Kasus : 15 April 2016
Nama Pasien : Tn. J No. Rekam Medis : 03.12.24
Nama Pendamping :
dr. H. Kamal Sumardin
Tanggal Presentasi : 19 Mei 2016 dr. Dian Arissanthy
Narasumber :
dr. Lulu Dian Sp.P
Tempat Presentasi : RSUD Cilegon
Obyektif Presentasi :
1
BAB I
STATUS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Kebangsaan/Suku : Indonesia/Sunda
Pekerjaan : Petani
Alamat : Kp. Kalilanang 021/012, Pengarengan, Cilegon
Jenis Pembayaran : BPJS
2. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 15 April 2016 Pukul 16.00 WIB di IGD dan
didukung catatan medis.
A. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 4 hari SMRS
B. Keluhan Tambahan
Demam, nyeri dada kanan, batuk, nyeri perut kanan atas dan mual
2
oleh aktivitas. Selain itu, pasien juga mengeluhkan dada kanannya nyeri, timbulnya
nyeri dada dirasakan bersamaan dengan sesak napas, nyeri dada bersifat hilang timbul.
Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kehijauan, Pasien juga mengeluhkan
demam sejak 10 hari SMRS, demam dirasakan terus menerus dan hanya turun apabila
diberi obat penurun demam. Selain itu, pasien mengeluhkan perut kanan atas terasa nyeri
dan keluhan tersebut disertai mual. Pasien tidak muntah, BAB dan BAK pasien normal.
Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya, riwayat darah tinggi dan
riwayat kencing manis disangkal oleh pasien. Pasien tidak pernah menjalani pengobatan
paru selama 6 bulan.
3. PEMERIKSAAN FISIK
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 15 April 2016 Pukul 16.30 WIB di IGD dan
didukung catatan medis.
Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
3
Heart rate dan nadi : 98 kali/menit, regular, isi dan tekanan nadi cukup
Pernafasan : 26 kali/menit, regular
Suhu : 38,1 °C (Axilla)
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 60 kg
BMI : 22,0
Status Generalis
1. Kepala
Normocephali, rambut hitam bercampur putih terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak tampak ikterik, kulit kepala tidak ada kelainan.
2. Wajah
Simetris, tidak ada kelainan bentuk.
3. Mata
Suprasilia hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut; Kelopak mata tidak ada
kelainan seperti kalazion, ptosis dan lagofthalmus; Bulu mata tidak ada kelainan
seperti trikiasis; Konjungtiva anemis (-/-), injeksi siliar (-/-); Sklera ikterik (-/-);
Refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+).
4. Hidung
Bentuk normal, septum deviasi (-), sekret (-/-), konka tidak dapat dinilai karena
banyak silia, nafas cuping hidung (-/-).
5. Telinga
Normotia, nyeri tekan tragus dan mastoid (-), nyeri tarik (-), liang telinga tidak
tampak serumen, sekret dan benda asing, membrane Tymphani utuh, berwarna
seperti mutiara, reflex cahaya pada jam 5 di telinga kanan dan pada jam 7 di telinga
kiri.
6. Sinus
Tidak nyeri pada penekanan di sinus frontalis (dahi), sinus ethmoidalis (pangkal
hidung di antara sudut mata dalam), sinus maxilla (pipi) dan sinus sfenoidalis
(pelipis).
7. Mulut
Kering (-), sianosis (-), trismus (-), labioschizis (-), palatoschizis (-).
4
8. Tenggorokan
T1-T1 mukosa hiperemis (-), kripta melebar (-), detritus (-), mukosa faring
hiperemis (-), uvula berada di tengah.
9. Leher
Tidak ada kelainan, kelenjar getah bening tidak ada yang membesar.
10. Thorax
Paru
Inspeksi : Hemithorax dextra dan sinistra simetris dalam keadaan statis
maupun dinamis pada keadaan inspirasi dan ekspirasi, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus pulmo dextra menurun dibandingkan pulmo sinistra
Perkusi : Redup di lapang paru kanan bagian inferior dan sonor pada lapang
paru kiri
Auskultasi : suara nafas vesicular +/+, Suara nafas paru kanan melemah
dibagian inferior dibandingkan dengan paru kiri, rhonki (+/-),
wheezing (-/-), hantaran (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V medial linea midclavicularis dextra
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS III linea sternalis dextra, batas jantung
kiri, yaitu pinggang jantung di ICS III linea parasternalis sinistra
dan batas bawah jantung di ICS V medial linea midclavicularis
dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-) gallop (-)
11. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) 15 kali/menit
Palpasi : Supel, hepar teraba membesar 1 jari dibawah arcus costae,
permukaan licin dengan tepi tajam dan lien tidak teraba membesar,
nyeri tekan ( + ) di kuadran kanan atas, turgor kulit baik
Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen
12. Tulang Belakang
Spina bifida (-), meningokel (-).
5
13.Genitalia
Jenis kelamin laki-laki, tidak ada kelainan.
14. Anorektal
Anus (+) dalam batas normal, hiperemis (-).
15. Kulit
Tidak tampak efloresensi yang bermakna.
16. Ekstremitas
Superior Inferior
Deformitas - /- - /-
Akral dingin - /- - /-
Akral sianosis - /- - /-
CRT < 2 detik < 2 detik
6
16 April 2016
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Natrium 130,4 mmol/L 135 - 155
Kalium 3,91 mmol/L 3,6 - 5,5
Chlorida 98,9 mmol/L 95 - 107
20 April 2016
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,8 g/dl 14 - 18
Leukosit 13.130 103/uL 5 - 10
Trombosit 483.000 103/uL 150 - 450
Hematokrit 37,4 % 40 - 48
SGOT 26 U/L < 41
SGPT 41 U/L < 37
25 April 2016
Pemeriksaan Nilai Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,7 g/dl 14 - 18
Leukosit 11.800 103/uL 5 - 10
Trombosit 476.000 103/uL 150 - 450
Hematokrit 37,1 % 40 - 48
Ureum 27 mg/dl 17 - 43
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,8 - 1,3
SGOT 23 U/L < 41
SGPT 35 U/L < 37
7
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
A. Rontgen thorax PA
B. Pemeriksaan BTA
Pada tanggal 28 April 2016 dilakukan pemeriksaan BTA melalui sampel sputum dan
didapatkan hasil “Negatif”
8
C. Pemeriksaan USG
6. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 15 April 2016 pukul 12.30
WIB dengan keluhan sesak napas sejak 4 hari SMRS. Sesak napas dirasakan semakin
lama semakin memberat, sesak napas terjadi terus menerus sepanjang hari tanpa
dipengaruhi oleh aktivitas. Selain itu, pasien juga mengeluhkan dada kanannya nyeri,
9
timbulnya nyeri dada dirasakan bersamaan dengan sesak napas, nyeri dada bersifat
hilang timbul. Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih kehijauan. Pasien juga
mengeluhkan demam sejak 10 hari SMRS, demam dirasakan terus menerus dan hanya
turun apabila diberi obat penurun demam. Selain itu, pasien mengeluhkan perut kanan
atas terasa nyeri dan keluhan tersebut disertai mual. Pasien tidak pernah menderita
penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien tidak pernah menjalani pengobatan paru selama
6 bulan. Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus dalam sehari.
7. DIAGNOSIS KERJA
Empiema Dextra dan Insufisiensi Hepar
8. DIAGNOSIS BANDING
Efusi Pleura Dextra E.C TB Paru
10
9. RENCANA PENGELOLAAN
- O2 nasal kanul 3-4 LPM
- IVFD Ringer laktat 20 tpm
- Inj. Ceftriaxon 1 x 2 gr (Skin test)
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Methylprednisolone 2 x 62,5 mg
- Ambroxol 3 x 30 mg P.O
- Cetirizine 2 x 1 P.O
- Retaphyl 2 x 1 P.O
- Curcuma 3 x 1 P.O
- Paracetamol 3x 500 mg jika T < 38,5
- Paracetamol 500 mg drip jika T > 38,5
- Nebulisasi Combivent/8 jam
- Pro WSD jika pada pungsi pleura didapatkan pus
- Konsul spesialis paru
11. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
11
BAB II
FOLLOW UP
12
Cefoperazone sulbactam 2x1gr IV
Ciprofloksasin 2x200mg IV
Itraconazol 1x200mg IV
Methylprednisolone 2 x 62,5 mg IV
Spooling WSD
Tanggal 3 mei 2016
S Sesak berkurang, demam (-), batuk (-)
O Tampak sakit sedang, compos mentis
TD 120/70 HR 82 RR 20 T 36,2
Suara napas menurun/+
WSD : pus (+), luka kering
A Empiema dextra
P O2 nasal kanul 3-5 L/m jika perlu
Inf. RL 20 tpm
Cefoperazone sulbactam 2x1gr IV
Ciprofloksasin 2x200mg IV
Itraconazol 1x200mg IV
Methylprednisolone 2 x 62,5 mg IV
Dilakukan Re-WSD karena pus menyumbat
Tanggal 4 Mei 2016
S Tidak ada keluhan
O Tampak sakit sedang, compos mentis
TD 120/70 HR 88 RR 20 T 36,7
Suara napas +/+
WSD : pus (-), undulasi (+), luka kering
A Empiema dextra
P Rawat jalan
Metronidazol 3x500mg P.O
Levofloxacin 1x500m P.O
Tramadol 2x50mg P.O
Omeprazole 2x1 P.O
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. PENDAHULUAN
sebagai kumpulan nanah dalam rongga pleura dan menganjurkan drainase terbuka sebagai
pengobatannya. Sejak itu tata laksana kondisi ini telah menimbulkan tantangan bagi dokter
intrapleural, dekortikations dan drainase terbuka semuanya telah digunakan dengan tingkat
keberhasilan mulai dari 10 sampai 90% . Variabel tingkat keberhasilan dari prosedur ini
dapat dipengaruhi, sebagian, untuk tahapan empiema. Pada tahap awal eksudatif, sebuah
bentuk efusi eksudatif terbentuk selama 72 jam pertama, yang biasanya akan berakhir
positioned chest tube drainage dapat menyelesaikan thoracis empiema. Kegagalan biasanya
disebabkan oleh posisi tabung yang salah, atau viskositas fluida meningkat. Kegagalan
dikelola dengan reseksi tulang rusuk, trombolitik intrapleural, thoraco-scopic drainase dan
decortications1.
Empyemas yang telah mencapai tahap organisasi ditandai dengan adanya penebalan
pleura dengan berbagai derajat yang menyebabkan parenkim paru terjebak. Biasanya,
reseksi tulang rusuk telah diperlukan untuk mengelola empyemas lanjut. Thoracoplasty
Limited dan rotasi flap otot juga dibutuhkan dalam beberapa kasus untuk melenyapkan
14
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA
Paru kanan normalnya terdiri dari tiga lobus (atas, tengah, dan bawah) dan merupakan
55% bagian paru. Paru kiri normalnya terdiri dari dua lobus (atas dan bawah). Pada lobus atas
paru kiri pada bagian bawahnya terdapat lingula yang merupakan analog dari lobus tengah paru
kanan. Paru mengalami perkembangan yang hebat, saat lahir, bayi memiliki 25 juta alveoli ;
jumlah ini bertambah menjadi 300 juta setelah dewasa. Pertumbuhan paling sering terjadi saat
usia 8 tahun. Pertumbuhan tercepat pada usia 3 – 4 tahun. Pleura adalah membran tipis terdiri
dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri
dari sel mesotelial, jaringan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang
sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,
sedangkan membran serosa yang melapisi dinding toraks, diafragma, dan mediastinum disebut
pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura
dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua
lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura
viseralis dan parietalis, diantaranya pleura viseralis memiliki ciri ciri permukaan luarnya terdiri
dari selapis sel mesotelial yang tipis < 30mm, diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit,
15
di bawah sel-sel mesotelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di
bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik, lapisan
terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah
kapiler dari a. pulmonalis dan a. brakhialis serta pembuluh limfa, menempel kuat pada jaringan
paru, fungsinya untuk mengabsorbsi cairan pleura. Pleura parietalis jaringannya lebih tebal
terdiri dari sel-sel mesotelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis), dalam jaringan ikat
tersebut banyak mengandung kapiler dari a. intercostalis dan a. mamaria interna, pembuluh
limfa dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan
temperatur. Keseluruhan berasal n. intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan
dermatom dada, mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya, berfungsi untuk
Volume cairan pleura selalu konstan, dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik sebesar 9
mmHg , diproduksi oleh pleura parietalis, serta tekanan koloid osmotik sebesar 10 mmHg yang
selanjutnya akan diabsorbsi oleh pleura viseralis. Penyebab akumulasi cairan pleura adalah
sebagai berikut :
16
3. DEFINISI
Empiema adalah kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang
mengelilinginya (rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari
4. EPIDEMIOLOGI
Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan dan berat. Saat
ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang menderita empiema dan efusi
parapneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana rumah
sakit sebesar 500 juta dolar. Di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema toraks3.
Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang
berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi atau
bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada
cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan
membran yang menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru
terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel
sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin).
Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru
sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan
penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong
(lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya
infeksi paru (pneumonia) atau kantong kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru3.
17
Empiema dapat juga terjadi akibat infeksi setelah pembedahan dada, trauma tembus
dada, atau karena prosedur medis seperti torakosentesis atau karena pemasangan chest tube.
Pus yang berasal dari rongga abdomen yang berada tepat di bawah paru (abses subfrenikus)
juga dapat meluas ke rongga pleura dan menyebabkan empiema. Demam tinggi sering
ditemui, sama seperti gejala pneumonia yang berupa batuk, nyeri dada karena pleuritis, dan
kelemahan. Empiema juga dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan seperti septikemia,
Infeksi ruang pleura turut mengambil peran pada terjadinya empiema sejak jaman kuno.
empiema dan menggambarkan adanya drainase cairan pleura setelah dilakukan insisi.
sebagian dari terapi empiema masih diterapkan dalam pengobatan modern. Dalam tulisan
yang dibuat pada tahun 1901 yang berjudul The Principles and Practice of Medicine, William
5. ETIOLOGI
ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram negatif. Sering
ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya karena tingginya
insidensi resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia. Streptokokus
stafilokosus aureus yang dikombinasikan dengan antibiotik lainnya dapat melawan bakteri
gram negatif. Namun telah diketahui bahwa aminoglikosida memiliki kekuatan penetrasi ke
dalam ruang pleura yang jelek. Namun pemberian aminoglikosida dapat diberikan dengan
18
indikasi untuk mengatasi pneumonia. Selain itu pemberian aminoglikosida dimaksudkan
karena alasan biaya. Untuk penderita dengan sosial ekonomi yang rendah dan tidak mampu
masyarakat India. Mycobacterium tuberculosis sulit diisolasi pada pasien empiema. Namun
pada negara barat justru ditemukan mikrobakterium tuberkulosis yang tinggi. Fenomena
yang jelas ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Cairan pleura yang purulen
(empiema) hampir selalu disebabkan oleh bakterial pneumonia. Efusi pleura yang
berhubungan dengan peumonia bakterial, abses paru, atau bronkoektasis disebut efusi
Stafilokokus aureus menjadi penyebab terbanyak, namun pada tahun tahun terakhir ini S.
mengalami efusi paraneumonik tidaklah tinggi seperti yang terlihat pada penderita dengan
empiema yang disebabkan oleh S. aureus (sekitar 80% anak yang mengalami pnemonia
dengan penyebab S. aureus); selain itu juga dapat disebabkan oleh infeksi streptokokus grup
A , jarang oleh F. tularensis, H. influenzae tipe b, dan bakteri usus gram negatif seperti
Pseudomonas atau Salmonela. Streptokokus dan difteroid (flora normal mulut) merupakan
penyebab pneumonia aspirasi, khususnya pada dewasa. Pasteurela multosida juga penyebab
empiema pada anak yang menderita pneumonia dan terekspos dengan binatang. Nokardia
jarang menyebabkan efusi pleura, khas pada penderita yang sistem imunnya tertekan.
Penyebab tidak lazim lainnya adalah Yersinia, klamidia trakomatis, dan Liseria. Spesies
bakteroides atau klostridium, aktinomises anaerob, dan streptokokus anaerob kadang juga
menyebabkan empiema (terutama pada usia dewasa), sehingga cairan dibutuhkan kultur
efusi pleua purulenta ringan sampai sedang. fungi tersebut dan kriptokokus merupakan suatu
19
agen yang menjadi risiko penyebab infeksi pada penderita dengan imunodefisiensi. Namun,
penyakit paru yang masif kadang juga menyerang penderita dengan status imunologi yang
normal yang banyak terpajan dengan fungi. Empiema juga dapat disebabkan oleh parasit
6. PATOFISIOLOGI
Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari
pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi
penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung
elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam
dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas
dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase
(LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini
Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang
dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan
kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris
selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang
membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan
pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir
setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan
pemasangan tube3.
fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan
20
membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk
drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari
fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal3.
Empiema adalah adanya pus dalam rongga pleura. Penderita dengan efusi
parapneumonia yang tanpa disertai komplikasi ditangani dengan antibiotika, cairan pleura
dan fagosit akan resorbsi melalui sistem limfa di subpleura, sedangkan membran mesotelial
akan mengalami perbaikan. Jika tidak ditangani dengan antibiotika, respons inflamasi dini
tidak cukup untuk mencegah penyebaran bakteri, dan efusi parapneumonia dapat terus
berkembang menjadi empiema dan berakhir ke stadium kronik. Selama empiema terus
berlanjut, akan terjadi perkembangan fibrosis pada ruang pleura. Adanya fibrosis dalam
ruang pleura menggambarkan suatu keadaan yang paling menyebabkan kelemahan pada
penderita empiema toraks. Bila fibrosis pleura terus berlanjut akhirnya akan terjadi
Membran pleura menghasilkan cairan pleura yang kemudian diserap oleh saluran limfa
yang terletak pada kedua lapisan pleura. Peningkatan produksi cairan atau penurunan
resorpsi cairan akan menyebabkan akumulasi cairan yang patologis pada ruang pleura.
Cairan pleura dapat berupa transudat, transudat serofibrin, hemoragik, atau kilosa. Dengan
dapat dilakukan dibawah petunjuk teknik pencitraan. Transudat pleura biasanya berwarna
jernih, kekuningan dan biasanya bilateral. Penyebab tersering adalah gagal jantung.
Penyebab lainnya dapat karena gagal ginjal, hipoproteinemia atau overtransfusi. Eksudat
dapat berwarna kuning kecoklatan atau purulen, dapat disebabkan oleh tuberkulosis, infeksi
paru atau pleura lainnya atau karena abses subfrenikus. Penyebab lainnya adalah kanker
paru dan penyakit jaringan ikat sistemik seperti lupus eritematous sistemik atau rheumatoid
21
arthritis. Pada posisi tegak lurus, sedikit cairan akan berkumpul di sudut kostofrenikus,
pertama kali ke arah posterior kemudian ke lateral. Sepanjang diafragma dan dada terisi
dengan gambaran opak. Dimana selama volume cairan terus bertambah maka secara
bertahap akan semakin luas dan paru mengalami perselubungan. jika tidak ditemukan
kepastian antara cairan atau sisa infeksi pleura yang mengalami pengentalan maka dapat
diperjelas dengan pengambilan film tambahan, yakni penderita dalam posisi dekubitus
lateral, bila cairan maka akan mengalir ke bawah mengikuti gravitasi. Cairan pleura dapat
terkumpul dalam kantong tertutup ( lokuli ) yang dibentuk oleh proses infeksi aktif dan
menghasilkan pus dalam jumlah yang besar, cairan pleura tidak hanya mengalir secara pasif
sepanjang dada pada batas cembung medial tapi juga menuju batas cekung medial. Hal ini
mengarah kecurigaan pada empiema dimana dapat terjadi hubungan antara pneumoni
dengan abses paru. Empiema dapat menembus pleura viseral dan terhubung dengan
jaringan paru yang mengandung udara dan cabang bronkial. Hubungan seperti ini dapat
7. MANIFESTASI KLINIS
gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri dada (pleuritic chest pain), batuk, sesak, dan
dapa juga sianosis. Inflamasi pada ruang pleura dapat menyebabkan nyeri abdomen dan
muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan panas mungkin tidak dialami penderita dengan
Gejala dan Tanda Empiema biasanya adalah: Batuk, Pekak Pada Perkusi Dada, Dispneu,
Menurunnya Suara Pernapasan, Demam, Pleural Rub (pada fase awal), Ortopneu,
22
8. PEMERIKSAAN FISIK
Kualitas suara pernafasan yang dapat ditemukan adalah suara pernapasan bronkial,
normalnya didengar di trakea, yang pada auskultasi inspirasi dan ekspirasi jelas terlihat.
Suara pernafasan perifer lainnya yang dapat terdengar adalah suara pernapasan vesikular,
yakni rasio inspirasi yang terdengar lebih panjang dari ekspirasi. Suara pernapasan bronkial
yang terdengar pada paru perifer diperkirakan terjadi konsolidasi atau adanya efusi pleura.
Menurunnya suara pernafasan saat usaha bernapas merupakan alasan yang cukup untuk
mencurigai adanya atelektasis, konsolidasi lobaris (pneumonia) atau efusi pleura. Temuan
yang didapatkan dari pemeriksaan fisik, dipadukan dengan inspeksi yang terlihat adanya
deviasi trakea dengan jantung, pergerakan dinding dada, perkusi, fremitus, suara
menemukan patologi intratoraks. Bentuk torak bayi lebih melengkung daripada anak anak
dan dewasa. Selain itu dinding dada bayi tipis dengan otot otot yang kecil sehingga suara
paru dan jantung diteruskan lebih jelas. Tulang dan tulang rawannya masih sangat lemah
dan elastis. Ujung dari prosesus xifoid sering terlihat menonjol ke depan di kulit pada apeks
lengkung iga. Pada bayi yang sehat, iga tidak banyak bergerak saat bayi bernapas biasa, iga
bergerak keluar karena diafragma turun dan menekan isi abdomen. Pergerakan dada yang
asimetris dapat disebabkan oleh space-occupying lesion seperti efusi pleura. Pada
pemeriksaan pernapasan yang harus dinilai : keadaan umum, laju pernapasan, warna,
pernapasan cuping hidung, suara pernapasan yang terdengar, dan usaha bernapas.
Pernapasan didominasi oleh gerak diafragma dengan sedikit bantuan dari otot otot dada.
Selain melihat gerak pernapasan, juga penting untuk menilai adakah retraksi ( chest
indrawing ) yang merupakan indikator adanya penyakit paru pada bayi kurang dari 2 tahun
oleh WHO. Tipe tipe retraksi : supraklavikular, interkosta, dan subkosta. Perkusi tidak
banyak membantu pemeriksaan karena pada bayi memang hiperesonansi dan sulit untuk
23
melacak abnormalitas dari perkusi. Selanjutnya dilakukan auskultasi, telah dikatakan
sebelumnya bahwa suara akan diteruskan menjadi lebih keras dan lebih kasar daripada pada
dewasa. Selain itu, sulit untuk dibedakan dengan suara dari saluran napas atas yang
suara napas dari saluran napas atas cenderung kuat dan diteruskan simetris ke kedua dada
dan semakin menguat saat stetoskop digerakkan ke atas, biasanya saat inspirasi, terdengar
kasar. Suara pernapasan saluran napas bawah akan terdengarlebih kuat pada daerah yang
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
parapneumonia. Drainase sulit dilakukan karena cairan yang bersifat kental dan adanya
lokulasi fibrin dalam ruang pleura. Meskipun beberapa penelitian menemukan adanya cara
pada hasil penelitian tersebut, karena setelah pemberian urokinase intrapleura secara acak
pada anak dengan empiema, ternyata hasil ultrasonik masih tidak berpengaruh. Selain itu
24
ultrasonik kurang spesifik dalam membedakan daerah kistik yang padat pada ruang pleura
dan menentukan apakah cairan pleura sudah terinfeksi atau belum. Walaupun gambaran
ultrasund anak dengan empiema biasanya ekogenik homogen, efusi hemoragik dan
kilotoraks juga memiliki gambaran yang sama. Ekogenitas cairan pleura disebabkan
karena elemen-elemen sel seperti eritrosit, sel-sel radang, droplet-droplet lemak atau
▪ Kultur darah
▪ Computed tomography/USG
▪ Hitung arah lengkap dengan diferensiasi (tidak spesifik namun bisa mencari penyebab
▪ Torakosenstesis jika etiologi efusi tidak diketahui atau tidak dapat ditentukan dari proses
▪ Pemeriksaan cairan pleura : Hitung sel darah dan diferensiasi, Protein, laktat
dehidrogenase (LDH), glucosa, dan pH, Kultur bakteri aerob dan anaerob, mikobakteri,
fungi, mikoplasma, dan bila ada indikasi disertai dengan pemeriksaan viral patogen.
infeksi. Kekuatan diagnostik yang di ambil dari hasil kultur yang diambil dari
torakosentesis adalah lemah, namun tinggi pada anak dengan infeksi yang jelas dan
25
mendapatkan antibiotika lebih dalam waktu 24 jam. Tanpa adanya infeksi, normalnya
cairan pleura memiliki berat jenis yang rendah (<1.015) dan protein (<2.5 g/dL), kadar
laktat dehidrogenase yang rendah (3 g/dL) dan laktat dehidrogenase yang tinggi (>250
IU/L), pH yang rendah (<7.2), glukosa yang rendah (<40 mg/dL), dan hitung selular yang
ditemukan cairan pleura yang purulen, terdeteksi bakteri gram atau adanya hitung sel
11. PENATALAKSANAAN
penumpukan cairan. Untuk efusi yang sedikit, khususnya jika jenisnya adalah transudat,
tidak diperlukan drainase. Untuk efusi yang banyak, diperlukan drainase dengan chest tube,
khususnya jika cairannya purulen ( empiema ). Pada kasus yang lain, cairan sering terjadi
pengentalan dan terlokalisasi sehingga membuat proses drainase menjadi sulit. Untuk itu,
chest tube dipasang sedini mungkin setelah dipastikan adanya empiema dari torakosentesis.
Pada kasus empiema dan efusi parapneumonia dimana drainase dipersulit dengan
débridement dapat membantu menurunkan morbiditas dan lamanya rawat inap di rumah
sakit. Banyak kasus efusi parapneumonia dapat ditangani secara konservatif dengan
pemberian antibiotika intravena. Anak sehat yang menderita empiema masih dapat
berespons dengan pemberian antibiotika selama 3 – 4 minggu dan drainase dengan chest
tube. Pada kebanyakan kasus, proses penyembuhan dapat dipercepat dengan dilakukan
debridemen torakoskopi pada ruang pleura yang terkena infeksi dan terdapat lapisan fibrin
sehingga dapat mencegah penyebaran menyeluruh pada banyak kasus. Jika penyebabnya
sudah berhasil ditangani maka akan berprognosis baik. Bila seorang anak dengan pneumonia
26
tidak berespons dengan pemberian antibiotika dalam beberapa hari maka dapat dilakukan
radiografi dada posisi dekubitus atau CT scan untuk membantu penegakan diagnosis8.
luas, Drainase dengan torakostomi disertai antibiotika spektrum luas dan terapi fibrinolisis,
Stadium 3 VATS dengan torakotomi disertai antibiotika spektrum luas, atau Torakotomi
penisilin dan S. pneumoniae walaupun hasil pemeriksaan apusan atau kultur menunjukkan
organisme lain sebagai penyebab. Sebagai obat tunggal, sefuroksim memiliki kerja khusus
melawan S. aureus dan pneumokokus, namun tidak untuk organisme lain. Kombinasi
stafilokokus resisten terhadap metisilin yang tinggi, sebaiknya digunakan vankomisin dan
klindamisin. Jika cairan pleura berbau busuk, sebaiknya dipikirkan kemungkinan bakteri
anaerob sebagai penyebabnya dan diberikan terapi dengan klindamisin dan metronidazol.
Pemberian streptokinase intrapleura efektif dan aman dalam menangani empiema stadium
1 dan sadium 2. Selanjutnya akan cenderungan terjadi penurunan drainase dan penurunan
gejala demam dan gejala pernapasan, selain itu penanganan dengan fibrinolitik dapat
dijadikan petunjuk untuk intervensi bedah dini. Penanganan empiema masih kontroversial
khususnya pada anak anak. Pilihan penanganan mencakup pemberian antibiotika sistemik
27
saja, torakosentesis, torakostomi dengan menggunakan tuba, dengan atau tanpa pemberian
obat fibrinolitik. Teknik invasif lainnya adalah bedah torakoskopi, mini-torakotomi, dan
Bagaimanakah memilih terapi tersebut dan mengapa kontoversial itu karena beberapa
alasan, yang pertama, pengalaman terapi pada dewasa tidak bisa begitu saja diterapkan dan
dengan empiema sebelumnya terlihat sehat. Yang kedua, faktor prognostik dapat
membantu meramalkan terapi invasif pada pederita dewasa seperti level laktat
dehidrogenase (LDH), glukosa, pH cairan pleura, yang tenyata semuanya tidak terlalu
berguna pada anak-anak. Seperti yang diterbitkan akhir akhir ini oleh British Thoracic
dengan komplikasi (cairan yang kental, gambaran fibrous) atau empiema dan dengan
28
Penyembuhan anak dengan empiema toraks yang berhubungan dengan
Streptococcus pyogenes sering berjalan lambat. Demam, peningkatan laju endap darah dan
leukositosis tetap ada dalam beberapa minggu walaupun sudah diberikan penanganan yang
cukup. Meskipun outcome penderita biasanya baik. Penanganan awal anak dengan
empiema adalah dengan torakostomi dan terapi antibiotika secara empiris yang efektif
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Asif N, Aamir B, Shahkar AS. Presentation and management of empyema thoracis at lady
reading hospital peshawar. Department of Cardio-thoracic Surgery, Lady Reading Hospital
Peshawar Pakistan, 2008
2. Peter HM et all. Empyema :Epidemiology and Pathophysiology. Associate Professor of
Pediatrics, Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of
Medicine. Mar 18 2009
3. Peter HM. Empyema Clinical Presentation. Associate Professor of Pediatrics, Division of
Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of Medicine. Mar 18 2009
4. Peter HM. Empyema Medication. Associate Professor of Pediatrics, Division of
Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of Medicine. Mar 18 2009
5. Peter HM et all. Empyema : Treatment and Management. Associate Professor of
Pediatrics, Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of
Medicine. Mar 18 2009
6. Amit B et all. A study of empyema thoracis and role of intrapleural streptokinase in its
management. Department of Medicine, All India Institute of Medical Science, New-
Delhi-110029, India. BMC Infectious Diseases 2004; 4:19
7. Khaled MA. Management of tuberculous empyema. Division of Thoracic Surgery, King
Khalid University Hospital. Eur J Cardiothorac Surg 2000;17:251-254
8. Chest Online. Management of Acute Empyema. American College of Chest Physicians.
Chest. 1992; 102; 1316-1317
30