2.Lp Pneumothoraks
2.Lp Pneumothoraks
1.DEFINISI
Pneumothoraks adalah kolapsnya sebagian atau seluruh paru yang terjadi sewaktu udara
atau gas lain masuk ke ruang pleura yang mengelilingi paru (Corwin, 2009).
Pneumotorax adalah adanya udara dalam rongga pleura. Pneumothorax dapat terjadi secara
spontan atau karena trauma (British Thoracic Society,2003).
Pneumotoraks adalah pengumpulan udara didalam ruang potensial antara pleura visceral
dan parietal (Muttaqin,2008).
Pneumotoraks terjadi ketika pleura parietal atau visceral tertembus dan ruang pleura
terpapar atmosfer tekanan positif. Biasanya tekanan di ruang pleura negatif atau subatmosfer
dibandingkan dengan tekanan atmosfer; tekanan negatif ini diperlukan untuk menjaga inflasi paru-
paru (Smeltzer, 2001).
2.ETIOLOGI
Pneumothoraks terjadi karena adanya kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui
robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini berhubungan dengan bronkhus. Pelebaran alveoli dan
pecahnya septa-septa alveoli kemudian membentuk suatu bula yang disebut granulomatus fibrosis.
Granulomatous fibrosis adalah salah satu penyebab tersaring terjadinya pneumothoraks, karena
bula tersebut berhubungan dengan adanya obstruksi empisema.
Apabila pneumotarks meluas, atau apabila yang terjadi adalah tension pnemotoraks dan
udara menumpuk di ruang pleura jantung dan pembuluh besar dapat bergeser ke paru yang sehat
sehingga dada tanpak asimetris. Defiasi trakea juga dapat terjadi (Corwin, 2009).
a. Pasien mengeluh awitan mendadak nyeri pada pluritik akut yang terlokalisasi pada paru
yang sehat.
b. Nyeri dada pluritik biasanya disertai sesak nafas, peningkatan kerja pernafasan, dan dispnea
c. Gerakan dinding dada mungkin tidak sama karena sisi yang sakit tidak mengembang seperti
sisi yang sehat.
d. Suara nafas jatuh dan tidak ada
e. Perkusi dada menghasilkan suara hipersonan
f. Takikardi sering terjadi menyertai tipe pneumotoraks(Nurarif,amin 2016).
4.KLASIFIKASI
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru yang sehat
dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka kejadian pneumotoraks
spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita
pertahun (Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh
tinggi, kurus, dan berusia antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya
PSP adalah ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara
yang terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis
dan radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai PSP mempunyai penyakit
paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok
meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini (Heffner and Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah terdapat
sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan porositas
menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan emfisematous paru-
paru. Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena
gradien tekanan pleura meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks
paru-paru orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat
mendahului proses pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak adanya
penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004). Pada sebagian besar kasus
PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi
spontan udara dari rongga pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan
suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan
empat kali lipat (Mackenzie and Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan
pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan atau tanpa pleurodesis,
dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) (Heffner and Huggins, 2004).
PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru yang
mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis kistik, tuberkulosis,
pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat terjadi ada penyakit intersisiel
paru seperti sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and
tuberous sclerosis. Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli
yang melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat adanya
kondisi komorbid.
Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak
pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke
rongga pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju pleura viseralis melalui cabang-
cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru
perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di
dada akibat benda ajam (Sharma, 2009).
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis terobek oleh
fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan peningkatan tekanan
alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk
ke rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum.
Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara
masuk ke rongga pleura. Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign
di mana hilus paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks persisten
dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan baik (Sharma, 2009).
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding
dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura
awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh
jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami reekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali
negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap
negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan nafas atau
esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif (Alsagaff,
2009).
5.PATOFISIOLOGI
Cedera tumpul
kurang dari Trauma dada penetrasi
kebutuhan tubuh
Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan
Rusuk yang fraktur(menusuk Membuka ruang intra pleural
Nyeri nutrisi nutrisi nutrisi
dan merobek membran pleura) kedalam tekanan atmofser
Kebutuhan nutrisi
kurang dari Udara memasuki
kurang dariruang Kebutuhan nutrisi
kurang dari
kurang dari pleura (pada saat inspirasi) kurang dari kebutuhan
kebutuhan kebutuhan Udarakebutuhan
terisap kedalam
Udara memasuki membran Kebutuhan
dan tidak dapatnutrisi
keluar
kebutuhan
tubuhtubuh
pleura tubuh tubuh
ruang intra
tubuh pleural
Kebutuhan nutrisi kurang padakurang
saat ekspirasi
dari Kebutuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan
Peningkatan tubuh
tekanan intra kebutuhan tubuh dari kebutuhan
Peningkatan tubuh
tekanan
Akumualasi udara dalam Kebutuhan nutrisi
intrapleural
pleural & mengempiskan paru
Kebutuhan nutrisi rongga dada (tekanan
kurang dari kebutuhan
Kebutuhan
positif) nutrisi Paru menjadi kolaps
kurang dari kebutuhan tubuhnutrisi
Kebutuhan
Terjadi kolaps pada kurang dari kebutuhan
tubuh - Pergeseran mediastinum kurang dari
alveolus-alveolus
Kebutuhan nutrisi kurang Kebutuhan nutrisi
tubuh Kebutuhan nutrisi kurang dari
- Kompresi organ-organ
kebutuhan tubuh
dari kebutuhan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh
mediastinum
Hambatan pertukaran gas Penurunan ekspansi Ketidakefektifa
kebutuhan tubuh paru n Pola napas
Kebutuhan nutrisi
Resiko Penurunan curah
kurang dari Kebutuhan nutrisi
jantung
kebutuhan tubuh kurang dari
kebutuhan tubuh
1. Kunci diagnosis.
Pemeriksaan radiologis konvensional merupakan pilihan utama untuk mendeteksi dan mengevaluasi
pneumotoraks. CT scan sangat berguna untuk mengevaluasi kasus sulit pada pneumotoraks dengan
ukuran kecil pada pasien posisi supine.
Gambar 1.Pneumothorax
A.Konvensional
Pada pneumotoraks yang sedang sampai berat pada foto konvensional (dalam keadaan inspirasi)
dapat menunjukkan adanya daerah yang hiperlusen dengan pleural line di sisi medialnya, tetapi
pada pneumotoraks yang minimal, foto konvensional kadang-kadang tidak dapat menunjukkan
adanya udara dalam rongga pleura, untuk itu diperlukan foto ekspirasi maksimal, kadang-kadang
foto lateral dekubitus.
Hinshaw merekomendasikan membuat foto pada 2 fase inspirasi dan ekspirasi, karena akan
memberikan informasi yang lebih lengkap tentang:
- Derajat/luasnya pneumotoraks.
- Menunjukkan adanya kista dan perlekatan pleura lebih jelas dari pada foto konvensional
Gambar 2. Fase inspirasi pada pnemothorax Gambar 3. Fase ekspirasi pada pneumothorax
Pneumotoraks paling baik digambarkan dengan film dada dengan ketajaman rendah, sehingga hal-
hal berikut dapat terlihat. Bayangan udara dalam rongga pleura memberikan bayangan radiolusen
yang tanpa struktur jaringan paru (avascular pattern) dengan batas paru berupa garis radioopak
yang tipis berasal dari pleura visceral. Jika pneumotoraks luas, akan menekan jaringan paru ke arah
hilus atau paru menjadi kuncup/kolaps di daerah hilus dan mendorong mediastinum ke arah
kontralateral. Selain itu sela iga menjadi lebih lebar.
Gambar 5 Konvensional
Pneumotoraks
B.USG
Pneumotoraks dapat juga didiagnosis oleh USG. Udara di rongga pleura ditampilkan pantulan
gelombang yang sangat tajam. Tidak seperti udara intrapulmoner, pantulan gelombang tidak
bergerak saat respirasi. Bagaimanapun juga, luas pneumotoraks ditentukan dengan radiologis dada.9
Menggunakan Linear array transducer (Small parts/high frequency probe) dengan pasien dalam
posisi supinasi, scan dipermukaan anterior dinding dada menarik garis sagital (longitudinal). Scan
mulai dari anterior axillary line ke para sternal line.
C.CT Scan
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan, dan pekerjaan
klien/asuransi kesehatan.
2. Keluhan utama meliputi sesak napas, bernapas terasa berat pada dada, dan keluhan susah
untuk melakukan pernapasan.
3. Riwayat penyakit saat ini
Keluhan sesak napas seringkali datang mendadak dan semakin lama semakin berat. Nyeri
dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri pada gerakan
pernapasan. Selanjutnya dikaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai rongga dada
seperti pluru yang menembus dada dan paru, ledakan yang menyebabkan peningkatan
tekanan udara dan terjadi tekanan di dada yang mendadak menyebabkan tekanan dalam
paru meningkat, kecelakaan lalu lintas biasanya menyebabkan trauma tumpul di dada atau
tusukan benda tajam langsung menembus pleura.
4. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit seperti TB paru dimana sering
terjadi pada pneumothoraks spontan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada aggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang
mungkin menyebabkan pneumothoraks seperti kanker paru, asma, TB paru, dan lain-lain.
6. Pemeriksaan fisik
a. B1 (Breathing)
- Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasaan.
Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan daa tertinggal pada sisi yang
sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit). Pengkajian batuk
yang produktif dengan sputum purulen. Trakhea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
- Palpasi
Taktil fremitus menurun pada sisi yang sakit. Disamping itu, pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit. Pada sisi yang sakit, ruang
antar iga bisa saja normal atau melebar.
- Perkusi
Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani, dan tidak bergetar. Batas jantung
terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.
- Auskultasi
Suara napas menurun sampai menhilang pada sisi yang sakit. Pada posisi duduk, semakin ke
atas letak cairan maka akan semakin tipis, sehingga suara napas terdengar amforis, bila ada
fistel bronkophleura yang cukup besar pada pneumothoraks terbuka.
b. B2 (Blood)
Perawat perlu memonitor dampak pneumothoraks pada status kardiovaskular yang meliputi
keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan pengisian kapiler darah (capilllary
refill time - CRT).
c. B3 (Brain)
Pada inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Selain itu, diperlukan juga pemeriksaan GCS.
Apakah compos mentris, somolen, atau koma.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu,
perawat perlu memonitor adanya oliguria. Oliguria merupakan tanda awal dari syok.
e. B5 (Bowel)
Akibat sesak napas, klien biasanya mengalami mual dan muntah, penurunan nafsu makan,
dan penurunan berat badan.
f. B6 (Bone)
Pada trauma di rusuk dada, sering didapatkan adanya kerusakan otot dan jaringan lunak
dada sehingga menigkatkan resiko infeksi. Klien sering dijumpai mengalami gangguan dalam
memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari disebabkan adanya sesak napas, kelemahan, dan
keletihan fisik secara umum (Arif Muttaqin, 2014).
Intervensi keperawatan
NIC: monitor Pernafasan
Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernafas
Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot-otot bantu nafas
Dan retraksi pada otot supraclaviculas dan interkosta
Monitor suara nafas tambahan seperti ngorok dan mengi
Monitor pola nafas
Monitor saturasi oksigen
Catat lokasi trakea
Monitor kelelahan otot-otot diafragma dengan pergerakan parasoksikal
Monitor adanya keluhan sesak nafas pasien.
Monitor suara serak
Monitor suara krepitasi pada pasien
Monitor hasil foto thorax
Intervensi keperawatan :
NIC: Manajemen jalan nafas
Posisikan pasien untuk meminimalkan ventilasi
Lakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya
Instruksikan bagaimana melakukan batuk efektif
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
a. Monitor respirasi dan pertukaran O2
b. Kolaborasi dengan tim medis
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan ...x24 jam, diharapkan
Kriteria hasil:
- Mampu mengontrol nyeri
- Tanda vital dalam rentang normal
NOC: Pain Control
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Nyeri yang dilaporkan
2. Panjangnya episode nyeri
3. Ekspresi nyeri wajah
4. Berkeringat
5 Ketegangan otot
6.. Tekanan darah
Keterangan:
1: Deviasi berat dari kisaran normal
2: Cukup berat
3: Sedang
4: Ringan
5: Tidak ada deviasi
Intervensi keperawatan
NIC: Pain management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
lampau
7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
8. Kurangi faktor presipitasi nyeri
9. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
10.Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
11.Ajarkan tentang teknik non farmakologi
12.Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
13.Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
14.Tingkatkan istirahat
15.Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
16.Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Keterangan:
1: Deviasi berat dari kisaran normal
2: Cukup berat
3: Sedang
4: Ringan
5: Tidak ada deviasi
Intervensi Keperawatan
NIC: Monitor neurologi
Monitor tingkat kesadaran
Hindari kegiatan yang dapat meningkatkan peningkatan TIK
Monitor kekuatan pegangan
Monitor adanya tremor
5. Risiko infeksi
Tujuan : selama perawatan ...x... jam , klien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
NOC: Pemulihan pembedahan: penyembuhan
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Nyeri
2. Infeksi luka
3. Cairan merembes dari drainase
4. Mual
5. Muntah
Keterangan :
1 : Berat
2: Cukup berat
3: Sedang
4: Ringan
5: Tidak ada
Intervensi NIC : Perawatan Selang: Dada
Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press
British Thoracic Society of Standardsof Care Committee, 2002,British Thoracic Society for
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofiologi Edisi Revisi 3. Jakarta : EGC
Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous Pneumthorax: Thers’s
Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why all the confusion over
Jakarta:Salemba Medika
Nanda International. (2018). NANDA-I diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2018-2020.
Jakarta : EGC.
Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous Pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74
Smeltzer, Suzane C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner&Sudarth. Diterjemahkan
oleh Agung Waluyo dkk. Jakarta. EGC