Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mungkin sudah menjadi masalah klasik tersendiri tentang matematika dan

pembelajarannya bagi para guru dan siswa. Selalu saja ada hal-hal yang menjadi

problem setiap materi matematika disajikan dan pembelajarannya

diselenggarakan. Ketika nilai-nilai akhir siswa yang belajar dikumpulkan dan

didapati nilai-nilai yang dicapai menjadi tidak sesuai dengan harapan guru dan

keinginan para siswa, maka ada kecenderungan tindakan guru adalah akan

memberikan tes-tes perbaikan yang materinya hanya menyederhanakan muatan

dan tingkat kesulitan soal, atau menekan kriteria ketuntasannya.

Namun jika soal-soal itu dimodifikasi dengan varian yang bentuk fisiknya

jarang atau tidak dikenal siswa walau substansinya masih sama, maka hasil

tesnyapun pasti tidak jauh berbeda dengan yang sudah dilakukan.

Memperhatikan hal ini, kita tidak bisa selalu mempersalahkan eksistensi,

bentuk, alat, jenis, materi, tingkat kesukaran ataupun tipe dan varian tes yang

padahal itu sudah dirancang sesuai dengan kisi-kisi dan tuntutan kurikulum serta

aturan negara yang berlaku. Ada sisi lain yang sebenarnya banyak atau sengaja

dilupakan oleh para guru yaitu bagaimana proses pembelajaran dirancang dan

diterapkan, dan bagaimana pula kondisi perilaku belajar siswa saat mengikuti
2

pembelajaran, dengan alasan efisiensi waktu, kesibukan, phobia ujian nasional

dan lain-lain.

Karena sesungguhnya matematika sendiri, termasuk mata pelajaran lainnya

hanyalah alat ataupun sarana untuk menstimulasi aspek-aspek potensi mentalitas

manusia agar lebih dapat memberi manfaat lebih dan maksimal dan mencapai

kematangannya secara utuh, maka jelas setiap mata pelajaran ini bukanlah tujuan.

Jika mata pelajaran itu menjadi tujuan, maka jelas setiap pembelajaran yang

dilakukan secara disadari atau tidak akan cenderung selalu berorientasi pada

hasil. Contoh, ketika siswa mampu menghitung volum suatu gambar tabung

dengan rumus yang telah dihafalkannya serta mendapat nilai 100, maka dia akan

bingung menghitung volume kapasitas maksimal tangki tampungan minyak

dalam bentuk drum dalam satuan liter, dengan cara meminjam literan kepada

penjual minyak dengan maksud menakarnya. Atau siswa akan mampu

menemukan jumlah keseluruhan ayam dalam 4 kandang yang tiap kandang berisi

50 ekor ayam dengan jawaban 200 ekor ayam, namun dengan kalimat matematika

yang keliru seperti 50 x 4, atau tidak efektif seperti 50 + 50 + 50 + 50.

Hal seperti inilah yang juga semestinya disadari oleh para guru dalam

mengajar matematika. Artinya yang paling dipentingkan adalah bagaimana proses

pembelajaran itu dirancang berlangsung sehingga siswa menguasai konsep-

konsep matematika dalam hal logika, bilangan, keruangan, serta hubungan

ketiganya. Bukan berapakah nilai akhir tes atau ulangan yang diperoleh siswa.
3

Kekeliruan seperti ini terjadi di kelas peneliti sendiri yaitu ketika diketahui

bahwa rata-rata siswa yakni 15 (75%) dari 20 siswa kelas 5 SDN Tanjung

Sungkai Kecamatan Pulau Laut Tanjung Selayar Kabupaten Kotabaru TP 2013-

2014 tidak mampu mendapatkan nilai akhir yang baik dalam menyelesaikan soal

dalam materi kesebangunan dan kongruensi (Kode SK 6 dan KD 6.4).

Memperhatikan hal ini, peneliti kembali pada waktu lain memberikan soal-soal

baru yang lebih rendah tingkat kesukarannya namun dengan struktur fisik soal

yang cenderung sama dan sudah dikenal, maka hasil capaian mereka membaik

yaitu 12 dari 20 siswa. Anehnya hampir semua siswa salah dalam butir soal

dengan variasi asing yang disisipkan dalam paket tes perbaikan itu. Padahal soal

tersebut masih dalam kerangka materi yang pernah diberikan. Hal ini akhirnya

memberi kepastian kepada peneliti sendiri bahwa para siswa masih sangat lemah

dalam penguasaan dan pemahaman utuh konsep tersebut.

Kekeliruan ini ternyata tanpa disadari sangat kongruen dengan apa yang

telah ditulis oleh Sutarto Hadi yang mengutip pendapat Zamroni (dalam Supinah,

2011 : 2) tentang orientasi umum pendidikan Indonesia selama ini yang

bercirikan seperti masih kentalnya fakta bahwa ada kecenderungan peserta didik

ditempatkan sebagai obyek, guru cenderung berfungsi sebagai pemegang otoritas

tertinggi keilmuan dan indroktinal, muatan materi masih bersifat subject-oriented,

dan dengan manajemen yang dominan masih sentralistik.

Kekeliruan orientasi ini ternyata pula membuat peneliti makin terkejut

ketika mengetahui pula bahwa walau sudah memakai KTSP, namun cara
4

pelaksanaannya masih tidak berubah itu pada faktanya bertentangan dengan

orientasi yang dianjurkan pemerintah. Pada Lampiran Permendikans RI nomor 22

tahun 2006 justeru disebutkan bahwa dalam setiap kesempatan pembelajaran

matematika, hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan

situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa

secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika dengan cara yang

nyaman dan efektif bahkan bila perlu dengan menggunakan teknologi seperti

komputer, alat peraga, atau media lainnya. (Supinah, 2011 : 1).

Dengan demikian, perubahan paradigma pembelajaran matematika menjadi

berorientasi pada proses bagaimana siswa dapat belajar dan memperoleh

pengalamannya sendiri ternyata harus segera disadari para guru dan segera

diterapkan. Orientasi pada proses yang dimaksud sebenarnya secara global dapat

dipahami maknanya dalam Permendiknas RI nomor 41 tahun 2007 yang

menyebutkan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar

dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan

memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang

cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemadirian sesuai bakat, minat,

perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (Supinah, 2011 : 1).

Oleh karena itu tindakan perbaikan pembelajaran termasuk pembelajaran

yang telah dilaksanakan peneliti sangat perlu untuk segera dilaksanakan. Namun

semua tindakan yang akan diambil harus betul-betul dibingkai dan dilandasi

dengan pendekatan dan strategi yang akomodatif dan terpercaya, mengingat


5

bahwa menurut Supinah (2011 : 1) transfer matematika khususnya mesti

dilakukan melalui proses pembelajaran yang terencana dan terpola, sehingga

pembelajaran itu menjadi tepat guna dan sasaran (efektif).

Realistic Mathematic Education (RME) atau Pembelajaran Matematika

Realistik (PMRI), sepertinya saat sekarang sudah menjadi pilihan paling mutakhir

dalam rangka membingkai dan melandasi para guru yang mengajar matematika

bagi siswanya. Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaan

berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan siswa menemukan kembali

(reinvention) matematika berdasarkan usaha mereka sendiri. (Agus & Supinah,

2009 : 70). Sedang menyangkut langkah pembelajaran di kelas, RME ini

memiliki ciri tersendiri yang membedakannya dengan pendekatan lain. Ciri itu

adalah bahwa siswa harus dibimbing ke arah aktivitas mengamati, menanyakan,

mencoba, menalar, dan membangun jejaring (5M).

Menimbang strategi 5M pada penerapan RME ini, maka model

pembelajaran yang paling tepat dalam rangka membangun langkah pembelajaran

kesebangunan dan kongruensi bagi siswa di kelas 5 ini adalah Group

Investigation atau Penyelidikan Kelompok. Dengan demikian dipandang tepat

menetapkan judul dari penelitian ini adalah “Meningkatkan Aktivitas dan Hasil

Belajar menggunakan Pendekatan Realistic Mathematic Education dengan Model

Pembelajaran Kooperatif tipe Group Investigation pada Sifat Kesebangunan

Kelas 5 SDN Tanjung Sungkai Kotabaru Tahun Pelajaran 2013-2014”.


6

B. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada dua hal saja yaitu :

1. Memahami gejala belajar dan pembelajaran yang timbul dalam proses

pembelajaran kesebangunan dan kongruensi pada siswa dalam situasi yang

dirancang menurut pendekatan RME dalam bingkai model pembelajaran

group investigation yang akan diukur dengan parameter kualitatif tertentu.

2. Mengetahui keberhasilan belajar kesebangunan dan kongruensi siswa dalam

situasi yang dirancang menurut pendekatan RME dalam bingkai model

pembelajaran group investigation yang akan diukur dengan parameter

kuantitatif tertentu.

C. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini ada dua yaitu :

1. Apakah aktivitas siswa kelas 5 SDN Tanjung Sungkai Kabupetan Kotabaru

TP 2013-2014 dalam pembelajaran kesebangunan dan kongruensi melalui

penerapan pendekatan RME dalam model group investigation akan

mengalami peningkatan ?

2. Apakah capaian hasil belajar siswa kelas 5 SDN Tanjung Sungkai Kabupetan

Kotabaru TP 2013-2014 dalam pembelajaran kesebangunan dan kongruensi

melalui penerapan pendekatan RME dalam model group investigation akan

meningkat ?
7

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan

informasi tentang :

1. Mendeskripsikan peningkatan aktivitas siswa kelas 5 SDN Tanjung Sungkai

Kabupetan Kotabaru TP 2013-2014 dalam pembelajaran kesebangunan dan

kongruensi melalui penerapan pendekatan RME dalam bingkai model

pembelajaran group investigation.

2. Mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa kelas 5 SDN Tanjung

Sungkai Kabupetan Kotabaru TP 2013-2014 dalam pembelajaran

kesebangunan dan kongruensi melalui penerapan pendekatan RME dalam

bingkai model pembelajaran group investigation.

E. Manfaat Hasil Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan sebagai berikut :

1. Teoritis

Proses dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

positif terhadap pengembangan teori dan konsep-konsep pembelajaran

khususnya kesebangunan dan kongruensi yang kegiatannya menggunakan

pendekatan RME dibingkai dalam model group investigation ini.

2. Praktis

a. Untuk siswa, penelitian ini diharapkan mampu membangkitkan semangat

untuk menemukan cara-cara belajar yang terbaik.


8

b. Untuk guru, penelitian ini diharapkan mampu memberikan bukti bahwa

pemilihan cara membelajarkan anak dengan cara terbaik dan tepat.

c. Untuk sekolah, penelitian ini diharapkan mampu menaikkan tingkat geliat

intelektual para guru di SDN Tanjung Sungkai ini dalam menjalankan

tugasnya untuk pengembangan profesionalitas dan karier.

d. Untuk Dinas Pendidikan Kabupaten Kotabaru, bahwa penelitian ini

diharapkan juga akan meningkatkan dukungan penuh dan fasilitas yang

menjamin, memudahkan, dan menjanjikan untuk para guru dalam

melakukan berbagai kegiatan penelitian, khususnya dalam tugas-tugasnya.

e. Untuk FKIP Universitas Lambung Mangkurat, penelitian ini diharapkan

mampu memberikan gambaran tentang pribadi mahasiswa yang belajar,

baik dari segi penguasaan ilmu-ilmu yang disajikan maupun segi

penerapannya.

F. Definisi Operasional

Secara rinci definisi-definisi penting mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Aktivitas belajar menurut Kunandar (2008) adalah keterlibatan siswa dalam

bentuk sikap, pikiran, perhatian, dan semua perilaku relevan dalam kegiatan

pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar dan

memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut. (Wahyu, 2011 : 9)

2. Hasil Belajar menurut Dimyati dan Mudjiono (2003) adalah tingkat capaian

perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum
9

belajar. Hal ini menjadi tolok ukur untuk menentukan seberapa besar tingkat

ketuntasan belajar. (Wahyu, 2011 : 11-12)

3. Kesebangunan adalah bila dua bangun datar yang bentuknya sama dengan

ukuran sisi-sisi salah satu bangun itu lebih pendek atau lebih panjang

berdasarkan kesenilaian dari bangun pembanding. (Gazali, 2010 : 206)

4. Kongruensi adalah bila dua buah bangun datar sebangun dan sama besarnya

yakni dengan syarat dua sisi dan sudut yang diapitnya sama dan jika sebuah

sisi dan dua sudut yang berada di sisi itu sama. (Negoro & Harahap, 1998 :

164)

5. Realistic Mathematic Education (RME) atau pada konteks Indonesia disebut

Pendekatan Matematika Realistik Indonesia adalah suatu teori pembelajaran

yang telah dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep matematika

realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan

matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana

meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan

daya nalar. (Agus & Supinah, 2009 : 71)

6. Group Investigation adalah model pembelajaran kooperatif yang mendorong

siswa selalu berfikir tentang suatu persoalan dan mereka mencari sendiri cara

penyelesaiannya, mereka akan lebih terlatih untuk berbicara (diskusi) dengan

menggunakan keterampilan pengetahuannya, sehingga pengetahuan dan

pengalaman belajar mereka akan tertanam untuk jangka waktuyang cukup

lama. (Handayani, 2008 : 15).

Anda mungkin juga menyukai