Anda di halaman 1dari 2

Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja.

Ketika Aristoteles
sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala
sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua
being) setelah buku bertitel ‘Fisika’. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai
‘Metafisika’. ‘Metafisika’ berarti sesudah ‘Fisika’, yang memang secara harfiah betul- betul buku
yang ditempatkan setelah buku ‘Fisika’ di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus
dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak
sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti
istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak
beberapa contoh upaya untuk menghancurkan metafisika, sehingga metafisika itu sendiri apa
bisa dengan lebih mudah dipahami. Dunia modern adalah dunia yang sempat ‘alergi’ dengan
metafisika. Tokoh paling brutal adalah David Hume (1711-1776). Filsuf Skotlandia ini
mengatakan bahwa manusia hanya mendapatkan
pengetahuannya dari segenap indranya saja. Apa yang tidak ia cerap dengan indra, maka itu
hanya omong kosong. Hume mengatakan bahwa manusia hanya berbasiskan kesan- kesan,
misalnya kesan tentang spidol adalah kenyataan bahwa ia sedang melihat spidol dalam wujudnya
yang sejati: berwarna hitam, ada tutupnya berwarna
putih. Setelah ia tidak melihat spidol itu, maka yang tersisa adalah gagasan tentang spidol, yang
merupakan fotokopi dari kesan. Kesimpulan Hume: Gagasan tanpa kesan adalah kosong. Dengan
pernyataan ini maka Hume sangat destruktif terhadap metafisika. Konsep- konsep khas
metafisika
seperti Tuhan, ruh, jiwa, malaikat, diri, atau substansi, dilemparkan ke tong sampah karena
Hume punya pertanyaan mematikan,
“Kesan apa yang mendasari gagasan tentang itu semua?” Immanuel Kant (1724-1804) sedikit
lebih toleransi terhadap
metafisika. Ia membagi dunia menjadi dua yaitu fenomena dan nomena. Fenomena adalah apa
yang tercerap indra, sedang nomena adalah apa yang di luar itu. Yang bisa kita perdebatkan,
teliti, observasi, dan eksperimentasi
hanyalah dunia fenomena, sedang dunia nomena kita tidak punya pengetahuan apapun
tentangnya. Ini sekaligus menyerang pemikiran Abad Pertengahan yang selalu
mencampuradukan
antara problem Ketuhanan dengan sains. Bagi Kant, sains ya sains, Tuhan ya Tuhan, keduanya
punya wilayah yang berbeda. Namun Kant menganggap konsep- konsep nomena tetaplah
penting sebagai tuntutan moral.
Kant memang toleransi terhadap metafisika, namun ia sekaligus menegaskan bahwa hal-hal yang
metafisik mustahil bisa kita telaah oleh sebab pengetahuan kita tentangnya adalah tidak ada.
August Comte (1798-1857) disebut sebagai Bapak Positivisme. Ia yang amat bersemangat dan
optimis bahwa kelak metafisika bisa dihancurkan
sepenuhnya jika ilmu pengetahuan terus mengalami kemajuan. Ia mengajukan tesisnya yaitu law
of three stages, bahwa masyarakat itu pada mulanya bertahap teologis, yaitu apa-apa
dihubungkan dengan jiwa yang bersemayam dalam benda-benda. Politeisme dan monoteisme
juga masuk dalam kategori ini. Tahap berikutnya, yang lebih maju adalah tahap metafisik, yaitu
manusia mulai mencari prinsip pertama dengan mengandalkan nalarnya. Sehingga segala sesuatu
disebut sebagai substansi, contohnya adalah Thales yang mengatakan alam semesta ini dari air.
Comte mengatakan bahwa tahap paling maju adalah tahap positif, yaitu ketika manusia bisa
memecahkan segala sesuatu dengan penjelasan saintifik yang berbasiskan observasi dan
eksperimen. Tahap ketiga ini adalah puncak, yang berarti manusia bisa mengontrol alam. Comte
juga sekaligus mau menegaskan bahwa metafisika lebih terbelakang dari cara berpikir positif
yang serba empirik. Ludwig Wittgenstein (1889 – 1951) dalam bukunya, Tractatus Logico
Philosophicus berpendapat bahwa dunia ini hanyalah sekumpulan fakta dan bukan terdiri atas
benda-benda. Fakta itu kemudian diberi nama, sehingga ia berkesimpulan bahwa: “Bahasa
adalah gambar fakta”. Jika ada faktanya, ada bahasanya, jika ada bahasanya, pasti ada faktanya.
Maka itu metafisika menjadi tidak mungkin, misalnya kalimat “Membunuh itu dosa” tidak punya
fakta apapun sehingga dianggap tak punya makna. Buku Wittgenstein ini diadopsi oleh para
ilmuwan yang menjuluki dirinya sebagai Positivisme Logis. Kaum Positivisme Logis
menyatakan kalimatnya yang terkenal, “Sebuah kalimat hanya bermakna jika bisa diverifikasi.”
Ini adalah momen penghancuran metafisika yang cukup berat karena metafisika diberantas mulai
dari yang paling subtil yakni: bahasa. Upaya penghancuran metafisika oleh
para pemikir di atas semoga memberikan gambaran sedikitnya tentang apa itu metafisika.
Pertanyaan selanjutnya adalah: Mungkinkah kita menghancurkan metafisika? Atau lebih jauh
lagi, bisakah kita menghindari metafisika?
Jika metafisika itu berkaitan dengan yang tidak kelihatan, maka itu yang tidak kelihatan itu
dianggap tidak ada, maka mari kita jabarkan seberapa banyak pengaruh yang tidak ada terhadap
ada: Dasar dari sains adalah generalisasi dari yang partikular ke universal. Ada penalaran di sana
yang menyatakan bahwa, “Dalam sepuluh
kali percobaan, air mendidih pada suhu 100 derajat celcius. Kesimpulannya, air selalu mendidih
pada 100 derajat celicus.” Generalisasi adalah suatu kegiatan metafisik, karena kita sebetulnya
tidak pernah melihat yang universal. Logika Aristoteles berupaya merumuskan cara berpikir
yang lurus, valid, dan logis. Agar dapat lurus, valid, dan logis, maka terdapat beberapa aksioma
atau hukum- hukum yang sifatnya pasti. Aksioma itu sendiri, bukankah sebuah metafisika? Ada
anekdot menarik antara astronot dan ahli bedah otak. Kata astronot, “Aku sudah ke bulan dan
tidak melihat Tuhan.” Kata ahli bedah otak, “Aku sudah membedah banyak otak tapi tidak
melihat satu pun pikiran.” Darimana David Hume tahu bahwa pengetahuan manusia hanyalah
sebatas kesan dan gagasan? Bukankah itu sebuah kesimpulan metafisik? Lalu lihat bagaimana
kaum Positivisme Logis tidak konsisten, bahwa pernyataan “Sebuah kalimat hanya bermakna
jika bisa diverifikasi” itu juga tidak bisa diverifikasi maka itu tidak bermakna. Wittgenstein pun
pada akhirnya menyadari keekstrimannya.
Katanya, “Mata bisa melihat dunia, tapi tidak bisa melihat mata itu sendiri. Peta bisa
menggambarkan
dunia, tapi tidak bisa menggambarkan peta itu sendiri. Bahasa bisa menjelaskan dunia, tapi
tidak bisa menjelaskan bahasa itu sendiri.” Wittgenstein kemudian menjadikan bahasa sejajar
dengan Tuhan karena sama-sama metafisika

Anda mungkin juga menyukai