DOSEN PENGAMPU
Dr. Endang Koenmarjati, M.Pd.
Dr. Hanif Pujiati
Disusun
O
L
E
H
Iis Sujarwati
7316110147
A. Dasar Pemikiran
Kajian Metafisika menjelaskan studi keberadaan atau realitas yang mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah surga dan neraka itu
ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Mengapa manusia perlu mengkaji metafisika? Manusia secara tidak sadar selalu memiliki
rasa ingin tahu tentang asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Setiap pengetahuan yang
diketahui oleh manusia membutuhkan penafsiran-penafsiran secara ilmu pengetahuan.
B. Fokus Bahasan
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini untuk memaparkan kajian metafisika yang merupakan
cabang ilmu filsafat yang mengkaji asal atau hakekat objek (fisik) di dunia secara mendasar.
Secara khusus tujuan penulisan ini untuk mengkaji:
D. Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan memberikan manfaat bagi seluruh pembaca guna menambah
wawasan pemikiran dalam memahami metafisika secara filsafati. Sepatutnya kajian keilmuan
atau wacana ilmiah yang merupakan pelajaran penting dikalangan perguruan tinggi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metafisika
1. Pengertian Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat
objek (fisik) di dunia. Dimana metafisika mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala
struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu
‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’?1[1] Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal atau
majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam ragam? Secara garis besar,
pandangan filsafat terkait dengan pokok soal tersebut dapat dikelompokan antara monisme dan
pluraisme, yang baik monisme maupun pluralisme dapat bersifat spiritualistis ataupun
materialistis.2[2]
Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar
bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran
metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia.
Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “ampuh” untuk menyibak semua realitas mendasar
dari segala yang ada.3[3] Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat
yang paling abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling
“tinggi” karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang
sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin
ataukah tidak. Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus
dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.4[4]
Dengan demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi teori
tentang realita.
2. Tafsiran Metafisika
1[1] Hunnex, MD. Chronological and Thematic Charts Of Philosophies and Philosopher
(Michigan: academie Books, 1986) h. 15.
2[2] Anton Baker, Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan
(Yogyakarta: Kanisius, 1992) h. 25-26.
4[4] Hamlyn, DW, “Metaphysics, History Of”, dalam Honderich, ed., 1993, h. 556 dalam makalah
Sindung Tjahyadi, Metafisika : Sebuah Kencan Singkat di Akhir Mei 2008, h. 1
Manusia memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang
dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural)
dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.
Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang
misalnya animisme. Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme.
Paham ini sangat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap
bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena
kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui. 5[5] Penganut
faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan menurut hukum kausalitas
(hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola bilyard tidak akan bergerak
kecuali karena ada bola yang menabraknya atau disodok oleh tongkat bilyard.
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos =
Ilmu. Jadi, Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut Istilah, Ontologi adalah
ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, akan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstract.6[6]sedangkan menurut Jujun S. Suriassumantri dalam
Pengantar Ilmu Dalam Persepektif mengatakan, ontology membahas apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai
teori tentang “ada”.7[7]
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory.
Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang
5[5] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Edisi Revisi (Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2006), hal.26
6[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 134d
7[7] Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat, dalam Ilmu dalam Persepektif dalam Amsal
Bahtiar, Filsafat IIlmu, Edisin Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011) h. 133.
mengitari teori ilmu pengetahuan8[8]. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep
ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) dan
ma’lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-
usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting
dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja
menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap
patut diterima dan apa yang patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang
benar/episteme/diklasifikasi, disusun sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi
epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang
mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali
kebenarannya.
Berikut adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika. 11[11] Alfred, J. Ayer
menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak dahulu
sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunanya, problem yang
diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu, artinya permasalahan yang tidak
memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut. Dan Katsoff
menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism, materialism,
dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang lain adalah Luwig
Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically, hal-hal yang tak dapat
8[8] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006)h. 124
9[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis.
10[10] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science.
Hal. 517
Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni
ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar, antara
lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan metafisika,
misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat dipecahkan oleh
paradigm keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu memecahkan masalah dan
membutuhkan paradigm baru, pemecahan masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil
perenungan metafisik yang dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intuitif, hingga
dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan
atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis dan paradigm baru untuk
memecahkan masalah yang ada.
Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah pada
fundamental ontologisnya. Sumbangan metafisika pada ilmu pengetahuan adalah
persinggunggan antara metafisika dan ontology dengan epistimologi. Dalam metafisika yang
mempertanyakan apakah hakikat terdalam dari kenyataan yang diantaranya dijawab bahwa
hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka munculah paham materialism, sedangkan
dalam epistimologi yang dimulai dari pertanyaan bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan? Descartes telah menjelaskan bahwa kita memperoleh pengetahuan melalui akal
dan dari pemikiran tersebut maka munculah rasionalisme. Sedangkan John Locke telah
menjawab pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah
melahirkan aliran empirisme.12[12] Sedangkan berbagai perdebatan lainnya dalam metafisika
12[12] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science.
Hal. 305
mengenai realitas, ada tidak dan lainnya sebagaimana telah dikemukan di dalam telah
melahirkan berbagai pandangan berbeda satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai
aliran pemahaman yang lazim dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal, ketika pemahaman-
pemahaman aliran-aliran filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah epistimologi atau
dihadapkan pada fenomena dinamika perkembangan illmu pengetahuan.
Metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi atau
intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para metafisikus
menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang
khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen sangat diperlukan untuk pengembangan
ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual,
maka metafisika mengajarkan mengenai cara berpikir yang serius dan mendalam tentang
hakikat-hakikat segala sesuatu yang bersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap
ingin tahu yang tinggi sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika
mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai kebenaran yang paling
akhir.
Axiologi (teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu
pengetahuan bagi manusia13[13]. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu
itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-
norma moral?
Dengan demikian Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran
(ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta
penerapan ilmu.
14[14] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science.
Hal.516
16[16] Ibid
BAB III
KESIMPULAN
Konsep keilmuan semestinya mengalami proses panjang dalam menemukan suatu esensi
yang bernilai untuk dikaji dan apa semestinya yang menjadi kajian penting dalam suatu disiplin
ilmu. Dalam hal ini memberikan kesimpulan bahwa:
Pertama Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau
hakekat objek (fisik) di dunia yang didasarkan pada faham Supranaturalisme, naturalisme,
dualistik serta paham-paham yang dilahirkannya.
Kedua, Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan mencari kebenaran yang paling akhir untuk
mendapatkan pengetahuan/fundamental ontologisnya dan Epistimoliginya sebagai cara yang
digunakan mendapatkan pengetahuannya.
Ketiga, Manfaat Metafisika, aksiology, dalam Ilmu untuk menelaah lebih jauh konsep
keilmuan yang selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru dalam menunjang kejayaan
manusia dalam berfikir dan menganalisis.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2007.
S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Dalam Persepektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Siswanto, Joko. Metafisika Sistematik. Yogyakarta: Penerbit Taman Pustaka Kristen, 2004.
Psillos, Stathis. Ebook Philosophy of Science A-Z. Britain: Edinburg University Press, 2007.
Gabbay, Dov. M, dkk. Ebook of General Philosophy of Science. Netherland: North-Holland – Elsevier,
2007.
Hunnex, MD. Chronological and Thematic Charts Of Philosophies and Philosopher, Michigan:
academie, 2007.
http://mochammadirfan99.com/2010/12/makalah-ontologi-ilmu-pengetahuan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis
Baker, Anton. Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.