Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fobia adalah suatu ketakutan yang irasional yang jelas,


menetap dan berlebihan terhadap suatu objek spesifik, keadaan atau
situasi. Berasal dari bahasa yunani, yaitu Fobos yang berarti
ketakutan.1
Fobia merupakan suatu gangguan jiwa, yang merupakan salah
satu tipe dari Gangguan Ansietas, dan dibedakan ke dalam tiga jenis
berdasarkan jenis objek atau situasi ketakutan yaitu Agorafobia, Fobia
Spesifik dan Fobia Sosial. Istilah Agorafobia pertama kali dipakai
tahun 1871 untuk meng-gambarkan kondisi pasien yang ketakutan
terhadap ruang terbuka, orang banyak serta adanya kesulitan untuk
segera menyingkir ke tempat aman. Menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV-TR),
agorafobia berhubungan erat dengan gangguan panik, 10 hingga 15
persen orang dengan gangguan panik juga memiliki gangguan depresif
berat. Gangguan ansietas juga lazim ditemukan pada orang dengan
gangguan panik dan agorafobia. 15 sampai 30 persen orang dengan
gangguan panik juga memiliki fobia social, 15 sampai 30 persen
memiliki gangguan ansietas menyeluruh, dan 15 sampai 30 persen
memiliki gangguan obsesif kompulsif, keadaan lazimnya adalah
hipokondriasis, gangguan kepribadian, dan gangguan terkait zat,
namun International Classification of Diseases (ICD) tidak
mengkaitkan gangguan panik dengan agorafobia dan kasus-kasus
agorafobia didapati dengan atau tanpa serangan panik. Diperkirakan
prevalensi agorafobia adalah 2-6%, walaupun fobia sering dijumpai
namun sebagian besar pasien tidak mencari bantuan untuk
mengatasinya atau tidak terdiagnosis secara medis.1,7
2

Agorafobia dapat timbul pada penderita yang tidak mengalami


serangan panik, akan tetapi sebagian besar penderita yang datang
untuk pengobatan mempunyai riwayat serangan panik ataupun
gangguan fobia sosial yang sangat berat yang menimbulkan simptom
yang mirip dengan serangan panik. Penderita agorafobia pada
umumnya menghindari tempat ramai karena takut terjadi serangan
panik dan merasa malu jika ada orang yang melihat usahanya untuk
melarikan diri dari situasi tersebut. Akibatnya, orang yang menderita
agorafobia dapat mengalami masalah kehidupan yang sangat berat
karena tidak mampu pergi dari rumah(tempat yang dirasanya aman)
baik untuk bekerja, membeli kebutuhan hariannya maupun untuk
bersosialisasi.2,3,4
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agorafobia
2.1.1 Definisi

Agorafobia didefinisikan sebagai ketakutan berada sendirian di


tempat-tempat publik (sebagai contoh; supermarket), khususnya
tempat dari mana pintu keluar yang cepat akan sulit jika orang
mengalami serangan panik.3

2.1.2 Epidemiologi

Agorafobia maupun gangguan panik dapat berkembang pada


setiap usia dengan usia rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25 tahun.
Prevalensi seumur hidup agorafobia dilaporkan terentang antara 0,6
persen sampai setinggi 6 persen. Dan pada penelitian yang dilakukan
di lingkungan psikiatrik dilaporkan sebanyak tiga perempat pasien
yang terkena agorafobia juga menderita gangguan panik. Hasil yang
berbeda ditemukan pada lingkungan masyarakat di mana separuh dari
pasien yang menderita agorafobia tidak menderita gangguan panik.
Perbedaan hasil penelitian dan rentang prevalensi yang lebar
diperkirakan karena kriteria diagnostik yang bervariasi dan metode
penilaian yang berbeda.3,4

2.1.3 Etiologi

Etiologi untuk agorafobia belum diketahui secara pasti, tapi


patogenesis fobia berhubungan dengan faktor-faktor biologis, genetik
dan psikososial.1,3,4

2.1.3.1 Faktor Biologis


4

Penelitian dilakukan diarea dengan penggunaan stimulan


biologis untuk mencetuskan serangan panik pada pasien dengan
gangguan panik. Studi ini dan studi lainnya menghasilkan hipotesis
yang melibatkan disregulasi sistem saraf perifer dan pusat dalam
patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf otonom pada sejumlah
pasien dengan gangguan panik dilaporkan menunjukkan beberapa
abnormalitas , walaupun studi-studi ini menghasilkan temuan yang
tidak konsisten. 3

Sistem neurotransmitter utama yang terlibat adalah


norepineprin, serotonin, dan gama-aminobutirat (GABA). Disfungsi
serotonergik cukup terlihat pada gangguan panik dan berbagai studi
dengan obat campuran agonis-antagonis serotonin menunjukkan
peningkatan angka ansietas. Respons tersebut dapat disebabkan oleh
hipersensitivitas serotonin pascasinaps pada gangguan panik. Terdapat
bukti praklinis bahwa melemahnya transmisi inhibisi lokal GABA
anergik di amigdala basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat
mencetuskan respons fisiologis mirip ansietas pada orang dengan
gangguan panik. 3

Dan keberhasilan farmakoterapi dalam mengobati fobia sosial


dan penelitian lain yang menunjukkan adanya disfungsi dopaminergik
pada fobia sosial mendukung adanya faktor biologis. Agorafobia
diperkirakan dipicu oleh gangguan panik. Data penelitian
menyimpulkan bahwa gangguan panik memiliki komponen genetik
yang jelas, juga menyatakan bahwa gangguan panik dengan
agorafobia adalah bentuk parah dari gangguan panik, dan lebih
mungkin diturunkan.1,3,4,5
2.1.3.2 Faktor Genetik
walaupun studi yang terkontrol baik mengenai dasar genetic.
Gangguan panik dan agorafobia jumlahnya sedikit. Data saat ini
mendukung kesimpulan bahwa gangguan ini memiliki komponen genetic
5

yang khas. Disamping itu, sejumlah data menunjukkan bahwa gangguan


panik dengan agorafobia adalah bentuk parah gangguan panik sehingga
lebih sering diturunkan.3
2.1.3.3 Faktor Psikososial
Dari faktor psikososial, penelitian menyimpulkan bahwa anak-
anak tertentu yang ada predisposisi konstitusional terhadap fobia,
memiliki temperamen inhibisi perilaku terhadap yang tidak dikenal
dengan stres lingkungan yang kronis akan mencetuskan timbulnya fobia.
Misalnya perpisahan dengan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga
dapat mengaktifkan diatesis laten pada anak-anak yang kemudian akan
menjadi gejala yang nyata. Menurut Freud, fobia yang disebut sebagai
histeria cemas disebabkan tidak terselesaikannya konflik oidipus masa
anak-anak. Objek fobik merupakan simbolisasi dari sesuatu yang
berhubungan dengan konflik.1,3,4,5

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis agorafobia berdasarkan gejala ansietas dan fobia


yang tampak jelas. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik
Gangguan Jiwa Edisi ke III(PPDGJ-III), diagnosis pasti agorafobia
harus memenuhi semua kriteria dengan adanya gejala ansietas yang
terbatas pada kondisi yang spesifik yang harus dihindari oleh
penderita.

Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Untuk Agorafobia6


Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti :
(a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
(b) Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi
dalam hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut:
6

banyak orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar


rumah, dan bepergian sendiri; dan
(c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala
yang menonjol (penderita menjadi “house-bound”).

Sedangkan menurut DSM-IV, agorafobia dapat digolongkan


atas gangguan panik dengan agorafobia dan agorafobia tanpa
gangguan panik. Dengan kriteria diagnosis sebagai berikut:

Tabel 2.2 Kriteria Diagnostik untuk Agorafobia Tanpa Riwayat


Gangguan Panik3,4

A. Adanya agorafobia berhubungan dengan rasa takut mengalami


gejala mirip panik (misalnya, pusing atau diare).
B. Tidak pernah memenuhi kriteria untuk panik.
C. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu
kondisi medis umum.
D. Jika ditemukan suatu kondisi medis umum yang berhubungan,
rasa takut yang dijelaskan dalam kriteria A jelas melebihi dari
apa yang biasanya berhubungan dengan kondisi.

Selain itu, DSM-IV-TR juga menetapkan kriteria diagnostik


untuk agorafobia
Tabel 2.3 Kriteria untuk Agorafobia2,3,4

Catatan: Agorafobia bukan merupakan gangguan yang dapat


dituliskan. Tuliskan diagnosis spesifik di mana agorafobia panik
terjadi (misalnya, gangguan panik dengan agorafobia atau agorafobia
tanpa riwayat gangguan panik).
7

A. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi dari


mana kemungkinan sulit meloloskan diri (atau merasa malu)
atau di mana mungkin tidak terdapat pertolongan jika
mendapatkan serangan panik atau gejala mirip panik yang
tidak diharapkan atau disebabkan oleh situasi. Rasa takut
agorafobik biasanya mengenai kumpulan situasi karakteristik
seperti di luar rumah sendirian; berada di tempat ramai atau
berdiri di sebuah barisan; berada di atas jembatan; atau
bepergian dengan bis, kereta, atau mobil.
Catatan: Pertimbangkan diagnosis fobia spesifik jika
penghindaran adalah terbatas pada satu atau hanya beberapa
situasi spesifik, atau fobia sosial jika penghindaran terbatas
pada situasi sosial.
B. Situasi dihindari (misalnya, jarang bepergian) atau jika
dilakukan adalah dilakukan dengan penderitaan yang jelas atau
dengan kecemasan akan mendapatkan serangan panik atau
gejala mirip panik, atau perlu didampingi teman.
C. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain, seperti fobia sosial
(misalnya, penghindaran terbatas pada situasi sosial karena
rasa takut terhadap situasi tertentu seperti di elevator),
gangguan obsesif-kompulsif (misalnya, menghindari kotoran
pada seseorang dengan obsesi tentang kontaminasi), gangguan
stres pascatraumatik (misalnya, menghindari stimuli yang
berhubungan dengan stressor yang berat), atau gangguan
cemas perpisahan (misalnya, menghindari meninggalkan
rumah atau sanak saudara).

2.1.5 Gambaran Klinis


8

Pasien dengan agorafobia menghindari situasi di saat sulit


mendapat bantuan. Lebih suka ditemani kawan atau anggota keluarga
di tempat tertentu, seperti jalan yang ramai, toko yang padat, ruang
tertutup (seperti terowongan, jembatan, lift), kendaraan tertutup
(seperti kereta bawah tanah, bus, dan pesawat terbang). Mereka
menghendaki ditemani setiap kali harus keluar rumah. Perilaku
tersebut sering menyebabkan konflik perkawinan dan keliru
didiagnosis sebagai masalah primer. Pada keadaan parah mereka
menolak keluar rumah dan mungkin ketakutan akan menjadi gila.1,3,4
Gejala depresif sering kali ditemukan pada serangan panik dan
agorafobia, dan pada beberapa pasien suatu gangguan depresif
ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik. Penelitian telah
menemukan bahwa risiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan
gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa
gangguan mental. Klinisi harus menyadari risiko bunuh diri ini.1,3,4

2.1.6 Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Sebagian besar kasus agorafobia diperkirakan disebabkan oleh


gangguan panik. Jika gangguan panik diobati, agorafobia sering kali
membaik dengan berjalannya waktu. Untuk mendapatkan reduksi
agorafobia yang cepat dan lengkap, terapi perilaku kadang-kadang
diperlukan. Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik sering kali
menyebabkan ketidakberdayaan dan kronis. Gangguan depresif dan
ketergantungan alkohol sering kali mengkomplikasi perjalanan
agorafobia.1,3,4

2.1.7 Diagnosa Banding

Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat


gangguan panik adalah semua gangguan medis yang dapat
menyebabkan kecemasan atau depresi. Diagnosis banding psikiatrik
adalah gangguan depresif berat, skizofrenia, gangguan kepribadian
9

paranoid, gangguan kepribadian menghindar, di mana pasien tidak


ingin keluar rumah dan gangguan kepribadian dependan karena pasien
harus selalu ditemani setiap keluar rumah.3,4

2.1.8 Pengobatan

Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan


dramatik pada gejala gangguan panik dan agorafobia. Dua terapi yang
paling efektif adalah farmakoterapi dan terapi kognitif –perilaku.
Terapi keluarga dan kelompok mungkin membantu pasien yang
menderita dan keluarganya untuk menyesuaikan dengan kenyataan
bahwa pasien menderita gangguan dan dengan kesulitan psikososial
yang telah dicetuskan oleh gangguan.3,4
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengobati gangguan
panik karena agorafobia pada umumnya disebabkan oleh gangguan
panik. Diharapkan dengan perbaikan gangguan panik maka agorafobia
juga akan semakin membaik. Semua obat golongan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) efektif untuk gangguan panik.
Paroksetin memiliki efek sedatif dan cenderung membuat pasien
tenang sehingga menimbulkan kepatuhan yang lebih besar serta putus
minum obat yang lebih sedikit. Jika efek sedasi paroksetin tidak dapat
ditoleransi, maka dapat diganti dengan fluoxetin. Obat lain yang biasa
digunakan adalah dari golongan Benzodiazepin karena memiliki
awitan kerja untuk panik yang paling cepat, sering dalam minggu
pertama, dan dapat digunakan untuk periode waktu yang lama tanpa
timbul toleransi terhadap antipanik.3,4
Alprazolam (Xanax) dan paroxetine (paxil) adalah dua obat
yang disetujui FDA untuk terapi gangguan panik. Umumnya
pengalaman menunjukkan keunggulan selektif serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) dan clomipramine (anfranil) daripada
benzodiazepine, monoamine oxsidase inhibitor (MAOI), dan obat
trisiklik serta tetrasiklik dalam efektifitas dan toleransi efek yang
10

merugikan. Sejumlah kecil laporan mengajukan peranan nefazodon


(Serzone) dan venlafaksin (Effexor), serta buspiron (BuSpar)
diusulkan sebagai obat tambahan pada sejumlah kasus. Suatu
pendekatan konservatif adalah memulai dengan paroxetine, sertraline
atau fluvoxamine pada gangguan panik terisolasi. Jika diinginkan
kendali yang cepat terhadap gejala yang parah pemberian alprazolam
harus dimulai bersamaan dengan SSRI diikuti penurunan dosis
benzodiazepine secara perlahan. Pada penggunaan jangka panjang,
fluoxetine adalah obat efektif untuk panik yang bersamaan dengan
depresi.1

a. Seletive serotonin reuptake inhibitor


Semua SSRI efektif untuk gangguan panik. Paroxetin memiliki
efek sedatif dan cenderung segera membuat pasien tenang sehingga
menimbulkan kepatuhan yang lebih besar serta putus minum obat
yang lebih sedikit. Fluoxamine dan sertralin adalah obat berikutnya
yang paling baik ditoleransi. Satu pendekatan bagi pasien dengan
gangguan panik adalah dengan memulai paroxetine 5-10 mg /hari
selama 1-2 minggu kemudian dosisnya ditingkatkan 10 mg/hari setiap
1-2 minggu hingga maksimum 60 mg. Jika sedasi tidak dapat
ditoleransi dosis paroxetine diturunkan bertahap hingga 10 mg/hari
dan diganti
menjadi fluoxetine pada 10 mg/hari dan dititrasi meningkat secara
perlahan. Strategi lain dapat digunakan berdasarkan pengalaman
klinisi.1
b. Benzodiazepin
Benzodiazepin memiliki awitan kerja untuk panik yang paling
cepat, sering dalam minggu pertama, dan dapat digunakan untuk
periode waktu yang lama tanpa timbul toleransi terhadap efek anti
panik. Alprazolam adalah benzodiazepine yang paling luas digunakan
untuk gangguan panik tetapi studi menunjukkan lorazepam atau
Ativan memiliki efisiensi yang sama, dan pada laporan kasus juga
11

menunjukkan bahwa klonazepam atau klonopin dapat efektif. Setelah


4-12 minggu dosis benzodiazepine dapat diturunkan sementara obat
serotonergik diteruskan. Keberatan utama para klinisi mengenai
benzodiazepine adalah potensi ketergantungannya, gangguan kognitif,
dan penyalahgunaan terutama setelah penggunaan jangka panjang.
Pasien harus diperingatkan untuk tidak menyetir atau mengoperasikan
peralatan yang berbahaya selama mengkonsumsi benzodiazepine.1,3,4
c. Obat trisiklik dan tertrasiklik
Menurut data diantara obat-obat trisiklik clomipramine dan
imipramine (tofranil) adalah obat yang paling efektif untuk terapi
gangguan panik. Pengalaman klinis menunjukkan dosis harus
dinaikkan perlahan untuk menghindari stimulus berlebihan dan bahwa
seluruh manfaat klinis membutuhkan dosis utuh dan mungkin belum
dicapai selama 8-12 minggu. Obat-obatan trisiklik lebih sedikit
digunakan daripada SSRI karena obat trisiklik umunya memiliki efek
simpang lebih berat pada dosis lebih tinggi yang diperlukan untuk
terapi yang lebih efektif bagi gangguan panik.1,3,4
d. Monoamine oxidase inhibitor
Data terkuat menyokong efektifitas fenelzin (nardil) dan
sejumlah data juga menyokong tranil sifromin (parnate).
Kemungkinan MAOI menyebabkan stimulasi berlebihan lebih kecil
daripada SSRI atau trisklik tapi obat ini memerlukan dosis penuh
selama sedikitnya 8-12 minggu agar efektif.1,3,4
e. Tidak respons terhadap terapi
Jika pasien gagal memberikan respon terhadap salah satu
golongan maka golongan obat lain harus dicoba. Data terkini
menunjukkan nefazodon dan fenlafaxin efektif untuk digunakan.
Laporan kasus mengesankan efektifitas carbamazepine, valproate, dan
inhibitor saluran kalsium.1,3,4
f. Durasi farmakoterapi
12

Durasi farmakoterapi efektif apabila terapi diteruskan selama


8-12 bulan. Data menunjukkan bahwa gangguan panik adalah keadaan
kronik mungin seumur hidup dan kambuh jika terapi dihentikan. Studi
melaporkan bahwa dari 30 hingga 90 persen pasien dengan gangguan
panik yang mengalami keberhasilan terapi mengalami kekambuhan
ketika obatnya dihentikan. Pasien cenderung kambuh jika mereka
telah diberikan benzodiazepin dan terapi benzodiazepin diakhiri
sedemikian rupa sehingga menimbulkan gejala putus obat.1,3,4

2.1.8.1 Terapi Perilaku dan Kognitif

a. terapi kognitif. Dua focus utama terapi kognitif gangguan


panik adalah instruksi mengenai keyakinan salah pasien
dan informasi mengenai serangan panik. Instruksi
mengenai keyakinan yang salah berpusat pada
kecenderungan pasien untuk salah mengartikan sensasi
tubuh ringan sebagai tanda khas akan terjadinya serangan
panik, ajal, atau kematian. Informasi mengenai serangan
panik mencakup penjelasan bahwa, ketika serangan panik
terjadi, serangan ini terbatas waktu dan tidak mengancam
nyawa. 3,4

b. Aplikasi Relaksasi. Tujuan aplikasi relaksasi (contohnya


pelatihan relaksasi Herbert Benson) adalah memberikan
pasien rasa kendali mengenai tingkat ansietas dan
relaksasi.3,4,5

c. Pelatihan pernapasan. Karena hiperventilasi yang


berhubungan dengan serangan panik mungkin berkaitan
dengan sejumlah gejala seperti pusing dan pingsan, satu
pendekatan langsung untuk mengendalikan serangan panik
adalah melatih pasien mengendalikandorongan untuk
melakukan hiperventilasi. Setelah pelatihan seperti itu,
13

pasien dapat menggunakan teknik itu untuk membantu


mengendalikan hiperventilasi selama serangan panik.3,4

d. Pajanan in vivo. Merupakan terapi prilaku yang lazim


untuk gangguan pank. Teknik ini meliputi pemajanan
pasien terhadap stimulus yang ditakuti yang semakin lama
semakin berat; dari waktu ke waktu pasien mengalami
desentisasi terhadap pengalaman tersebut.3,4

e. Terapi Keluarga. Keluarga pasien dengan gangguan panik


dan agorafobia juga mungkin telah dipengaruhi oleh
gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang
ditujukan pada edukasi dan dukungan sering
bermanfaat.3,4,5

f. Psikoterapi Berorientasi Tilikan. Psikoterapi berorientasi


tilikan dapat memberi keuntungan di dalam terapi
gangguan panik dan agorafobia. Terapi berfokus membantu
pasien mengerti ansietas yang tidak disadari yang telah
dihipotesiskan, simbolisme situasi yang dihindari,
kebutuhan untuk menekan impuls, dan keuntungan
sekunder gejala tersebut. Suatu resolusi konflik pada masa
bayi dini dan oedipus dihipotesiskan berhubungan dengan
resolusi stres saat ini.3,4,5

g. Psikoterapi Kombinasi dan Farmakoterapi. Bahkan ketika


farmakoterapi efektif menghilangkan gejala primer
gangguan panik dan agorafobia, psikoterapi dapat
dibutuhkan untuk menterapi gejala sekunder. Intervensi
psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut
keluar rumah. Di samping itu, beberapa pasien akan
menolak obat karena mereka yakin bahwa obat akan
menstigmatisasi mereka sebagai orang sakit jiwa sehingga
14

intervensi terapeutik dibutuhkan untuk membantu mereka


mengerti dan menghilangkan resistensi mereka terhadap
farmakoterapi.3,4,5

BAB III
15

KESIMPULAN

Istilah Agorafobia pertama kali dipakai tahun 1871 untuk


meng-gambarkan kondisi pasien yang ketakutan berada sendirian di
tempat-tempat publik (sebagai contoh, supermarket), khususnya
tempat dari mana pintu keluar yang cepat akan sulit jika orang
mengalami serangan panik. Agorafobia dapat terjadi pada setiap usia,
dengan rata-rata usia 25 tahun. Etiologi untuk agorafobia belum
diketahui secara pasti, tapi patogenesis fobia berhubungan dengan
faktor-faktor biologis, genetik dan psikososial, agorafobia sering
didahului oleh adanya serangan panik dan dapat juga timbul karena
adanya permasalahan psikososial yang tidak teratasi. Penegakan
diagnosa dapat menggunakan kriteria PPDGJ-III maupun DSM IV
TR. Penderita agorafobia memiliki gejala ansietas yang muncul pada
kondisi yang spesifik. Diagnosis banding agorafobia adalah segala
kondisi medis yang dapat menimbulkan kecemasan. Sedangkan
diagnosis banding psikiatrinya dapat berupa gangguan depresi,
skizofrenia, gangguan kepribadian paranoid, gangguan kepribadian
menghindar, dan gangguan kepribadian dependan. Pengobatan
farmakologi agorafobia dapat diberikan SSRI, benzodiazepin, obat
trisiklin dan tetrasiklik, monoamine oxidase inhibitor. Terapi
nonfarmakologi yaitu terapi prilaku dan kognitif, terpai kognitif
merupakan yang paling baik bagi penderita agorafobia adalah
mengobati gangguan paniknya serta terapi perilaku dan kognitif.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira, SD.; Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta:2010. 242-249

2. Nolen-Hoeksema, Susan. Abnormal Psychology,4th ed. McGraw-


Hill, New York: 2007. 232-233

3. Sadock BJ; Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis, 2nd ed.EGC,
Jakarta:2004. 237-241

4. Kaplan HI,Sadock BJ, dan Grebb JA. Sinopsis Psikiatri, Jilid II.
Binarupa Aksara. Tangerang: 2010. 33-46

5. Halgin RP, Whitbourne SK. Abnormal Psychology Clinical


Perspectives on Psychological Disorders. McGraw-Hill, New
York:2009. 144-148

6. Maslim, Rusdi.Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari


PPDGJ- III. FK Unika Atmajaya. Jakarta:2001. 72

7. Yaunin Y. Gangguan Panik dengan Agorafobia. FK Universitas


Andalas.

Anda mungkin juga menyukai