Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aspek Lalu Lintas

2.1.1. Klasifikasi Fungsi Jalan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 tahun 2006


tentang jalan, klasifikasi jalan menurut fungsinya terbagi menjadi empat jalan yaitu:

1. Jalan Arteri
Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanannya jarak jauh, dengan kecepatan rata-rata tinggi dan
jumlah jalan masuk ke jalan ini sangat dibatasi secara berdaya guna
2. Jalan Kolektor
Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan
jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal
Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak pendek, kecepatan rata-rata rendah
dan masuk tidak dibatasi.
4. Jalan Lingkungan
Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak pendek, kecepatan rata-rata rendah
dan jalan masuk dibatasi.

2.1.2. Sistem Jaringan Jalan

Seperti dalam Undang-Undang Republik Inonesia No. 38 Tahun 2004 pasal 7


dan 8 yang diatur pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006

4
5

pasal 7, 8, 10, dan 11 jaringan jalan berdasarkan fungsinya diklasifikasikan dalam


beberapa jenis yaitu:

1. Sistem Jaringan Jalan Primer


Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:
a. Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan dan
b. Menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.

Berdasarkan fungsi/peranan jalan dibagi atas :


1) Jalan Arteri Primer
Menghubungkan secara berdaya guna antar pusat kegiatan nasional dengan
pusat kegiatan wilayah.
2) Jalan Kolektor Primer
Menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan
pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah, atau Antara pusat kegiatan
wilayah dengan pusat kegiatan lokal.
3) Jalan Lokal Primer
Menghubungkan secara beradaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat
kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan
lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat
kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.
4) Jalan Lingkungan Primer
Menghubungkan antar pusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan
di dalam lingkungan kawasan perdesaan.
6

2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder


Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara
menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu,
fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke
persil.
Fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dibagi atas :
1) Jalan Arteri Sekunder
Menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau
menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan sekunder satu, atau
sekunder kesatu dengan sekunder kedua.
2) Jalan Kolektor Sekunder
Menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua
dengan kawasan sekunder ketiga.
3) Jalan Lokal Sekunder
Menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan perumahan,
kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke perumahan.
4) Jalan Lingkungan Sekunder
Menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan.

2.1.3. Klasifikasi Kelas Jalan

Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk


menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam Muatan Sumbu Terberat (MST) dalam
satuan ton. Adapun klasifikasi jalan tersebut adalah seperti tercantum dalam tabel
berikut:
7

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan


Lebar Panjang Muatan Sumbu
Fungsi Kelas Kendaraan Kendaraan Terberat (MST)
(m) (m) (ton)
I > 2,50 > 18,00 > 10
Arteri II > 2,50 > 18,00 10
III A > 2,50 > 18,00 8
III A > 2,50 > 18,00
Kolektor 8
III B > 2,50 > 12,00
Lokal III C > 2,10 > 9,00 8
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan

2.1.4 Klasifikasi Status dan Wewenang Pembinaannya

Klasifikasi jalan umum menurut status dan wewenang pembinaannya, sesuai


dengan Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2006 tentang jalan
Bab II pasal 25 dapat dikelompokkan atas Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan
Kabupaten/Kotamadya, Jalan Kota, Jalan Desa.

2.1.5 Klasifikasi Medan Jalan


Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan
medan yang diukur tegak lurus garis kontur, seperti yang tercantum pada tabel
berikut ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi Medan Jalan


Kemiringan Medan
No Jenis Medan Notasi
(%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3 – 25
3 Pegunungan G > 25
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997
8

2.1.6 Tipe Jalan

Berbagai tipe jalan akan memberikan kinerja yang berbeda pada pembebanan
lalu lintas. Pada tabel dapat dilihat kondisi dasar dari masing-masing tipe jalan
berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997, yang dapat digunakan sebagai
acuan untuk menentukan tipe jalan.

2.2. Volume Lalu Lintas


Menurut Sukirman (1994:42), volume digunakan sebagai pengukur jumlah
dari arus lalu lintas. Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang
melintasi satu titik pengmatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume
adalah sebuah perubah (variabel) yang paling penting pada teknik lalu lintas dan pada
dasarnya merupakan proses perhitungan yang berhubungan dengan jumlah gerakan
per satuan waktu pada lokasi tertentu. Adapun persamaan yang digunakan untuk
menentukan volume lalu lintas adalah sebagai berikut:
𝑛
q=𝑇

Dimana : q = Volume lalu lintas yang melalui suatu titik


n = Jumlah kendaraan yang melewati titik tersebut dalam interval T
T = Interval waktu pengamatan
Jumlah gerakan yang dihitung dapat meliputi hanya tiap moda lalu lintas saja,
seperti : pejalan kaki, mobil, bus atau mobil barang atau kelompok-kelompok
campuran moda. Adapun periode-periode waktu yang dipilih tegantung pada tujuan
studi, konsekuensinya, tingkat ketepatan yang dipersyaratkan akan menentukan
frekuensi, jangka waktu dan pembagian arus tertentu. Studi-studi volume lalu lintas
pada dasarnya bertujuan untuk menetapkan : (1) nilai kepentingan relative suatu rute,
(2) fluktuasi dalam arus, (3) distribusi lalu lintas pada sebuah sistem jalan, (4)
kecenderungan pemakai jalan (Hobbs, 1995).
9

2.3. Pengertian Kecepatan


Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan
dibagi waktu tempuh. Biasanya dinyatakan dalam kilometer per jam (km/jam).
Kecepatan ini menggambarkan nilai gerak dari kendaraan. Perencanaan jalan yang
baik harus berdasarkan kecepatan yang dipilih sesuai dengan kondisi dan fungsi jalan
yang diharapkan. Hobbs, F.D (1995:86), menyatakan bahwa, kecepatan umumnya
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Kecepatan setempat (spot speed) adalah kecepatan kendaraan pada suatu saat
diukur dari suatu tempat yang ditentukan.
2. Kecepatan begerak (running speed) adalah kecepatan kendaraan rata-rata pada
suatu jalur saat kendaraan bergerak dan didapat dengan membagi panjang jalur
dengan lawa waktu kendaraan bergerak menempuh jalur tersebut.
3. Kecepatan perjalanan (journey speed) adalah kecepatan efektif kendaraan yang
sedang dalam perjalanan Antara dua tempat dan merupakan jarak Antara dua
tempat dibagi dengan lama waktu bagi kendaraan untuk menyelesaikan Antara dua
tempat tersebut, dengan lama waktu yang termasuk di dalamnya waktu berhenti
yang ditimbulkan oleh hambatan (penundaan) lalu intas.

Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, manual


menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan, karena
mudah dimengerti dan diukur, dan merupakan masukan yang penting untuk biaya
pemakai jalan dalam analisa ekonomi. Kecepatan tempuh didefinisikan dalam manual
ini sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen
jalan

V = L / TT

dimana :

V = kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam)


10

L = Panjang segmen (km)

TT = Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)

2.3.1. Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipih untuk keperluan perencanaan


setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang dan lain-
lain. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi menerus dimana
kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan itu sepenuhnya tergantung dari
bentuk badan jalan. Untuk kondisi medan yang sulit, V R suatu segmen jalan dapat
diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
Kecepatan rencana (VR) untuk masing-masing fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.

Tabel 2.3 Kecepatan Rencana Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan


Kecepatan Rencana (VR)
Fungsi (km/jam)
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997

2.3.2. Batas Kecepatan

Pada Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 disebutkan bahwa batas
kecepatan, jika secara tepat dilaksanakan, dapat mengurangi tingkat kecelakaan
sesuai dengan factor (Vsesudah / Vsebelum)2. Di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada pasal
21 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa setiap jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi
yang ditetapkan secara nasional dan ditentukan bedasarkan kawasan permukiman,
kawasan perkotaan, jalan antar kota, dan jalan bebas hambatan. Selanjutnya
11

berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2013


Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada pasal 23 ayat 4 huruf a sampai d
ditetapkan batas kecepatan sebagaimana berikut :

a. paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas dan
pling tinggi 100 (seratus) kilometer per jam untuk jalan bebas hambatan;
b. paling tinggi 80 (delapan puluh) kilometer per jam untuk jalan antar kota;
c. paling tinggi 50 (lima puluh) kilometer per jam untuk kawasan perkotaan; dan
d. paling tinggi 30 (tiga puluh) kilometer per jam untuk kawasan permukiman.
2.4. Sampel
Dalam ilmu statistika sering ditemui istilah populasi dan sampel, dimana
keduanya merupakan aspek penting dalam analisa statistika. Populasi adalah
kumpulan seluruh elemen / objek yag diteliti, sedangkan sampel adalah bagian dari
populasi. Karena penelitian terhadap seluruh populasi kadang-kadang tidak mungkin
dilakukan karena populasi tidak terbatas, maka diperlukan sampel. Adapun penentuan
jumlah sampel yang dapat mewakili suatu penelitian adalah dengan melalui tahapan-
tahapan sebagai berikut (Effendy Judi Arianto, 2005) :
1. Melakukan survey pendahuluan untuk mengumpulkan besaran parameter data
yang dibutuhkan
2. Berdasarkan besaran parameter data, dihitung :
➢ Nilai rata-rata sampel (mean)
➢ Deviasi standar (S)

➢ Varians (S2)

3. Dalam penelitian ini spesifikasi tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar 95 %


yang berarti bahwa besarnya tingkat kesalahan sampling yang dapat ditolerir tidak
melebihi 5 %. Dengan demikian besarnya standard error yang dapat diterima
12

(acceptable standard error) yang ditunjukkan dalam table distribusi normal


adalah 1.96 % dari acceptable sampling error.

4. Pada tingkat ketelitian 95% besarnya acceptable sampling error (Se) adalah
sebesar 5 % dari sampel – mean, sehingga :

Se = 0.05 x mean parameter data yang dikaji

Dengan demikian besarnya acceptable standard error adalah :

Se (x) = Se / 1.96

5. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka besarnya jumlah sampel yang


representative (n) dapat dihitung dengan rumus :

Keterangan :
n = jumlah sampel yang representative
S2 = varians atau standard error yang dikuadratkan
[Se(x)]2 = acceptable standard error yang dikuadratkan

2.5 Ukuran Pemusatan

Rata-rata (average) adalah nilai yang mewakili himpunan atau sekelompok


data (a set of data). Nilai rata-rata umumnya cenderung terletak di tengah suatu
kelompok data yang disusun menurut besar/kecilnya nilai (J. Supranto : 2008).
Dimana pada penelitian ini akan dianalisa nilai kecepatan rata-rata kendaraan pada
area tanpa speed bump, area speed bump dan area antar speed bump. Oleh karenanya
diperlukan suatu ukuran pemusatan terhadap nilai rata-rata hitung dari pengumpulan
data kecepatan kendaraan di lokasi studi evaluasi. Data hasil survey tersebut
kemudian dikelompokkan sehingga menjadi data berkelompok. Pada penyajian data
berkelompok tersebut diperlukan interval kelas yang dapat ditentukan dengan
menghitung jumlah kelas kecepatan terlebih dahulu dengan persamaan berikut :
13

k = 1 + 3,322 log n

dimana : k = banyaknya kelas kecepatan

n = banyaknya data

Setelah diketahui jumlah banyaknya kelas kecepatan, tahapan selanjutnya


adalah menentukan perkiraan lebar/interval kelas dengan persamaan berikut :

Xn  X1
c=
k

dimana : c = perkiraan lebar/interval kelas

k = banyaknya kelas

Xn = Nilai data terbesar

X1 = Nilai data terkecil

Setelah diketahui jumlah kelas dan lebar /interval kelas maka dapat dihitung
nilai rata-rata kecepatan dengan persamaan berikut :

x‾ =
 f .x
i i

f i

dimana : x‾ = kecepatan rata-rata

fi = frekusensi kejadian dari tiap kelas kecepatan

xi = midvalue class (nilai tengah) dari tiap kelas kecepatan


14

2.6. Speed Bump

2.6.1 Pengertian Speed Bump


Speed bump atau yang lebih dikenal sebagai polisi tidur adalah bagian jalan
yang ditinggikan berupa tambahan aspal atau semen yang dipasang melintang di jalan
untuk pertanda memperlambat laju/kecepatan kendaraan. Untuk meningkatkan
keselamatan dan kenyamanan bagi pengguna jalan, ketinggiannya diatur. Apabila
akan melalui jalan yang terdapat polisi tidur di badan jalan, makan harus dilengkapi
dengan pemberitahuan terlebih dahulu mengenai adanya polisi tidur. Di samping itu
polisi tidur juga dilengkapi dengan marka jalan dengan garis serong berwarna putih
atau yang kontras sebagai pertanda. Akan tetapi speed bump yang ada di Indonesia
pada umumnya lebih banyak yang bertentangan dengan desain speed bump yang telah
diatur berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 3 Tahun 1994 tentang Alat
Pengendali dan Pemakai Jalan. Hal yang demikian ini dapat membahayakan
keselamatan dan mengurangi kenyamanan pengguna jalan.

2.6.2 Penempatan Speed Bump


Berdasarkan Keputuhan Menteri Perhubungan No 3 Tahun 1994, alat
pembatas kecepatan (speed bump) ditempatkan pada:
1. Jalan di lingkungan pemukiman
2. Jalan lokal yang mempunyai kelas jalan III C
3. Pada jalan-jalan yang sedang dilakukan pekerjaan konstruksi

Penempatan dilakukan pada posisi melintang tegak lurus dengan jalur lalu
lintas. Apabila dilakukan pengulangan penempatan alat pembatas kecepatan ini harus
disesuaikan dengan kajian manajemen dan rekayasa lalu lintas.

2.6.3 Perlengkapan Pelengkap Polisi Tidur


Untuk menarik perhatian pengemudi yang akan melewati jalan yang mana
pada jalan tersebut terdapat speed bump, maka perlu dilengkapi dengan rambu dan
15

marka yang jelas terlihat dari kejauhan dan pengemudi sempat untuk menurunkan
kecepatan sebagaimana tujuan dari penempatan perangkat ini. penempatan alat
pembatas kecepatan pada jalur lalu lintas dapat didahului dengan pemberian tanda
dan pemasangan rambu pada gambar 2.1 berikut, yaitu peringatan tentang jalan tidak
datar, bila diperlukan rambu dapat dilengkapi dengan papan tambahan yang memuat
dimana alat pembatas kecepatan ini ditempatkan.

Gambar 2.1 Rambu Peringatan Jalan Tidak Datar

Penempatan alat pembatas kecepatan pada jalur lalu lintas harus dilengkapi
marka berupa garis serong dengan cat berwarna putih atau kuning untuk mempertegas
dimana letak dari alat pembatas kecepatan tersebut. Di samping itu, untuk lebih
memperjelas pada malam hari dapat digunakan marka standar yang dilengkapi
dengan glass bead agar memantulkan cahaya.
16

Gambar 2.2 Marka pada Speed Bump dengan Garis Serong Berwarna Putih

Gambar 2.3 Garis Serong Berwarna Kuning – Hitam pada Speed Bump

2.6.4 Dimensi Speed Bump


Berdasarkan pasal 6 ayat 1, 2 dan 3 Keputusan Menteri No 3 Tahun 1994,
disebutkan desain speed bump atau polisi tidur dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
1. Bentuk penampang melintang alat pembatas kecepatan menyerupai trapesium
dan bagian yang menonjol di atas badan jalan maksimum 12 cm.
2. Penampang sebagaimana dimaksud pada nomor (1), kedua sisi miringnya
mempunyai kelandaian yang sama maksimum 15 %.
17

3. Lebar mendatar bagian atas sebagaimana dimaksud pada nomor (1), proporsional
dengan bagian menonjol di atas badan jalan dan minimum 15 cm.

Gambar 2.4 Desain Standar Alat Pembatas Kecepatan (Polisi Tidur) berdasarkan KM Menhub No. 3
Tahun 1990

Anda mungkin juga menyukai