TATALAKSANA HEPATITIS B
DALAM KEHAMILAN
Oleh:
Dian Kurniawati
Narasumber:
Prof. Dr. dr, Erry Gumilar Sp.OG(K)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………i
DAFTAR ISTILAH…………………………………………………………………………iii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................iv
DAFTAR TABEL...................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
III. 3. Terapi pada ibu yang baru didiagnosa hepatitis B pada saat kehamilan………..……..15
III. 8. Menyusui………………………………………………………………………………17
i
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM... DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
IV. 3. 3. Enteavir……………………………………………………………………..24
IV. 3. 4. Tenofovir…………………………………………………………………....25
IV. 3. 5. Telbivudine………………………………………………………………....25
BAB V. RINGKASAN……………………………………...………………………………30
DAFTAR PUSTAKA
ii
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM... DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR ISTILAH
Fc : Fragment cristalline
IgG : Immunoglobulin G
iii
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM... DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR GAMBAR
iv
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM... DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR TABEL
v
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM... DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I
PENDAHULUAN
1
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM… DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2
BAB II
KEHAMILAN DAN INFEKSI HEPATITIS B
3
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM… DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 4
imminen, dan score APGAR yang lebih rendah (Han, 2012). Dari penelitian meta analisa
yang dilakukan oleh Kong tahun 2014, diketahui bahwa infeksi hepatitis B selama kehamilan
tidak meningkatkan resiko terjadinya diabetes gestasional jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Disamping itu masih banyak data yang masih pro dan kontra seperti pada
penelitian Wong tahun 1999 mengatakan tidak ada perbedaan berat badan lahir, kejadian
prematuritas, neonatal jaundice, kelainan kongenital, dan kematian perinatal pada wanita
dengan HbsAg positif dan yang HbsAg negatif.
Pada tahun 2010 sebuah studi di Israel menganalisa 186.619 persalinan menemukan bahwa
infeksi HBV adalah faktor resiko independen terjadinya keluaran kehamilan yang buruk
(Safir, 2011). Pada kasus dengan adanya fungsi hati yang menurun dikaitkan dengan
postpartum haemorrhage, infeksi puerpurium, berat badan lahir rendah, fetal distress, partus
prematurus, fetal death, dan asfiksia neonatorum (Han, 2012).
Hepatitis B akut tidak meningkatkan angka kematian ibu dan tidak mempunyai efek
teratogenik, namun telah dilaporkan adanya peningkatan insiden terjadinya berat badan lahir
rendah, dan prematuritas. Ada kecenderungan terjadinya peningkatan Alanine
aminotransferase (ALT) pada akhir kehamilan dan postpartum namun kehamilan disebutkan
tidak mempengaruhi replikasi HBV (Han, 2012)
Pada penelitian yang dilakukan Soderstrom dikatakan adanya perbedaan yang signifikan
kadar HBV DNA ibu dengan HbeAg positif dan ibu dengan HbeAg negatif. Hampir seluruh
ibu dengan HbeAg negatif mempunyai kadar viremia yang rendah dan kadar ALT yang
normal, namun kadar HBV DNA diketahui sedikit meningkat pada akhir kehamilan dan
setelah melahirkan.
Dikarenakan tidak adanya prediktor yang bagus untuk mengetahui adanya flare maka
disarankan pada ibu hamil dengan hepatitis B untuk diperiksakan kadar ALT setiap 3 bulan
dan diteruskan sampai post partum.
Transmisi HBV dibagi menjadi dua yaitu secara vertikal dan horizontal. Vertikal dari
ibu ke janin, horizontal ialah melalui kontak yang dekat dan hubungan seksual. Resiko
berkembangnya hepatitis B menjadi kronik berbanding terbalik dengan usia saat terinfeksi
hepatitis B. Pada bayi baru lahir dari ibu dengan HbeAg positif mempunyai resiko sebesar
90% untuk berkembang menjadi hepatitis B kronik, sebanyak 30% jika infeksi terjadi pada
anak-anak kurang dari 5 tahun dan kurang dari 5% jika infeksi terjadi pada masa dewasa.
Dari CDC dikatakan bahwa penderita hepatitis B yang sudah terinfeksi sejak usia muda
sebanyak 25% meninggal akibat kanker hepar dan sirosis (Arif, 2012)
Dari transmisi vertikal setidaknya ada 3 rute transmisi vertikal virus hepatitis B yaitu :
1. Transmisi intrauteri
2. Transmisi pervaginam
Rute transmisi pervaginam belum dapat dijelaskan secara pasti namun diduga transmisi
pervaginam terjadi pada intrapartum dimana HBV DNA bisa ditemukan pada sekret
vagina dari ibu dengan hepatitis B positif. Transmisi intrapartum diduga diakibatkan oleh
adanya mikrotranfusi dari plasenta akibat terpisahnya vili plasenta selama kontraksi pada
proses persalinan
3. Transmisi postnatal.
Mekanisme dari transmisi postpartum sampai saat ini belum jelas namun diduga dari
kontak yang intens antara ibu dan bayi (Ho, 2012).
Dahulu hanya diketahui 2 macam transmisi vertikal yaitu transmisi pervaginam saat
terjadinya persalinan dan transmisi postnatal melalui kontak yang dekat antar ibu dan bayi.
Namun dengan adanya pemberian vaksinasi baik secara aktif maupun pasif mampu
menurunkan angka transmisi sampai sebesar 90%, namun masih didapatkan angka
kegagalan vaksin sebesar 10% meskipun vaksin telah diberikan secara adekuat. Adanya
angka kegagalan vaksin hepatitis B telah memunculkan dugaan adanya infeksi intrauteri
virus HBV yang tidak bisa dicegah oleh vaksin hepatitis B.
a) Adanya kerusakan dari barier plasenta (placental leakage) yang disebabkan oleh
kontraksi selama kehamilan menyebabkan kontak antara darah ibu yang
mengandung virus hepatitis B dengan janin. Prosedur amniosintesis diketahui juga
merupakan faktor resiko terjadinya infeksi intrauterin hepatitis B dikarenakan pada
prosedur amniosintesis untuk menembus cavum uterus, jarum akan menembus
dinding abdomen dan rahim dimana terkandung darah ibu. Namun transmisi HBV
pada amniosintesis sangatlah jarang (Navabakhsh, 2011).
b) Transmisi transplasental
Beberapa telah mulai meneliti adanya kemungkinan terjadi transmisi HBV
transplasental, dari penelitian tersebut diketahui bahwa virus hepatitis B mampu
menginfeksi plasenta menuju ke janin memungkinkan terjadinya infeksi intrauteri
Beberapa penelitian telah menemukan adanya HBV DNA pada oosit dan sperma
penderita hepatitis B sehingga diduga adanya kemungkinan penularan hepatitis B
saat konsepsi (Navabakhsh, 2011)
Transmisi perinatal hepatitis B merupakan salah satu penyebab penting dari infeksi
kronis hepatitis B. Saat ini kombinasi antara pemberian imunisasi pasif hepatitis B dengan
Hepatitis B Immunoglobulin (HBIG) dan imunisasi hepatitis B pada neonatus menunjukkan
efektivitas yang sangat baik dalam mencegah transmisi perintal ibu-bayi, namun ada sekitar
10% bayi yang lahir dari ibu dengan HbsAg positif dimana pemberian HBIG dan vaksin
hepatitis B gagal untuk mencegah timbulnya transmisi ibu-bayi (Bai, 2007). Diduga
kegagalan tersebut diakibatkan adanya infeksi hepatitis B intrauteri.
Transmisi intrauteri adalah adanya HbsAg yang terdeteksi pada darah bayi dalam 24
jam setelah dilahirkan (De-Zhong Xu, 2002)
Sampai saat ini mekanisme terjadinya infeksi hepatitis B intrauteri masih belum dapat
dijelaskan dengan pasti, namun selama terjadinya infeksi tersebut peran plasenta sangatlah
penting dalam terjadinya transmisi hepatitis B intrauteri dimana virus hepatitis B harus
menembus barrier plasenta untuk bisa sampai dan menginfeksi fetus. Beberapa peneliti
menggunakan pemeriksaan immunohistokimia untuk mendeteksi adanya HbsAg di dalam
jaringan plasenta. Dari penelitian yang dilakukan Chang WH et al dapat dideteksi adanya
HbsAg pada seluruh lapisan plasenta, dan juga HBV DNA bisa didapatkan pada jaringan
plasenta dari ibu dengan HBV DNA positif, hal ini menunjukkan bahwa hepatitis B virus bisa
menginfeksi sel-sel plasenta (Chang WH et al, 2006)
Pada infeksi hepatitis B intrauteri, HbsAg dan HbcAg dapat dideteksi di berbagai tipe
sel plasenta. HbsAg umumnya terdapat pada sitoplasma sel namun lebih jarang didapatkan
pada nukleus maupun membran sel sedangkan HbcAg banyak didapatkan pada sitoplasma
dan nukleus serta jarang ditemukan di membran sel (De-Zhong Xu, 2002)
Peneliti yang lain yaitu Han Bai pada tahun 2007 telah melakukan penelitian pada 20
bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HBV DNA positif, dari hasil penelitian didapatkan 6
sampel darah tali pusat bayi yang mengandung HBV DNA dengan kadar HBV DNA diatas 1
x 107 kopi/mL dimana dari 6 kasus tersebut pada 5 kasus didapatkan jaringan plasenta yang
juga positif dengan HBV DNA. Dari sini peneliti menyimpulkan bahwa tingginya kadar
HBV DNA pada ibu adalah merupakan salah satu faktor resiko yang penting terjadinya
infeksi hepatitis B intrauteri, meskipun peneliti juga menyimpulkan adanya HBV DNA pada
darah tali pusat bukan merupakan indikasi bayi telah tertular hepatitis B karena dari 6 kasus
tersebut dalam 6 bulan berikutnya hanya 2 bayi yang positif HbsAg sedang 4 bayi lainnya
menunjukkan HbsAg negatif dimana 3 bayi diantaranya ditemukan adanya anti HbsAg. (Bai,
2007)
Gambar 2. Deteksi adanya HBV DNA pada jaringan insitu (De-Zhong Xu, 2002)
Virus hepatitis B tidak akan bereplikasi pada hepar dari fetal usia kehamilan kurang
dari 12 minggu dimana hepar belum berkembang, hal ini menjelaskan mengapa pada
trimester pertama tidak terjadi infeksi hepatitis B intrauteri. Tidak diketahui batas usia
kehamilan berapakah virus hepatitis B mampu menginfeksi hepar fetus.
Pada penelitian invitro didapatkan hepar fetus usia kehamilan 10-12 tidak bisa diinfeksi oleh
virus hepatitis B sedangkan pada usia kehamilan lebih dari 22 minggu menunjukkan virus
hepatitis B mampu menginfeksi hepar fetus secara in vitro. Antibodi maternal dapat dengan
mudah melewati barier plasenta, hal ini membantu mengeliminasi virus hepatitis B yang
melewati barier plasenta. Hal ini menjelaskan bahwa HbsAg dan HBV DNA hanya
ditemukan pada uterus pada ibu dengan kadar antibodi serum yang rendah (Bhat, 2007)
Bersamaan dengan program imunisasi yang dimulai tahun 1982 di Amerika, infeksi
perinatal telah menurun secara drastis. Infeksi neonatal umumnya bisa dicegah dengan
skrining perinatal dan pemberian imunisasi pasif maupun aktif paa neonatal dengan ibu
hepatitis B seropositif dan dengan pemberian imunisasi aktif pada neonatal dengan ibu
hepatitis seronegatif. Bayi yang baru lahir segera diberikan imunoglobulin hepatitis B
(HBIG) segera setelah lahir dan diikuti dengan dosis pertama dari imunisasi hepatitis
Tabel 1, Vaksinasi profilaksis pada perinatal dengan ibu hepatitis B positif (NYS
perinatal hepatitis B prevention program manual, 2011)
1. HBIG 100IU IM dosis tunggal
2. Vaksin hepatitis B 0,5 ml IM 4 dosis pada umur 0, 2, 4, dan 6 atau 12 bulan
3. Pertimbangan lain :
Disarankan untuk memberikan HBIG dan vaksin hepatitis B segera setelah bayi lahir
pada paha yang berlainan
Pemberian HBIG seharusnya tidak ditunda saat bayi berumur < 12 jam
Vaksin hepatitis B seharusnya diberikan < 24 jam. Jika terpaksa ditunda maka harus
diberikan saat bayi berumur < 7 hari
Untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayi, pada bayi yang lahir dengan ibu hepatitis
B akan diberikan imunisasi pasif dengan memberikan HBIG segera setelah lahir dan diikuti
dengan vaksinasi aktif sebanyak 4 dosis yaitu saat lahir (< 24 jam), kemudian saat umur 2, 4,
dan 6 atau 12 bulan. Strategi ini dilakukan untuk mencegah transmisi pada masa puerpurium
dimana bayi berada pada resiko tertinggi terkena infeksi hepatitis B karena sistem imunnya
yang belum sempurna. Setelah mendapatkan imunisasi aktif dan pasif maka bayi akan
diperiksa ulang pada umur 9-18 bulan. Pada bayi dengan HbsAg negatif dengan kadar anti-
HBs > 10 mIU/mL maka bayi dianggap telah imun dan tidak perlu tindakan lebih lanjut, pada
bayi dengan HbsAg negatif dengan kadar anti-HBs < 10 mIU/mL maka bayi perlu diberikan
imunisasi hepatitis B seri kedua sebanyak 3 dosis dengan interval waktu seperti pada
imunisasi seri pertama dan perlu dilakukan tes ulang setelah 1-2 bulan setelah dosis terakhir
(Ho, 2012)
BAB III
Teori yang mulai berkembang saat ini adalah dengan adanya hipotesa mengenai fetal
programming. Hipotesa mengenai fetal origin diperkenalkan oleh David Barker mengatakan
nutrisi yang tidak adekuat selama kehamilan akan mem-program janin di dalam uterus
sehingga memiliki karakteristik metabolik tertentu yang memicu penyakit pada masa yang
akan datang dan bahwa faktor lingkungan pada periode awal kehidupan mampu merubah
fungsi organ-organ tubuh secara permanen. Sebagai contoh janin yang kelaparan saat didalam
kandungan akan cenderung menjadi obesitas saat dewasa dan menderita penyakit yang
berkaitan dengan obesitas seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular. Penyakit jantung dan
metabolik pada orang dewasa berasal dari adaptasi awal dari fetus terhadap kondisi
lingkungannya (Hocher,2009). Pada janin dengan kadar kortisol yang tinggi pada ibu akan
berdampak pada pertumbuhan otak janin (Li, 2012).
10
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM… DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 11
Perubahan nutrisi dan hormonal pada awal kehamilan dapat merubah ekspresi genom
pada fetus dan menyebabkan efek permanen pada proses fisiologis. Fenomena ini dikenal
dengan “fetal programming”. Epigenetik adalah cabang baru dari penelitian yang
menitikberatkan dalam meneliti transkripsi gen dan regulasinya dalam modifikasi struktur
DNA dimana regulasi ini telah terjadi pada awal kehamilan sebagai respon terhadap
lingkungannya (Laker, 2013). Modifikasi epigenetik adalah suatu perubahan structural DNA
(metilasi DNA) sehingga menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi gen. Modifikasi
epigenetik telah dipakai untuk menjelaskan banyak penyakit seperti kanker, dan diabetes
mellitus tipe 2.
Lingkungan intra uteri yang tidak adekuat terhadap janin berpengaruh terhadap
adaptasi permanen meliputi perubahan fisiologis jaringan, produksi hormon serta
metabolisme lemak dan glukosa. Mekanisme molekuler yang mendasari fenomena ini masih
belum diketahui secara jelas namun diduga berada pada perubahan gen DNA yang disebut
epigenetic disruption
Bagaimana pun hubungan antara fetal programming dan penyakit menular maternal
sebagai penyakit yang mendasari masih belum banyak dibahas, meskipun sangat
memungkinkan bila penyakit menular maternal bisa mempengaruhi fungsi plasenta dan
merangsang terjadinya fetal programming. Membutuhkan penelitian lebih lanjut dan dalam
jangka panjang untuk mengetahui hubungan antara penyakit menular pada ibu dan
fetal programming.
Catatan : pada pasien dengan kadar ALT > 2x batas atas nilai normal maka pertimbangkan
untuk pemberian obat antiviral jika kadar HBV DNA > 105 kopi/mL
Pada akhir trimester kedua kehamilan (26-28 minggu) pemeriksaan kadar HBV DNA
diperlukan untuk menentukan apakah dibutuhkan terapi antiviral pada trimester 3 untuk
menurunkan kadar HBV DNA. Ibu hamil dengan kadar HBV DNA > 106 kopi/mL harus
dipertimbangkan pemberian antiviral pada awal trimester tiga kehamilan untuk mencegah
transmisi perinatal. Riwayat kehamilan yang sebelumnya juga harus dipertimbangkan, jika
pada kehamilan sebelumnya didapatkan adanya transmisi perinatal maka sangat dianjurkan
memberikan terapi antiviral tanpa memandang kadar HBV DNA ibu. Saat diputuskan untuk
memberikan terapi antiviral maka terapi diteruskan selama kehamilan sampai masa
postpartum.
Saat yang tepat untuk menghentikan terapi antiviral pada masa postpartum sampai saat ini
belum ada panduan yang baku. Namun pada prakteknya terapi antiviral tetap diberikan
sampai 6 bulan postpartum dengan memonitor status penyakit hepatitis B pada saat 1, 3, dan
6 bulan postpartum. Saat terapi mulai dihentikan harus diwaspadai kemungkinan flare.
Keputusan untuk menghentikan terapi antiviral postpartum perlu didiskusikan dengan
penderita mengeni keuntungan dan kerugiannya. Beberapa faktor yang membuat penderita
memilih menghentikan terapi antiviral salah satunya adalah keinginan untuk menyusui
bayinya dimana menyusui dengan masih dalam terapi antiviral tidak direkomendasikan
(Browej, 2010)
Monitoring fungsi hati secara rutin perlu dilakukan selama kehamilan untuk mengetahui
apakah ada progresivitas dari penyakit hati dan pertimbangan untuk diperlukannya terapi
antiviral selama kehamilan (Han, 2012). Sinha menganjurkan pada wanita dengan hepatitis B
karier yang merencanakan untuk hamil untuk :
1. Pada wanita yang pada pemeriksaan dasar memiliki kadar HBV DNA yang rendah <
106 kopi/mL, pada wanita dengan HbeAg positif dan kadar HBV DNA < 105
kopi/mL, pada wanita dengan HbeAg negatif dan tidak ada tanda-tanda flare maka
pemberian antiviral bisa ditunda dengan memonitor fungsi liver secara berkala
2. Pada wanita dengan kadar HBV DNA tinggi yaitu > 106 kopi/mL dan diulang pada
akhir kehamilan, atau pada ibu dengan riwayat anak sebelumnya HBV positif dan
kadar HBV > 106 kopi/mL maka terapi antiviral sebaiknya diberikan
3. Jika pasien menderita sirosis hepatis sebelum kehamilan, terapi antiviral diberikan
pada awal kehamilan dan diteruskan selama kehamilan dan dimonitor selama
kehamilan.
Pada praktek sehari-hari HBV DNA diperiksa saat trimester dua pada semua ibu hamil
dengan HbsAg positif. Jika HBV DNA > 6 log IU/mL maka terapi antiviral profilaksis
diberikan pada awal trimester tiga. Konseling terhadap pasien dan keluarga harus meliputi
tujuan terapi, lamanya terapi, efek samping yang mungkin terjadi, keamanan obat pada
kehamilan, serta monitoring terapi dan menyusui. Jika ibu memutuskan untuk menyusui
bayinya maka pemberian antiviral harus dihentikan untuk menghindari paparan
berlebihan pada bayi. Saat obat dihentikan postpartum, ibu harus dimonitor kadar ALT
dan HBV DNA untuk deteksi asymptomatic withdrawal flares. Pada penelitian yang
dilakukan oleh ter Borg dkk mengatakan 42% ibu yang tidak mendapatkan terapi antiviral
selama kehamilan mengalami flare pada masa post partum dibandingkan dengan 62%
ibu yang mendapatkan terapi antiviral selama kehamilan (ter Borg, 2008). Namun pada
penelitian berskala besar yang dilakukan Han tahun 2011 menyatakan bahwa tidak ada
satu ibu post partum pun yang dihentikan terapi dengan telbivudin pada 1 bulan post
partum yang mengalami flare yang berat (ALT serum > 10x batas atas normal) (Han,
2011)
Pada ibu hamil dengan HbsAg positif dengan flare saat kehamilan ditandai dengan
peningkatan ALT dan kadar HBV DNA yang tinggi, tujuan terapi adalah untuk remisi
dari flare sehingga tidak terjadi persalinan prematur. Terapi antiviral bisa dimulai lebih
awal dan mengingat pada kondisi demikian terapi yang diberikan kemungkinan dalam
jangka waktu lama maka perlu dipertimbangkan obat antiviral mana yang dipilih.
Tenofovir lebih disukai sehubungan dengan keamanannya dan resiko yang sangat rendah
terjadinya resistensi. (Yogeswaran, 2011)
III. 3. Terapi pada ibu yang baru didiagnosa hepatitis B pada saat kehamilan
Ibu hamil yang baru didiagnosa hepatitis B saat kehamilan memerlukan pemeriksaan
yang lebih teliti. Keputusan untuk memulai terapi harus mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian baik untuk ibu maupun fetus dan trimester dari kehamilan. Kebutuhan akan terapi
antiviral pada ibu hamil ditentukan oleh tingkat keparahan dari penyakitnya (adakah sirosis
hati atau kerusakan hati yan lain). Terapi antiviral sangat dianjurkan pada ibu hamil dengan
komplikasi yang berat. (Browej, 2010)
Saat wanita yang mendapat terapi antiviral kemudian menjadi hamil, untuk
memutuskan apakah terapi antiviral akan diteruskan atau tidak membutuhkan berbagai
pertimbangan baik dari sisi ibu maupun janin. Dari segi janin, perhatian utama adalah resiko
dari paparan obat antiviral pada awal embriogenesis. Dari segi ibu, perhatian utama adalah
apakah menghentikan atau merubah terapi akan mempengaruhi luaran penyakit hati dari ibu.
Jika diketahui ibu hamil tersebut menderita fibrosis hepar maka pengobatan harus dilanjutkan
karena resiko terjadinya flare jika terapi dihentikan akibat dekompensasi dari fibrosis
heparnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesejahteraan dari janin, edukasi harus
diberikan kepada ibu mengenai kemungkinan paparan obat kepada janin.
Jika keputusan untuk melanjutan terapi telah diambil maka pertimbangan berikutnya
adalah apakah obat tersebut yang sedang digunakan akan diganti dengan obat yang secara in
vivo lebih aman
III. 8. Menyusui
Menyusui diduga menjadi salah satu jalur transmisi virus hepatitis B dari ibu
ke bayi karena ditemukannya Hbsag dalam jumlah kecil di air susu ibu. Namun dari
penelitian yang telah dilakukan di Taiwan dan Inggris tidak ditemukan adanya bukti
bahwa menyusui akan meningkatkan resiko transmisi penularan virus hepatitis B dari
ibu ke bayi. Namun pada putting susu ibu yang terluka atau bila didapatkan lesi
dengan eksudat serous dapat meningkatkan resiko terpaparnya bayi terhadap virus
hepatitis B (WHO, 2002).
WHO menyarankan semua bayi untuk disusui secara eksklusif minimal
selama 4 bulan dan jika memungkinkan 6 bulan, dan dilanjutkan dengan disusui
sampai umur 2 tahun. Tidak ada bukti yang kuat bahwa menyusui pada ibu dengan
hepatitis B akan meningkatkan resiko tertularnya virus hepatitis B. Bahkan jika
tempat tinggal merupakan daerah endemik hepatitis B dan tidak tersedia imunisasi
hepatitis B sekalipun, menyusui tetap direkomendasikan pada bayi dengan ibu
hepatitis B (WHO, 2002)
BAB IV
Kesulitan yang dihadapi sekarang berhubungan dengan pencegahan transmisi dari ibu
ke janin adalah pencegahan transmisi intrauteri HBV. Kadar HBV DNA yang tinggi adalah
faktor resiko yang paling penting untuk melihat resiko terjadinya transmisi HBV intrauteri.
Telah diketahui bahwa pemberian HBIG pada bayi baru lahir dengan ibu hepatitis B mampu
menurunkan angka kejadian transmisi HBV dari ibu ke janin dari > 90% menjadi 26%. Dan
ketika dikombinasi dengan pemberian vaksin HBV, angka kejadian transmisi HBV menjadi
3-7% (Beasley, 1981). Namun kegagalan dari imunoprofilaksis dilaporkan sebesar 8-32%
dari bayi yang lahir terutama dari ibu dengan HbeAg positif dengan kadar HBV DNA yang
tinggi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa semua kasus dengan kegagalan imunoprofilaksis
terjadi pada ibu dengan kadar HBV DNA > 106 kopi/mL (Zou, 2012).
Saat ini terapi pencegahan transmisi HBV dari ibu ke janin sangat berkembang pesat
dengan banyaknya penelitian-penelitian yang dilakukan. Salah satu upaya pencegahan
tersebut meliputi vaksinasi, pemberian obat antiviral, interferon α, dan injeksi HBIG pada
wanita hamil dengan kadar HBV DNA yang tinggi
Vaksin hepatitis untuk ibu hamil dikatakan aman untuk kehamilan, tidak didapatkan
efek samping maupun efek teratogenik terhadap janin (Makris, 2012). American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan Centers for Disease (CDC) menyatakan
kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk imunisasi hepatitis B.
Wanita hamil dengan HbsAg negatif yang mempunyai resiko tinggi terinfeksi
hepatitis B sebaiknya diimunisasi pada masa kehamilan. Resiko tinggi yang dimaksud salah
satunya : multiple sex partner (lebih dari 2 dalam 6 bulan terakhir), wanita dengan riwayat
penyakit pernah terinfeksi penyakit menular seksual, wanita hamil dengan riwayat pengguna
narkoba suntik, wanita hamil yang hidup di daerah endemik, dan wanita hamil dengan
pasangan yang menderita HbsAg positif (ACOG, 2007).
Vaksin hepatitis B diberikan sebagai injeksi intramuscular pada deltoid sebanyak tiga
kali yaitu pada bulan 0, 1, dan 6. Berdasarkan Advisory Committee on Immunization
18
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM… DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 19
Practices (ACIP), interval minimal dari vaksin pertama ke vaksin kedua adalah 4 minggu dan
antara vaksin pertama dengan vaksin ketiga adalah 16 minggu untuk mendapatkan respon
imun yang optimal. Sebanyak 30-55% orang dewasa usia < 40 tahun akan mempunyai respon
antibody protektif terhadap virus hepatitis B setelah dosis pertama, 75% setelah dosis kedua,
dan 90% setelah dosis ketiga.
Efikasi dari pemberian vaksin hepatitis B pada kehamilan disebutkan sama dengan
pemberian vaksin pada populasi yang tidak hamil (Steward, 2013). Efektivitas vaksin
hepatitis pada wanita hamil sebanyak 92-94%. Faktor-faktor yang berkaitan dengan
menurunnya efikasi dari vaksin meliputi obesitas, meningkatnya usia, dan merokok (Ingardia,
1999). Telah ada beberapa penelitian yang meneliti mengenai keamanan vaksin hepatitis B
pada kehamilan, salah satunya adalah penelitian dari Levy yang meneliti bayi dari 10 ibu
yang mendapatkan imunisasi hepatitis B pada trimester satu dari kehamilan dan tidak
didapatkan kelainan kongenital pada saat lahir dan kesepuluh bayi tersebut mempunyai
pertumbuhan normal saat umur 12 bulan. Berdasarkan Food and Drug Administration (FDA),
vaksin hepatitis B masuk kategori C.
Namun ada pula penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian HBIG antepartum
tidak dapat mencegah terjadinya transmisi virus HBV dari ibu ke janin (Yuan, 2006). Oleh
karena itu sampai saat ini pemberian HBIG antepartum belum direkomendasikan karena
masih kontroversi dan belum cukupnya data penelitian yang membuktikan efektivitasnya
dalam menghambat transmisi virus HBV. Penelitian yang meta analisa yang dilakukan oleh
Zhongjie dkk di China menyatakan bahwa pemberian HBIG pada wanita dengan HbeAg
negative maupun HbeAg positif berdasarkan statistik tidak berbeda secara signifikan dalam
menghambat transmisi virus hepatitis B saat umur 9-12 bulan.
Mekanisme HBIG dalam menghambat penularan adalah melalui ikatan antara HbsAb
dan HbsAg yang membentuk suatu sistem komplemen yang akan menginisiasi imunitas
humoral yang pada akhirnya akan menurunkan kadar HBV, menghambat dan menurunkan
replikasi dari virus hepatitis serta menghambat infeksi pada sel hati yang normal. Sampai saat
ini masih didapatkan kontroversi dosis manakah dari HBIG yang efektif dalam menurunkan
viral load dan mampu masuk ke sirkulasi fetal melalui plasenta, karena dibutuhkan
konsentrasi HBIG dalam darah 100-500 IU/l secara terus menerus untuk dapat menetralisasi
virus hepatitis B pada darah (Zhongjie, 2010).
Penelitian lain dari Yu mengatakan bahwa pemberian injeksi HBIG saat inpartu
secara signifikan akan menurunkan kadar HBV DNA ibu, titer HbsAg, dan menginduksi
terbentuknya HbsAb pada bayi jika dibandingkan dengan pemberian HBIG pada usia
kehamilan 28, 32, dan 36 minggu. Penurunan kadar HBV DNA dan titer HbsAg terjadi pada
hari ke 3-7 setelah injeksi HBIG, dan setelah 1 bulan setelah injeksi kadar HBV DNA dan
titer HbsAg pada ibu akan kembali pada level sebelum injeksi. Oleh karena itu Yu
menyimpulkan bahwa pencegahan transmisi hepatitis B dengan injeksi HBIG berkaitan
dengan transportasi HBIG melalui plasenta dan bukan dikarenakan menurunnya viral load
(Yu, 2006)
Pemberian HBIG pada bayi baru lahir dengan ibu HbeAg positif dikatakan mampu
menurunkan angka transmisi HBV dari >90% menjadi 26%. Apabila dikombinasi dengan
pemberian vaksin hepatitis maka angka kejadian transmisi HBV berkurang 7% (Beasley,
1981). Namun kegagalan dari immunoprofilaksis sebesar 8-32% dikaitkan dengan adanya
transmisi HBV intrauteri pada ibu dengan kadar HBV DNA tinggi yaitu > 107 kopi/mL. Dari
penelitian yang dilakukan oleh Zou pada tahun 2012 disebutkan bahwa kasus kegagalan
immunoprofilaksis terjadi pada ibu dengan kadar HBV DNA > 106 kopi/ml.
Secara garis besar pemberian obat antiviral ditujukan untuk : terapi hepatitis B kronik
pada ibu dan terapi untuk menurunkan resiko terjadinya transmisi perinatal.
a) Pasien dengan kadar HBV DNA > 105 kopi/mL dengan kadar ALT > 2x dari batas
atas nilai normal atau dengan sirosis hepatis pada saat sebelum hamil maka pemberian
antiviral diberikan pada awal kehamilan.
b) Pada pasien dengan fungsi hati yang normal, ALT dan kadar HBV DNA sebaiknya
dievaluasi ulang pada trimester 2 (26-28 minggu) jika hasilnya kadar HBV DNA
tinggi > 107 kopi/mL, atau pada pasien dengan kadar HBV DNA > 106 kopi/mL anak
sebelumnya positif hepatitis terapi antiviral diberikan pada usia kehamilan 28-30
minggu dan diteruskan sampai 4 minggu setelah persalinan setelah itu pasien akan
dievaluasi ulang untuk menentukan apakah terapi antiviral akan diteruskan atau tidak.
Kadar HBV DNA ibu paska persalinan di monitoring pada 1, 3, dan 6 bulan setelah
persalinan. Setiap bayi yang lahir dengan ibu HbsAg (+) diberikan imunisasi aktif dan
pasif secara lengkap dan tepat waktu dan dimonitor kadar HBV DNA saat lahir dan
saat usia 7 bulan.
c) Pada pasien dengan kehamilan yang tidak direncanakan, tatalaksananya disesuaikan
dengan kondisi pasien saat itu. Terdapat dua pilihan yaitu : 1. Berhenti dari terapi
sementara kemudian dilakukan pemeriksaan dasar HBV DNA dan ALT. 2. Pilihan
kedua adalah dengan penggunaan sekuensial obat antiviral selama kehamilan (Sinha,
2010)
IV. 3. 1. Lamivudine
Sejak diketahuinya bahwa proses replikasi dari virus hepatitis B memerlukan cytoplasmic
reverse transcriptase, HBV polimerase menjadi fokus penelitian yang bertujuan untuk
menghambat replikasi virus.
Aktivitas antiviral dari lamivudin yaitu menghambat DNA polimerase dan terminasi dari
rantai pro-viral DNA selama proses elongasi.
Gambar 6. Mekanisme kerja lamivudin pada siklus hidup HBV (Honkoop, 1998)
Penelitian pada manusia yang tidak dalam kondisi hamil, pemberian lamivudine
selama 52 minggu terbukti menurunkan progesivitas fibrosis hati, menurunkan kadar HbeAg,
menekan replikasi DNA HBV dan normalisasi kadar ALT (Alanine Aminotransferase) (Lai,
1998). Lamivudin mempunyai bioavailabilitas oral yang tinggi dan waktu paruh obat yang
lama (5-7 jam) sehingga pada penderita hepatitis B kronik cukup diberikan satu dosis perhari
Pada penelitian yang dilakukan van Zonneveld tahun 2003, pada 8 ibu hamil yang
diberikan lamivudine sejak kehamilan 34 minggu dan semua bayi yang lahir mendapatkan
HBIG dan vaksin. Hanya 1 bayi yang didapatkan terinfeksi HBV (van Zonneveld, 2003)
Pada wanita hamil lamivudine akan melewati barier plasenta secara difusi.
Lamivudine telah digunakan secara luas pada wanita hamil sebagai obat antiviral terutama
pada wanita dengan HIV, dan dari terapi tersebut didapatkan tidak ada peningkatan dari
angka kejadian malformasi janin. Diantara obat antiviral terhadap hepatitis B, lamivudine
mempunyai keamanan yang terbukti dari banyaknya penelitian mengenai penggunaan
lamivudine pada ibu hamil dibandingkan dengan obat antiviral yang lain sehingga lamivudine
direkomendasikan untuk digunakan pada ibu hamil dengan hepatitis B dengan
mempertimbangkan resiko dan manfaatnya.
dari gen polimerase HBV yang pada akhirnya mengakibatkan “breakthrough hepatitis” yang
ditandai dengan kadar HBV DNA dan ALT. Peningkatan HBV DNA bisa sampai 10x lipat
dari saat dimulainya terapi antiviral (Hung 2008).
Dari penelitian yang dilakukan pada 20 pasien yang secara klinis resisten terhadap
lamivudine menemukan adanya mutasi nukleotida yang berdampak pada pergantian asam
amino di dekat locus YMMD pada gen HBV polymerase. Ada 2 macam mutasi yang telah
teridentifikasi, pertama adalah mutasi pada asam amino 528 dan 552 (L528M dan M552V)
dan yang kedua adalah mutasi hanya terjadi pada asam amino 552 (M552I) (Allen, 1998)
disamping itu kadar HBV DNA bukanlah satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya kegagalan imunisasi profilaksis dan terapi antiviral. Suatu laporan kasus
melaporkan seorang anak yang tetap mengalami infeksi hepatitis B kronis meskipun ibu
mengalami penurunan kadar HBV DNA sampai kadar tidak terdeteksi setelah diberikan
terapi antiviral selama kehamilan sampai masa postpartum dan telah mendapatkan imunisasi
profilaksis yang adekuat (Kazim, 2002)
Adefovir dipivoxil merupakan pro drug dari adefovir dimana setelah diabsorbsi akan
difosforilasi menjadi metabolit aktif yaitu adefovir diphosphate oleh proses kinase dari sel.
Dimana pada rantai DNA virus, adefovir diphosphate berperan dalam merusak rantai DNA
virus. Penelitian yang dilakukan Marcellin dan Hadziyanis pada tahun 2003 membandingkan
antara pemberian adefovir dipivoxil sebagai terapi penderita hepatitis B dengan HbeAg
positif dibandingkan dengan plasebo selama 48 minggu menunjukkan adefovir dipivoxil
lebih baik dibandingkan plasebo secara histologi, kadar HBV DNA, dan serokonversi
HbeAg. Pada pasien yang resisten terhadap lamivudine, maka pemberian lamivudine
dikombinasi dengan adefovir dipivoxil akan menurunkan kadar HBV DNA dan normalisasi
ALT dibandingkan lamivudine tunggal (Chen, 2009). Pada dosis tinggi adefovir dipivoxil
akan meningkatkan angka kejadian malformasi fetus pada tikus bila diberikan 38 kali dosis
manusia. Pada dosis 4 kali sampai 10 kali dosis manusia tidak meningkatkan angka kejadian
malformasi fetus. Belum ada penelitian yang pernah dilakukan pada wanita hamil sehingga
belum ada data mengenai keamanannya pada manusia dan apakah obat ini diekskresikan di
air susu ibu.
IV. 3. 3. Entecavir
IV. 3. 4. Tenofovir
Dari penelitian pada penderita yang tidak hamil dikatakan tenofovir mempunyai efek
yang lebih bagus dibandingkan dengan adefovir dalam menurunkan kadar HBV DNA selama
pemakaian 48 minggu (Marcellin, 2008). Sampai saat ini belum pernah dilaporkan adanya
HBV resisten terhadap tenofovir. Tenofovir dikatakan aman untuk kehamilan bahkan pada
trimester 1 dan tidak meningkatkan angka mutasi virus HBV
IV. 3. 5. Telbivudine
Pan, 2012 0/54 (0%) 3/35 (8,57%) 0/54 (0%) 3/35 (8,57%)
Han, 2012 0/118 (0%) 8/97 (8,25%) 0/118 (0%) 8/97 (8,25%)
Total 5/420 (1,19%) 49/366 (13,39%) 2/392 (0,51%) 34/306 (11,11%)
Dari penelitian-penelitian tesebut dapat disimpulkan bahwa pemberian telbivudin pada 20-30
minggu kehamilan sampai 1 bulan pasca persalinan mampu menghambat transmisi HBV
intrauterin. Namun belum ada penelitian yang membandingkan secara luas antara pemberian
jenis obat antiviral satu dengan yang lain.
IV. 4. Interferon α
Semua obat analog nucleosida mempunyai potensial inhibisi terhadap DNA gamma
polimerase pada replikasi mitokondria dimana berkurangnya jumlah DNA mitokondria
intraseluler dapat berdampak secara klinis yang berkaitan dengan keracunan mitokondria
seperti neuropati, miopati, asidosis laktat. Sehingga penderita harus dimonitoring secara rutin
fungsi ginjalnya serta diperlukan modifikasi dosis pada pasien dengan renal insufisiensi.
Penggunaan jangka panjang tenofovir juga dilaporkan mengakibatkan berkurangnya densitas
tulang pada pasien HIV, pada pasien dengan HBV belum ada penelitian prospektif mengenai
hal ini. (Fontana, 2009)
Fungsi utama dari mitokondria adalah untuk metabolisme asam lemak dan piruvat
menjadi adenosin trifosfat (ATP). Mitokondria juga bisa menstimulasi terbentuknya ROS
(Reactive Oxygen Species) yang dapat menyebabkan stres oksidatif jika ada
ketidakseimbangan antara produksi dan intracelluler antioxidant defence. Terjadinya inhibisi
terhadap mtDNA polymerase gamma oleh analog nucleoside dapat menyebabkan
menurunnya jumlah mtDNA intraseluler dengan hasil akhir terjadi oxidative phosphorylation
dan kerusakan sel. Gejala klinis keracunan analog nucleosida bervariasi tergantung organ
yang terkena meliputi myopati, neuropati, steatosis hepatis, pancreatitis, makrositosis,
asidosis laktat dan nefropati.
0,5mg/tiap 3
hari
Dialisis 10 mg/hari 10 mg/ 0,05 mg/hari 600 300
minggu atau 0,5 mg/minggu mg/minggu
mg/minggu
Efek Jarang : Nefrotoksik miopati nefrotoksik
samping miopati, pada dosis
neuropati, tinggi
pancreatitis
a. Nefrotoksik
Dikarenakan efek nefrotoksiknya, maka pemberian antiviral pada pasien dengan
insufisiensi fungsi renal membutuhkan penyesuaian dosis dan interval dosis.
Nefrotoksik ditandai dengan peningkatan dari serum kreatinin dan penurunan dari
serum fosfat pada 4-12 bulan setelah dimulainya terapi. Toksisitas terhadap ginjal
disebabkan karena “proximal tubular injury” yang secara klinis ditandai dengan
asidosis tubular seperti pada sindroma Fanconi ditandai dengan poliuria, polidipsi,
tanda-tanda dehidrasi, hipofosfatemi, hipokalemi, hiperkloremia, dan asidosis. Gejala
nefrotoksik umumnya reversibel bila terapi dihentikan. Bagaimana obat antiviral bisa
bersifat nefrotoksik sampai saat ini belum diketahui secara jelas namun diduga
berkaitan dengan perubahan pada transporter tubular renal, apoptosis, atau kerusakan
dari mitokondria. Nefrotoksik terjadi pada sepertiga pasien yang mendapatkan
adefovir 30mg/hari selama 6 bulan (Izzedine, 2004). Tenofovir lebih jarang
menimbulkan gejala nefrotoksik meskipun secara struktur kimia keduanya sangat
mirip dan dosis tenofovir yang lebih tinggi 300mg/hari namun sampai saat ini belum
ada penelitian tentang efek nefrotoksik dalam jangka panjang.
Oleh sebab itu setiap pasien yang mendapatkan terapi antiviral harus diperiksa secara
berkala serum kreatinin dan serum fosfat selama pengobatan setiap 2-3 bulan. Pada
pasien dengan gangguan ginjal sedang-ringan, pemeriksaaan fungsi ginjal setiap
bulan. Penyesuaian dosis dilakukan bila kadar serum kreatinin meningkat > 0,5
mg/dL diatas batas atas normal dan bila serum fosfat kurang dari 2 mg/dL.
BAB V
RINGKASAN
Pencegahan yang efektif transmisi ibu ke janin merupakan hal yang penting untuk
mengurangi beban nasional dan dunia berkaitan dengan pembiayaan medis penderita hepatitis
B dan komplikasinya. Tidak ada panduan khusus mengenai tatalaksana pencegahan transmisi
HBV dari ibu ke janin namun bisa disimpulkan bahwa dengan menurunkan kadar viral load
pada ibu dengan kadar HBV DNA yang tinggi dapat menurunkan angka transmisi HBV
(Dusheiko, 2012). Kadar HBV DNA > 107 kopi/mL atau > 200.000 IU/mL dikatakan mampu
meningkatkan resiko terjadinya transmisi HBV intrauterin sehingga perlu dipertimbangkan
untuk mendapatkan terapi selama kehamilan dengan tujuan menurunkan kadar HBV DNA
ibu dan mengurangi transmisi virus (Browej, 2010)
Tatalaksana hepatitis B dalam kehamilan telah banyak berkembang pada 10 tahun
terakhir. Jenis terapi pada hepatitis B dalam kehamilan meliputi interferon α, obat antiviral,
injeksi HBIG pada ibu hamil dengan hepatitis B. Telah banyak penelitian yang dilakukan
mengenai tatalaksana hepatitis B dan efektivitas terapi terhadap pencegahan transmisi HBV
intrauterin. Pilihan terapi untuk ibu hamil harus mempertimbangkan apakah obat tersebut
melewati barier plasenta, apakah ada efek teratogenik, dan apakah obat diekskresikan ke air
susu ibu.
Pemeriksaan antenatal rutin harus memasukkan pemeriksaan HbsAg pada saat
trimester awal, jika hasilnya negatif maka bayi yang lahir akan diberikan imunisasi hepatitis
rutin sedangkan ibu hamil tidak perlu diberikan imunisasi selama kehamilan, meskipun
vaksinasi hepatitis aman terhadap kehamilan namun hanya perlu diberikan pada ibu hamil
dengan resiko tinggi. Pada ibu hamil yang positif hepatitis B pada awal kehamilan maka
pemeriksaan untuk mengetahui status penyakit hepatitis B perlu dilakukan, jika penderita
mempunyai status penyakit heptitis B yang aktif (ditandai dengan ALT yang tinggi, HBV
DNA tinggi) atau jika dicurigai adanya sirosis hepatis maka terapi antiviral diberikan segera
tanpa mempertimbangkan usia kehamilan. Pada penderita dengan kadar HBV DNA yang
rendah, serum ALT yang rendah dan tanpa tanda-tanda flare maka pengobatan antiviral tidak
diperlukan namun monitoring berkala tetap dibutuhkan mengingat kehamilan terutama pada
semester akhir dan masa postpartum resiko terjadinya flare meningkat (Browej, 2010)
30
REFERAT II TATALAKSANA HEPATITIS B DALAM… DIAN KURNIAWATI
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 31
Pada akhir trimester kedua kehamilan (28-32 minggu) pemeriksaan kadar HBV DNA
diperlukan untuk menentukan apakah dibutuhkan terapi antiviral pada trimester 3 untuk
menurunkan kadar HBV DNA. Ibu hamil dengan kadar HBV DNA > 107 kopi/mL harus
dipertimbangkan pemberian antiviral pada awal trimester tiga kehamilan untuk mencegah
transmisi perinatal. Riwayat kehamilan yang sebelumnya juga harus dipertimbangkan, jika
pada kehamilan sebelumnya didapatkan adanya transmisi perinatal maka sangat dianjurkan
memberikan terapi antiviral tanpa memandang kadar HBV DNA ibu. Saat diputuskan untuk
memberikan terapi antiviral maka terapi diteruskan selama kehamilan sampai masa
postpartum.
Ibu hamil yang baru didiagnosa hepatitis B saat kehamilan memerlukan pemeriksaan
yang lebih teliti. Keputusan untuk memulai terapi harus mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian baik untuk ibu maupun fetus dan trimester dari kehamilan. Kebutuhan akan terapi
antiviral pada ibu hamil ditentukan oleh tingkat keparahan dari penyakitnya (adakah sirosis
hati atau kerusakan hati yan lain). Terapi antiviral sangat dianjurkan pada ibu hamil dengan
komplikasi yang berat. (Browej, 2010)
Saat ini terapi pencegahan transmisi HBV dari ibu ke janin sangat berkembang pesat
dengan banyaknya penelitian-penelitian yang dilakukan. Salah satu upaya pencegahan
tersebut meliputi vaksinasi, pemberian obat antiviral, interferon α, dan injeksi HBIG pada
wanita hamil dengan kadar HBV DNA yang tinggi
Semua obat analog nucleosida mempunyai potensial inhibisi terhadap DNA gamma
polimerase pada replikasi mitokondria dimana berkurangnya jumlah DNA mitokondria
intraseluler dapat berdampak secara klinis yang berkaitan dengan keracunan mitokondria
seperti neuropati, miopati, asidosis laktat. Sehingga penderita harus dimonitoring secara rutin
fungsi ginjalnya serta diperlukan modifikasi dosis pada pasien dengan renal insufisiensi.
Penggunaan jangka panjang tenofovir juga dilaporkan mengakibatkan berkurangnya densitas
tulang pada pasien HIV, pada pasien dengan HBV belum ada penelitian prospektif mengenai
hal ini. (Fontana, 2009)