Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
infeksi yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang banyak ditemukan di
daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir
terjadi peningkatan terhadap penyebaran kasus DBD didaerah urban dan semi
urban, sehingga hal tersebut menjadi perhatian utama kesehatan masyarakat
internasional. (World Health Organization , 2012)
Angka terjadinya kasus DBD mengalami peningkatan secara drastis
diseluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir. Lebih dari 2,5 milyar
penduduk didunia, lebih dari 40%nya beresiko mengalami DBD. Saat ini,
diperkirakan 50-100 juta orang di seluruh dunia terinfeksi demam berdarah
dengue setiap tahunnya. (WHO, 2012)
Sebelum tahun 1970, hanya sembilan negara yang dilaporkan mengalami
epidemi demam berdarah yang cukup parah, akan tetapi untuk saat ini
penyakit demam berdarah menjadi endemik di berbagai negara di kawasan
Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia tenggara dan Pasifik Barat yang
merupakan daerah paling serius terkena dampak dari penyakit tersebut. Kasus
demam berdarah di Amerika, Asia tenggara dan Pasifik Barat melebihi 1,2 juta
kasus pada tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta pada tahun 2010. (WHO, 2012)
Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia dengan kelembaban
udara yang cukup tinggi menjadi pemicu berkembang biaknya nyamuk seperti
Aedes aegypti yang merupakan salah satu vektor DBD, sehingga DBD mudah
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Hal tersebut menyebabkan
masalah kesehatan karena terdapat banyak daerah endemik sehingga jumlah
penderita semakin meningkat dan penyebaran pun semakin meluas ke wilayah
lain dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. (Widoyono,
2008).
Dampak peningkatan serta meluasnya penyebaran DBD dapat berpengaruh
terhadap perekonomian, dikarenakan kehilangan waktu kerja, waktu
pendidikan maupun biaya selama perawatan penderita DBD selama sakit,
selain itu jika tidak ditangani secara serius maka akan berdampak terhadap
tingginya angka kesakitan dan meningkatkan resiko terjadinya kematian
penderita DBD jika tidak ditangani secara cepat dan tepat. (Depkes RI, 2011)
Departemen kesehatan RI (2018) menyatakan angka kesakitan penderita
DBD per 100.000 penduduk pada tahun 2017 adalah 22.55%, sedangkan
untuk angka kematian akibat DBD pada tahun 2017 adalah 0,75 %. (Depkes
RI,2018)
Dinas kesehatan provinsi jawa barat menyatakan Jumlah penderita
penyakit DBD di Provinsi Jawa Barat tahun 2016 mencapai 37.418 kasus
lebih tinggi dibanding tahun 2015 (22.111 kasus). Demikian juga dengan
risiko kejadian DBD di Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan tajam
dari 47.34/100.000 penduduk menjadi 78.98/100.000 penduduk. Jumlah
Kematian DBD tahun 2016 mencapai 277 orang dengan CFR sebesar 0.74%,
ini menunjukan penurunan dibanding tahun 2015 yang sebesar 0,83%. (Diskes
Jabar, 2017)
Dinas kesehatan kabupaten bogor menyatakan jumlah penderita DBD
selama kurun waktu 5 tahn terakhir cenderung mengalami fluktuatif, jumlah
penderita dDBD tahun 2012 sebesar 1.580 orang dan tahun 2016 meningkat
tajam menjadi 3.447 orang. Berdasarkan insiden DBD di kabupaten Bogor
dapat dibagi menjadi daerah endemis, sporadis, dan potensial. Daerah endemis
terdapat 23 kecamatan, salah satunya kecamatan Citeureup. (Dinkes Kab
Bogor, 2017)3
Kecamatan Citeureup adalah daerah endemis tinggi DHF, karena hampir
setiap tahun terjadi kasus DHF, terutama di Kelurahan Karang Asem Barat,
Desa Karang Asem Timur dan Desa Puspasari. Jumlah seluruh kasus yang ada
selama tahun 2017 adalah 9 kasus, semua kasus dirawat di Rumah Sakit.
Berdasarkan data-data tersebut maka peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian tentang demam berdarah dengue (DBD) dengan judul “Pengaruh
Pemaparan Materi Demam Berdarah Terhadap Pengetahuan Kader di Desa
Puspasari”

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan pada penelitian ini
adalah “bagaimana pengaruh pemaparan materi Demam Berdarah terhadap
pengetahuan kader –kader di Desa Puspasari ?”

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang Demam Berdarah di Desa
Puspasari
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengetahuan kader–kader mengenai penyakit Demam
Berdarah di Desa Puspasari
b. Mengetahui pengaruh pemaparan materi Demam Berdarah terhadap
pengetahuan kader di Desa Puspasari
c. Membantu mencegah meluasnya kasus Demam Berdarah di Desa
Puspasari

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit DBD semakin meningkat,
sehingga mereka memiliki kesadaran untuk ikut serta dalam mencegah
terjadinya penyakit DBD.
1.4.2. Membantu pihak puskesmas dalam hal pencegahan penyakit DBD di Desa
Puspasari.

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan


oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi dengan salah satu dari empat virus
dengue. Virus tersebut dapat menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa
(WHO, 2013). Sedangkan menurut Depkes RI, DBD adalah penyakit akut
yang disebabkan oleh Virus DBD dan ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk (Aedes aegypti atau Aedes albopictus) yang terinfeksi virus
DBD. (Depkes RI, 2011)

Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh


virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia,
diathesis hemoragik dan perembesan plasma.Yang membedakan demam
berdarah dengue dengan demam dengue adalah ada tidaknya perembesan
plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. (Suhendro, 2006)

Demam dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri
otot, sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan ruam- ruam.
Demam berdarah dengue/ dengue hemorraghagic fever (DHF) adalah demam
dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi perdarahan. Pada
keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh
dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut
dengue shock syndrome (DSS) (Mardiana, 2010).

2.2 Epidemiologi
Epidemi penyakit demam dengue (dengue fever/ DF) pertama kali
dilaporkan di Batavia oleh David Bylon pada tahun 1779. Penyakit ini disebut
penyakit demam 5 hari. Wabah demam dengue terjadi pada tahun 1871- 1873
di Zanzibar kemudian di Pantai Arab dan terus menyebar ke Samudra Hindia.
Quintos dkk, pada tahun 1953 melaporkan kasus demam berdarah dengue di
Philipina, kemudian disusul negara- negara lain seperti Thailand dan Vietnam.
Pada dekade 60-an penyakit ini mulai menyebar ke negara- negara Asia
Tenggara, antara lain Singapura, Malaysia, Srilangka dan Indonesia. Pada
dekade 70-an, penyakit ini menyerang di kawasan Pasifik termasuk di
kepulauan Polinesia. Dekade 80-an demam berdarah menyerang negara-
negara Amerika Latin, yang dimulai dengan negara Kuba pada tahun 1981.
Penyakit demam berdarah hingga saat ini terus menyebar luas di negara-
negara tropis dan sub tropis. (Nisa, 2007)
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat,
dan Karibia.Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran merata di
seluruh tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk
(pada 1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam hingga 35 per 100.000
penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Penularan infeksi virus dengue melalui
vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A.
albopictus).Peningkatan kasus tiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu
bejana berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air
lainnya)
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
penularan virus dengue, yaitu: (1) Vektor: perkembangbiakan vektor,
kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari
satu tempat ke tempat lain; (2) Pejamu: terdapatnya penderita di
lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis
kelamin; (3) Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

2.3 Vektor Penyebab


Penyebab demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4
serotipe virus yang berbeda antigen. Virus ini adalah kelompok flavivirus dan
serotype tersebut terdiri dari DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN 4, sedangkan
menurut Depkes RI 2012 menjelaskan bahwa dari 4 serotype tersebut yang
terbanyak kasusnya disebabkan oleh serotype DEN-3 dan DEN-2. Infeksi oleh
salah satu jenis serotype akan memberikan imunitas seumur hidup terhadap
serotype tersebut, tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotype yang
lain. (Mardiana, 2010)
Vektor primer dan yang paling efektif terhadap penyakit DBD adalah
nyamuk Aedes aegypti (di daerah perkotaan) yang merupakan nyamuk tropis
dan subtropis, akan tetapi distribusi nyamuk ini dibatasi oleh ketinggian,
biasanya tidak dijumpai pada daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter
dan vektor sekundernya yaitu nyamuk Aedes albopictus (di daerah pedesaan).
(Widoyono, 2008)
Nyamuk Aedes aegypti aktif menggigit pada waktu pagi hari (pukul 08.00-
12.00) dan sore hari (pukul 15.00–17.00). Nyamuk Aedes aegypti ini hidup
dan berkembang biak pada tempat- tempat penampungan air bersih yang tidak
langsung berhubungan dengan tanah seperti: vas bunga, toren air, bak mandi,
tempayan, ban bekas, kaleng bekas, botol minuman bekas dll. (Depkes RI,
2012)
Perkembangan hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur hingga dewasa
memerlukan waktu sekitar 10-12 hari. Ginanjar (2007) menjelaskan bahwa
hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih
darah manusia untuk mematangkan telurnya, sedangkan nyamuk jantan tidak
menghisap darah manusia, melainkan hidup dari sari bunga tumbuh-
tumbuhan.( Hadinegoro, 2004)
Umur nyamuk Aedes aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3
bulan atau rata- rata 1½ bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara
disekelilingnya. Kemampuan terbangnya berkisar antara 40-100 meter dari
tempat perkembangbiakannya. Tempat istirahat yang disukai nyamuk Aedes
aegypti adalah benda-benda yang tergantung yang ada didalam rumah, seperti
gordyn ataupun baju-baju dikamar yang gelap dan lembab, sehingga menjadi
tempat perindukan yang baik bagi nyamuk Aedes aegypti, terutama pada
pemukiman penduduk yang tidak dibersihkan. ( Hadinegoro, 2004)
Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim hujan, dimana
terdapat banyak genangan air bersih yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakkan nyamuk Aedes aegypti. Vektor lain penyebab demam
berdarah juga dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus, namun nyamuk
ini kurang berperan dalam menyebarkan penyakit demam berdarah, jika
dibandingkan dengan nyamuk Aedes aegypti. Hal ini karena nyamuk Aedes
albopictus hidup dan berkembangbiak dikebun atau semak- semak, sehingga
lebih jarang kontak dengan manusia dibandingkan dengan nyamuk Aedes
aegypti yang berada didalam dan disekitar rumah. (Hadinegoro, 2004)

2.4 Faktor Risiko


Infeksi sekunder dengue merupakan faktor risiko untuk DBD, termasuk
juga antibodi- pasif pada bayi. Strain virus juga merupakan faktor risiko untuk
terkena DHF, tidak semua tipe virus berpotensi menimbulkan epidemi atau
mengakibatkan kasus yang parah. Usia dan genetik pejamu juga termasuk
faktor risiko terhadap DBD. Walaupun DBD dapat dan memang menyerang
orang dewasa, kebanyakan kasusnya ditemukan pada anak- anak yang berusia
kurang dari 15 tahun, dan bukti tidak langsung memperlihatkan bahwa
beberapa kelompok di masyarakat mungkin justru lebih rentan terhadap
sindrom pecahnya pembuluh darah daripada kelompok lainnya. (WHO, 2005)

2.5 Siklus Penularan


Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi
terinfeksi saat menghisap darah dari manusia yang sedang sakit dan viremia
(terdapat virus dalam darah). Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama
8-10 hari, sehingga kelenjar air liur nyamuk menjadi terinfeksi dan virus dapat
disebarkan ketika nyamuk menggigit dan menginjeksikan air liur ke luka
gigitan pada orang lain. Dalam tubuh manusia, virus akan berkembang selama
3-14 hari (rata-rata 4-6 hari). Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus
dengue tidak semuanya akan sakit DBD, tergantung dari status imunitas setiap
individu, ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya,
bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit, meskipun tidak mengalami
tanda dan gejala sakit, orang tersebut merupakan pembawa virus dengue
selama satu minggu. Akan tetapi pada individu yang imunitasnya lemah, akan
tampak gejala awal seperti demam, sakit kepala, mialgia, hilang nafsu makan,
dan gejala nonspesifik lain termasuk mual, muntah dan ruam kulit (Widoyono,
2008).

2.6 Patogenesis
Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui perantara gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus dengue tersebut akan
masuk kedalam sirkulasi darah dengan masa inkubasi virus terjadi selama 3-
15 hari (rata-rata 7-10 hari). Selama masa inkubasi, virus akan memperbanyak
diri dengan cara replikasi. (Nasronudin, 2007)
WHO (2005) menjelaskan bahwa patogenesis DHF menyebabkan perubahan
pada fisiologis manusia yaitu:
• Meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya
plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat kejadian unik
yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga
peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-48 jam).
• Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni
dan koagulopati, mendahului terjadinya manifestasi perdarahan.
Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD.Kadar C3
dan C5 rendah, sedangkan C3a serta C5a meningkat.Mekanisme aktivasi
komplemen tersebut belum diketahui.Adanya kompleks imun telah dilaporkan
pada DBD, namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai
penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti.(WHO, 2005)
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan
dengan DD dijelaskan dengan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di
dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infeksi dengue
sebelumnya.Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons
imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD. (WHO, 2005)

2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis infeksi virus Dengue pada manusia sangat bervariasi.
Spektrum variasinya begitu luas, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang
tidak spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, hingga yang paling
berat yaitu dengue shock syndrome (DSS). Diagnosis demam berdarah dengue
ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997, terdiri
dari kriteria klinis dan laboratoris.Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk
mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis)

2.7.1. Kriteria Klinis


1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan:
- Uji tourniquet positif
- Petekia, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan atau melena

2.7.2. Kriteria Laboratoris :


- Trombositopeni (trombosit < 100.000/ml)
- Hemokonsentrasi (kenaikan Hematokrit (Htc)> 20%)
Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO membagi menjadi 4
derajat seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi Infeksi Dengue berdasarkan Derajat Penyakit

Kategori Derajat Gejala Laboratorium

DD Demam diserai 2/lebih - Leukopenia


tanda: nyeri kepala, - trombositopenia ringan
nyeri retro-orbital, - tidak ada tanda
nyeri otot dan nyeri kebocoran plasma
sendi
DBD I Gejala di atas + uji - trombositopenia
tourniquet positif <100.000 /ml
- ada kebocoran plasma
DBD II Gejala di atas - trombositopenia <100.000 /ml
+ perdarahan spontan - ada kebocoran plasma
DBD III Gejala di atas + tanda- - trombositopenia <100.000 /ml
tanda pre-syok (kulit - ada kebocoran plasma
dingin, lembab, dan
gelisah, nadi cepat,
tekanan darah turun)
DBD IV Syok berat (nadi tidak - trombositopenia <100.000 /ml
teraba, tekanan darah - ada kebocoran plasma
tidak terukur)

Adapun yang dimaksud tanda-tanda kebocoran plasma (plasma


leakage) antara lain:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
- Hipoproteinemia
- Hiponatremia
- Efusi pleura atau asites

2.8 Diagnosis
Diagnosis DBD dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
maupun pemeriksaan penunjang.Adapun hal-hal yang menyangkut anamnesis
dan pemeriksaan fisik telah dibahas pada sub bab 2.4 mengenai manifestasi
klinis DBD. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis DBD antara lain:
2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang umum dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam berdarah dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb),
hematokrit (Htc), jumlah trombosit, dan hitung jenis leukosit untuk melihat
ada tidaknya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru
(LPB).
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction). Namun karena teknik ini masih
sulit dilakukan dan biayanya mahal maka dapat digunakan juga uji serologis
yang dapat mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap virus dengue dengan
memeriksa kadar IgM dan IgG.
Parameter-parameter lainnya yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan
darah adalah:
• Leukosit: dapat berupa leukositosis atau leukopenia, mulai hari ke-3 dapat
ditemukan limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit) disertai limfosit
plasma biru (> 15% dari total leukosit di mana pada fase syok akan
meningkat jumlahnya
• Trombosit: terjadi trombositopenia pada hari ke-3 sampai hari ke-8
• Hematokrit: terjadi peningkatan hematokrit >20% dari nilai hematokrit
awal, umumnya mulai terlihat padaa hari ke-3 demam
• Hemostasis: dilakukan pemeriksaan waktu perdarahan, CT, PPT, aPTT jika
dicurigai adanya perdarahan ataupun kelainan pembekuan darah
• Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia jika ada kebocoran plasma
• Faal hati: dapat terjadi peningkatan enzim hati SGOT/SGPT
• Faal ginjal: dapat terjadi peningkatan ureum, kreatinin terutama jika terjadi
syok
• Imunoserologis: dapat terjadi peningkatan IgM antidengue mulai hari ke-3
sampai dengan minggu ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari, serta
terjadi peningkatan IgG mulai hari ke-14 (infeksi primer) atau hari ke-2
(infeksi sekunder)
• Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI): uji ini merupakan standar WHO untuk
kepentingan surveilans. Uji ini memerlukan minimal 2 sampel serum pada
fase akut dan fase konvalesens (penyembuhan) dengan interpretasi seperti
pada tabelberikut ini.
Tabel 2. Interpretasi Hasil Uji Hemaglutinasi Inhibisi

Interval Serum Serum I-II Titer Serum II Kesimpulan


I-II
≥ 7 hari ≥ 4 kali ≤ 1: 1280 Infeksi Primer
Berapapun ≥ 4 kali ≥ 1: 1560 Infeksi Sekunder
< 7 hari ≥ 4 kali ≤ 1: 1280 Infeksi primer
atau infeksi
sekunder
Berapapun tidak ada ≥ 1: 2560 Mungkin infeksi
dengue
≥ 7 hari tidak ada ≤ 1: 1280 Bukan infeksi
dengue
< 7 hari tidak ada ≤ 1: 1280 Tidak bisa
disimpulkan
Hanya 1 serum ≤ 1: 1280 Tidak bisa
disimpulkan
2.8.2 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dilakukan untuk membantu
mendeteksi komplikasi dari DBD yaitu efusi pleura dan asites. Efusi pleura
dapat dilihat pada foto thorax PA dan lateral, sedangkan asites dapat
ditemukan pada pemeriksaan USG Abdomen.

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Promotif
Kegiatan promotif untuk mencegah meluasnya kasus DBD di masyarakat
adalah melalui semboyan “3M plus” yaitu menguras bak mandi minimal
seminggu sekali, menutup tempat-tempat penampungan air, mengubur barang-
barang bekas yang dapat menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes
aegypti, pemberian bubuk abate di tempat-tempat penampungan air atau
ikanisasi tempat penampungan air untuk membunuh jentik-jentik nyamuk,
serta melakukan fogging atau pengasapan untuk membunuh nyamuk dewasa.
2.9.2 Preventif
Mengingat obat dan vaksin pencegah penyakit DBD hingga saat ini
belum tersedia, maka upaya pemberantasan penyakit DBD dititik beratkan
pada pemberantasan vektor nyamuk disamping kewaspadaan dini terhadap
kasus DBD. (Hadinegoro, 2004). Tujuan dari pada program pemberantasan
vektor ialah menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBD, mencegah
dan menanggulangi KLB, meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dalam
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) (Widoyono (2008).
Berdasarkan permasalahan diatas, maka dibuatlah Kepmenkes no.
581/Tahun 1992, yang ditetapkan sebagai Program Nasional Penanggulangan
DBD yang terdiri dari 8 pokok program yaitu, surveilans kasus DBD,
Pemberantasan Vektor, Penatalaksanaan Kasus, Penyuluhan, Kemitraan
dalam pembentukan kelompok kerja operasional DBD (Pokjanal DBD), peran
serta masyarakat melalui pembentukan kader juru pemantau jentik
(Jumantik), Pelatihan dan Penelitian terkait DBD.

Terdapat beberapa upaya preventif yang dapat dilakukan, diantaranya :


a. Manajemen lingkungan
Manajemen lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat
mencegah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor sehingga
kontak antara manusia dan vektor berkurang (WHO, 2005).
Menurut Hadinegoro (2004) menjelaskan bahwa cara yang tepat
guna menekan pertumbuhan vektor ialah dengan melaksanakan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu menghindari
menggantung pakaian dikamar yang gelap dan lembab karena dapat
menjadi tempat perindukan bagi nyamuk serta meningkatkan
kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam membasmi jentik
nyamuk penular demam berdarah dengan cara 3M yaitu: menguras
atau membersihkan secara teratur minimal seminggu sekali, menutup
rapat tempat penampungan air (bak mandi, kolam hias, drum, wadah
air minum hewan, pot bunga) dan mengubur atau menyingkirkan
barang bekas (ban, kaleng serta ember bekas) yang dapat menjadi
sarang nyamuk.
b. Perlindungan diri
Pakaian mengurangi risiko tergigit nyamuk jika pakaian itu cukup
tebal atau longgar. Baju lengan panjang dan celana panjang dengan
kaus kaki dapat melindungi tangan dan kaki, yang merupakan tempat
yang paling sering terkena gigitan nyamuk WHO (2005). Selain itu
untuk menghindari gigitan nyamuk Aedes Aegypti dapat
menggunakan kelambu bila tidur, memasang kawat kassa pada
ventilasi udara, memakai obat nyamuk bakar/semprot serta obat
nyamuk oles (repellent) di dalam maupun di luar rumah pada pagi
dan sore hari (Depkes RI, 2012).
c. Abatisasi
Abatisasi dilaksanakan didesa/ kelurahan endemis terutama
disekolah dan tempat- tempat umum. Semua tempat penampungan air
dirumah dan bangunan yang ditemukan jentik nyamuk ditaburi bubuk
abate sesuai dengan dosis yaitu 10 gram abate untuk 100 liter air
(WHO, 2005).
d. Pengendalian biologis
Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan agen
biologi untuk pengendalian vektor DBD. beberapa agen biologis yang
sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva
vektor DBD ialah ikan pemakan jentik yang terbukti efektif dan telah
digunakan salah satunya dikota Palembang adalah ikan cupang.
(Depkes RI, 2012)
Penelitian yang dilakukan oleh Taviv.Y dkk (2010), tentang
pengendalian DBD melalui pemanfaatan pemantauan jentik dan ikan
cupang mendapatkan hasil bahwa intervensi dengan pemanfaatan
ikan cupang plus pemantauan jentik lebih efektif untuk meningkatkan
Angka Bebas Jentik (ABJ) dan menurunkan House Index (HI),
Conteiner Index (CI), Breteau Index (BI).
e. Pemantauan Jentik Berkala (PJB)
Pemantauan jentik berkala yang dilakukan setiap 3 bulan di rumah
dan di tempat umum. Untuk pemantauan jentik berkala dirumah
dilakukan pemeriksaan sebanyak 100 rumah sebagai sampel untuk
setiap desa/ kelurahan. Hasil PJB ini diinformasikan pihak kesehatan
kepada kepala wilayah/ daerah setempat sebagai evaluasi dan dasar
penggerakan masyarakat dalam PSN DBD dan diharapkan angka
bebas jentik (ABJ) setiap kelurahan desa dapat mencapai lebih 95%
akan dapat menekan penyebaran penyakit DBD (Hadinegoro, 2004).
Depkes RI (2012) mengungkapkan salah satu kebijakan pemerintah
di dalam pengendalian DBD yaitu dengan melibatkan warga yang
ditugaskan menjadi kader jumantik dalam mengawasi kegiatan PSN
DBD. Kader Jumantik adalah juru pemantau jentik yang bertugas
memeriksa genangan-genangan air di dalam maupun luar rumah,
menemukan larva yang terdapat di dalam tempat-tempat yang dapat
menampung air, mengindentifikasi rumah-rumah yang tidak
berpenghuni dan mengajak pemilik rumah untuk berpartisipasi dalam
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara teratur. Penelitian yang
dilakukan oleh Chadijah dkk (2009) menjelaskan bahwa terjadi
peningkatan ABJ dan penurunan HI, BI, dan CI dengan
memberdayakan jumantik dalam mengawasi kegiatan pelaksanaan
PSN dimasyarakat di dua kelurahan kota Palu, Sulawesi Tengah.
f. Fogging Fokus
Fogging fokus merupakan kegiatan menyemprotkan insektisida
untuk membunuh nyamuk dewasa dan merupakan salah satu cara
yang cukup banyak dipakai di Indonesia, namun cara ini kurang
efektif karena hanya dapat membunuh nyamuk dewasa pada suatu
wilayah dengan radius 100-200 meter di sekitarnya dan efektif hanya
untuk satu sampai dua hari. Kegiatan fogging ini tidak dapat
membunuh larva nyamuk.
2.9.3 Kuratif
Tidak ada terapi yang spesifik untuk infeksi dengue, prinsip utama adalah
dengan terapi simtomatis.Dengan terapi simtomatis yang adekuat angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.Pemeliharaan volume
cairan intravaskular merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan demam berdarah dengue.Asupan cairan pasien harus dijaga
terutama cairan oral.Apabila asupan secara oral tidak dapat terpenuhi maka
alternatifnya dapat diberikan cairan secara parenteral untuk mencegah
terjadinya dehidrasi dan hemokonsentrasi darah
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
Divisi Tropik Infeksi dan Divisi Hematologi-Onkologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun penatalaksanaan DBD pada pasien
dewasa.Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
- Protokol 1: Penanganan Pasien Dewasa Tersangka DBD tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada pasien DBD atau yang diduga DBD di Instalasi
Gawat Darurat serta digunakan sebagai petunjuk dalam memutuskan
indikasi rawat.Adapun hal-hal yang harus dilakukan seperti terlihat pada
gambar di bawah ini.

Keluhan mengarah DBD

(Kriteria WHO 1997))

Hb, Hematokrit, dan Hb & Hematokrit


Hb & Hematokrit Hb & Hematokrit
Trombosit Normal Normal,Trombosit
Normal,Trombosit Meningkat,Trombosit
100.000-
<100.000 Normal/Turun
150.000

Observasi Rawat Jalan


RAWAT INAP
Periksa Hb, Hematokrit, dan
Trombosit 24 jam berikutnya
- Protokol II: Pemberian Cairan pada Pasien Tersangka DBD di Ruang
Rawat
Pasien tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut ini.

1500 + {20 x (Berat Badan dalam Kg – 20)}


atau dapat juga dijabarkan dalam Rumus Holiday-Segar yang dapat pula
digunakan pada pasien anak-anak. Adapun perhitungannya seperti pada tabel
di bawah ini.
Tabel 3. Tabel Perhitungan Kebutuhan Cairan Maintenance menurut
Holiday-Segar

Berat Badan (kg) Kebutuhan Cairan

≤ 10 kg 100 cc/kgBB/hari

11 – 20 kg 50 cc/kgBB/hari

> 20 kg 20 cc/kgBB/hari

Misal:
Pasien anak-anak dengan berat badan 15 kg, maka perhitungannya adalah
(10 kg x 100 cc/kg/hari) + (5 kg x 50 cc/kg/hari) = 1000 cc/hari + 250 cc/hari
= 1250 cc/hari
Pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, maka perhitungannya adalah
(10 kg x 100 cc/kg/hari) + (10 kg x 50 cc/kg/hari) + (30 kg x 20 cc/kg/hari) =
1000 cc/hari + 500 cc/hari + 600 cc/hari = 2100 cc/hari

Alur penatalaksanaan pasien tersangka DBD tanpa perdarahan dan syok di


ruang rawat dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Suspek DBD

Perdarahan spontan & massif (-)

Tanda-tanda syok (-)

Hb, Hematokrit Normal Hb, Hematokrit ↑ 10-20%

Trombosit < 100.000 Trombosit < 100.000 Hb, Hematokrit ↑>20%

Infus Kristaloid Infus Kristaloid Trombosit <100.000

Periksa Hb, Htc, Trombo /24 jam Periksa Hb, Htc, Trombo /24 jam

Penanganan dengan

Protokol III
- Protokol III: Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit
>20%
Meningkatnya hematokrit > 20% menunjukkan adanya defisit
cairan tubuh sebanyak kurang lebih 5%.Penatalaksanaannya seperti yang
terlihat pada bagan berikut ini.

Defisit Cairan 5%

Terapi awal cairan IV

6-7 cc/kgBB/jam

MEMBAIK Evaluasi 3-4 jam


TIDAK MEMBAIK
Hematokrit ↓
Hematokrit ↑, Nadi ↑
Nadi ↓, Tensi ↑
Tensi ↓<20 mmHg
Diuresis ↑ 2 cc/kgBB/Jam
Diuresis ↓

Kurangi infus kristaloid Tanda Vital dan Tambah infus kristaloid


Hematokrit
5 cc/kgBB/jam Memburuk 10 cc/kgBB/jam

MEMBAIK TIDAK MEMBAIK

Kurangi infus kristaloid Tambah infus kristaloid


- Protokol IV: Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD 15dapat
3 cc/kgBB/Jam cc/kgBB/jam
berupa
epistaksis, hematemesis, melena, hematokezia, hematuria, perdarahan
MEMBAIK TIDAK MEMBAIK
MEMBAIK
intraserebral atau perdarahan tersembunyi lainnya. Pada keadaan seperti ini
Tanda Syok (+)
pemberian cairan tetap sama seperti keadaan tanpa syok. Observasi tanda
vital, Terapi cairan dihentikan
Hb, hematokrit, dan trombosit sebaiknya dilakukan setiap 4-6 jam sekali.
dalam 24-48 jam Penanganan dengan
Protokol V
Pemberian heparin dilakukan bila secara klinis dan laboratoris
ditemukan tanda-tanda DIC (Disseminata Intravascular Coagulation).Tranfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. Tranfusi PRC (Pack Red Cells)
dilakukan bila Hb < 10 g/dl, tranfusi TC (Trombocyte Concentrate) dilakukan
bila trombosit <50.000/mm3 disertai perdarahan masif dengan atau tanpa
tanda-tanda DIC.Sedangkan FFP diberikan bila terdapat tanda defisiensi faktor
pembekuan (PT dan aPTT memanjang).
KASUS DBD:

Perdarahan spontan masif

Tanda-tanda syok (-)

Pemeriksaan Hb, Hematokrit,


Trombosit, Leukosit, Hemostasis,
Golongan Darah,

Uji Cross-Match

Dalam DIC (+):


memberikan transfusi komponen darah hendaknya
DIC (-): disesuaikan
dengan kebutuhan
Tranfusi komponen darahpasien.Ada
(k/p) rumus yang dapat
Tranfusi digunakan
komponen dalam
darah (k/p)
menentukan kebutuhan drip
Heparinisasi 5000-10.000/hari transfusi komponen darah. Untuk menentukan
Observasi tanda vital, Hb, Htc, Trombo tiap 4-6
kebutuhan transfusi PRC dapat digunakan rumus:
Observasi tanda vital, Hb, Htc, Trombo tiap 4-6
jam, ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam
kemudian
jam, ulang pemeriksaan hemostasis 24 jam
kemudian
(Hb target – Hb pasien) x Berat Badan (kg) x 3
Sedangkan kebutuhan trombosit dapat dihitung dengan perkiraan bahwa
50 cc suspensi trombosit dapat menaikkan kadar trombosit darah 7500-
10.000/mm3 pada pasien dengan berat badan minimal 50 kg. Ada beberapa
institusi yang menyatakan bahwa untuk membantu meningkatkan kadar
trombosit dapat juga ditambahkan Dexamethason atau Metilprednisolon
(parenteral). Namun pemberian kortikosteroid ini harus lebih hati-hati pada
pasien yang memiliki riwayat diabetes mellitus dan hipertensi, karena steroid
akan sangat mudah menaikkan kadar glukosa darah dan tekanan darah.

- Protokol V: Tatalaksana Dengue Shock Syndrome


Protokol ini digunakan bila pasien sudah menunjukkan tanda-tanda
syok (DBD Derajat III dan IV) yang merupakan kegawatdaruratan pada
penyakit ini.Tatalaksana Dengue Shock Syndrome (DSS) dapat dilihat seperti
pada bagan berikut ini.
Kristaloid 10-20 cc/kgBB/30 menit

O2 2-4 liter/menit

Periksa Analis Gas Darah (AGD), Hb, Htc,


Trombosit, Elektrolit, Ureum, Kreatinin,
Golongan Darah

MEMBAIK TIDAK MEMBAIK

Kristaloid 7 cc/kgBB/jam Kristaloid 20-30 cc/kgBB/30 menit

Hematokrit ↑ Hematokrit ↓
MEMBAIK MEMBURUK

Koloid tetes cepat Transfusi WB 10 cc/kgBB


Kristaloid 5 cc/kgBB/jam Kembali Ke Awal

10-20 cc/kgBB/10-15 menit Dapat diulang sesuai kebutuhan

MEMBAIK MEMBAIK TIDAK MEMBAIK


Kristaloid 3 cc/kgBB/jam
Menuju ke Koloid 30 cc/kgBB/jam

Evaluasi 24-48 jam, jika


MEMBAIK TIDAK MEMBAIK
tetap stabil berikan cairan
maintenance
Menuju ke Pasang PVC

HIPOVOLEMIK NORMOVOLEMIK

Kristaloid pantau tiap Koreksi Gangguan Asam Basa,


10-15 menit Elektrolit, Hipoglikemia,
Anemia, DIC, Infeksi sekunder

- Inotropik
Kombinasi Koloid- Perbaikan terhadap - Vasopressor
Kristaloid vasopressor - After load

PERBAIKAN

Koreksi Gangguan Asam Basa,


Elektrolit, Hipoglikemia,
Anemia, DIC, Infeksi sekunder
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Metode


Metode penelitian yang dignakan adalah penelitian eksperimntal, dengan
desain one group pre test-post test only, yaitu menggambarkan pengetahuan
kader tentang penyakit Demam Berdarah (DBD) di Desa Puspasari

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Desa Puspasari, Citeureup, Bogor-Jawa Barat.
Penelitian ini dillakukan pada 11 April 2018.

3.3 Populasi dan sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi dalam Penelitian ini adalah kader di desa Puspasari.
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah kader yang mengikuti kegiatan PSN di Desa
Puspasari
.

Populasi
Random Sampling

Sampel

Sebelum Pemberian Sesudah Pemberian


Materi Materi
3.4 Desain Penelitian

Pengetahuan Sesudah
Pengetahuan Sebelum
Pemberian Materi
Pemberian Materi

Paired Sample T-test


3.5 Variabel
3.5.1 Variabel Bebas : Pemaparan materi Demam Berdarah
3.5.2 Variabel terkait : Tingkat pengetahuan kader di Desa Puspasari Mengenai
Demam Berdarah
3.5.3 Variabel Pengganggu : Pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya
mengenai Demama Berdarah.

3.6 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh
informasi dari responden ialah menggunakan kuesioner yang berisi tentang
pengetahuan responden tentang DBD dengan alat ukur kuisioner
menggunakan skala Guttman, pemberian skor pada kuisioner ini ialah
jawaban benar diberikan skor 1 dan jawaban yang salah diberikan skor 0.

3.7 Metode pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh melalui pre test dan post test yang menggunakan kuesioner kepada
kader-kader di Desa Puspasari.

3.8 Pengolahan Data


Pengolahan data/manajemen data terdiri dari serangkaian tahapan yang
harus dilakukan agar data siap untuk diuji statistik dan dilakukan
analisis/interpretasi (Amran, 2012) Adapun tahap-tahap pengolahan data
meliputi:
1. Data Coding
Data coding merupakan kegiatan mengklasifikasi data dan memberi
kode untuk masing-masing kelas sesuai dengan tujuan
dikumpulkannya data. Dalam coding, data yang berbentuk huruf
diubah menjadi data berbentuk angka atau bilangan.
2. Data Editing
Tahap ini merupakan tahap kegiatan pengecekan data yang telah diisi.
Kegiatan yang dilakukan dalam editing adalah pengecekan dari sisi
kelengkapan, relevansi, dan konsistensi jawaban. Kelengkapan data
diperiksa dengan cara memastikan bahwa jumlah kuisiner yang
terkumpul sudah memenuhi jumlah sampel minimal yang ditentukan
dan memeriksa apakah setiap pertanyaan dalam kuisioner sudah
terjawab dan jelas. Relevansi dan konsistensi jawaban diperiksa
dengan cara melihat apakah ada data yang bertentangan dengan data
lain.
3. Data Structure
Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang dilakukan
dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat
mengembangkan struktur data, bagi masing-masing variabel perlu
ditetapkan: nama, skala ukur variabel, dan jumlah digit.

4. Data Entry
Data entry merupakan proses memasukkan data ke dalam program atau
fasilitas analisis data. Program untuk analisis data : SPSS 20.
5. Data Clearing
Tahapan ini merupakan tahapan pemeriksaan kembali data yang telah
masuk ke dalam komputer dengan memeriksa apakah ada kesalahan
yang terjadi di dalamnya. Clearing data dapat dilakukan dengan
mengamati distribusi frekuensi atau diagram tebar tiap variabel dan
memeriksa apakah ada nilai-nilai yang menyimpang.

3.9 Teknik Analisa data


Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistik paired T-Test
dengan menggunakkan program SPSS versi 20. Analisis univariat untuk
menggambarkan (mendeskripsikan ) adanya pengaruh dari pemberian materi
Demam Berdarah terhadap pengetahuan kader.

3.10 Pengukuran
Dalam Aspek pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
sebelum dan sesudah pemberian materi tentang Demam berdarah terhadap
pengetahuan kader-kader di Desa puspasari
3.10.2 Pengetahuan
Pengetahuan tentang Demam Berdarah ini diobservasi dan dapat
diukur dengan memeberikan skor terhadap soal pre test dan post test.
Jumlah pertanyaan sebanyak 25 soal dengan total skor 25.
Mengukur tingkat pengetahuan tentang pentingnya Demam berdarah
dilakukan dengan menjumlah total skor yang didapat dengan total skor
harapan pada masing-masing item pertanyaan, kemudian dibandingkan
kedua skor tersebut sehingga diperoleh tingkat pengetahuan (Syahadat,
2011)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Subyek Penelitian
Subyek adalah kader-kader di Desa Puspasari. Subyek yang datang pada
kegiatan PSN.
4.1.2 Hasil Penelitian
Pada peneltiian terdapat 30 orang subyek yang mengikuti pre test, Pada
pertemuan kedua terdapat 30 orang subyek yang mengikuti penyuluhan
hingga post test. Hal ini berarti bahwa subyek yang valid dinilai sejumlah 30
orang.
4.2. Pembahasan

Hasil evaluasi terhadap indkator summative evaluation (Output). Terdapat


peningkatan nilai post test terhadap pre test.
Tabel 4.1 Hasil Pre-test dan Post-Test

Uraian Pre-Test Post-Test

Jumlah Peserta 30 30

Nilai Minimum 13 16

Nilai Maksimum 22 23

Mean 17.20 19.17

Median 17 19

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan rata-


rata nilai pada pre-test 17.20 dan post-test 19.17
Hasil pre-test dan post-test kemudian diuji normalitasnya dengan uji
Shapiro-Wilk karena jumlah sampel yang terkumpul kurang dari 50
Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Data Pre-test dan Post-test

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Pre-test 0,191 30 0,007 0,943 30 0,108

Post-test 0,156 30 0,061 0,959 30 0,300

Berdasarkan hasil diatas, dapat diketahui bahwa distribusi data normal karena
nilai p pada post-test >0.05, karena distribusi data normal maka dilakukan uji
paired t-test untuk mengetahui signifikasi peningkatan pengetahuan peserta
dari data pre-test dan post-test.

Tabel 4.3 Hasil Uji Paired T-test

Mean N Std. Std. Error


Deviation Mean

Pre-test 17,20 30 1,901 ,347

Post-test 19,17 30 1,683 ,307

Keterangan :
Hasil tes menunjukkan bahwa nilai rata-rata pengetahuan kader tentang
Demam Berdarah sebelum diberi penyuluhan adalah 17.20 point (+/- 1,901).
Kemudian setelah diberikan penyuluhan adalah 19.17 point (+/- 1,683).
Pemberian materi penyuluhan Demam Berdarah menaikan rata-rata siswa
sebesar 1.97 point (p=0,05)
Pada hasil analisis dengan menggunakan paired t-test didapatkan p-value
sebesar0.000 (pM<0.050) maka hasilnya dianggap signifikanuntuk menolak
hipotesis nol, dan juga dapat diartikan bahwa H1 dapat diterima.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada kader-kader tentang


Demam Berdarah di Desa Puspasari maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :

- Dari analisis dengan uji Paired T-test ilai p sebesar 0,000 untuk
perbandingan antara pre-test dan post-test setelah diberikan intervensi.
Dengan nilai p sebesar 0,000 perarti p< 0,05 maka hasil uji dinyatakan
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna
antara pengetahuan kader sebelum dan sesudah pemberian materi
mengenai demam berdarah.
5.2 Saran
- Sosialisasi mengenai penyakit DBD dan PSN 3M Plus hendaknya
dilakukan secara berkala agar masyarakat tetap ingat dan semakin paham
mengenai pencegahan DBD.
- Puskesmas hendaknya mempersiapkan sarana dan prasarana serta
sumberdaya tenaga kesehatan di lingkungan Kecamatan Citeureup agar
tetap waspada jika sewaktu-waktu terjadi KLB DBD di wilayah
Kecamatan Citeureup.

DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Gerakan Indonesia Cinta Sehat Pembangunan Kesehatan
dengan Upaya Promotive- Preventive dengan Tidak Mengabaikan
Kuratif dan Rehabilitatif. Jakarta. 2012. Di akses dari URL
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/2052- gerakan-
indonesia-cinta-sehat-pembangunan-kesehatan-dengan- upaya-promotif-
preventif-dengan-tidak-mengabaikan-kuratif-dan- rehabilitatif.html
2. Depkes RI. Indonesia Prakarsai Pengendalian DBD di Asean. Diakses dari
URL http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1542-
indonesia-prakarsai-pengendalian-dbd-di-asean.html
3. Depkes RI. Kampanye “Tepat Tangani Demam Melalui Pelatihan Kader
Jumantik” sebagai Wujud Kerjasama Kementerian Kesehatan RI dan
Glaxosmithkline dalam Upaya Turunkan Kasus DBD dari URL
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1539- kampanye-
ayo-stop-dbd-peran-serta-masyarakat-dalam-upaya- memberantas-
dbd.html
4. Depkes RI. Pemberantasan Demam Berdarah Membutuhkan Komitmen
Semua Pihak diakses dari URL
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press- release/1547-
pemberantasan-demam-berdarah-membutuhkan- komitmen-semua-
pihak.html
5. Depkes RI.Penanggulangan NTD Merupakan Hak Asasi Manusia Cegah
Morbiditas, Mortalitas dan Cacat. Jakarta. 2012. Di akses dari URL
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/2065-
penanggulangan-ntd-merupakan-hak-asasi-manusia-cegah- morbiditas-
mortalitas-dan-cacat-.html
6. Depkes RI. Waspada Demam Berdarah Dengue.Jakarta.2012.Diakses dari
URL http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/439-waspada-
demam-berdarah-dengue.html
7. Hadinegoro Sri Rejeki. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.
8. Mardiana Ratna. Panduan Lengkap Kesehatan: Mengenal, Mencegah dan
Mengobati Penularan Penyakit dari Infeksi. Yogjakarta : Citra Pustaka.
2010
9. Nisa Hoirun. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta. 2007.
10. Nasronudin. Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini & Mendatang.
Surabaya : Airlangga University Press. 2007.
11. Suhendro, Nainggolan, Chen, Pohan. 2006. “Demam Berdarah Dengue”.
Disunting oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati.Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
12. Who. Dengue and severe dengue. Diakses dari URL
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
13. Widoyono. PENYAKIT TROPIS; Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga. 2008.

Anda mungkin juga menyukai