Anda di halaman 1dari 3

BEBERAPA FAKTOR PENENTU PENDIDIKAN KARAKTER

(Sigit Setyawan, S.S. M.Pd.)


Sekolah Notre Dame Jakarta

Keluarga dipercaya merupakan penentu utama pendidikan karakter. Institusi sekolah


merupakan institusi kedua yang dipercaya mendukung keluarga untuk membangun karakter
siswa. Sementara itu, peran teman sebaya menjadi faktor ketiga yang dipercaya menentukan
perkembangan karakter anak. Demikian pendapat 71 orang yang saya survey melalui akun media
sosial facebook dan watsapp pada 7 – 12 November 2018.
Berikut ini adalah pendapat 71 responden mengenai faktor penentu pendidikan karakter.
1. Sebanyak 91,5% responden menempatkan keluarga sebagai faktor utama.
2. Sebanyak 56,3% responden menempatkan sekolah sebagai faktor kedua.
3. Sebanyak 25,4% responden menempatkan teman sebaya sebagai faktor ketiga.
Kesimpulan awal dari survey sederhana ini adalah bahwa hampir seluruh responden
berpendapat, keluarga adalah tempat utama terjadinya pendidikan karakter.
Survey mengenai pendidikan karakter ini dilakukan oleh penulis untuk menjaring
perspektif orang-orang mengenai peran sekolah dalam pendidikan karakter. Dalam konteks
sekolah, Anne Lockwood (1997) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai kegiatan berbasis
sekolah yang secara sistematis bertujuan membentuk perilaku siswa. Sementara itu, masyarakat
tentu saja berpendapat bahwa keluarga adalah faktor penentu pendidikan karakter. Pendapat
tersebut tercermin dalam tanggapan responden.
Jika kita setuju pada pendapat responden, bahwa keluarga adalah faktor utama
pendidikan karakter, maka sekolah sangat perlu menempatkan diri sebagai rekan sekerja
(partner) dalam pendidikan karakter. Dalam triadik pendidikan disebutkan bahwa guru-siswa-
orangtua saling mempengaruhi demikian pula lingkungan sekolah – komunitas remaja –
keluarga pun saling mempengaruhi (Setyawan, 2013). Maka, untuk memajukan pendidikan
karakter di sekolah tidak ada pilihan lain bagi sekolah selain mengajak serta orangtua untuk
terlibat dalam pendidikan siswa.
Keterlibatan orangtua (keluarga) dalam pendidikan di sekolah bukan hal baru, meskipun
disadari merupakan hal yang telah berubah. Sebagai contoh, di masa lalu orangtua terkesan
sangat mendukung pendidikan anak di sekolah, tetapi seringkali saat ini tidak lagi demikian.
Sebuah gambar berikut ini ditemui di media sosial sebagai sebuah fenomena umum.

1
Gambar 1
(wonderinalexland.com)

Contoh gambar 1 di atas menunjukkan bahwa di masa lalu para orangtua menjadi rekan sekerja
guru, pada saat nilai siswa tidak bagus para orangtua ikut memarahi siswa. Namun, saat ini para
orangtua dianggap selalu berpihak kepada anak, saat nilai siswa tidak bagus orangtua justru
protes dan marah kepada guru. Gambar tersebut ingin menunjukkan bahwa orangtua bukan lagi
rekan sekerja guru.
Oleh karena itu, pertanyaan yang mengemukan kini adalah bagaimana sekolah bekerja
sama atau mengajak orangtua untuk ikut serta dalam pendidikan karakter. Apakah bertemu
setahun dua kali saat mengambil rapor sudah dianggap cukup? Berikut ini adalah beberapa hal
yang dapat dipertimbangkan.

1. Pertemuan Rutin Pengambilan Rapor


Pada saat pengambilan rapor guru dan orangtua perlu bertemu membicarakan
karakter siswa, bukan hanya nilai atau skor siswa di rapor.

2. Media
Perlu bagi sekolah untuk berkomunikasi melalui media misalnya majalah, surat, atau
informasi melalui website.

2
3. Sesi Seminar untuk Orangtua
Perlu bagi sekolah untuk mengadakan pertemuan-pertemuan seperti seminar atau
talkshow membahas perkembangan karakter siswa dan membahas persoalan-
persoalan siswa.

4. Teknologi Informasi
Untuk sekolah-sekolah tertentu yang telah menggunakan sistem informasi,
komunikasi antar guru dan orangtua dapat intensif dan sesuai dengan kebutuhan
zaman. Saat ini sangat banyak vendor atau start-up yang menawarkan berbagai
teknologi atau aplikasi yang dapat digunakan untuk berkomunikasi secara langsung
antara sekolah dan orangtua.

5. Sesi Pertemuan Khusus


Sesi khusus (parent conference) dapat dilakukan secara terjadwal. Sebagai contoh,
seorang guru mengundang para orangtua untuk bertemu membahas perkembangan
siswa

Kelima hal di atas menjadi beberapa hal yang dapat dilakukan oleh sekolah. Namun
demikian, sekolah juga perlu memiliki semacam “kurikulum” pendidikan karakter dengan
melibatkan guru dan staf di lingkungan sekolah. Di dalam “kurikulum” itu pun perlu disiapkan
“lingkungan belajar” (learning space) yang memang didesain untuk membentuk nilai-nilai
hidup.
Demikian, kita berharap bahwa pendidikan karakter siswa tidak hanya merupakan
tanggung jawab sekolah melainkan juga orangtua.

Referensi
Lockwood, A. 1997. Character Education: Controversy and Consesnsus. London: Sage.
Setyawan, Sigit. 2013. Guruku Panutanku. Yogyakarta: Kanisius

Anda mungkin juga menyukai