Anda di halaman 1dari 7

BAB 3

DISKUSI

Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan adanya bayangan ganda pada

mata kanan pasien. Bayangan ganda saat melihat suatu benda (diplopia) dapat

disebabkan karena faktor neurologis atau oftammologis. Diplopia pada pasien ini

terjadi pada satu mata (diplopia monokuler). Penyebab diplopia monokuler dapat

disebabkan karena kesalahan refraksi, defek kornea (seperti astigmatisme

iregular), trauma iris, iridektomi, katarak, defek makular, opasitas media refraksi

dan gangguan korteks visual (biasanya diplopia monokuler bilateral).3 Dari

anamnesis, riwayat kelainan refraksi sebelumnya disangkal, riwayat penglihatan

bayangan ganda sebelumnya disangkal, riwayat infeksi pada mata disangkal,

riwayat penggunaan lensa kontak juga disangkal. Hal ini dapat menyingkirkan

kemungkinan penyebab diplopia pada pasien ini diakibatkan oleh faktor diatas.

Namun, pada pasien didapatkan adanya riwayat trauma dan post ekstraksi corpus

alienum pada mata kanan lebih kurang 1 bulan yang lalu. Hal ini dapat kita

pikirkan sebagai penyebab timbulnya diplopia pada pasien ini, mungkin saja

terjadi gangguan pada nervus III, IV, dan VI akibat komplikasi tindakan operasi.

Diplopia juga dapat terjadi karena adanya pembatasan gerak okuler akibat adanya

suatu jaringan yang muncul pada mata.1

Selain penglihatan bayangan ganda, pasien juga mengeluhkan mata berair

dan merah. Mata merah dan berair dapat juga ditemui pada beberapa kasus seperti

infeksi (konjungtivitis, blefaritis), inflamasi (iritis, keratitis), pterigium, glaukoma,

dan lainnya. Nyeri yang memberat dapat mengindikasikan suatu keratitis atau

glaukoma akut, gatal atau iritasi ringan biasanya dikeluhkan pasien konjungtivitis
namun tidak nyeri hebat. Fotofobia merupakan keadaan mata yang sensitif pada

cahaya, keadaan ini memungkinkan adanya suatu iritis akibat inflamasi kornea.

Halo (warna seperti pelangi) yang terlihat pada sekitar titik cahaya biasanya

merupakan gejala dari udem kornea, bisa juga akibat peningkatan tekanan

intraokuler mendadak seperti pada glaukoma akut. Cairan mata yang bersifat

eksudat merupakan suatu gambaran inflamasi konjungtiva atau kelopak mata dan

biasanya dikeluhkan dengan kelopak mata terasa lengket.5 Pada pasien ini tidak

ditemukan adanya keluhan seperti nyeri, gatal, fotofobia, halo, eksudat, maupun

riwayat atopi, sehingga dapat disingkirkan penyebab mata merah akibat infeksi,

galukoma, dan alergi. Namun, dari pemeriksaan inspeksi pada mata tampak suatu

jaringan pada konjungtiva yang mengarah ke sentral dan melewati limbus. Hal ini

dapat dicurigai sebagai suatu pterigium, yaitu suatu lesi fibrovaskular berbentuk

segitiga yang berasal dari konjungtiva dan tumbuh serta menginfiltrasi menuju

kornea.2,4

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya asimptomatik, namun

dapat pula berupa mata kering (rasa panas, gatal, atau mata berair) akibat lesi yang

mulai berkembang pada permukaan okular. Seiring dengan progresi penyakit, lesi

bertambah besar dan mulai dapat dilihat dengan mata telanjang, serta dapat

mengganggu kosmetik bagi pasien. Pertumbuhan lebih lanjut akan menyebabkan

gejala pada visus ketika pterigium sudah menutupi daerah pupil atau akibat

astigmatisma kornea akibat fibrosis pada tahap regresif. Diplopia (bayangan

ganda) dapat timbul sebagai akibat pembatasan gerak okular.1

Pterigium sering ditemukan pada petani, nelayan, dan orang-orang yang

tinggal di dekat khatulistiwa. Insiden pada laki-laki tiga kali lebih sering
dibanding perempuan.4 Pada kasus ini, pasien adalah seorang petani kelapa sawit

yang sehari-hari bekerja di kebun dan terpapar oleh sinar matahari. Paparan sinar

matahari dalam waktu lama, terutama ultraviolet (UV), iritasi mata kronis oleh

debu dan kekeringan diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya pterigium.

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan

ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan

pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Sinar ultraviolet

diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi

sel.2 Sinar UV menyebabkan ekspresi abnormal Ki-67 (marker proliferasi) dan

mutasi pada gen supresor tumor, seperti p53 dan p63 yang menyebabkan

proliferasi abnormal epitel.1

Berdasarkan hasil pemeriksaan status oftalmikus, visus mata kanan pasien

tanpa koreksi 6/60 dan visus mata kiri tanpa koreksi 6/24. Penurunan visus pada

mata pasien disebabkan ?. Refleks fundus (+) kiri dan kanan, palpebra tidak ada

kelainan, injeksi konjungtiva (+) pada mata kiri dan kanan disebabkan karena

pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbar akibat adanya suatu jaringan yang

tumbuh pada bagian nasal kedua mata. Sklera putih, COA cukup dalam, iris,

pupil, lensa, dan corpus vitreus tidak ada kelainan. Pemeriksaan funduskopi dalam

batas normal, pemeriksaan tekanan bola mata dalam batas normal,

mengindikasikan tidak adanya gangguan pada mata bagian posterior. Pemeriksaan

gerak bola mata bagian kanan terdapat diplopia ke arah temporal sedangkan mata

kiri normal. Diplopia ke arah temporal disebabkan?.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan status oftalmikus pasien

diagnosis dengan Pterigium ODS stadium II (karena sudah melewati limbus dan
belum mencapai papil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea6) dan Diplopia OD.

Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah LFX ed 6x1 OD, Ceftriaxone ed 6x1

OD, Citicolin 1x1, Konsultasi ke Neuro Oftalmology untuk Diplopia. Terapi pada

pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi biasanya diberikan terapi

konservatif, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan

steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Namun harus diingat bahwa penggunaan

kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi

atau mengalami kelainan pada kornea.8 Pemberian antibiotik pada pasien ini

adalah sebagai profilaksis terhadap infeksi. Citicolin merupakan obat

neuroproteksi diberikan untuk melindungi kerusakan mata akibat degenerasi saraf

optik.10 Terapi pembedahan terhadap pasien ini belum diperlukan, sebab indikasi

tindakan pembedahan pada pterigium adalah pterigium yang menjalar ke kornea

sampai lebih 3 mm dari limbus, pterigium mencapai jarak lebih dari separuh

antara limbus dan tepi pupil, pterigium yang sering memberikan keluhan mata

merah, berair dan silau karena astigmatisma, serta alasan kosmetik (terutama

untuk penderita wanita).9

Secara umum prognosis untuk kesembuhan kedua mata pasien akibat

pterigium adalah baik. Meskipun begitu tidak menutup kemungkinan dapat terjadi

pterigium berulang bila faktor risikonya tidak dihindari. Oleh sebab itu, selain

memberikan terapi kita juga harus memberikan edukasi kepada pasien agar dapat

menghindari faktor risiko yang dapat mencetuskan kembali pterigiumnya. Salah

satu edukasi yang dapat diberikan yaitu penggunaan kacamata atau pelindung

mata saat bekerja di bawah terik matahari dan selalu menjaga hygiene kedua mata.
1. American Academy of Ophthalmology. Clinical Approach to Depositions and

Degenerations of the Conjunctiva, Cornea, and Sclera Chapter 17. In External

Disease and Cornea. 2012. Singapore: Lifelong Education Ophthalmologist.

2. Detorakis T, Spandidos Demetrios. 2009. Pathogenetic mechanisms and

treatment options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives

(Review). Department Of Opthalmology, University Hospital of

Heraklion,Crete, Greece.

3. Diplopia and (di hp jurnalnya)

4. Tradjutrisno, N., 2009. Pterygium: Degeneration, Exuberant Wound Healing

or Benign Neoplasm. Universa Mediana: 28 (3) ; 179- 187

5. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. 2011. Pemeriksaan dasar mata.

Departemen Ilmu Kesehatan Mata RS. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6. Suharjo. 2007. Ilmu Kesehatan Mata edisi I. Yogyakarta: Bagian ilmu

penyakit mata FK UGM.

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. 2010. Ilmu Penyakit Mata:

Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, Edisi Ke-2. Jakarta:

Sagung Seto.

8. Ilyas, S., Yulianti, S.R., 2011. Mata Merah dengan Penglihatan Normal: Ilmu

Penyakit Mata. Edisi ke-4. Jakarta: FKUI.

9. Bagian SMF Ilmu Penyakit Mata., 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi,

Edisi III. Surabaya: Airlangga.

10. Suyatna, Frans. 2010. Farmakologi klinik citicoline. Available from:

www.kalbemed.com/portals [Diakses 1 Januari 2017].

Anda mungkin juga menyukai