XEROFTALMIA
Oleh :
Harsya Luthfi Anshari 1110313052
Mihal Vivqi Pratama 1210313013
Mia Eka Putri 1210312042
Preseptor :
dr. Kemala Sayuti, Sp.M (K)
dr. Havriza Vitresia, Sp.M (K)
0
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan
Djamil Padang.
dan dan dr. Havriza Vitresia, Sp.M (K) selaku pembimbing referat ini. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca demi
kesempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap makalah ini dapat memberikan
sejawat lainnya.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................3
2.3 Xeroftalmia...............................................................................................7
2.3.1 Definisi...........................................................................................7
2.3.2 Epidemiologi..................................................................................7
2.3.3 Etiologi...........................................................................................8
2.3.4 Klasifikasi
2.3.5 Patogenesis
2.3.7 Diagnosis
2.3.9 Tatalaksana
2.3.10 Komplikasi
2.3.11 Prognosis
BAB 3 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Xeroftalmia dikenal juga dengan istilah “mata kering” (dry eye) yang
bertanggung jawab atas 250.000 hingga 500.000 kasus baru kebutaan di dunia
setiap tahunnya.2 Xeroftalmia biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang
Energi Protein (KEP) atau gizi buruk sebagai akibat asupan gizi yang sangat
kurang, termasuk zat mikro yang terdapat dalam vitamin A. Anak yang menderita
defisiensi vitamin A mudah sekali terserang infeksi akibat menurunnya imunitas
tubuh.1 Anak dengan defisiensi vitamin A yang mengalami koinfeksi lebih jauh
menjadi predisposisi untuk terjadi keratomalacia dan kebutaan.3
3
1.2 Batasan Masalah
Tujuan penulisan clinical science session ini adalah untuk mengetahui dan
memahami penyakit xeroftalmia secara komprehensif.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.3 Konjungtiva
Konjungtiva adalah suatu membran mukosa yang dilapisi oleh epithelium
berlapis gepeng (Squamous stratified epithelium). Konjungtiva melapisi
permukaan luar bola mata, dan juga permukaan dalam dari kelopak mata, atau
palpebra. Konjungtiva yang melapisi bola mata disebut konjungtiva bulbii (bulbar
5
conjunctiva), sedangkan konjungtiva yang melapisi kelopak mata disebut
konjungtiva palpebra (palpebral conjunctiva). Lokasi transisi atau perubahan dari
konjungtiva palpebra menjadi konjungtiva bulbii disebut fornix. Konjungtiva
bulbii meluas sampai ujung dari kornea.5
2.2 Vitamin A
2.2.1 Definisi Vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi mikro yang diperlukan oleh tubuh,
berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh (imunitas) dan kesehatan mata.
Vitamin A didapat dalam 2 bentuk yaitu preformed vitamin A ( retinol, retinal,
asam retinoid dan derivatnya) dan provitamin A (karotenoid) yang merupakan
prekursor vitamin A. Preformed vitamin A terdapat khusus dalam makanan
hewani. Vitamin A sensitif terhadap oksigen dan sinar UV.10,11
6
Vitamin A berperan dalam sintesis stereoisomer dari retinal yang disebut
retinen, berkombinasi dengan protein membentuk rodopsin, yang selalu pecah
atau dirusak oleh proses fotokimiawi sebagai salah satu proses fisiologis dalam
sistem melihat. Apabila vitamin A pada suatu saat kurang dalam tubuh, maka
sintesis rodopsin akan terganggu, sehingga terjadi kelainan-kelainan melihat.4,11
2.3 Xeroftalmia
2.3.1 Definisi
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan
vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan. Kata Xeroftalmia (bahasa
latin) yang berarti “mata kering”, karena terjadi kekeringan pada selaput lendir
(konjungtiva) dan selaput bening (kornea) mata.1
2.3.2 Epidemiologi
Kekurangan vitamin A yang berkaitan dengan xeroftalmia umumnya
terjadi pada anak-anak. Xeroftalmia dapat mengenai berbagai usia dan terutama
pada anak-anak pra sekolah, orang tua, dan wanita hamil. Secara global, insiden
buta senja diperkirakan mengenai 5,2 juta anak usia pra sekolah dan 9,8 juta
wanita hamil, yang sesuai dengan 0,9% dan 7,8% dari populasi yang berisiko
kekurangan vitamin A. Dari seluruh cakupan wilayah WHO, Afrika dan Asia
Tenggara (termasuk Indonesia) ditemukan paling dipengaruhi oleh kekurangan
vitamin A bagi kedua kelompok populasi tersebut.2
7
Riskedas (2007—2010) menunjukkan bahwa pada tahun 2007 prevalensi
anak sekolah yang mengalami gizi kurang sekitar 18.4%, dan pada tahun 2010
menurun menjadi 17.9%. Meskipun mengalami penurunan, Indonesia termasuk
diantara 36 negara di dunia yang memberi 90% kontribusi masalah gizi dunia. 8 Di
Indonesia pada tahun 2006 rata-rata prevalensi kekurangan vitamin A Sub Klinis
(Serum Vitamin A < 20 ug/dl) dari 7 provinsi (Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Banten, Bali, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara) sebesar 11.4%.6
2.3.3 Etiologi
Xeroftalmia disebabkan oleh hipovitaminosis A. Kekurangan vitamin A
dapat disebabkan oleh faktor primer (kekurangan vitamin A dalam diet) dan
sekunder (gangguan absorbsi saluran cerna, biasanya pada orang dewasa).10
8
Sebuah penelitian di Bogor menunjukkan bahwa bayi yang ibunya
mengalami kekurangan vitamin A mempunyai risiko tiga kali lebih tinggi
menderita xeroftalmia dibanding dengan bayi yang ibunya normal. Sementara itu,
bayi yang memiliki infeksi berisiko lima kali lebih dibanding dengan bayi sehat.7
2.3.4 Klasifikasi
2.3.5 Patogenesis
2.3.7 Diagnosis
2.3.9 Tatalaksana
2.3.10 Komplikasi
2.3.11 Prognosis
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Deteksi dan tatalaksana kasus xeroftalmia
pedoman bagi tenaga kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat. 2003. Jakarta: Departemen Kesehatan.
2. WHO. Global prevalence of vitamin A deficiency in populations at risk 1995-
2005. World Health Organization Global Database on Vitamin A Deficiency.
2009. Geneva: World Health Organization.
3. Gilbert C. The eye signs of vitamin A deficiency. Community Eye Health.
2013; 26(84). pp:66-67.
4. Heiting G. Vitamin A and beta-carotene: Eye benefits. Available at:
http://www.allaboutvision.com/nutrition/vitamin_a.htm. [Diakses tanggal 9
Januari 2017].
5. Martini, F.H. The Special Senses. In: Martini F.H, Ober W.C, Garrison C.W,
Welch K, Hutchings R.T. ed. Fundamentals of Anatomy & Physiology, 7th
Edition. 2006. Pearson-Benjamin Cummings. pp:554-572
6. Herman S. Masalah kurang vitamin A (KVA) dan prospek
penanggulangannya. Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 4. 2007.
7. Muherdiyantiningsih, Kiptiyah NM, Muhilal, Martuti S, Wieringa FT,
Dijkhuizen MA. Kekurangan vitamin A pada kelompok bayi dan faktor yang
berhubungan di Kabupaten Bogor. 2003. PGM volume 26(2) p:20-26.
8. Departemen Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI. 2015. Jakarta: Depkes RI.
9. George,L. 2006. Vitamin A Deficiency and Inflammatory Markers Among
Preschool Children. Available at: http://www.nutritionj.com/. [Diakses
tanggal 9 Januari 2017].
10. Ilyas S, Tanzil M, Salamun, Azhar Z. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta :
Balai Penerbitan FKUI; 2008.h.1,118-119,202-204
11. Murray, Robbert K, dkk. 2003. Biokimia Harper; Vitamin A. EGC : Jakarta
10