Anda di halaman 1dari 11

Clinical Science Session

XEROFTALMIA

Oleh :
Harsya Luthfi Anshari 1110313052
Mihal Vivqi Pratama 1210313013
Mia Eka Putri 1210312042

Preseptor :
dr. Kemala Sayuti, Sp.M (K)
dr. Havriza Vitresia, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2017

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan

hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul

“Xeroftalmia.” Referat ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP DR M.

Djamil Padang.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Kemala Sayuti, Sp.M (K)

dan dan dr. Havriza Vitresia, Sp.M (K) selaku pembimbing referat ini. Penulis

menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis

mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca demi

kesempurnaan makalah ini. Penulis juga berharap makalah ini dapat memberikan

dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang diagnosis dan

penatalaksanaan pterigium terutama bagi diri penulis dan bagi rekan-rekan

sejawat lainnya.

Padang, Januari 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1

DAFTAR ISI..................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................5

2.1 Anatomi Mata...........................................................................................5

2.2 Vitamin A.................................................................................................6

2.3 Xeroftalmia...............................................................................................7

2.3.1 Definisi...........................................................................................7

2.3.2 Epidemiologi..................................................................................7

2.3.3 Etiologi...........................................................................................8

2.3.4 Klasifikasi

2.3.5 Patogenesis

2.3.6 Manifestasi Klinis

2.3.7 Diagnosis

2.3.8 Diagnosis Banding

2.3.9 Tatalaksana

2.3.10 Komplikasi

2.3.11 Prognosis

BAB 3 KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Defisiensi vitamin A masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh


dunia, terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua usia, terutama
pada masa pertumbuhan. Defisiensi vitamin A merupakan nutritional related
disease yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit dalam tubuh.1 Salah satu
dampak defisiensi vitamin A adalah kelainan pada mata yaitu Xeroftalmia,
umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 4 tahun. Xeroftalmia akibat
defisiensi vitamin A merupakan faktor terbesar penyebab suatu kebutaan,
khususnya pada anak-anak. Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan tingkatan
keparahan gejala yaitu mulai dari penurunan penglihatan saat malam, xerosis
konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea, keratomalacia, hingga skar kornea.2

Xeroftalmia dikenal juga dengan istilah “mata kering” (dry eye) yang
bertanggung jawab atas 250.000 hingga 500.000 kasus baru kebutaan di dunia
setiap tahunnya.2 Xeroftalmia biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang
Energi Protein (KEP) atau gizi buruk sebagai akibat asupan gizi yang sangat
kurang, termasuk zat mikro yang terdapat dalam vitamin A. Anak yang menderita
defisiensi vitamin A mudah sekali terserang infeksi akibat menurunnya imunitas
tubuh.1 Anak dengan defisiensi vitamin A yang mengalami koinfeksi lebih jauh
menjadi predisposisi untuk terjadi keratomalacia dan kebutaan.3

Vitamin A berperan penting dalam penglihatan, pertumbuhan tulang dan


sistem imun. Vitamin A digunakan untuk melindungi permukaan mata, defisiensi
vitamin A menyebabkan hilangnya produksi sel goblet dari konjungtiva dan
permukaan mata menjadi terkeratinisasi.4 Xeroftalmia dapat dicegah dengan
perbaikan gizi dan suplementasi vitamin A. Dikhawatirkan masih banyak kasus
xeroftalmia di masyarakat yang belum terdeteksi, oleh sebab itu penting untuk
mengidentifikasi secara dini dan menangani dengan cepat dan tepat agar dapat
mencegah terjadinya kebutaan seumur hidup.1

3
1.2 Batasan Masalah

Pembahasan pada clinical science session ini mencakup definisi,


klasifikasi, etiologi dan faktor risiko, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
komplikasi, dan prognosis pada xeroftalmia.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan clinical science session ini adalah untuk mengetahui dan
memahami penyakit xeroftalmia secara komprehensif.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan dalam clinical sciene session ini adalah tinjauan


kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata


2.1.1 Ukuran dan Lokasi
Setiap bola mata berbentuk spheroid irregular, dengan diameter sekitar 24
mm dan berat sekitar 8 gram. Didalam orbit (rongga untuk mata pada tulang
wajah), mata menempati ruang dengan otot-otot mata ekstrinsik, kelenjar
lakrimalis, pembuluh darah dan saraf-saraf kranial yang juga mempersaraf bagian
wajah lain. Bola mata dikelilingi oleh lemak orbital (orbital fat) yang berfungsi
sebagai insulator dan shock absorber.5

2.1.2 Dinding Bola Mata


Dinding bola mata terdiri dari 3 lapisan, yaitu5:
1. Lapisan fibrosa: Adalah lapisan paling luar dari mata dan terdiri dari 2
bagian; sklera can kornea. Lapisan fibrosa memberi pelindungan fisik
dan mechanical support, serta menjadi permukaan untuk lokasi otot
ekstrinsik untuk berikatan dan mengandung struktur yang membantu
dalam proses focusing.
2. Sklera: Menutupi 5/6 bagian dari permukaan mata. Sklera terdiri dari
jaringan ikat fibrosa yang mengandung kolagen dan serabut elastic.
Permukaan dari sklera mengandung pembuluh darah kecil dan serabut
saraf yang menembus sklera untuk mencapai struktur internal.
3. Kornea: Bagian transparan yang bersambung dengan sklera. Batasan
antara sklera dan kornea disebut limbus. Kornea terdiri dari 5 lapisan,
yaitu; lapisan epithelium, membran Bowmann's, lapisan stroma
(substansia Propria), Membran Descemet, lapisan endotel.

2.1.3 Konjungtiva
Konjungtiva adalah suatu membran mukosa yang dilapisi oleh epithelium
berlapis gepeng (Squamous stratified epithelium). Konjungtiva melapisi
permukaan luar bola mata, dan juga permukaan dalam dari kelopak mata, atau
palpebra. Konjungtiva yang melapisi bola mata disebut konjungtiva bulbii (bulbar

5
conjunctiva), sedangkan konjungtiva yang melapisi kelopak mata disebut
konjungtiva palpebra (palpebral conjunctiva). Lokasi transisi atau perubahan dari
konjungtiva palpebra menjadi konjungtiva bulbii disebut fornix. Konjungtiva
bulbii meluas sampai ujung dari kornea.5

2.2 Vitamin A
2.2.1 Definisi Vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi mikro yang diperlukan oleh tubuh,
berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh (imunitas) dan kesehatan mata.
Vitamin A didapat dalam 2 bentuk yaitu preformed vitamin A ( retinol, retinal,
asam retinoid dan derivatnya) dan provitamin A (karotenoid) yang merupakan
prekursor vitamin A. Preformed vitamin A terdapat khusus dalam makanan
hewani. Vitamin A sensitif terhadap oksigen dan sinar UV.10,11

2.2.2 Sumber Vitamin A


Vitamin A banyak terkandung dalam minyak ikan. Vitamin A 1 (retinal),
terutama banyak terkandung dalam hati ikan laut. Vitamin A 2 (retinol) atau 3-
dehidro retinol, terutama terkandung dalam hati ikan tawar. Vitamin A yang
berasal dari minyak ikan, sebagian besar ada dalam bentuk ester.11

Vitamin A juga terkandung dalam bahan pangan, seperti mentega (lemak


susu), kuning telur, keju, hati, hijauan dan wortel. Warna hijau tumbuh-tumbuhan
merupakan petunjuk yang baik tingginya kadar karoten. Buah-buahan berwarna
merah dan kuning, seperti cabe merah, wortel, pisang, pepaya, banyak
mengandung provitamin A, ß-karoten.4

2.2.3 Manfaat Vitamin A


Vitamin A essensial untuk pertumbuhan, karena merupakan senyawa
penting yang menciptakan tubuh tahan terhadap infeksi dan memelihara jaringan
epitel berfungsi normal. Jaringan epitel yang dimaksud terutama pada mata,
saluran pernapasan, saluran pencernaan, alat reproduksi, syaraf dan sistem
ekskresi.10

6
Vitamin A berperan dalam sintesis stereoisomer dari retinal yang disebut
retinen, berkombinasi dengan protein membentuk rodopsin, yang selalu pecah
atau dirusak oleh proses fotokimiawi sebagai salah satu proses fisiologis dalam
sistem melihat. Apabila vitamin A pada suatu saat kurang dalam tubuh, maka
sintesis rodopsin akan terganggu, sehingga terjadi kelainan-kelainan melihat.4,11

Vitamin A diperlukan juga dalam pencegahan ataxia, pertumbuhan dan


perkembangan sel, pemeliharaan kesempurnaan selaput lendir (mukosa),
reproduksi, pertumbuhan tulang rawan yang baik dan cairan serebrospinal yang
normal, mampu meningkatkan sistem imun, berperan penting dalam menjaga
kesehatan kulit dan terbukti bisa melawan penuaan.11

2.3 Xeroftalmia
2.3.1 Definisi
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan
vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan
gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan. Kata Xeroftalmia (bahasa
latin) yang berarti “mata kering”, karena terjadi kekeringan pada selaput lendir
(konjungtiva) dan selaput bening (kornea) mata.1

Xeroftalmia merupakan suatu manifestasi okuler yang disebabkan oleh


defisiensi vitamin A. Tanda-tanda tersebut meliputi gangguan sensitivitas retina
terhadap cahaya (buta senja) dan kerusakan epitel kornea dan konjungtiva, seperti
xerosis konjungtiva, bitot’s spot, xerosis kormea, dan keratomalacia.1,2,10

2.3.2 Epidemiologi
Kekurangan vitamin A yang berkaitan dengan xeroftalmia umumnya
terjadi pada anak-anak. Xeroftalmia dapat mengenai berbagai usia dan terutama
pada anak-anak pra sekolah, orang tua, dan wanita hamil. Secara global, insiden
buta senja diperkirakan mengenai 5,2 juta anak usia pra sekolah dan 9,8 juta
wanita hamil, yang sesuai dengan 0,9% dan 7,8% dari populasi yang berisiko
kekurangan vitamin A. Dari seluruh cakupan wilayah WHO, Afrika dan Asia
Tenggara (termasuk Indonesia) ditemukan paling dipengaruhi oleh kekurangan
vitamin A bagi kedua kelompok populasi tersebut.2

7
Riskedas (2007—2010) menunjukkan bahwa pada tahun 2007 prevalensi
anak sekolah yang mengalami gizi kurang sekitar 18.4%, dan pada tahun 2010
menurun menjadi 17.9%. Meskipun mengalami penurunan, Indonesia termasuk
diantara 36 negara di dunia yang memberi 90% kontribusi masalah gizi dunia. 8 Di
Indonesia pada tahun 2006 rata-rata prevalensi kekurangan vitamin A Sub Klinis
(Serum Vitamin A < 20 ug/dl) dari 7 provinsi (Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Banten, Bali, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara) sebesar 11.4%.6

Masalah kekurangan vitamin A diibaratkan sebagai suatu fenomena


“gunung es” yaitu masalah yang hanya tampak sedikit di permukaan, namun
menyimpan banyak maslaah di dalamnya. Padahal, kekurangan vitamin A
subklinis yang ditandai dengan rendahnya kadar vitamin A di dalam darah masih
merupakan masalah besar yang perlu diperhatikan.8

2.3.3 Etiologi
Xeroftalmia disebabkan oleh hipovitaminosis A. Kekurangan vitamin A
dapat disebabkan oleh faktor primer (kekurangan vitamin A dalam diet) dan
sekunder (gangguan absorbsi saluran cerna, biasanya pada orang dewasa).10

Bila ditinjau dari konsumsi makanan sehari-hari, kekurangan vitamin A


disebabkan oleh :1

1. Kurangnya makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau


provitamin A dalam jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI Ekslusif.
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, Zn, atau zat gizi
lainnya) yang diperkukan untuk penyerapan vitamin A dan penggunaan
vitamin A dalam tubuh.
4. Gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada
penyakit-penyakit: gangguan pankreas, diare kronik, Kurang Energi
Protein (KEP), dan lainnya sehingga kebutuhan vitamin A meningkat.
5. Kerusakan hepar, seperti pada hepatitis kronik, menyebabkan
gangguan pembentukan RBP (retinol Binding Protein) dan pre-albumin
yang penting untuk penyerapan vitamin A.

8
Sebuah penelitian di Bogor menunjukkan bahwa bayi yang ibunya
mengalami kekurangan vitamin A mempunyai risiko tiga kali lebih tinggi
menderita xeroftalmia dibanding dengan bayi yang ibunya normal. Sementara itu,
bayi yang memiliki infeksi berisiko lima kali lebih dibanding dengan bayi sehat.7

Risiko KVA meningkat pada pasien yang menderita malabsorpsi lemak,


cystic fibrosis, sariawan, insufisiensi pankreas, atau kolestasis, serta pada orang
yang telah menjalani operasi bypass usus kecil. Hal ini mungkin karena
penurunan bioavailabilitas provitamin A karotenoid atau gangguan dengan
penyerapan, penyimpanan, atau transportasi vitamin A. Kelebihan konsumsi
alkohol dapat mengurangkan vitamin. Pada anak-anak dengan campak, vitamin A
dapat mempersingkat durasi gangguan dan mengurangi keparahan gejala dan
risiko kematian, serta tingginya angka infeksi pada anak (gastroenteritis/diare).10

2.3.4 Klasifikasi

2.3.5 Patogenesis

2.3.6 Manifestasi Klinis

2.3.7 Diagnosis

2.3.8 Diagnosis Banding

2.3.9 Tatalaksana

2.3.10 Komplikasi

2.3.11 Prognosis

9
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Deteksi dan tatalaksana kasus xeroftalmia
pedoman bagi tenaga kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat. 2003. Jakarta: Departemen Kesehatan.
2. WHO. Global prevalence of vitamin A deficiency in populations at risk 1995-
2005. World Health Organization Global Database on Vitamin A Deficiency.
2009. Geneva: World Health Organization.
3. Gilbert C. The eye signs of vitamin A deficiency. Community Eye Health.
2013; 26(84). pp:66-67.
4. Heiting G. Vitamin A and beta-carotene: Eye benefits. Available at:
http://www.allaboutvision.com/nutrition/vitamin_a.htm. [Diakses tanggal 9
Januari 2017].
5. Martini, F.H. The Special Senses. In: Martini F.H, Ober W.C, Garrison C.W,
Welch K, Hutchings R.T. ed. Fundamentals of Anatomy & Physiology, 7th
Edition. 2006. Pearson-Benjamin Cummings. pp:554-572
6. Herman S. Masalah kurang vitamin A (KVA) dan prospek
penanggulangannya. Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 4. 2007.
7. Muherdiyantiningsih, Kiptiyah NM, Muhilal, Martuti S, Wieringa FT,
Dijkhuizen MA. Kekurangan vitamin A pada kelompok bayi dan faktor yang
berhubungan di Kabupaten Bogor. 2003. PGM volume 26(2) p:20-26.
8. Departemen Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI. 2015. Jakarta: Depkes RI.
9. George,L. 2006. Vitamin A Deficiency and Inflammatory Markers Among
Preschool Children. Available at: http://www.nutritionj.com/. [Diakses
tanggal 9 Januari 2017].
10. Ilyas S, Tanzil M, Salamun, Azhar Z. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta :
Balai Penerbitan FKUI; 2008.h.1,118-119,202-204
11. Murray, Robbert K, dkk. 2003. Biokimia Harper; Vitamin A. EGC : Jakarta

10

Anda mungkin juga menyukai