PROPOSAL Elektiff
PROPOSAL Elektiff
RT 35 KELURAHAN PULOKERTO
KECAMATAN GANDUS
Oleh: Kelompok 7
M. Aufar Isytahar 04054821820138
Siti Thania Luthfyah 04054821820029
Dwi Taufik O 04054821820120
Syah Fitri 04054821820028
Silvi Silvania 04054821820026
COVER ........................................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang .......................................................................................................
1.2. Analisa Situasi .......................................................................................................
1.3. Permasalahan-permasalahan yang Ditemukan ......................................................
1.4. Penetapan Prioritas Masalah..................................................................................
1.5. Alat Ukur Pengambilan Data Primer .. ..................................................................
II. PEMILIHAN PRIORITAS DAN ALTERNATIF INTERVENSI
2.1. Pengenalan Anggota Keluarga secara Umum ......................................................
2.2. Assessment Pribadi ...............................................................................................
2.3. Assessment Lingkungan .. .....................................................................................
2.4. Assessment Perilaku .. ...........................................................................................
2.5. Catatan Tambahan .. ..............................................................................................
2.6. Rangkuman hasil assessment .. .............................................................................
III. PENENTUAN AKAR PENYEBAB MASALAH
PENETAPAN PRIORITAS PENYEBAB MASALAH
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kelurahan Pulokerto merupakan salah satu kelurahan yang terdapat
di Kecamatan Gandus Palembang. Kelurahan ini terdiri dari beberapa RT,
salah satunya RT 035 yang dikepalai oleh Bapak Wagiman. RT 035 ini
terdiri dari 76 kepala keluarga. RT 035 ini terletak di belakang pabrik karet
di pinggiran sungai Musi. Pendudukan mendapatkan sumber air bersih untuk
sumber air minum dan MCK dari PDAM. Mayoritas mata pencaharian
warga adalah buruh dan tingkat pendidikan penduduknya rendah.
Pengelolaan sampah pada RT 35 dibuang ke pembuangan terbuka
yang juga menampung sampah dari RT lainnya dan tempat pembuangannya
ini terletak disekitar rumah warga. Namun jarak pembuangan ini dinilai
terlalu dekat dengan pemukiman warga sehingga banyak lalat berterbangan
ke daerah pemukiman warga.
Pada tanggal 3 Desember 2018, salah satu kelompok mahasiswa
Fakultas Kedokteran melakukan Field Learning Experience di RT 035. Dari
hasil survey pada 10 rumah warga terdapat beberapa masalah kesehatan
diantaranya batuk pilek, riwayat diare, gatal-gatal dikulit, bisul, darah tinggi,
dan penyakit rematik seperti nyeri lutut pada lansia. Sebagian warga RT 035
ini mengaku apabila sakit mereka datang ke bidan ataupun Puskesmas.
Mayoritas warga mengaku keluhan yang paling sering membawanya untuk
berobat adalah batuk, pilek dan demam. Namun mereka mengaku keluhan ini
biasanya muncul akibat perubahan cuaca yang tidak menentu atau kelelahan.
Terdapat 2 dari 10 rumah yang menyatakan memiliki keluhan riwayat diare
dalam 3 bulan terakhir dan juga mengaku diarenya biasanya diakibatkan
salah makan, namun mampu diobati sendiri secara herbal atau keluhannya
hilang sendiri. Sebagian warga dari 10 rumah ini juga ada yang mengeluh
jika berobat dengan keluhan gatal-gatal dan bisul. Dari hasil anamnesis,
diketahui memang lingkungan tempat tinggal dan gaya hidup warga tersebut
kurang baik. Beberapa warga yang berusia lanjut juga mengeluh pusing dan
sulit tidur yang merupakan gejala darah tinggi. Sebagian pasien mengaku
rutin berobat di bidan dan puskesmas. Dari 10 kepala keluarga ini semuanya
menyatakan bahwa akses mereka ke fasilitas kesehatan sangat mudah karena
dilingkungannya terdapat beberapa bidan dan terdapat juga Puskesmas
Gandus yang tidak jauh jaraknya dari pemukiman warga. Namun sebagian
lagi jarang berobat dikarenakan masalah ekonomi.
Berdasarkan hasil survey pada 10 rumah warga, didapatkan
mayoritas rumahnya memiliki lingkungan yang kurang bersih. Sebagian
rumah memiliki hewan peliharaan seperti ayam, kucing, dan burung yang
kandangnya bergabung dengan rumah warga sehingga banyak kotoran
hewan berserakan disekitar pekarangan rumah warga. Beberapa rumah lain
memiliki ventilasi yang buruk, pencahayaan rumah yang kurang, kondisi
rumah yang lembab dan bau. Gaya hidup masyarakat rata-rata kurang baik
seperti menggantung pakaian di dalam rumah, jendela rumah jarang dibuka,
kondisi dapur dan toilet yang kurang bersih.
Penghasilan masyarakat dari 10 kepala keluarga ini tergolong rendah,
mayoritas yaitu berpenghasilan 500.000- 1.000.000. Masyarakat yang
disurvey ini bekerja sebagai buruh pabrik, buruh harian bangunan, IRT,
tukang sapu, dan sebagian lansia tidak bekerja, namun ada juga yang
berprofesi sebagai seorang guru. Sebagian besar dari 10 keluarga yang
dikunjungi juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
B. Analisa Situasi
Kondisi sosiodemografi dan fakta-fakta yang ada di RT 035 Kelurahan
Pulokerto Kecamatan Gandus dari hasil survey pada 10 kepala keluarga
adalah :
1. RT 035 terletak didekat pabrik karet di pinggiran sungai musi
2. RT 035 terdiri dari 76 kepala keluarga
3. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian buruh
4. Tingkat pendidikan masyarakatnya tergolong rendah
5. Terdapat berbagai masalah kesehatan, diantaranya ISPA, riwayat
diare, penyakit kulit, darah tinggi, dan penyakit rematik.
C. Permasalahan–Permasalahan yang Ditemukan
Permasalahan yang ditemukan di RT 35 Kelurahan Pulokerto Kecamatan
Gandus adalah :
1) Jarak tempat pembuangan sampah terbuka terlalu dekat dengan
rumah warga
2) Sanitasi dan gaya hidup masyarakat yang kurang baik
3) ISPA
4) Riwayat Diare
5) Penyakit kulit diantaranya dermatitis, bisul
6) Hipertensi
7) Penyakit rematik, yaitu nyeri lutut
Masalah 4 5 6 7
1 2 3
Kriteria
Ux S x G 3 40 64 9 36 20 6
Definisi ISPA
ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar II ISPA
merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran
pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah (6).
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud
dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta
organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru (5,7).
Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan
tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita
pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian
(5).
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan
yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya
penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti
rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai
bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah
virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang
ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua
radang telinga akut harus mendapat antibiotik (6).
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung
kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya (7).
Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan
bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian yang cukup besar pada lapangan pediatri.
Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi
pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin.
Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama
apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak
hygiene. Risiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi
silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan
cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik (8).
Tanda-tanda bahaya
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan
gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih
berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin
meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang
lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang
ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat
agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan.
Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda
laboratoris.
Tanda-tanda klinis
• Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding
thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting
expiratoir dan wheezing.
• Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan
cardiac arrest.
• Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil
bendung, kejang dan coma.
• Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda laboratoris
• hypoxemia,
• hypercapnia dan
• acydosis (metabolik dan atau respiratorik) (4).
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada
anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan
minumnya menurun ampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang,
kesadaran menurun, stridor, Wheezing, demam dan dingin (4).
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang benar merupakan
strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya kematian karena pneumonia
dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan
penyakit ISPA) .
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan
penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus
batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat.
Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan
minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA (4).
Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :
Pemeriksaan
Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan mengajukan
beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan anak (5).
Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila menangis akan
meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak tetap dipangku oleh ibunya.
Menghitung napas dapat dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila baju anak tebal,
mungkin perlu membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada
bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan
steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklassifikasi (4).
Klasifikasi ISPA
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:
• Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam
(chest indrawing).
• Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
• Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa
tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan
tonsilitis tergolong bukan pneumonia (4).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi
ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan
sampai 5 tahun.
Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
• Pneumonia berada: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada bagian
bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan
yaitu 60 kali per menit atau lebih.
• Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding
dada bagian bawah atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bu~an sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :
• Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian
bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus
dalam keadaan tenang tldak menangis atau meronta).
• Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan
adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per
menit atau lebih.
• Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian
bawah dan tidak ada napas cepat.
Pengobatan
• Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigendan
sebagainya.
• Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin
diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan
penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin,
amoksisilin atau penisilin prokain.
• Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah,
untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak
mengandung zat yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin.
Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan
gejala batuk pilek bila
Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan
khusus untuk pemeriksaan selanjutnya. Petunjuk dosis dapat dilihat pada lampiran.
Perawatan dirumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang
menderita ISPA.
• Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan memberikan
parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus
segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara
pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan
diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan
pada air (tidak perlu air es).
Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk
nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan
tiga kali sehari.
Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu
lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi
yang menyusu tetap diteruskan.
Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak
dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita.
Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat,
lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna
untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.
Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup
dan tidak berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk
maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk
penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar
obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan
untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak
dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang (4,5) .
Pelaksana pemberantasan
Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama. Kepala
Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya.
Sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum penderita mendapat
pengobatan petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif masyarakat melalui aktifitas
kader akan sangat'membantu menemukan kasus-kasus pneumonia
yang perlu mendapat pengobatan antibiotik (kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia
berat yang perlusegera dirujuk ke rumah saki t .
Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :
• Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana atau sarana dan
tenaga yang tersedia.
• Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar kasus-kasus
ISPA kepada perawat atau paramedis.
• Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia berat/penyakit dengan
tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah
sakit bila dianggap perlu.
• Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke rumah
sakit.
• Bersama dengan staff puskesmas memberi kan penyuluhan kepada ibu-ibu yang
mempunyai anak balita. perihal pengenalan tanda-tanda penyakit pneumonia serta
tindakan penunjang di rumah,
• Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di beri wewenang
mengobati penderita penyakit ISPA,
• Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan
penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA,
• Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan
pemberantasan penyakit ISPA. menditeksi hambatan yang ada serta
menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta pencapaian
target.
B. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang
menempel pada kulit dan dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak
iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun
kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan
kulit terjadi langsung tanpa diketahui proses sensitasi. Sebaliknya, dermatitis alergik terjadi
pada seseorang yang telah mengalami sensitasi terhadap suatu alergen (Djuanda, 2006;
Stateschu, 2011).
Etiologi
Sekitar 80-90% kasus dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh paparan iritan
berupa bahan kimia dan pelarut. Inflamasi dapat terjadi setelah satu kali pemaparan ataupun
pemaparan berulang (keefner, 2004). Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah
pemaparan pertama kali disebut DKI akut dan biasanya disebabkan oleh iritan yang kuat,
seperti asam kuat, basa kuat, garam, logam berat, aldehid, bahan pelarut, senyawa aromatic,
dan polisiklik. Sedangkan, DKI yang terjadi setelah pemaparan berulang disebut DKI
kronis, dan biasanya disebabkan oleh iritan lemah (Hayakawa, 2000).
Tabel 1. Iritan yang sering menimbulkan DKI
Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan
iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus
membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Streit, 2001).
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA),
diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi
prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan
kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil,
serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain dan PAF, sehingga
memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani, 2006; Djuanda, 2006).
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,
misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-
CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2
yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga
mengakibatkan molekul permukaan HLA- DR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak
dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat
mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan
pelepasan sitokin (Beltrani, 2006).
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat
terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu:
iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan
pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas,
dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami
kontak berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi
yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah
kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara,
tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut
(Djuanda, 2007).
Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak, kemerahan dan dapat
berkembang menjadi vesikel atau papul dan mengeluarkan cairan bila terkelupas. Gatal,
perih, dan rasa terbakar terjadi pada bintik merah-merah itu. Reaksi inflamasi bermacam-
macam mulai dari gejala awal seperti ini hingga pembentukan luka dan area nekrosis pada
kulit. Dalam beberapa hari, penurunan dermatitis dapat terjadi bila iritan dihentikan. Pada
pasien yang terpapar iritan secara kronik, area kulit tersebut akan mengalami radang, dan
mulai mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper atau hipopigmentasi dan penebalan
(Verayati, 2011)
e. Gejala Klinis
Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan berdasarkan klasifikasinya yaitu dermatitis
kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan kronik
1) Dermatitis kontak iritan akut
Dermatitis kontak iritan akut biasanya timbul akibat paparan bahan kimia asam atau basa
kuat, atau paparan singkat serial bahan kimia, atau kontak fisik. Sebagian kasus dermatitis
kontak iritan akut merupakan akibat kecelakaan kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat
berupa eritema, edema, vesikel, dapat disertai eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis
jaringan pada kasus yang berat.
Dermatitis iritan kuat terjadi setelah satu atau beberapa kali olesan bahan-bahan iritan kuat,
sehingga terjadi kerusakan epidermis yang berakibat peradangan. Bahan-bahan iritan ini
dapat merusak kulit karena terkurasnya lapisan tanduk, denaturasi keratin dan
pembengkakan sel. Manifestasi klinik tergantung pada bahan apa yang berkontak,
konsentrasi bahan kontak, dan lamanya kontak. Reaksinya dapat berupa kulit menjadi
merah atau coklat, terjadi edema dan rasa panas, atau ada papula, vesikula, pustula dan
berbentuk pula yang purulent dengan kulit disekitarnya normal.
2) Dermatitis kontak iritan kronik
DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-ulang, dan mungkin
bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara
sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor
lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu atau bulan,
bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan
faktor paling penting (Djuanda, 2007).
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi
likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat
menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit
kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan
dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2007). 17 Berdasarkan
manifestasinya pada kulit dapat dibagi kedalam dua stadium, diantaranya:
a) Stadium 1
Kulit kering dan pecah-pecah, stadium ini dapat sembuh dengan sendirinya.
b) Stadium 2
Ada kerusakan epidermis dan reaksi dermal. Kulit menjadi merah dan bengkak, terasa panas
dan mudah terangsang kadang-kadang timbul papula, vesikula, krusta. Bila kronik timbul
likenikfiksi. Keadaan ini menimbulkan retensi keringat dan perubahan flora bakteri.
Gambar1: Dermatitis kontak (Dailli, 2005).
f. Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI
akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih 18 cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul
lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan
dengan DKA. Untuk membedakan dan melihat anatara dermatitis akut dan kronik maka
diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2007).
Pada dermatitis kontak tidak memiliki gambaran klinis yang tetap. Untuk menegakkan
diagnosis dapat didasarkan pada:
1. Anamnesis, harus dilakukan dengan cermat. Anamnesis dermatologis terutama
mengandung pertanyaan-pertanyaan: onset dan durasi, fluktuasi, perjalanan gejala-gejala,
riwayat penyakit terdahulu, riwayat keluarga, pekerjaan dan hobi, kosmetik yang
digunakan, serta terapi yang sedang dijalani.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilicus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah
penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam
(nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat
topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada
keluarganya (misalnya dermatitis atopik) (Djuanda, 2007).
2. Pemeriksaan klinis, hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis yang baik adalah:
b) Karakteristik dari setiap lesi, dilihat dari morfologi lesi (eritema, urtikaria, likenifikasi,
perubahan pigmen kulit).
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit
seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di
pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain
karena sebab- sebab endogen (Djuanda, 2007).
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan
pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah. Lesi
pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah
sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian
tubuh yang lain maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan diagnosis
(Trihapsoro, 2003).
3. Pemeriksaan Penunjang
Untuk membantu menegakan diagnosis penyakit kulit akibat kerja selain pentingnya
anamnesa, juga banyak test lainnya yang digunakan untuk membantu. Salah satu yang
paling sering digunakan adalah patch test. Dasar pelaksanaan patch test adalah sebagai
berikut:
a. Bahan yang diujikan (dengan konsentrasi dan bahan pelarut yang sudah ditentukan)
ditempelkan pada kulit normal, kemudian ditutup. Konsentrasi yang digunakan pada
umumnya sudah ditentukan berdasarkan penelitian-penelitian.
b. Biarkan selama 2 hari (minimal 24 jam) untuk memberi kesempatan absorbsi dan reaksi
alergi dari kulit yang memerlukan waktu lama. Meskipun penyerapan untuk masing-masing
bahan bervariasi, ada yang kurang dan ada yang lebih dari 24jam, tetapi menurut para
peniliti waktu 24 jam sudah memadai untuk kesemuanya, sehingga ditetapkan sebagai
standar.
c. Kemudian bahan tes dilepas dan kulit pada tempat tempelan tersebut dibaca tentang
perubahan atau kelainan yang terjadi pada kulit. Pada tempat tersebut bisa kemungkinan
terjadi dermatitis berupa: eritema, papul, oedema atau fesikel, dan bahkan kadang-kadang
bisa terjadi bula atau nekrosis.
Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaan dilakukan 1525 menit kemudian, supaya
kalau ada tanda-tanda akibat tekanan, penutupan dan pelepasan dari Unit uji temple yang
menyerupai bentuk reaksi, sudah hilang. Cara penilaiannya ada bermacam-macam
pendapat. Yang dianjurkan oleh International Contact Dermatitis Research Group
(ICDRG) sebagai berikut:
NT : Tidak diteskan
+ : hanya eritem lemah: ragu-ragu
++ : eritem, infiltrasi (edema), papul: positif lemah
+++ : bula: positif sangat kuat
- : tidak ada kelainan: iritasi (Sulaksmono, 2006)
Untuk membantu membedakan antara dermatitis kontak iritan dengan dermatitis kontak
alergika, Rietschel mengusulkan kriteria yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dermatitis kontak iritan.
Tabel 2. Kriteria diagnosis dermatitis kontak iritan
Pengobatan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang
bersifat mekanik (gesekan atau tekanan yang bersifat terus menerus suatu alat), fisik
(lingkungan yang lembab, panas, dingin, asap, sinar matahari dan ultraviolet) atau kimiawi
(alkali, sabun, pelarut organic, detergen, pemutih, dan asam kuat, basa kuat). Bila dapat
dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan
cukup dengan pelembab untuk memperaiki kulit yang kering (Djuanda, 2007). Apabila
diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat
perlindungan yang
adekuat
diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan
(Djuanda, 2007; Kampf, 2007). Pencegahan bahan iritan seharusnya menjadi diagnose
primer dan edukasi pada pasien. Penggunaan kompres basah dengan astringent alumunium
asetat dapat digunakan untuk mendinginkan dan mengeringkan lesi. Hidrokortison dan
lotion kalamin membantu untuk mengeringkan rasa gatal. Penggunaan topical anestesi local
tipe caine perlu dihindari atau diawasi karena dapat menyebabkan kontak dermatitis yang
lebih luas (Keefner, 2004)
C. Faktor yang Mempengaruhi
Dermatitis kontak merupakan penyakit kulit multifaktoral yang dipengaruhi oleh faktor
eksogen dan faktor endogen.
1. Faktor Eksogen
Faktor yang memperparah terjadinya dermatitis kontak dan berasal dari luar tubuh.
Beberapa faktor berikut dianggap memiliki pengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak.
a. Karakteristik bahan kimia
Meliputi pH bahan kimia (bahan kimia dengan pH terlalu tinggi > 12 atau terlalu rendah < 3
dapat menimbulkan gejala iritasi segera setelah terpapar, sedangkan pH yang sedikit lebih
tinggi > 7 atau sedikit lebih rendah < 7 memerlukan paparan ulang untuk mampu timbulkan
gejala), jumlah dan konsentrasi (semakin pekat konsentrasi bahan kimia maka semakin
banyak pula bahan kimia yang terpapar dan semakin poten untuk merusak lapisan kulit),
berat molekul (molekul dengan berat <1000 dalton sering menyebabkan dermatitis kontak,
biasanya jenis dermatitis kontak alergi), kelarutan dari bahan kimia yang dipengaruhi oleh
sifat ionisasi dan polarisasinya (bahan kimia dengan sifat lipofilik akan mudah menembus
stratum korneum kulit masuk mencapai sel epidermis dibawahnya).
b. Karakteristik paparan
Meliputi durasi yang dalam penelitian akan dinilai dari lama paparan perhari dan lama
bekerja (semakin lama durasi paparan dengan bahan kimia maka semakin banyak pula
bahan yang mampu masuk ke kulit sehingga semakin poten pula untuk timbulkan reaksi),
tipe kontak (kontak melalui udara maupun kontak langsung dengan kulit), paparan dengan
lebih dari satu jenis bahan kimia (adanya interaksi lebih dari satu bahan kimia dapat bersifat
sinergis ataupun antagonis, terkadang satu bahan kimia saja tidak mampu memberikan
gejala tetapi mampu timbulkan gejala ketika bertemu dengan bahan lain), dan frekuensi
paparan dengan agen (bahan kimia asam atau basa kuat dalam sekali paparan bisa
menimbulkan gejala, untuk basa atau asam lemah butuh beberapa kali paparan untuk mampu
timbulkan gejala, sedangkan untuk bahan kimia yang bersifat sensitizer paparan sekali saja
tidak bisa menimbulkan gejala karena harus melalui fase sensitisasi dahulu).
2. Faktor Endogen
Faktor endogen adalah faktor yang berasal dari dalam dan turut berpengaruh terhadap
terjadinya dermatitis kontak meliputi:
a. Faktor genetik, telah diketahui bahwa kemampuan untuk mereduksi radikal bebas,
perubahan kadar enzim antioksidan, dan kemampuan melindungi protein dari trauma panas,
semuanya diatur oleh genetik. Dan predisposisi terjadinya suatu reaksi pada tiap individu
berbeda dan mungkin spesifik untuk bahan kimia tertentu.
b. Jenis kelamin, mayoritas dari pasien yang ada merupakan pasien perempuan,
dibandingkan laki-laki, hal ini bukan karena perempuan memiliki kulit yang lebih rentan,
tetapi karena perempuan lebih sering terpapar dengan bahan iritan dan pekerjaan yang
lembap.
c. Usia, anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap bahan kimia, sedangkan
pada orang yang lebih tua bentuk iritasi dengan gejala kemerahan sering tidak tampak pada
kulit.
d. Ras, sebenarnya belum ada studi yang menjelaskan tipe kulit yang mana yang secara
signifikan mempengaruhi terjadinya dermatitis. Hasil studi
yang baru, menggunakan adanya eritema pada kulit sebagai parameter menghasilkan orang
berkulit hitam lebih resisten terhadap dermatitis, akan tetapi hal ini bisa jadi salah, karena
eritema pada kulit hitam sulit terlihat.
e. Lokasi kulit, ada perbedaan yang signifikan pada fungsi barier kulit pada lokasi yang
berbeda. Wajah, leher, skrotum, dan punggung tangan lebih rentan dermatitis.
f. Riwayat atopi, dengan adanya riwayat atopi, akan meningkatkan kerentanan terjadinya
dermatitis karena adanya penurunan ambang batas terjadinya dermatitis, akibat kerusakan
fungsi barier kulit dan perlambatan proses penyembuhan.
g. Faktor lain dapat berupa perilaku individu: kebersihan perorangan, hobi dan pekerjaanan
sambilan, serta penggunaan alat pelindung diri saat bekerja.
e. Catatan tambahan
Beberapa anggota keluarga memiliki keluhan batuk pilek yang
disebabkan oleh cuaca yang tidak menentu. Selain itu juga beberapa anggota
keluarga memiliki keluhan gatal-gatal pada kulit. Beberapa keluarga juga
memiliki riwayat diare dan scabies dalam 3 bulan terakhir serta memiliki
keluhan sakit kepala di belakang leher yang sudah lama dirasakan namun
tidak pernah berobat.
c. Penyakit kulit
V. Penetapan Prioritas Penyebab Permasalah
Pada ketiga permasalahan yang didapatkan pada RT 35 Kelurahan Pulokerto,
terdapat beberapa kesamaan penyebab permasalahan, yaitu:
1) Penyuluhan PHBS yang kurang
2) Tidak menerapkan PHBS
3) Tingkat pendidikan dan social ekonomi yang rendah
Masalah
1 2 3
Kriteria
Ux S x G 100 75 18
Urutan prioritas penyebab masalah yang didapatkan dari tabel USG diatas adalah
sebagai berikut:
1) Penyuluhan PHBS yang kurang
2) Tidak menerapkan PHBS
3) Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah
BAB VI
PEMECAHAN PENYEBAB MASALAH DAN ALTERNATIFNYA
Tabel 1. Alternatif solusi/intervensi untuk mengatasi /menyelesaikan penyebab masalah
NO AKAR INTERVENSI SASARAN TARGET
MASALAH
1 Penyuluhan Penyuluhan kepada Masyarakat Meningkatkan
PHBS yang masyarakat tentang Kader pengetahuan dan
kurang pentingnya PHBS dan kesehatan motivasi
sanitasi rumah dan masyarakat
lingkungan berperilaku
Bekerja sama dengan PHBS, sehingga
kader kesehatan setempat sanitasi rumah
untuk merencanakan dan dan lingkungan
meningkatkan sosialisasi warga bersih
rutin dalam 1 bulan agar angka
kejadian ISPA
dan penyakit
kulit berkurang
dan sanitasi
rumah serta
lingkungan
warganya
membaik.
2 Tidak Penyuluhan kepada Masyarakat Meningkatkan
menerapkan masyarakat tentang Kader pengetahuan dan
PHBS pentingnya PHBS dan Kesehatan motivasi
sanitasi rumah dan Pejabat desa masyarakat untuk
lingkungan berperilaku
Demonstrasi PHBS PHBS.
Media visual PHBS
Kerjasama dengan
masyarakat dan pejabat
setempat untuk
meningkatkan PHBS
Melakukan kunjungan ke
rumah warga untuk
melakukan evaluasi
3 Tingkat Memberikan penyuluhan Masyarakat Masyarakat tidak
pendidikan tentang ISPA berupa terkena ISPA dan
dan sosial gejala, tatalaksana awal, juga dapat
ekonomi dan cara mencegah mengenali secara
rendah Mengedukasi masyrakat dini gejala ISPA
untuk menerapkan etika Masyarakat
batuk dan bersin dengan menerapkan etika
benar serta menggunakan batuk dan bersin
masker saat beraktivitas di dengan benar
luar rumah serta tidak
Memberikan penyuluhan menggunakan
mengenai status gizi masker