Anda di halaman 1dari 4

Limbah B3 dan Limbah Medis

Filed under KESEHATAN LINGKUNGAN

Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Medis Cair Rumah Sakit

Sebagaimana kita ketahui, dampak negatif dari aspek kesehatan lingkungan, sebuah sarana
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit juga dapat menjadi sumber masalah bagi
lingkungan. Kondisi ini terutama jika limbah yang dihasilkan sebagai akibat aktifitas
pelayanan kesehatan tidak dikelola dengan baik. Sebagaimana diungkapkan Said (1999),
rumah sakit dalam menjalankan fungsi operasionalnya menghasilkan limbah, baik itu limbah
domestik, limbah padat, limbah cair dan limbah gas serta limbah radioaktif.

Kondisi diatas disebabkan karena berbagai kegiatan di rumah sakit berpotensi menghasilkan
berbagai karakteristik dan jenis limbah. dan berpotensi menghasilkan dampak yang
digolongkan sebagai limbah yang mengandung Bahan Berbahaya Beracun (B3), yang
berbahaya terhadap kehidupan manusia, seperti pembuangan bekas jarum suntik, bekas jarum
infus, yang dapat merupakan vektor pembawa bibit penyakit (Selamet, 2000).

Beberapa kegiatan lain yang menghasilkan limbah, adalah kegiatan radiologi, kedokteran
nuklir, pengobatan cancer dan limbah laboratorium yang sebagian merupakan limbah dengan
kandungan B3. Dengan kata lain limbah cair B3 dapat memberikan dampak pada kesehatan
akibat kontak dengan B3 atau terpapar oleh pencemar melalui berbagai cara maka dampak
kesehatan yang timbul bervariasi dari ringan, sedang sampai berat bahkan sampai
menimbulkan kematian, tergantung dari dosis dan waktu perjalanan. Jenis penyakit yang
ditimbulkan, pada umumnya merupakan penyakit non infeksi antara lain : keracunan,
kerusakan organ, kanker, hypertensi, asma brochioli, pengaruh pada janin yang dapat
mengakibatkan lahir cacat (cacat bawaan), kemunduran mental, gangguan pertumbuhan baik
fisik maupun psikis, gangguan kecerdasan dan lain-lain (Salvato, 1982).

Tindakan pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan pengelolaan limbah cair adalah
tindakan pencegahan. Tindakan tersebut dilakukan dalam bentuk pengurangan volume atau
bahaya dari limbah yang dikeluarkan ke lingkungan. Tindakan itu dikenal dengan istilah
minimasi limbah. Keuntungan yang diperoleh dari upaya minimisasi limbah adalah sebagai
berikut: penggunaan sumberdaya alam lebih efisien, efisiensi produksi meningkat, mencegah
atau mengurangi terbentuknya limbah dan bahan pencemar pada umumnya, mencegah
pindahnya pencemar antar media, mengurangi terjadinya resiko kesehatan manusia dan
lingkungan, mendorong dikembangkan dan dilaksanakannya teknologi bersih dan produk
akrab lingkungan. Mengurangi biaya pentaatan hukum, terhindar dari biaya pembersihan
lingkungan, meningkatakan daya saing di pasar internasional, pendekatan pengaturan bersifat
fleksibel dan sukarela (Soemantojo, 1994).

Pengelolaan limbah cair merupakan upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi atau
bahaya limbah, setelah keluar dari proses produksi (end of pipe) melalui proses fisik, kimia
dan biologi. Pengelolaan limbah yang sesuai standar baku mutu lingkungan perlu di
informasikan kepada masyarakat agar tidak menimbulkan persepsi yang negatif yang pada
akhirnya akan merugikan rumah sakit itu sendiri. Menurut Soemantojo (1994), tujuan utama
dari pengelolaan limbah cair rumah sakit untuk mendegadrasikan pencemarannya, sehingga
kualitas efluen yang dihasilkan memenuhi syarat-syarat tertentu.

Limbah, limbah cair dan limbah B3


Limbah merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Sedangkan, limbah bahan berbahaya
dan beracun adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya
dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan
hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia, serta makhluk hidup lain.

Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan
mengandung mikroorganisme pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas. Baku mutu
limbah cair rumah sakit adalah batas maksimal limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke
lingkungan dari suatu kegiatan rumah sakit.

Sebagaimana diperkirakan WHO (1999), bahwa sekitar 10%-25% limbah yang dihasilkan
oleh rumah sakit merupakan limbah yang telah terkontaminasi oleh infectious agent dan
potensial mambahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Kejadian infeksi nosokomial,
juga sering terjadi di Rumah Sakit. Sebagai contoh, keberadaan alat suntik jika pengelolaan
pembuangannya tidak benar, berpotensi besar dapat menularkan penyakit kepada pasien lain,
pengunjung rumah sakit dan puskesmas, petugas kesehatan, maupun masyarakat umum.

Hal tersebut juga diungkapkan Selamet (2000), bahwa dalam melakukan fungsinya, rumah
sakit menghasilkan berbagai buangan dan sebagian daripadanya merupakan limbah
berbahaya dan beracun, diantaranya adalah :

Limbah infeksius, yang terdiri atas exkreta, spesimen laboratorium bekas balutan, jaringan
busuk dan lain-lain. Limbah tajam, yang terdiri atas pecahan peralatan gelas seperti
thermometer, jarum bekas dan alat suntik, limbah plastik, bekas kemasan obat dan barang,
cairan infus, spuit sekali pakai/disposable perlak.

Limbah jaringan tubuh, seperti sisa amputasi, plasenta yang tidak etis dibuang sembarang.

Limbah sitotoxik, yakni sisa obat pembunuh sel yang digunakan untuk mengobati penyakit
kanker.
Limbah kimia dari laboratorium, rumah obat. Limbah radioaktif, limbah cucian pakaian,
limbah dapur dan limbah cair domestik.

Karakteristik limbah cair rumah sakit sangat penting untuk diketahui, terutama dalam
kaitannya dengan dampak yang ditimbulkan, serta upaya pengendaliannya. Limbah cair diuji
berdasarkan zat-zat yang terkandung didalamnya dan dikelompokan atas tiga kategori
kualitas karateristik fisik, kimia dan biologi

Menurut Soemantojo (1992), tindakan pertama yang harus dilakukan sebelum melakukan
pengelolaan limbah cair adalah tindakan pencegahan. Tindakan tersebut dilakukan dalam
bentuk pengurangan volume atau bahaya dari limbah yang dikeluarkan ke lingkungan.
Tindakan itu dikenal dengan istilah minimasi limbah. Minimasi meliputi beberapa tindakan
dengan urutan prioritas sebagai berikut; Reduksi pada sumbernya (reduce); Pemanfaatan
limbah yang terdiri dari kegiatan penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recycling) dan
pemulihan kembali (recovery); Pengolahan limbah; Pembuangan limbah cair sisa
pengolahan.

Pendekatan konsep minimasi limbah dibandingkan dengan pendekatan konsep end-of-pipe


akan lebih rendah biaya dan minimal resiko dibandingkan konsep end-of-pipe yang dapat
menimbulkan permasalahan sebagai berikut : pengolahan limbah cair, padat, atau gas
memiliki resiko pindahnya polutan dari suatu media ke media lingkungan lainnya, dimana
dapat menimbulkan masalah lingkungan yang sama gawatnya, atau berakhir sebagai sumber
pencemar secara tak langsung pada media yang sama. Walaupun tidak setinggi biaya
pemulihan kerusakan lingkungan, pengolahan limbah memerlukan biaya tambahan pada
proses produksi, sehingga biaya per satuan produk naik. Hal ini juga akan menyebabkan para
pengusaha enggan mengoperasikan peralatan pengolahan limbah yang telah dimiliki.

Pengembangan teknologi pengolahan limbah tidak mendorong upaya ke arah pengurangan


limbah pada sumbernya serta kurang menjanjikan pemanfaatan limbah lebih jauh. Teknologi
pengolahan limbah yang ada saat ini belum berhasil atau sangat berfluktuasi dalam efisiensi.
Effluent yang diolah masih mengandung bahan pencemar.

Pendekatan pengendalian pencemaran memerlukan berbagai perangkat peraturan, selain


menuntut tersedianya biaya dan sumberdaya manusia yang handal dalam jumlah memadai
untuk melaksanakan pemantauan, pengawasan, dan penegakan hukum, lemahnya kontrol
sosial, terbatasnya sarana dan prasarana, serta kurangnya jumlah kemampuan tenaga
pengawas menyebabkan hukum sulit untuk ditegakkan. Terkait dengan hal ini, antra
lain kemudian ditetapkan baku mutu lingkungan, sebagai sebuah instrument pengelolaan
lingkungan hidup.

Fungsi Baku Mutu Lingkungan adalah untuk menilai bahwa lingkungan telah rusak atau
tercemar dan untuk mengetahui telah terjadi perusakan atau pencemaran lingkungan. Untuk
keperluam ini juga digunakan nilai ambang batas (NAB), yang merupakan batas-batas daya
dukung, daya tenggang dan daya toleransi atau kemampuan lingkungan. Nilai ambang batas
tertinggi dan terendah dari kandungan zat-zat, mahluk hidup atau komponen-komponen lain
dalam setiap interaksi yang berkenaan dengan lingkungan khususnya yang mempengaruhi
mutu lingkungan. Dapat dikatakan lingkungan tercemar apabila kondisi lingkungan telah
melewati ambang batas (batas maksimum dan batas minimum) yang telah ditetapkan
berdasarkan baku mutu lingkungan.

Baku mutu lingkungan ini diatur sesuai peraturan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor KEP-03/MENKLH/I I/1991 tentang baku mutu air pada sumber
air, baku mutu limbah cair, baku mutu udara ambien, baku mutu udara emisi dan baku mutu
air laut. (Bapedal, 2001).

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 18/1999 Jo. PP No.85/1999, antara lain disebutkan
bahwa Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), merupakan sisa atau suatu
usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena
sifat dan/atau persentasinya dan/atau jumlah, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan
hidup kesehatan.

Referrence, antara lain : Said. 1999. Pengololaan Air Limbah Rumah Sakit, BPPT; Salvato,
A.J. 1982. Environmental and Engineering and Sanitasion Thrid Edition; Selamet, J. 2000.
Kesehatan Lingkungan. GMU Press; Sumantojo, W.R. 1992. Minimisasi Limbah; dan
Pembangunan; BAPEDAL. 2001. Himpunan Peraturan tentang Pengelolaan Limbah B3

Anda mungkin juga menyukai