Anda di halaman 1dari 29

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR KEPATUHAN

1. Pengertian Kepatuhan

Di dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan mengacu kepada

situasi ketika perilaku seseorang individu sepadan dengan tindakan yang

dianjurkan atau nasehat yang diusulkan oleh seseorang praktisi kesehatan

atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya seperti

nasehat yang diberikan dalam suatu brosur promosi kesehatan melalui

suatu kampanye media masa (Ian dan Marcus, 2011).

Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku ini akan

bertahan bila ada pengawasan. Jika pengawasan hilang atau mengendur

maka akan timbul perilaku ketidakpatuhan. Perilaku kepatuhan ini akan

optimal jika perawat itu sendiri menganggap perilaku ini bernilai positif

yang akan diintegrasikan melalui tindakan asuhan keperawatan. Perilaku

keperawatan ini akan dapat dicapai jika manajer keperawatan merupakan

orang yang dapat dipercaya dan dapat memberikan motivasi (Sarwono,

2007).

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan

a. Faktor Internal

1) Pengetahuan

Menurut Wawan & Dewi (2010), pengetahuan merupakan hasil

dari tahu, dan ini terjadi setelah orang penginderaan terhadap suatu

8
9

objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui indera manusia, yakni

indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Pengetahuan atau kognitf merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Perlikau

yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng, sebelum

orang mengadopsi perilaku baru tersebut terjadi proses yang

berurutan yakni :

a) Awareness (Kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari dalam

arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

b) Interest, yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus

c) Evaluation, menimbang – nimbang baik dan tidaknya stimulasi

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah

lebih baik lagi.

d) Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru

e) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2) Sikap

Menurut Azwar (2009) sikap adalah suatu bentuk evaluasi

atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah

perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan

tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek

tersebut. Sikap merupakan semacam kesipan untuk bereaksi

terhadap suatu objek dengan cara – cara tertentu. Dapat dikatakan

bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan


10

potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu

individu dihadapkan pada suatu stimulasi yang menghendaki

adanya respons.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata

menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

tertentu yang dalam kehidupan sehari – hari merupakan reaksi

yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap ini masih

merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau

tingkah laku yang terbuka (Notoadmojo, 2013).

3) Kemampuan

Kemampuan adalah bakat seseorang untuk melakukan tugas

fisik atau mental. Kemampuan seseorang pada umumnya stabil.

Kemampuan merupakan faktor yang dapat membedakan karyawan

yang berkinerja tinggi dan yang berkinerja rendah. Kemampuan

individu mempengaruhi karakteristik pekerjaan, perilaku, tanggung

jawab, pendidikan dan memiliki hubungan secara nyata terhadap

kinerja pekerjaan (Ivancevich, 2007). Manajer harus berusaha

menyesuaikan kemampuan dan keterampilan seseorang dengan

kebutuhan pekerjaan. Proses penyesuaian ini penting karena tidak

ada kepemimpinan, motivasi atau sumber daya organisasi yang

dapat mengatasi kekurangan kemampuan dan keterampilan

meskipun beberapa keterampilan dapat diperbaiki melalui latihan

atau pelatihan (Ivancevich, 2007).


11

4) Motivasi

Kata motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong

seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dikatakan sebagai daya

penggerak dari dalam dan didalam subyek untuk melakukan

aktivitas – aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Motivasi

berasal dari kata “motif” yang diartikan sebagai “daya penggerak

yang telah menjadi aktif” (Sardiman, 2009).

Eysenck dan kawan-kawan merumuskan motivasi sebagai

suatu proses yang menentukan tingkatan kegiatan, intensitas dan

konsistensi, serta arah umum dari tingkah laku manusia merupakan

konsep yang rumit dan berkaitan dengan konsep – konsep lain

seperti minat, konsep diri, sikap (Slamento, 2010).

Menurut Sardiman (2009), ada 3 fungsi motivasi yaitu :

a) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak

atau motor yang melepas energy. Motivasi dalam hal ini

merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan

dikerjakan

b) Menentukan arah perbuatan, yakni kea rah tujuan yang hendak

dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan

kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan

tujuannya.

c) Menyelesaikan perbuatan, yakni menentukan perbuatan –

perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai

tujuan, dengan menyisihkan perbuatan – perbuatan yang tidak


12

bermanfaat bagi tujuan tersebut (Sardiman, 2009)

b. Faktor eksternal

1) Karakteristik organisasi

Keadaan dari organisasi dan struktur organisasi ditentukan

oleh filosofi dari manajer organisasi tersebut. Keadaan organisasi

dan struktur organisasi akan memotivasi atau gagal memotivasi

perawat professional untuk berpartisipasi pada tingkatan yang

konsisten sesuai dengan tujuan.

Subyantoro (2009), berpendapat bahwa karakteristik

organisasi meliputi komitmen organisasi dan hubungan antara

teman sekerja dengan supervisor yang akan berpengaruh terhadap

kepuasan kerja dan perilaku individu.

2) Karakteristik kelompok

Rusmana (2008) berpendapat bahwa kelompok adalah unit

komunitas yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki

suatu kesatuan tujuan dan pemikiran serta integritas antar anggota

yang kuat. Karakteristik kelompok adalah : (1) adanya interaksi,

(2) adanya struktur, (3) kebersamaan, (4) adanya tujuan, (5) ada

suasana kelompok, (6) dan adanya dinamika interdependensi.

Anggota kelompok melaksanakan peran dan tugas, peran

pembentukan, pemeliharaan kelompok, dan peran individu.

Anggota melaksanakan hal ini melalui hubungan interpersonal.

Tekanan dari kelompok sangat mempengaruhi hubungan

interpersonal dan tingkat kepatuhan individu karena individu


13

terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok

meskipun sebenarnya individu tersebut tidak menyetujuinya

(Rusmana, 2008).

3) Karakteristik Pekerjaan

Karakteristik pekerjaan akan memberikan motivasi bagi

karyawan untuk lebih bekerja dengan giat dan untuk

menumbuhkan semangat kerja yang lebih produktif karena

karakteristik pekerjaan adalah proses membuat pekerjaan akan

lebih berarti, menarik dan menantang sehingga dapat mencegah

seseorang dari kebosanan dan aktivitas pekerjaan yang monoton

sehingga pekerjaan terlihat lebih bervariasi.

Dalam Gibson et al (Rahayu, 2006) menyebutkan

karakterisik pekerjaan adalah sifat yang berbeda antara jenis

pekerjaan yang satu dengan yang lainnya yang bersifat khusus dan

merupakan inti pekerjaan yang berisikan sifat – sifat tugas yang

ada di dalam semua pekerjaan serta dirasakan oleh para pekerja

sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap pekerjaannya.

4) Karakteristik lingkungan

Apabila perawat harus bekerja dalam lingkungan yang

terbatas dan berinteraksi secara konstan dengan staf lain,

pengunjung dan tenaga kesehatan lainnya. Kondisi seperti ini yang

dapat menurunkan motivasi perawat terhadap pekerjaannya, dapat

menyebabkan stress dan menimbulkan kepenatan.


14

B. STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMASANGAN INFUS

1. Pengertian SPO

a. Standar Prosedur Operasional adalah serangkaian instruksi tertulis

yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan

administrasi pemerintah (Kepmenpan No. 021 tahun 2008).

b. Standar Prosedur Operasional merupakan panduan yang digunakan

untuk memastikan kegiatan operasional suatu institusi berjalan dengan

lancar (Sailendra, 2015)

c. Menurut Moekijat (2008), Standar prosedur operasional adalah urutan

langkah – langkah (atau pelaksanaan – pelaksanaan) pekerjaan, dimana

pekerjaan tersebut dilakukan, berhubungan dengan apa yang

dilakukan, bagaimana melakukannya, bilamana melakukannya, dimana

dan siapa yang melakukannya.

d. Suatu standar untuk mendorong kelompok untuk mencapai tujuan

e. Tata cara yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja

tertentu (KARS, 2006) yang berfungsi untuk memperlancar tugas staf /

tim, sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan, mengetahui

hambatan yang terjadi dan mudah dilacak, mengarahkan staf agar sama

– sama disiplin dalam bekerja, dan sebagai pedoman dalam

melaksanakan pekerjaan.

2. Tujuan SPO adalah menjaga konsistensi tingkat penampilan kerja,

meminimalkan kegagalan, kesalahan dan kelalaian, sebagai parameter

untuk menilai mutu kinerja, menjelaskan alur, tugas, wewenang dan

tanggung jawab, mengarahkan pendokumentasian yang adequate dan


15

akurat, dan memastikan penggunaan sumber daya secara efektif dan

efisien.

3. Pengertian pemasangan infus

a. Tindakan yang dilakukan pada pasien yang memerlukan masukan

cairan atau obat, langsung ke dalam pembuluh darah vena, dalam

jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set (Potter,

2005).

b. Pemasangan infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan

untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien

(Darmawan, 2008).

c. Memasukkan jarum atau kanula ke dalam vena (pembuluh balik) untuk

di lewati cairan infus / pengobatan, dengan tujuan agar sejumlah cairan

atau obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui vena dalam jangka

waktu tertentu. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving

seperti pada kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok,

karena itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman

diperlukan pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan

elektrolit serta asam basa (Lukman, 2007).

d. Suatu tindakan yang dilakukan pada klien yang memerlukan masukan

cairan melalui intra vena (Infus).

4. Indikasi pemasangan infus

a. Pada keadaan emergency resusitasi jantung paru memungkinkan

pemberian obat secara langsung melalui intravena.


16

b. Untuk memasukkan dosis obat dalam jumlah besar secara terus

menerus melalui infus

c. Untuk memberikan respon yang cepat terhadap pemberian obat

d. Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi

kebutuhan injeksi IM (intra muscular)

e. Pasien yang mendapatkan transfusi darah

f. Upaya profilaksis pada pasien dengan kondisi tidak stabil, misalnya

risiko dehidrasi atau kurang cairan, dan syok yang mengancam jiwa,

sebelum pembuluh darah kolaps atau tidak teraba.

5. Tujuan pemadangan infus

a. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air,

elektrolit, vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat

dipertahankan melalui oral.

b. Mengkoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit

c. Memperbaiki keseimbangan asam dan basa

d. Memperbaiki volume komponen – komponen darah

e. Memonitor tekanan vena sentral (CVP)

f. Menyediakan medium untuk pemberian obat intravena, dan membantu

pemberian nutrisi parenteral (Hidayat, 2008).

6. Komplikasi Pemasangan Infus

Terapi intravena diberikan secara terus – menerus dan dalam jangka waktu

yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya

komplikasi. Komplikasi dari pemasangan infus yaitu di bawah ini (Hinlay,


17

2006).

a. Phlebitis

Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun

mekanik. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang

memerah dan hangat di sekitar daerah insersi / penusukan atau

sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi atau sepanjang

vena dan pembengkakan.

b. Infiltrasi

Infiltrasi terjadi ketika cairan intra vena memasuki ruang

subkutan di sekeliling tempat punksi vena. Infiltrasi ditunjukkan

dengan adanya pembengkakan (akibat peningkatan cairan di jaringan).

Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada

tempat yang sama di ekstrimitas yang berlawanan. Suatu cara yang

lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang

tornikuet di atas atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan

infus dan mengencangkan tornikuet tersebut secukupnya untuk

menghentikan aliran vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada

obstruksi vena, berarti terjadi infiltrasi.

c. Iritasi vena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama di infus, kemerahan

pada kulit di atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan

dengan pH tinggi, pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misalnya ;

phenytoin, vancomycin, eritromycin dan nafcillin).


18

d. Hematoma

Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di

sekitar area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena

yang berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan

tekanan yang tidak sesuai dengan yang diberikan ke tempat penusukan

setelah jarum atau kateter dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma

yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada tempat penusukan dan

kebocoran darah pada tempat penusukan.

e. Tromboflebitis

Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah

peradangan dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya

nyeri yang terlokalisasi, kemerahan, indurasi, rasa hangat dan

pembengkakan di sekitar area insersi atau sepanjang vena, imobilisasi

ekstrimitas karena adanya rasa tidak nyaman dan pembengkakan,

kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise dan leukositosis.

f. Trombosis

Thrombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada

vena, dan aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel

endotel dinding vena, pelekatan platelet.

g. Occlusion

Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran

ketika botol infus dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan

tidak nyaman pada area pemasangan / insersi. Occlusion disebabkan

oleh gangguan aliran intravena, aliran balik darah ketika pasien


19

berjalan dan selang diklem terlalu lama.

h. Spasme vena

Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di

sekitar vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal.

Spasme vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang

dingin, iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena

dan aliran yang terlalu cepat.

i. Reaksi vasovagal

Digambarkan dengan klien tiba – tiba terjadi kolaps pada vena,

dingin, berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan

darah. Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan.

j. Kerusakan syaraf, tendon dan ligament

Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan

kontraksi otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralisis, mati

rasa dan deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan

yang tidak tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon

dan ligament.

7. Cara pencegahan komplikasi pemasangan infus

Menurut Hidayat (2008), selama proses pemasangan infus perlu

memperhatikan hal – hal untuk mencegah komplikasi yaitu :

a. Gunakan alat – alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan teknik

sterilisasi dalam pemasangan infus.

b. Ganti lokasi tusukan setiap 48 – 72 jam dan gunakan set infus baru.

c. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24 – 48 jam dan evaluasi tanda
20

infeksi.

d. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain.

e. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan.

f. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir

g. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum

infus perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus.

h. Bersihkan lokasi penusukan dengan antiseptic. Bekas – bekas plester

dibersihkan memakai kapas alkohol.

i. Hindarkan memasang infus pada daerah – daerah yang infeksi, vena

yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil.

j. Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus dengan tepat.

Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan

milliliter perjam (ml/h) dan penghitungan tetes permenit.

8. Keuntungan dan Kerugian

Menurut Wongkar, F (2015), keuntungan dan kerugian terapi intravena

adalah :

a. Keuntungan

Keuntungan terapi intravena antara lain : Efek terapeutik segera

dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung

cepat, absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi

lebih dapat diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga

efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit

dan iritasi obat – obatan tertentu jika diberikan intramuscular atau

subkutan dapat dihindari, sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorpsi
21

dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan

dalam traktus gastrointestinal.

b. Kerugian

Kerugian terapi intravena adalah : tidak bisa dilakukan “drug

recall” dan mengubah aksi obat tersebut sehingga risiko toksisitas dan

sensitivitas tinggi, kontrol pemberian yang tidak baik bisa

menyebabkan “Speed shock” dan komplikasi tambahan dapat timbul,

yaitu : kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam

periode tertentu, iritasi vascular, misalnya flebitis kimia dan

inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.

9. Lokasi Pemasangan Infus

Menurut Wongkar, F (2015), tempat atau lokasi vena perifer yang

sering digunkan pada pemasangan infus adalah vena superficial atau

perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling

mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang memungkinkan

adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena basalika,

vena sefalika), lengan bagian dalam (vena kubital median, vena median

lengan bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna,

ramus dorsalis).

Menurut Dougherty, dkk (2010), pemilihan lokasi pemasangan terapi

intravena mempertimbangkan beberapa faktor yaitu :

a. Umur pasien, misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat

penting dan mempengaruhi berapa lama intravena terakhir.

b. Prosedur yang diantisipasi, misalnya jika pasien harus menerima jenis


22

terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan,

pilih sisi yang tidak terpengaruh oleh apapun.

c. Aktivitas pasien, misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan

tingkat kesadaran.

d. Jenis intravena, jenis larutan dan obat – obatan yang akan diberikan

sering memaksa tempat – tempat yang optimum (misalnya

hiperalimentasi adalah sangat mengiritasi vena – vena perifer)

e. Durasi terapi intravena, tetapi jangka panjang memerlukan pengukuran

untuk memelihara vena yaitu pilih vena yang akurat dan baik, rotasi

sisi dengan hati – hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal

(misalnya mulai di tangan dan pindah ke lengan).

f. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada, pemilihan

sisi dan rotasi yang berhati – hati menjadi sangat penting jika sedikit

vena pengganti.

g. Terapi intravena sebelumnya : flebitis sebelumnya membuat vena

menjadi tidak baik untuk di gunakan, kemoterapi sering membuat vena

menjadi buruk (misalnya mudah pecah atau sklerosis)

h. Pembedahan sebelumnya : jangan gunakan ekstrimitas yang terkena

pada pasien dengan kelenjar limfe yang telah di angkat (misalnya

pasien mastektomi) tanpa izin dari dokter.

i. Sakit sebelumnya : jangan gunakan ekstrimitas yang sakit pada pasien

dengan stroke.

j. Kesukaan pasien : jika mungkin, pertimbangkan kesukaan alami

pasien untuk memilih sebelah kiri atau kanan dan juga sisi lengan.
23

10. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pemasangan Infus (Wongkar F,

2015)

a. Pengertian

Suatu tindakan yang dilakukan pada klien yang memerlukan masukan

cairan melalui inta vena (infus). Pemberian cairan infus dapat

diberikan pada pasien yang mengalami pengeluaran cairan atau nutrisi

yang berat. Tindakan ini memerlukan kesterilan megingat langsung

berhubungan dengan pembuluh darah.

b. Tujuan prosedur

- Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit

- Infus pengobatan dan pemberian nutrisi

c. Persiapan alat

- Standart infus

- Set infus (Infus set)

- Cairan infus sesuai dengan program medik

- Jarum infus dengan ukuran yang sesuai (Abbocath)

- Pengalas

- Torniket

- Kapas Alkohol

- Plester

- Gunting

- Kasa steril

- Betadine
24

- Sarung tangan

d. Prosedur Kerja

1) Tahap pra interaksi

a) Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada

b) Lakukan kebersihan tangan

c) Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar

2) Tahap Orientasi

a) Memberikan salam kepada pasien sebagai pendekatan

terapeutik

b) Menjelaskan kepada pasien dan keluarga akan tujuan,

prosedur tindakan, dan sensasi yang akan dirasakan selama

pemasangan infus

c) Menanyakan kesiapan pasien sebelum tindakan dilakukan.

3) Tahap Kerja

a) Melakukan desinfeksi tutup botol cairan

b) Hubungkan cairan dan infus set dengan menusukkan kebagian

karet atau akses selang ke botol infus

c) Isi cairan ke dalam set infus dengan menekan ruang tetesan

hingga terisi sebagian dan buka klem slang hingga cairan

memenuhi selang dan udara dalam selang keluar.

d) Letakkan pengalas di bawah tempat (vena) yang akan

dilakukan penginfusan

e) Lakukan pembendungan dengan tornikuet (karet

pembendung) 10 – 20 cm di atas tempat penusukan dan


25

anjurkan pasien untuk menggenggam dengan gerakan sirkuler

(bila sadar)

f) Gunakan sarung tangan

g) Desinfeksi daerah yang akan ditusuk dengan kapas alkohol

h) Lakukan penusukan pada vena dengan meletakkan ibu jari di

bagian bawah vena dan posisi jarum (Abbocath) mengarah ke

atas

i) Perhatikan keluarnya darah melalui jarum (abbocath). Apabila

saat penusukan terjadi pengeluaran darah melalui jarum

(abbocath) maka tarik keluar bagian dalam (jarum) sambil

meneruskan tusukan ke dalam vena.

j) Melepaskan torniquet

k) Setelah jarum infus bagian dalam dilepaskan / dikeluarkan,

tahan bagian atas vena dengan menekan menggunakan jari

tangan agar darah tidak keluar. Kemudian bagian infus di

hubungkan / disambungkan dengan slang infus.

l) Buka pengatur tetesan dan atur kecepatan sesuai dengan dosis

yang di berikan

m) Lakukan fiksasi IV dengan kasa steril atau dressing transparan

n) Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus serta catat

ukuran jarum infus yang digunakan

o) Lepaskan sarung tangan dan lakukan kebersihan tangan

4) Tahap terminasi

a) Observasi dan melakukan evaluasi tindakan


26

b) Melakukan kontrol untuk kegiatan selanjutnya

c) Berpamitan dengan pasien dan keluarga

d) Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

Penilaian SPO pemasangan infus pada penelitian ini merupakan adopsi

dari Format Penilaian OSPE (Objective Structure Practice Examination)

dan Panduan Praktik Keperawatan Klinis (Saputra L, 2013).

Perawat dalam melaksanakan pemasangan infus harus mematuhi prosedur

pemasangan infus serta mematuhi SPO yang telah dibakukan di Rumah

Sakit.

C. PHLEBITIS

1. Pengertian

Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi

kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang

merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang

vena. Insiden phlebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan

jalur intravena, komplikasi cairan atau obat yang di infuskan (terutama PH

dan viskositasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan

jalur intravena yang tidak sesuai dan masuknya mikroorganisme pada saat

penusukan.

Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2010), phlebitis merupakan

peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering

dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan

didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhotelium tunika

intima vena, dan perlekatan trombosit pada area tersebut. Phlebitis adalah
27

komlikasi dari pemberian terapi intravena, yang disebabkan oleh iritasi

kimia, mekanik maupun bakteri dan post infus. Phlebitis ditandai dengan

adanya satu atau lebih dari tanda – tanda phlebitis yaitu daerah yang

merah, nyeri, indurasi, teraba hangat atau panas dan pembengkakan di

daerah penusukan.

Phlebitis merupakan salah satu komplikasi dari pemberian terapi

intravena. Komplikasi dari pemberian terapi intravena bisa bersifat

sistemik dan lokal. Komplikasi sistemik lebih jarang terjadi, tetapi

seringkali lebih serius dibanding komplikasi lokal, seperti septikimia,

reaksi alergi, overload sirkulasi dan emboli udara. Komplikasi lokal selain

phlebitis antara lain infiltrasi, trombophlebitis, hematoma, iritasi vena,

thrombosis, occlusion, spasme vena, reaksi vasovagal dan kerusakan saraf,

tendon, ligament (Wongkar, F, 2015).

2. Tanda phlebitis

Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang

dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson telah mengembangkan skor

visual untuk kejadian phlebitis, yaitu :

Tabel 2.1 VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score) oleh Andrew
Jackson
SKOR KEADAAN AREA PENUSUKAN PENILAIAN
0 Tempat suntikan tampak sehat Tak ada tanda phlebitis
1 Salah satu dari berikut, jelas :
a. Nyeri area penusukan Mungkin tanda dini
b. Adanya eritema di area penusukan phlebitis
2 Dua dari berikut jelas :
a. Nyeri area penusukan Stadium dini phlebitis
b. Eritema
c. Pembengkakan
3 Semua dari berikut, jelas :
a. Nyeri sepanjang kanul Stadium moderat
b. Eritema phlebitis
c. Indurasi
28

4 Semua dari berikut jelas :


a. Nyeri sepanjang kanul Stadium lanjut atau awal
b. Eritema thrombophlebitis
c. Indurasi
d. Venous chord teraba
5 Semua dari berikut, jelas :
a. Nyeri sepanjang kanul
b. Eritema Stadium lanjut
c. Indurasi Thrombophlebitis
d. Venous chord teraba
e. Demam

3. Klasifikasi phlebitis

Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada

empat kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu : kimia, mekanik, agen

infeksi dan post infus (INS, 2006).

a. Phlebitis Kimia (Chemical Phlebitis)

Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang

terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang

menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi

akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter

kateter yang digunakan.

PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa,

PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang

berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi

yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa

dalam proses sterilisasi autoclave, jadi larutan yang mengandung

glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam I

parenteral lebih bersifat flebitogenik.

Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau


29

jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat,

konsentrasi plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H2O. Larutan

sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau

hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding

dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang

memiliki ormolalitas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang

memiliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik, sedangkan

yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak

hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akan tetapi juga

berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika

intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmolar

yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi

pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena kevil.

Cairan isotonik akan menjadi lebih hiperosmolar apabila ditambah

dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2010).

Menurut Subekti (2010), vena perifer dapat menerima

osmolalitas larutan sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi

osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada

dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophlebitis, dan

tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui

vena sentral, karena larutan yang bersifat hipertonis dengan

osmolalitas > 900 mOsm/L, melalui vena sentral aliran darah menjadi

cepat sehingga tidak merusak dinding.

Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu


30

penyebab utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan

rendah mengurangi iritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan

material kateter juga berperan pada kejasian phlebitis. Bahan kateter

yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen (Teflon) mempunyai

risiko terjadinya phlebitis lebih besar dibandigkan bahan yang terbuat

silikon atau poliuretan (INS, 2010). Partikel materi yang terbentuk dari

cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa

menyebabkan resiko terjadinya phlebitis. Penggunaan filter dengan

ukuran 1 sampai 5 mikron pada infus set, akan menurunkan atau

meminimalkan risiko phlebitis akibat partikel materi yang terbentuk

tersebut (Darmawan, 2008).

b. Phlebitis Mekanik (Mechanical Phlebitis)

Phlebitis mekanik sering diubungkan dengan pemasangan atau

penempatan kateter intravena. Penempatan kateter pada area fleksi

lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis saat ekstrimitas

digerakkan kateter yang terpasang ikut bergerak dan menyebabkan

trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran kateter yang besar pada

vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena (The Centres for

Disease Control and Prevention, 2006).

c. Phlebitis Bakteri (Bakterial Phlebitis)

Phlebitis bakterial adalah peradangan vena yang berhubungan

dengan adanya kolonisasi bakteri. Adanya bacterial phlebitis bisa

menjadi masalah yang serius sebagai predisposisi komplikasi sistemik

yaitu septikimia. Faktor – faktor yang berperan dalam kejadian


31

phlebitis bakteri antara lain :

1) Teknik cuci tangan yang tidak baik

2) Teknik aseptic yang kurang pada saat penusukan

3) Teknik pemasangan kateter yang buruk

4) Pemasangan yang terlalu lama

5) Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak, pembungkus yang

bocor atau robek dapat mengandung bakteri.

6) Tempat penyuntikan yang jarang di inspeksi visual (INS, 2010).

d. Post Infus Phlebitis

Phlebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya sebagai akibat

pemasangan infus. Phlebitis post infus adalah peradangan pada vena

yang didapatkan 48 – 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang

berperan dengan kejadian phlebitis post infus, antara lain :

1) Teknik pemasangan kateter yang tidak baik

2) Pada pasien dengan retardasi mental

3) Kondisi vena yang tidak baik

4) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam

5) Ukuran kateter terlalu besar pada vena yang kecil.

4. Tindakan Pencegahan Phlebitis

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya phlebitis

yang telah disepakati oleh para ahli ;

a. Mencegah phlebitis bakteri

Pedoman yang dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan tangan,

teknik aseptic, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Untuk


32

pemilihan larutan antisepsis. The Center for Disease Control (CDC)

merekomendasikan penggunaan chlorhexidine 2 %, akan tetapi

penggunaan tincture yodium, iodofor atau alkohol 70 % bisa

digunakan.

b. Selalu waspada dan tindakan aseptik

Selalu berprinsip aseptik setiap tindakan yang memberikan manipulasi

pada daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan

sebagai jalan pemberian obat, pemberian cairan infus atau

pengambilan sampel darah merupakan jalan masuk kuman.

c. Rotasi kateter

May, dkk (2005), melaporkan hasil pemberian Perifer Parenteral

Nutrition (PPN), dimana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan

kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis.

Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru – baru ini oleh

Webster dkk disimpulkan bahwa intravena kateter bisa dibiarkan aman

di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The

Centres for Disease Control and Prevention menganjurkan

penggantian kateter setiap 72 – 96 jam untuk membatasi potensi

infeksi.

d. Aseptic dressing

Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah phlebitis dengan

penggantian kasa steril diatas tempat penusukan setiap 24 jam.

e. Kecepatan pemberian infus

Para ahli sepakat bahwa makin lambat larutan hipertonik diberikan


33

makin rendah risiko phlebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk

pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas

boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi

sebaiknya kurang dari 3 jam untuk mengurangi waktu kontak

campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan

kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam). Vena perifer yang

paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin

dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter

0,45 mm. kateter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau

kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus

sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi

parenteral.

f. Titrable acidity

Titrable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk

menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak

bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri.

Bahkan pada pH 4,0 larutan glukosa 10 % jarang menyebabkan

perubahan karena titrable acidity nya sangat rendah (0,16 mEq/L).

dengan demikian makin rendahnya titrable acidity larutan infus makin

rendah risiko phlebitisnya.

g. Heparin dan hidrokortison

Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir

1 unit / ml, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter.

Risiko phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu


34

(misalnya ; kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat

dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison.

Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara

bermakna mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yang diinfus

lidokain, kalium klorida atau antimikrobial.

Pada uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan

hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan

heparin pada larutan yang mengndung lipid dapat disertai dengan

pembentukan endapan kalsium.

Berdasarkan bacaan diatas, maka perawat dalam melaksanakan

pemasangan infus harus selalu memperhatikan tata laksana prosedur

pemasangan infus agar tidak terjadi phlebitis. tata laksanan prosedur

pemasangan infus disebut sebagai SPO (Standar Prosedur

Operasional).
35

D. KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konsep

Faktor Internal :
- Pengetahuan
- Sikap
- Kemampuan
- Motivasi
SPO Pemasangan Infus
- Persiapan alat
Kepatuhan Perawat - Pra interaksi
- Orientasi
- Kerja
- Terminasi
Faktor Eksternal :
- Karakteristik organisasi
- Karakteristik kelompok
- Karakteristik pekerjaan Kejadian Phlebitis
- Karakteristik lingkungan

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan antara kepatuhan


perawat dalam melaksanakan SPO pemasangan infus
dengan kejadian phlebitis di RSUD Dr. R. Soedjono Selong

E. HIPOTESIS

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang masih

bersifat penduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya (putra, 2012).

Dalam penelitian ini terdapat dua hipotesis yaitu hipotesis penelitian (HA)

yaitu jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian dan hipotesis

statistik (HO) yaitu pernyataan mengenai keadaan populasi (parameter) yang

akan diuji kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh dari sampel

penelitian (statistik), (Sugiyono, 2012).


36

Adapun rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ha : Ada hubungan antara kepatuhan perawat dalam menjalankan SPO

pemasangan infus dengan Kejadian Phlebitis di ruang Rawat Inap

RSUD Dr. R. Soedjono Selong

HO : Tidak ada hubungan antara kepatuhan perawat dalam menjalankan

SPO pemasangan infus dengan Kejadian Phlebitis di ruang Rawat

Inap RSUD Dr. R. Soedjono Selong

Anda mungkin juga menyukai