Anda di halaman 1dari 13

Kesehatan jiwa menjadi isu yang semakin banyak mendapat perhatian

publik, baik pemerintah, petugas dan pemerhati kesehatan jiwa, maupun

masyarakat umum. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun

2013 menyebutkan prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia

1,7 per mil, dan DI Yogyakarta menempati peringkat pertama dengan prevalensi

sebesar 2,7 per mil. Data ini juga menyebutkan bahwa prevalensi gangguan

mental emosional pada penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas

sebesar 6%. DI Yogyakarta menduduki peringkat ke-4 dengan prevalensi

gangguan mental emosional sebesar 8,1% (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Data lain

menyebutkan bahwa gangguan jiwa termasuk dalam satu dari sepuluh besar

penyakit yang didiagnosis pada pasien rawat jalan di rumah sakit di Yogyakarta

(Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013).

Tingginya peringkat prevalensi gangguan jiwa berat dan mental

emosional DI Yogyakarta berdasarkan data di atas diperkirakan terjadi karena

tingginya angka identifikasi yang dilakukan petugas kesehatan terhadap kedua

gangguan tersebut. Layanan kesehatan mental di provinsi ini telah

dikembangkan menjadi layanan kesehatan berbasis masyarakat atau melalui

Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ). Adanya pelatihan pelayanan kesehatan jiwa bagi

perawat Puskesmas, pengembangan Kader Kesehatan Jiwa, hingga komitmen

desa untuk memberi prioritas bagi layanan kesehatan mental merupakan upaya

untuk meningkatkan akses layanan kesehatan jiwa bagi masyarakat.

Identifikasi masalah kesehatan mental yang cukup baik di DI Yogyakarta

sayangnya tidak diikuti dengan proporsi cakupan pengobatan gangguan jiwa

berat dan mental emosional. Proporsi cakupan pengobatan gangguan jiwa

1
provinsi ini sebesar 58,6%, lebih kecil dari cakupan pengobatan Indonesia

sebesar 61,8%. Adapun cakupan pengobatan gangguan mental emosional di

Indonesia adalah sebesar 26,6% dan DI Yogyakarta menunjukkan angka

cakupan yang lebih baik yakni sebesar 30,1% (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Apabila angka

prevalensi dan cakupan gangguan mental emosional tersebut dibandingkan

dengan proyeksi jumlah penduduk DI Yogyakarta yang berusia 15 tahun ke atas

pada tahun 2013 sejumlah 2.903.200 jiwa (http://yogyakarta.bps.go.id), maka

sekitar 235.160 penduduk provinsi ini mengalami gangguan mental emosional

dan hanya 70.548 di antaranya yang mendapatkan pengobatan.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjamin setiap

orang dengan masalah kejiwaan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan,

serta perlindungan hukum dan sosial yang memadai adalah melalui penyusunan

Undang-Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.

Pasal 1 dalam UU ini menyebutkan penanganan masalah kesehatan mental di

Indonesia memerlukan serangkaian kegiatan yang diselenggarakan secara

menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah

Daerah, dan/atau masyarakat bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat

dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, yang disebut

dengan upaya kesehatan jiwa (“Undang-Undang Republik Indonesia”, 2014).

Sayangnya upaya kesehatan jiwa di Indonesia belum sepenuhnya

berjalan di pelayanan kesehatan umum. Hal ini terlihat dari treatment gap yang

mengindikasikan belum memadainya kapasitas layanan kesehatan jiwa

dibandingkan dengan prevalensi gangguan jiwa yang ada. Salah satu indikasi

treatment gap yakni hanya tersedia sekitar 600 orang psikiater dan 365 orang

2
psikolog untuk 241 juta jiwa penduduk Indonesia (Retnowati, 2011). Jumlah ini

masih jauh dari rerata jumlah tenaga profesional kesehatan mental yang

dibutuhkan oleh negara dengan pendapatan menengah dan rendah (termasuk

Indonesia), yaitu 22,3 tenaga profesional per 100.000 populasi pada negara

dengan pendapatan rendah, sedangkan pada negara dengan pendapatan

menengah dibutuhkan 26,7 tenaga profesional untuk populasi yang sama

(Bruckner dkk., 2011). Di negara-negara maju dengan sistem perawatan

kesehatan yang terorganisir dengan baik, antara 44% dan 70% dari pasien

dengan gangguan mental tidak menerima pengobatan, sedangkan di negara

berkembang angka-angka ini bahkan lebih mengejutkan, dengan treatment gap

mendekati 90% (World Health Organization [WHO], 2003).

Uraian di atas sejalan dengan reportase majalah Time edisi November

2003 yang menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki

peringkat terendah dalam hal penyediaan layanan kesehatan jiwa di Asia. Selain

rendahnya rasio jumlah psikiater dan tenaga kesehatan jiwa, serta fasilitas

pelayanan kesehatan jiwa yang belum mencukupi dibandingkan dengan jumlah

penduduk, keterbatasan anggaran untuk kesehatan jiwa juga menjadi masalah

bagi penyediaan layanan kesehatan jiwa yang memadai di Indonesia (Yusuf,

2014).

Treatment gap ini tentu memerlukan penanganan yang mendesak untuk

mengurangi atau bahkan menghilangkan kesenjangan yang ada. Salah satu

rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi treatment gap adalah dengan

mengintegrasikan layanan kesehatan mental dalam perawatan primer sehingga

orang-orang mendapatkan perawatan kesehatan mental yang mereka butuhkan

(Kohn, Saxena, Levav, & Saraceno, 2004; WHO dan World Organization of

3
Family Doctors, 2008). Marchira, Puspitosari, Rochmawati, dan Mulyani (2014)

menyebutkan bahwa Indonesia sebetulnya telah memiliki kebijakan nasional

mengenai integrasi manajemen masalah kesehatan mental ke dalam sistem

perawatan kesehatan primer, sayangnya implementasinya masih belum efektif.

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dikenal sebagai pusat

pelayanan kesehatan primer, atau garis terdepan pelayanan kesehatan di

Indonesia. Puskesmas merupakan unit pelaksana pembangunan kesehatan di

wilayah kecamatan yang mempunyai misi memelihara dan meningkatkan

pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau bagi masyarakat di

sekitarnya (Ayubi, 2009). Sayangnya integrasi pelayanan kesehatan mental di

Puskesmas masih sangat terbatas, yaitu hanya 3.359 dari 9.500 Puskesmas di

Indonesia (Semen, 2014). Penempatan psikolog klinis di Puskesmas saat ini

sudah dilakukan di DKI Jakarta, serta Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.

Di provinsi DI Yogyakarta, layanan kesehatan mental di Puskesmas mulai

dapat diakses oleh pasien sejak 2004 untuk wilayah Kabupaten Sleman dan

2010 untuk wilayah Kota Yogyakarta. Dari seluruh pelayanan kesehatan mental

di Puskesmas kedua wilayah tersebut, salah satu gangguan mental emosional

yang banyak ditemukan adalah Gangguan Penyesuaian (GP). Mulai Juli 2010

hingga Februari 2014, Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM) mencatat ada

90 sesi penanganan pasien yang didiagnosis GP dari total 14.371 sesi di

Puskesmas Kota Yogyakarta, sedangkan di Kabupaten Sleman tercatat ada 153

sesi penanganan GP dari total 9.898 sesi (Center for Public Mental Health

[CPMH], 2014).

Rosenberg dan Kosslyn (2011) menjelaskan GP sebagai suatu respon

terhadap stresor-yang-diketahui, yang melebihi apa yang diperkirakan. GP dapat

4
terjadi sebagai reaksi pada stresor dalam tingkat keparahan apapun, bukan

hanya sebatas stres traumatik (Oltmanns & Emery, 2012) dan terdiri dari gejala

emosional dan perilaku (gejala depresi, kecemasan, dan/atau antisosial

(Hoeksema, 2011). DSM-IV-TR menjelaskan GP sebagai suatu reaksi maladaptif

terhadap suatu stresor yang dikenali dan berkembang beberapa bulan sejak

munculnya stresor. Reaksi maladaptif ini terlihat dari adanya hendaya yang

bermakna (signifikan) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau akademis, atau

adanya kondisi distres emosional yang melebihi batas normal.

Diagnosis GP dapat ditegakkan bila reaksi terhadap stres tersebut tidak

memenuhi kriteria diagnostik sindrom klinis yang lain seperti gangguan mood

atau gangguan kecemasan. Reaksi maladaptif dalam GP ini mungkin teratasi bila

stresor dipindahkan atau individu belajar menangani stresor. Bila reaksi

maladaptif ini masih berlangsung lebih dari 6 bulan setelah stresor (atau

konsekuensinya) dialihkan, diagnosis GP perlu diubah (Nevid, Rathus, & Greene,

2005).

Hasil penelitian meta-analisis Mitchell dkk. (2011) pada pasien kanker

menyebutkan prevalensi GP sebesar 15,4% di setting perawatan-paliatif dan

19,4% di setting perawatan onkologi dan hematologi. Survei cross-sectional pada

77 pusat layanan kesehatan primer di Catalonia menyebutkan 2,94% partisipan

memenuhi kriteria diagnosis GP (Ferńandez dkk., 2012). Pada populasi umum

Jerman, 0,9% subjek penelitian memenuhi kriteria GP dengan gangguan klinis

yang signifikan dan 1,4% lainnya didiagnosis dengan GP tanpa gangguan klinis

yang signifikan (Maercker dkk., 2012). Data empiris mengenai prevalensi GP

untuk populasi Asia masih sangat terbatas, namun DSM-5 menyebutkan bahwa

populasi Asia dan Asia-Amerika diketahui melaporkan GP pada tingkat yang

5
sama atau sedikit lebih tinggi (5-20%) daripada populasi pasien rawat jalan

umum (Akutsu & Abhari, 2014; American Psychiatric Association [APA], 2013).

Lebih spesifik lagi, penelitian Primasari (2012) menunjukkan prevalensi GP di

Puskesmas sejumlah 12,9%.

Berbagai hasil penelitian menyebutkan GP memiliki kaitan erat dengan

stres (Akutsu & Abhari, 2014; Bisson & Sakhuja, 2006; Israelashvili, 2012; Patra

& Sarkar, 2013). Lebih luas lagi, berbagai literatur menyebutkan kaitan antara

stres dengan gangguan fisik dan mental emosional. Stres adalah kombinasi

antara kejadian menantang dalam hidup, yang mengancam dan membebani, dan

tuntutan untuk melakukan penyesuaian baik secara fisiologis, kognitif, maupun

perilaku terhadapnya (Oltmann & Emery, 2012; Kearney & Trull, 2012). Stres

disebutkan terkait dengan berbagai masalah kesehatan fisik yaitu penyakit

sistemik sepeti diabetes, obesitas, alzheimer (Iwata, Ota, & Duman, 2013), asma

(Nia, Aliloo, & Ansarin, 2010), gangguan kardiovaskular seperti hipertensi,

serangan jantung, dan stroke (Donovan, Neylan, Metzler, & Cohen, 2012;

Lundberg, 2004), penyakit autoimun seperti multiple sklerosis (Karagkouni,

Alevizos, & Theoharides, 2013), inflamasi, penundaan dalam penyembuhan luka,

respon lambat pada vaksin, peningkatan kemungkinan mengalami infeksi (Gouin,

2011), serta penyakit pencernaan seperti radang dinding lambung dan radang

usus (Salleh, 2008).

Pendekatan biopsikososial menjelaskan interaksi antara faktor biologi,

psikologis, dan sosial budaya dalam perkembangan gangguan mental, yang

dijelaskan dalam diathesis-stress model. Menurut model ini, individu memiliki

kerentanan tertentu terhadap suatu gangguan fisik dan mental emosional meski

pada banyak kasus kerentanan ini tidak cukup untuk membuat seseorang

6
mengalami gangguan fisik dan mental emosional. Kerentanan ini dapat bersifat

biologis maupun psikologis. Gangguan mental emosional dapat benar-benar

muncul ketika individu dengan kerentanan tersebut menghadapi stres, yang

seringkali berupa faktor sosial (Beidel, Bulik, & Stanley, 2012; Hoeksema, 2011).

Beberapa gangguan mental emosional yang dapat muncul terkait dengan stres

selain GP di antaranya neurosis, burnout, depresi, schizophrenia, gangguan

stres-pasca trauma, gangguan bipolar, kecemasan (Marin dkk., 2011; Salleh,

2008; Staufenbiel, Penninx, Spijker, Elzinga, & Rossum, 2013).

Perhatian terhadap stres sebagai salah satu faktor yang berperan pada

kemunculan gangguan mental emosional dapat ditarik menjadi sebuah upaya

preventif. Penggunaan instrumen deteksi dini dapat menjadi satu langkah konkret

dalam upaya kesehatan promotif-preventif terhadap kemunculan gangguan

mental emosional. Agiananda (2010) merekomendasikan pembuatan instrumen

diagnostik dan terapi yang singkat, sederhana, dan mampu laksana untuk

meminimalkan risiko tidak terdeteksi dan tertatalaksananya gangguan jiwa

dengan baik yang dapat menyebabkan timbulnya hendaya bagi penderitanya,

baik secara fisik, psikologis, maupun sosial-okupasional. Instrumen deteksi dini

semacam ini penting untuk digunakan mengingat keterbatasan pasien

Puskesmas memahami kaitan antara keluhan yang dirasakan dengan gejala

gangguan mental emosional karena keluhan yang kerap mereka sampaikan

terkait dengan gejala fisik yang dirasakan (Retnowati, 2011). Oleh karenanya

sangatlah mendesak untuk menyediakan instrumen asesmen kesehatan mental

yang terstandardisasi, yang akan membantu dokter umum dan profesional

kesehatan lain untuk melakukan asesmen secara cepat, tepat, dan komprehensif

(Sharma & Copeland, 2009) serta efisien (Batterham dkk., 2013).

7
Salah satu pendekatan untuk deteksi dini adalah penggunaan alat

skrining yang terstandardisasi. Skrining mengacu pada deteksi dini penyakit atau

kondisi pada tahap praklinis, yang didefinisikan sebagai periode sebelum gejala

atau tanda-tanda klinis hadir (Kestenbaum, 2009). Tersedianya alat skrining di

layanan kesehatan primer akan membuat deteksi kasus menjadi mudah dan

sederhana (Criego, Crow, Goebel-Fabbri, Kendall, & Parkin, 2009; Patel dkk.,

2007; Tunde-Ayinmode, Ayinmode, Adegunloye, & Abiodun, 2012).

Skrining adalah metode singkat untuk memisahkan orang-orang yang

mungkin mengalami masalah dengan mereka yang mungkin tidak mengalami.

Rogers (2001) menambahkan bahwa kombinasi instrumen skrining yang

terstandardisasi dan wawancara klinis terstruktur yang selektif pada layanan

kesehatan primer akan sangat memudahkan identifikasi yang akurat dan

pengobatan yang efektif pada gangguan mental. Skrining tidak berarti bebas

error, namun seharusnya dapat dibuat seakurat mungkin untuk meminimalkan

biaya terkait dengan rujukan yang berlebihan dan deteksi yang kurang (Glascoe,

2003).

Akurasi alat skrining didefinisikan melalui senstivitas, spesifisitas, dan

nilai prediktif positif dan negatif. Karakteristik alat skrining yang akurat dapat

dilihat dari (a) validitas, (b) standardisasi, stratifikasi, dan sampling, (c)

reliabilitas, (d) dan beragam karakteristik lainnya sesuai subjek yang akan

dikenai alat skrining tersebut. Keuntungan dari penggunaan alat skrining yaitu

singkat dan mudah diadminstrasikan sehingga dapat mengurangi waktu yang

diperlukan oleh profesional untuk mengumpulkan informasi (Glascoe, 2003).

Alat skrining GP di layanan kesehatan primer yang baru-baru ini diuji

validitas kliniknya oleh Primasari (2012) adalah General Health Questionnaire-12

8
(GHQ-12). Penelitian tersebut menegaskan bahwa GHQ-12 valid, reliabel, dan

akurat sebagai instrumen skrining GP dengan nilai Area Under Curve (AUC)

sebesar 77% dan titik potong optimum ≥ 4, sensitivitas sebesar 0,81 dan

spesifisitas 0,55 berdasarkan model skoring CGHQ. Tersedianya satu alat

skrining tentu belum cukup mengingat perlunya alat pembanding demi

mendapatkan performa yang paling tinggi. Pilihan alternatif alat skrining juga

akan membantu profesional kesehatan mental untuk menyesuaikan dengan

kebutuhan mereka. Oleh karena itu tersedianya alat skrining lain yang juga

berbasis-bukti diperlukan di layanan kesehatan primer.

Alat skrining alternatif yang dapat disediakan bagi deteksi dini GP di

Puskesmas adalah instrumen yang mampu mengidentifikasi pasien, yang

diprediksi akan mengalami GP, jika tidak mendapatkan penanganan kesehatan

mental yang diperlukan. Dahlan (2009) menyebutkan bahwa penelitian mengenai

suatu metode pemeriksaan yang baru dapat dilakukan jika pemeriksaan yang

telah tersedia hanya dapat mendeteksi penyakit pada tahap lanjut sehingga

diperlukan pemeriksaan yang dapat mendeteksi penyakit lebih dini (early

diagnosis). Deteksi dini terhadap suatu penyakit akan memberikan keuntungan

bagi layanan kesehatan mental yang seharusnya diterima oleh pasien.

Perubahan hidup sebagai bagian dari pengalaman hidup seseorang telah

dikenal melalui berbagai penelitian sebagai salah satu stresor yang berkontribusi

terhadap kemunculan gangguan mental emosional (Dargahi & Shaham, 2012).

Berbagai instrumen diagnostik disusun untuk mengukur perubahan hidup yang

dialami oleh seseorang dan hasilnya dipercaya dapat memprediksi terjadinya

gangguan mental emosional dalam rentang waktu tertentu. Salah satu instrumen

asesmen yang paling banyak digunakan dan disebut dalam berbagai literatur

9
mengenai stres dan perubahan hidup adalah Social Readjustment Rating Scale

(SRRS) yang dipublikasikan oleh Holmes dan Rahe pada tahun 1967. SRRS

merupakan skala yang diperoleh studi penskalaan terhadap Schedule of Recent

Experience (SRE) (Rahe, 1969).

Pada setiap peristiwa hidup yang tercantum dalam SRRS, penekanannya

adalah pada perubahan dari kondisi mapan yang ada dan bukan pada makna

psikologis, emosi, atau social desirability (Holmes & Rahe, 1967). Holmes dan

Rahe juga merumuskan gagasan bahwa perubahan yang khas dalam situasi

kehidupan individu, kejadian hidup yang spesifik dan dapat didokumentasikan,

dapat dinilai secara obyektif (Contrada & Baum, 2011). Penelitian dengan

menggunakan SRRS bertujuan untuk menunjukkan bahwa besaran perubahan

hidup secara signifikan berhubungan dengan waktu onset penyakit dan

keseriusan penyakit yang dialami (Cooper & Dewe, 2004).

Miller dan Rahe pada tahun 1997 kemudian memperbarui SRE dan

SRRS menjadi Recent Life Changes Questionnaire (RLCQ). Sama seperti versi

SRRS, nilai-nilai numerik ditetapkan untuk berbagai peristiwa atau perubahan,

yang umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. RLCQ mengandung 74

peristiwa hidup yang mewakili stresor dalam kehidupan masyarakat Amerika saat

ini dan mewakili peningkatan jumlah stres yang tidak teridentifikasi dalam SRRS

(Edlin, Golanty, & Brown, 2000). Skor tinggi pada RLCQ menempatkan individu

pada kerentanan yang lebih besar terhadap gangguan fisik atau psikologis.

Kuesioner dikerjakan dengan mempertimbangkan tekanan hidup yang dialami

dalam jangka waktu 6 bulan atau 1 tahun. Jika total skor enam bulan ≥ 300 unit

perubahan hidup (Life Change Unit/LCUs), atau total skor 1 tahun ≥ 500 LCU,

maka hal ini mengindikasikan tingkat stres yang tinggi dalam kehidupan baru-

10
baru ini dan diperkirakan meningkatkan risiko gangguan bagi individu

(Townsend, 2009).

Manfaat pengukuran terhadap perubahan hidup sebagai salah satu upaya

deteksi dini terhadap kemungkinan munculnya gangguan mental emosional

nyatanya belum dipraktikkan dalam pelayanan kesehatan mental primer di

Puskesmas. Penelitian mengenai RLCQ sebagai instrumen yang memperbarui

SRRS juga masih sangat terbatas. Oleh karenanya penelitian empiris untuk

memeriksa validitas dan reliabilitas dari RLCQ perlu dilakukan agar instrumen ini

dapat digunakan sebagai alat skrining stresor di layanan kesehatan primer.

Selain itu RLCQ ini nantinya diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih

akurat dalam rangka penegakan diagnosis multiaksial, terutama pada aksis IV

mengenai masalah psikososial dan lingkungan. Identifikasi terhadap stresor yang

diperoleh dari RLCQ juga dapat memudahkan petugas kesehatan ataupun

profesional kesehatan mental untuk mengkomunikasikan pentingnya deteksi dini

gangguan mental emosional dengan mempertimbangkan bobot stres yang

dialami oleh seseorang.

Sebelum digunakan di Indonesia, RLCQ tentu saja harus melalui proses

adaptasi terlebih dahulu. American Educational Research Association (AERA),

American Psychological Association (APA), dan National Council on

Measurement in Education (NCME) melalui Standards for Educational and

Psychological Testing (1985, dalam Hambleton, 2005) menyebutkan bahwa

pengguna alat tes yang melakukan perubahan substansial pada bahasa asli dari

sebuah instrumen seharusnya me-revalidasi penggunaan tes tersebut. Ketika tes

diterjemahkan dari satu bahasa atau dialek lain, reliabilitas dan validitas untuk

11
penggunaan yang dimaksudkan pada kelompok bahasa yang akan diuji harus

diperiksa terlebih dahulu.

Reliabilitas dan validitas merupakan properti psikometri yang harus

diperiksa ketika mengevaluasi sebuah alat skrining. Reliabilitas didefinisikan

sebagai konsistensi hasil yang diperoleh dari penggunaan instrumen yang sama

meski dilakukan oleh rater yang berbeda (inter-rater reliability) atau pada waktu

yang berbeda (test-retest reliability). Validitas yang paling relevan digunakan

adalah validitas kriteria, yaitu sejauh mana sebuah alat skrining dapat

memberikan diagnosis yang sama, yang diperoleh melalui sebuah “standar baku

emas” (gold standard). Jenis validitas kriteria yang digunakan adalah validitas

prediktif yang merujuk pada sejauh mana alat skrining dapat memprediksi kondisi

konstruk tertentu di masa depan berdasarkan kondisi pada saat ini (Frick, Berry,

& Kamphaus, 2010; Rush & Castel, 2011). Selain validitas kriteria, alat skrining

juga perlu diperiksa validitas kliniknya. Validitas klinik (clinical validity)

didefinisikan sebagai sejauh mana skala rating atau kuesioner memiliki

signifikansi klinik atau valid secara klinik (Bech, 2012).

Standar baku emas yang sering digunakan adalah wawancara diagnostik

terstruktur atau semi-terstruktur yang diadministrasikan oleh pewawancara

terlatih, atau kadang penilaian dari seorang profesional berpengalaman (Rush &

Castel, 2011). Salah satu wawancara diagnostik terstruktur yang paling banyak

digunakan adalah Structured Clinical Interview for DSM IV – Axis I (SCID-I).

SCID-I adalah panduan wawancara semi terstruktur yang dirancang untuk

memungkinkan klinisi atau profesional kesehatan mental yang terlatih untuk

membuat diagnosis DSM-IV Aksis I. Standar SCID-I meliputi sebagian besar

gangguan utama dalam DSM-IV Aksis I, termasuk gangguan mood, gangguan

12
psikotik, gangguan penggunaan zat, gangguan kecemasan, gangguan

somatoform, gangguan makan, dan GP (First & Gibbon, 2004). Waktu yang

diperlukan untuk mengadministrasikan SCID-I bervariasi, mulai dari 60 menit

untuk pasien nonpsikiatrik hingga 90 menit untuk pasien psikiatrik (Weiner &

Craighead, 2010).

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, penelitian ini

bertujuan untuk melakukan adaptasi dan menguji daya prediksi RLCQ, melalui

wawancara klinis berbasis Structured Clinical Interview for DSM IV Disorder-Axis

I (SCID-I), sebagai standar baku emas, sehingga dapat digunakan sebagai

instrumen deteksi dini pada pasien Puskesmas. Pertanyaan yang hendak

dijawab melalui penelitian ini adalah sejauh mana dan bagaimana RLCQ

berkaitan dengan penegakkan GP. Hipotesis yang diajukan berdasarkan kajian

literatur di atas adalah RLCQ memiliki daya prediksi terhadap GP.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keilmuan psikologi,

terutama di bidang pengembangan alat ukur psikologi dari sisi teoritis. Selain itu

secara praktis, membantu meningkatkan sensitivitas dokter dan paramedis

dalam memprediksi GP pada pasien Puskesmas melalui asesmen terhadap

perubahan hidup (stresor) yang dialami oleh pasien.

13

Anda mungkin juga menyukai