Kesehatan Jiwa PDF
Kesehatan Jiwa PDF
1,7 per mil, dan DI Yogyakarta menempati peringkat pertama dengan prevalensi
sebesar 2,7 per mil. Data ini juga menyebutkan bahwa prevalensi gangguan
menyebutkan bahwa gangguan jiwa termasuk dalam satu dari sepuluh besar
penyakit yang didiagnosis pada pasien rawat jalan di rumah sakit di Yogyakarta
Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ). Adanya pelatihan pelayanan kesehatan jiwa bagi
desa untuk memberi prioritas bagi layanan kesehatan mental merupakan upaya
1
provinsi ini sebesar 58,6%, lebih kecil dari cakupan pengobatan Indonesia
cakupan yang lebih baik yakni sebesar 30,1% (Badan Penelitian dan
serta perlindungan hukum dan sosial yang memadai adalah melalui penyusunan
berjalan di pelayanan kesehatan umum. Hal ini terlihat dari treatment gap yang
dibandingkan dengan prevalensi gangguan jiwa yang ada. Salah satu indikasi
treatment gap yakni hanya tersedia sekitar 600 orang psikiater dan 365 orang
2
psikolog untuk 241 juta jiwa penduduk Indonesia (Retnowati, 2011). Jumlah ini
masih jauh dari rerata jumlah tenaga profesional kesehatan mental yang
Indonesia), yaitu 22,3 tenaga profesional per 100.000 populasi pada negara
kesehatan yang terorganisir dengan baik, antara 44% dan 70% dari pasien
peringkat terendah dalam hal penyediaan layanan kesehatan jiwa di Asia. Selain
rendahnya rasio jumlah psikiater dan tenaga kesehatan jiwa, serta fasilitas
2014).
(Kohn, Saxena, Levav, & Saraceno, 2004; WHO dan World Organization of
3
Family Doctors, 2008). Marchira, Puspitosari, Rochmawati, dan Mulyani (2014)
Puskesmas masih sangat terbatas, yaitu hanya 3.359 dari 9.500 Puskesmas di
sudah dilakukan di DKI Jakarta, serta Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.
dapat diakses oleh pasien sejak 2004 untuk wilayah Kabupaten Sleman dan
2010 untuk wilayah Kota Yogyakarta. Dari seluruh pelayanan kesehatan mental
yang banyak ditemukan adalah Gangguan Penyesuaian (GP). Mulai Juli 2010
hingga Februari 2014, Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM) mencatat ada
sesi penanganan GP dari total 9.898 sesi (Center for Public Mental Health
[CPMH], 2014).
4
terjadi sebagai reaksi pada stresor dalam tingkat keparahan apapun, bukan
hanya sebatas stres traumatik (Oltmanns & Emery, 2012) dan terdiri dari gejala
terhadap suatu stresor yang dikenali dan berkembang beberapa bulan sejak
munculnya stresor. Reaksi maladaptif ini terlihat dari adanya hendaya yang
memenuhi kriteria diagnostik sindrom klinis yang lain seperti gangguan mood
atau gangguan kecemasan. Reaksi maladaptif dalam GP ini mungkin teratasi bila
maladaptif ini masih berlangsung lebih dari 6 bulan setelah stresor (atau
2005).
yang signifikan dan 1,4% lainnya didiagnosis dengan GP tanpa gangguan klinis
untuk populasi Asia masih sangat terbatas, namun DSM-5 menyebutkan bahwa
5
sama atau sedikit lebih tinggi (5-20%) daripada populasi pasien rawat jalan
umum (Akutsu & Abhari, 2014; American Psychiatric Association [APA], 2013).
stres (Akutsu & Abhari, 2014; Bisson & Sakhuja, 2006; Israelashvili, 2012; Patra
& Sarkar, 2013). Lebih luas lagi, berbagai literatur menyebutkan kaitan antara
stres dengan gangguan fisik dan mental emosional. Stres adalah kombinasi
antara kejadian menantang dalam hidup, yang mengancam dan membebani, dan
perilaku terhadapnya (Oltmann & Emery, 2012; Kearney & Trull, 2012). Stres
sistemik sepeti diabetes, obesitas, alzheimer (Iwata, Ota, & Duman, 2013), asma
serangan jantung, dan stroke (Donovan, Neylan, Metzler, & Cohen, 2012;
2011), serta penyakit pencernaan seperti radang dinding lambung dan radang
kerentanan tertentu terhadap suatu gangguan fisik dan mental emosional meski
pada banyak kasus kerentanan ini tidak cukup untuk membuat seseorang
6
mengalami gangguan fisik dan mental emosional. Kerentanan ini dapat bersifat
seringkali berupa faktor sosial (Beidel, Bulik, & Stanley, 2012; Hoeksema, 2011).
Beberapa gangguan mental emosional yang dapat muncul terkait dengan stres
Perhatian terhadap stres sebagai salah satu faktor yang berperan pada
preventif. Penggunaan instrumen deteksi dini dapat menjadi satu langkah konkret
diagnostik dan terapi yang singkat, sederhana, dan mampu laksana untuk
terkait dengan gejala fisik yang dirasakan (Retnowati, 2011). Oleh karenanya
kesehatan lain untuk melakukan asesmen secara cepat, tepat, dan komprehensif
7
Salah satu pendekatan untuk deteksi dini adalah penggunaan alat
skrining yang terstandardisasi. Skrining mengacu pada deteksi dini penyakit atau
kondisi pada tahap praklinis, yang didefinisikan sebagai periode sebelum gejala
layanan kesehatan primer akan membuat deteksi kasus menjadi mudah dan
sederhana (Criego, Crow, Goebel-Fabbri, Kendall, & Parkin, 2009; Patel dkk.,
pengobatan yang efektif pada gangguan mental. Skrining tidak berarti bebas
biaya terkait dengan rujukan yang berlebihan dan deteksi yang kurang (Glascoe,
2003).
nilai prediktif positif dan negatif. Karakteristik alat skrining yang akurat dapat
dilihat dari (a) validitas, (b) standardisasi, stratifikasi, dan sampling, (c)
reliabilitas, (d) dan beragam karakteristik lainnya sesuai subjek yang akan
dikenai alat skrining tersebut. Keuntungan dari penggunaan alat skrining yaitu
8
(GHQ-12). Penelitian tersebut menegaskan bahwa GHQ-12 valid, reliabel, dan
akurat sebagai instrumen skrining GP dengan nilai Area Under Curve (AUC)
sebesar 77% dan titik potong optimum ≥ 4, sensitivitas sebesar 0,81 dan
mendapatkan performa yang paling tinggi. Pilihan alternatif alat skrining juga
kebutuhan mereka. Oleh karena itu tersedianya alat skrining lain yang juga
suatu metode pemeriksaan yang baru dapat dilakukan jika pemeriksaan yang
telah tersedia hanya dapat mendeteksi penyakit pada tahap lanjut sehingga
dikenal melalui berbagai penelitian sebagai salah satu stresor yang berkontribusi
gangguan mental emosional dalam rentang waktu tertentu. Salah satu instrumen
asesmen yang paling banyak digunakan dan disebut dalam berbagai literatur
9
mengenai stres dan perubahan hidup adalah Social Readjustment Rating Scale
(SRRS) yang dipublikasikan oleh Holmes dan Rahe pada tahun 1967. SRRS
adalah pada perubahan dari kondisi mapan yang ada dan bukan pada makna
psikologis, emosi, atau social desirability (Holmes & Rahe, 1967). Holmes dan
Rahe juga merumuskan gagasan bahwa perubahan yang khas dalam situasi
dapat dinilai secara obyektif (Contrada & Baum, 2011). Penelitian dengan
Miller dan Rahe pada tahun 1997 kemudian memperbarui SRE dan
SRRS menjadi Recent Life Changes Questionnaire (RLCQ). Sama seperti versi
peristiwa hidup yang mewakili stresor dalam kehidupan masyarakat Amerika saat
ini dan mewakili peningkatan jumlah stres yang tidak teridentifikasi dalam SRRS
(Edlin, Golanty, & Brown, 2000). Skor tinggi pada RLCQ menempatkan individu
pada kerentanan yang lebih besar terhadap gangguan fisik atau psikologis.
dalam jangka waktu 6 bulan atau 1 tahun. Jika total skor enam bulan ≥ 300 unit
perubahan hidup (Life Change Unit/LCUs), atau total skor 1 tahun ≥ 500 LCU,
maka hal ini mengindikasikan tingkat stres yang tinggi dalam kehidupan baru-
10
baru ini dan diperkirakan meningkatkan risiko gangguan bagi individu
(Townsend, 2009).
SRRS juga masih sangat terbatas. Oleh karenanya penelitian empiris untuk
memeriksa validitas dan reliabilitas dari RLCQ perlu dilakukan agar instrumen ini
Selain itu RLCQ ini nantinya diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih
pengguna alat tes yang melakukan perubahan substansial pada bahasa asli dari
diterjemahkan dari satu bahasa atau dialek lain, reliabilitas dan validitas untuk
11
penggunaan yang dimaksudkan pada kelompok bahasa yang akan diuji harus
sebagai konsistensi hasil yang diperoleh dari penggunaan instrumen yang sama
meski dilakukan oleh rater yang berbeda (inter-rater reliability) atau pada waktu
adalah validitas kriteria, yaitu sejauh mana sebuah alat skrining dapat
memberikan diagnosis yang sama, yang diperoleh melalui sebuah “standar baku
emas” (gold standard). Jenis validitas kriteria yang digunakan adalah validitas
prediktif yang merujuk pada sejauh mana alat skrining dapat memprediksi kondisi
konstruk tertentu di masa depan berdasarkan kondisi pada saat ini (Frick, Berry,
& Kamphaus, 2010; Rush & Castel, 2011). Selain validitas kriteria, alat skrining
terlatih, atau kadang penilaian dari seorang profesional berpengalaman (Rush &
Castel, 2011). Salah satu wawancara diagnostik terstruktur yang paling banyak
12
psikotik, gangguan penggunaan zat, gangguan kecemasan, gangguan
somatoform, gangguan makan, dan GP (First & Gibbon, 2004). Waktu yang
untuk pasien nonpsikiatrik hingga 90 menit untuk pasien psikiatrik (Weiner &
Craighead, 2010).
bertujuan untuk melakukan adaptasi dan menguji daya prediksi RLCQ, melalui
dijawab melalui penelitian ini adalah sejauh mana dan bagaimana RLCQ
terutama di bidang pengembangan alat ukur psikologi dari sisi teoritis. Selain itu
13