Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Energi Baru Terbarukan


Energi merupakan kebutuhan dasar manusia, yang terus meningkat sejalan dengan
tingkat kehidupannya. Bahan bakar minyak (BBM) memegang posisi yang sangat dominan
dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional. Komposisi konsumsi energi nasional saat ini
adalah BBM : 52,50%; gas: 19,04%; batubara: 21,52%; air: 3,73%; panas bumi: 3,01%; dan
energi baru: 0,2%. Kondisi demikian terjadi sebagai akibat dari kebijakan subsidi masa lalu
terhadap bahan bakar minyak dalam upaya memacu percepatan pertumbuhan ekonomi.
Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa produksi minyak bumi Indonesia
mengalami penurunan akibat adanya penurunan secara alamiah dan semakin menipisnya
cadangan. Menurunnya produksi minyak mentah kita dan tingginya harga minyak mentah
dunia sangat berpengaruh terhadap kemampuan anggaran pembangunan. Selama ini bahan
bakar minyak di Indonesia masih disubsidi oleh negara (melalui APBN), sehingga menjadi
beban yang sangat berat bagi pemerintah. Untuk mengurangi beban subsidi tersebut
pemerintah berusaha mengurangi ketergantungan kepada energi bahan bakar minyak, dengan
mencari dan mengembangkan sumber energi lain yang murah dan mudah didapat. Harus
disadari bahwa saat ini Indonesia telah mengimpor minyak mentah maupun BBM untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Hingga saat ini sumber energi minyak bumi
masih menjadi sumber energi utama didalam penggunaannya terutama dalam bidang
kelistrikan, industri dan transportasi. Ditengah krisis energi saat ini timbul pemikiran untuk
penganekaragaman energi (diversifikasi energi) dengan mengembangkan sumber energi lain
sebagai energi alternatif untuk penyediaan konsumsi energi domestik. Indonesia memiliki
beranekaragam sumber daya energi, seperti minyak dan gas bumi, panas bumi (geothermal),
batubara, gambut, energi air, biogas, biomassa, matahari, angin, gelombang laut dan lain
lain. Potensi sumber daya energi tersebut tersebar diseluruh daerah diIndonesia menurut
karekteristik dan kondisi geologinya [10].

2.2 Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Atau Palm Oil Mill Effluent (POME)
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah salah satu komoditas perkebunan
yang memiliki nilai ekonomis dan prospek yang cerah untuk dikembangkan secara
luas yang mana data total areal perkebunan kelapa sawit dan produksinya dari tahun
2011-2016 dapat dilihat pada tabel 2.1. Pada tahun 2016, menurut USDA Foreign

6
Agricultural Service (2016) total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah
seluas 11.672.861juta ha dengan total produksi minyak mentah sawit atau crude
palm oil (CPO) sebesar 35.000.000 juta ton [11].
Tabel 2.1 Data Luas Areal Perkebunan dan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia
dari tahun 2011-2016 [3].
Produksi
Tahun Luas Perkebunan
CPO LCPKS Biogas
2011 8.992.824 26200 655000 18340000
2012 9.572.715 28500 712500 19950000
2013 10.465.020 30500 762500 21350000
2014 10.754.801 33000 825000 27225000
2015 11.300.370 33000 825000 27225000
2016 11.672.861 35000 875000 24500000

Menurut data Direktorat Jendral Perkebunan, pada tahun 2016 perkebunan


kelapasawit di Indonesia sebagian besar berada di Pulau Sumatera seluas 7.379.993
Hadiikuti oleh Kalimantan seluas 3.756.314 Ha, Sulawesi seluas 382.333 Ha,
Maluku-Papuaseluas 120.847 Ha dan Jawa seluas 33.374 Ha [12]. Gambar 2.1
berikut merupakan luas lahan sawit berbagai provinsi di Indonesia.
462
20,8 787,5
1446,4
2462,1 1017 116,4
6
54
413,45

757,2
1215,1
190,4 49
569,7
308,7
116
1064, 202.7 55,3 55,6
4
19,9
14,3

Gambar 2.1 Luas Lahan sawit (dalam 103 Ha) pada Tahun 2016 [13]

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa industri kelapa sawit di Indonesia
semakin meningkat. Meningkatnya produksi CPO disertai juga dengan meningkatnya
effluent dari limbah minyak sawit yang menghasilkan produk samping berlimpah,
biasanya disebut sebagai limbah kelapa sawit atau Palm oil Mill wastes (POMW)
seperti limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) atau palm oil mill effluent (POME).
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) adalah salah satu produk samping dari

7
pabrik minyak kelapa sawit yang berasal dari air kondensat proses sterilisasi (36%),
air proses klarifikasi (60%), dan air hydrocyclone (4%) [14]. LCPKS segar adalah
campuran koloid kecoklatan dari air, mengandung sekitar95-96% air, minyak0,6-
0,7%, 4-5% total padatan, bersifat asam (pH 4-5), bersuhu 80-90 oC, tidak beracun,
mengandungan bahan organik tinggi (COD 25.000mg/l, BOD 50.000mg/l), dan
beberapa nutrisi [15]. Berikut karakterisasi LCPKS pada tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2 Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit [16]
Parameter LCPKS (Range) LCPKS (Rata-rata)
Temperatur (OC) 80-90 85
pH 3,4 – 5,2 4,2
Minyak dan Lemak 130 –18.000 mg/l 6.000 mg/l
BOD3 10.250 – 43.750 mg/l 25.000 mg/l
COD 15.000 – 100.000 mg/l 51.000 mg/l
Total Solid 11.500 – 79.000 mg/l 40.000 mg/l
Suspended Solid 5.000 – 54.000 mg/l 18.000 mg/l
Total Volatile Solid 9.000 – 72.000 mg/l 34.000 mg/l
Total Nitrogen 180 – 1.400 mg/l 750 mg/l
Ammoniacal nitrogen 4 – 80 mg/l 35 mg/l

LCPKS merupakan limbah yang sangat polutan. Limbah cair yang


tidakditangani dengan baik akan menyebabkan polusi berupa ancaman besar bagi
daerah sekitar aliran sungai dan badan air serta menimbulkan bau busuk [17].
Kandungan organik yang tinggi pada limbah cair kelapa sawit (LCPKS)membuat
limbah cair tersebut menjadi sumber yang baik untuk menghasilkan gasmetana [18]

2.3 Biogas
Biogas dapmerupakan produk akhir dari degradasi anaerobik bahan organik
oleh bakteri-bakteri anaerobik dalam lingkungan dengan sedikit oksigen [19]. Bahan
- bahan organik termasuk di antaranya kotoran manusia, hewan, limbah domestik
(rumah tangga) dan sampah biodegradable [20]. Prinsip pembuatan biogas adalah
adanya dekomposisi bahan organik secara anaerobik (tertutup dari udara bebas)
untuk menghasilkan gas yang sebagian besar adalah berupa gas metan (gas yang
mudah terbakar) dan karbon dioksida [21]. Komposisi biogas bervariasi tergantung
pada bahan organik dan proses biologis yang digunakan [22]. Pada tabel 2.3 berikut
merupakan karakteristik biogas secara umum.

8
Tabel 2.3 Karakteristik Biogas [6]
Parameter Komposisi
Metana (CH4) 50 – 75%
Karbon dioksida (CO2) 30 – 40%
Nitrogen (N2) 0,4 – 1,2%
Oksigen (O2) 0 – 0,4%
Hidrogen Sulfida (H2S) 0,02 – 0,4%
Kandungan Energi 6,0 – 6,5 kWh/m3
Kesetaraan Bahan Bakar 0,60 – 0,65 liter minyak/m3 udara
Batas Ledakan 6 – 12% biogas di udara
Temperatur Nyala 650 – 750 °C
Tekanan Kritis 75 – 89 bar
Temperatur Kritis -82,5 °C
Densitas Normal 1,2 kg/m3
Massa Molar 16,043 kg/kmol-1

Biogas sebagai sumber energi yang baru, dapat dijadikan sebagai bahan bakar
karena mengandung gas metana (CH4) dalam persentase yang cukup tinggi. Gas
metana (CH4) dalam biogas bila terbakar relatif lebih bersih daripada batu bara dan
menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi gas karbon dioksida (CO2) yang
lebih sedikit [23].
Karakterisasi biogas adalah sebagai berikut:
1. Biogas memiliki nilai kalor sekitar 20-24 MJ/m3atau setara dengan 5,96
kWhm3 [24].
2. Biogas 20% lebih ringan dari udara [24].
3. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar [25]
4. Biogas tidak berbau dan tidak berwarna [26]
Kandungan yang terdapat dalam biogas dapat mempengaruhi kualitas biogas
sebagai bahan bakar. Biogas yang kandungan metana lebih dari 45% bersifat mudah
terbakar dan merupakan bahan bakar yang cukup baik karena memiliki nilai kalor
bakar yang tinggi [27]. Tetapi, jika kadar CO2 lebih dari 45% maka akan
mengakibatkan nilai kalor bakar dari biogas tersebut rendah [28]. Adapun pengaruh
komponen-komponen dalam biogas dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut.

9
Tabel 2.4 Komponen-Komponen Pengganggu dalam Biogas [28]
Komponen Jumlah Pengaruh Terhadap Biogas
CO2 25-50% Menurunkan nilai kalor bakar
per volume Menyebabkan korosi
Menyebabkan kerusakan pada sel bahan bakar
alkali
H2S 0-0,5% per Menyebabkan korosif pada peralatan dan sistem
volume perpipaan
Menyebabkan emisi SO2 bila dibakar
NH3 0-0,05% Merusak katalis yang digunakan pada reaksi
per volume Menyebabkan emisi NO2 setelah pembakaran
Dapat merusak sel bahan bakar
Uap Air 1-5% per Menyebabkan korosif pada peralatan
volume Kondensatnya dapat menyebabkan kerusakan pada
peralatan dan pembangkit
Terdapat resiko pembekuan pada sistem perpipaan
N2 0-5% per Menurunkan nilai kalor bakar
volume Meningkatkan sifat anti-knocking pada mesin

Siloxane 0-50% Menyebabkan kerusakan pada mesin


mg/m3

Biogas adalah pilihan yang efisien untuk mencegah dan mengurangi polusi
serta memberikan energi yang berkualitas tinggi untuk bahan kendaraan, pembangkit
listrik dan pemanas [29]. Biogas adalah bahan bakar yang bersih untuk pembakaran
mesin [30]. Biogas sangat potensial sebagai sumber energi terbarukan karena
kandungan methane (CH4) yang tinggi dan nilai kalornya yang cukup tinggi yaitu
berkisar antara 4.800 – 6.700 kkal/m3. Methane (CH4) yang hanya memiliki satu
karbon dalam setiap rantainya, dapat membuat pembakarannya lebih ramah
lingkungan dibandingkan bahan bakar berantai karbon panjang [31].

2.4 Proses Digestasi Anaerob


Digesti anaerob (AD) adalah dekomposisi mikroba dari bahan organik menjadi
metana, karbon dioksida, nutrisi organik dan kompos dalam keadaan menipisnya
oksigen dan adanya gas hidrogen. Proses ini juga dikenal sebagai bio-metanogenesis
terjadi secara alami di lahan basah, sawah, usus hewan, pupuk dan endapan air dan
bertanggung jawab untuk siklus karbon dalam ekosistem [16].

10
Proses digesti anaerob telah digunakan secara tradisional untuk pengolahan
limbah tetapi juga cukup menarik dalam digester tanaman-biomassa-umpan. Sejak
diproduksi metana adalah sumber energi yang berguna [27].

Complex Polymers

Cellulose,other Hydrolysis
polysaccharides
Hydrolytic bacteria

Monomers

Sugars, Fermentation
amino Fermentative
bacteria

Propionate
H2 + CO2 Butyrate
Acetate Succinate
Homoacetogens Acetogenesis
H2 producing, FattyAlcohols
acids oxidizing Fermentation
Acetate bacteria

Methanogens
H2 + CO2 Acetate

Methanogens Methanogens

Methanogenesis

CH4
Gambar 2.2 Proses Digesti Anaerob secara Keseluruhan [26],

2.4.1 Hidrolisis
Hidrolisis adalah tahap pertama dalam proses digesti anaerob. Selama tahap
hidrlisis, bahan organik komples seperti karbohidrat, protein dan lemak dihidrolisis
menjadi molekul organik terlarut seperti gula, asam amino, dan asam lemak dengan
menggunakan enzim ekstraseluler yaitu selulase, amilase, protease atau lipase.
Bakteri hidrolitik yang menghidrolisis substrat dengan enzim ekstraseluler adalah
anaerob fakultatif. Hidrolisis dapat menjadi tahap rate-limiting jika substrat
mengandung molekul yang besar dengan permukaan yang rendah terhadap
perbandingan volume. Sementara itu jika substrat mudah terdegradasi, tahap rate-

11
limiting akan menjadi asetogenesis dan methanogenesis. Ketika substrat dihidrolisis
membuat tersedianya transportasi sel dan dapat terdegradasi oleh bakteri fermentaif
dalam mengikuti tahap asidogenesis [28].
Laju hidrolisis merupakan fungsi dari faktor seperti pH, suhu, komposisi dan
ukuran partikel substrat [29].

2.4.2 Asidogenesis
Pada tahap asidogenesis, molekul organik yang terlarut dari proses hidrolisis
dimanfaatkan oleh bakteri fermentatif atau aksidasi anaerob. Mikroorganisme ini
keduanya adalah bateri wajib dan anaeobik fakultatif. Dalam sebuah digester
anaerob, hasil utama jalur degradasi adalah asetat, karbon dioksida dan hidrogen.
Intermediet, seperti asam lemak volatil dan alkohol memainkan peranan kecil. Jalur
degradasi ini memberikan hasil energi yang lebih tinggi untuk mikroorganisme dan
produk dan dimanfaatkan langsung oleh bakteri methanogenik. Namun, ketika
konsentrasi hidrogen dan formate tinggi bakteri fermentatif akan mengalihkan jalur
untuk menghasilkan lebih banyak metabolit yang direduksi.
Produk dari tahap asidogenesis terdiri dari sekitar 15 % asetat, 19 % H2/CO2,
dan 30 % produk yang direduksi, seperti VFA yang lebih tinggi, alkohol atau laktat.
Tahap Asidogenesis biasanya dianggap sebagai tahap tercepat dalam digesti anaerob
dari bahan organik kompleks [28]. Reaksi asidogenesis dapat dilihat di bawah ini
[29]:
C6H12O6 CH3CH2CH2COOH + 2 CO2 + 2 H2
(2.4)
glukosa asam butirat
C6H12O6 2 H2 CH3CH2COOH + 2 H2O
(2.5)
glukosa asam propionat

2.4.3 Asetogenesis
Asetogenesis adalah tahap ketika produk hidrolisis yang diproses untuk
hidrogen, karbon dioksida, format dan asetat. Jalur ini terjadi secara alami dalam
sistem metanogenik yang seimbang. Namun dalam parakteknya, ada kasus dari

12
elektron atau akumulasi hidrogen (misalnya ketika metanogenesis dihambat) ketika
produk fermentasi dapat dibentuk (misalnya propionat, butirat, laktat, suksinat dan
alkohol) sebagai mekanisme untuk menghilangkan elektron atau hidrogen berlebih
[26].
Pembentukan intermediet selama proses asidogenesis terdiri dari asam lemak
lebih dari dua atom karbon, alkohol lebih dari satu atom karbon dan rantai bercabang
serta asam lemak aromatik. Produk ini tidak dapat langsung digunakan dalam proses
metanogenesis dan harus lebih teroksidasi menjadi asetat dan H2 dalam tahap
asetogenesis diharuskan proton mengurangi bakteri dalam suatu hubungan sintropik
dengan penggunaan hidrogen. Tekanan parsial H2 yang rendah penting untuk reaksi
asetogenik untuk menjadi termodinamika yang baik [28].

2.4.4 Metanogenesis
Pada tahap metanogenesis, asetat dan H2/CO2 dikonversi menjasi CH4 dan CO2
oleh bakteri metanogennik. Bakteri metanogenik dapat tumbuh langsung di H2/CO2,
asetat dan senyawa satu karbon lainnya, seperti format dan metanol. Dalam digester
anaerob normal asetat adalah prekursor untuk hampir 70 % dari total pembentukan
metana sedangkan 30 % sisanya berasal dari H2/CO2. Selain itu, konversi antara
hidrogen dan asetat dikatalisasi oleh bateri homoasetogenik juga memainkan peran
penting dalam jalur pembentukan metana.
Homoasetogenik dan mengoksidasi atau mensintesis asetat tergantung pada
konsentrasi hidrogen dalam sistem. Pada suhu yang lebih tinggi jalur oksidasi asetat
menjadi lebih menguntungkan. Pembentukan metana melalui oksidasi asetat dapat
memberikan konstribusi hingga 14 % dari total konversi asetat menjadi metana
dalam kondisi termofilik (60 oC) [28].

2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Digestasi Anaerob


Efisisensi digesti anaerob dipengaruhi oleh beberapa parameter penting
sehingga sangat penting untuk menyediakan kondisi yang sesuai untuk
mikroorganisme. Pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme anaerob sangat
dipengaruhi oleh kondisi [6]. Banyak faktor yang menetukan kinerja digester anaerob
dimana kontrol yang memadai diperlukan untuk mencegah kegagalan reaktor.

13
Beberapa faktor utama yang memepengaruhi kinerja digester dalam pengolahan
LCPKS adalah pH, pengadukan, suhu operasi, nutrisi untuk bakteri dan loading rates
zat organik ke dalam digester [30].
Berikut ini beberapa penelitian terdahulu tentang pembuatan biogas dengan
variasi laju pengadukan diantaranya ditunjukkan oleh Tabel 2.5 berikut ini:
Tabel 2.5 Hasil Penelitian Pembuatan Biogas Dengan Variasi Laju Pengadukan
pengadukan
Peneliti Metode Hasil Penelitian
(rpm)
Bambang Proses metanogenesis  50 - Produksi biogas tertinggi
Trisakti, Intan digesti anaerob, suhu  100 pada pengadukan 100
Zahara, 55 oC, dengan reaktor  150 rpm sebesar 40 kg/m3VS.
Mahdalena, CSTR.  200 - Reduksi COD terbesar
Irvan. 2014 [10] sebesar 81 %.
Sophia Digesti anaerob,  Tanpa - Jumlah metana rata-rata
Ghanimeh, dengan reaktor batch, pengadu tanpa pengadukan : 0,314
Mutasem El suhu termofilik. kan l CH4/g VS
Fadel, Pascal - Jumlah metana rata-rata
Saikaly. 2012  100 pengadukan 100 rpm :
[11] 0,327 l CH4/g VS

Dari Tabel 2.5 dapat dilihat, pada penelitian Bambang., dkk (2014) pada
proses metanogenesis digesti anaerob menggunakan reaktor CSTR pada suhu 57 oC
diperoleh produksi biogas terbesar pada pengadukan 100 rpm yaitu 40 kg/m3VS.
Reduksi COD terbesar didapat sebesar 81 %. [10].
Untuk penelitian yang dilakukan oleh Shopia et al (2012) dengan
menggunakan proses digesti anaerob dan reaktor batch pada suhu termofilik. Yield
metana rata – rata diperoleh sebesar 0,314 dan 0,327 l CH4/g VS masing – asing
untuk proses tanpa pengadukan dan laju pengadukan 100 rpm [11].

2.5.1 Temperatur Operasi


Pengaruh suhu terhadap kinerja digesti anaerob diselidiki bahwa laju degradasi
substrat dan tingkat produksi biogas pada suhu 55 oC lebih tinggi daripada operasi

14
pada suhu 37 oC. Penelitian telah melaporkan bahwa digester termofilik dapat
mentoleril OLR lebih tinggi dan beroperasi pada HRT pendek sambil menghasilkan
biogas lebih banyak. Namun, kegagalan untuk mengontrol kenaikan suhu dapat
menyebabkan washout biomassa dengan akumulasi asam lemak volatil karena
pengahmbatan metanogenesis. Pada suhu tinggi, produksi asam lemak volatil lebih
tinggi dibanding kisaran suhu mesofilik. Banyak operator lebih memilih untuk
menggunakan digester yang beroperasi pada suhu mesofilik karena stabilitas proses
lebih baik. Namun demikian, penyelidikan terhadap stabilitas digester membuktikan
bahwa kerugian dari digester termofilik dapat diatasi dengan menjaga konsorsium
mikroba di dekat [30].
Digestasi anaerobik mesofilik dan termofilik lebih banyak digunakan daripada
psikropilik karena laju reaksi tinggi pada rentang suhu tersebut. Selain itu, suhu
psikropilik sering terjadi berdasarkan kondisi iklim setempat dan penting untuk
meningkatkan proses dalam kondisi ini [31]
Pada penelitian yang dilakuakan oleh Mahdalena (2014) diperoleh Produksi
biogas semakin meningkat dengan meningkatnya suhu, pada kondisi mesofilik
volume biogas maksimum diperoleh pada suhu 35oC sebesar 37,74 m3/kg ΔVS dan
mengandung metana sebesar 75% dan pada kondisi termofilik yaitu pada suhu 55oC
sebesar 43,95 m3/kg ΔVS mengandung metana sebesar 69%. Degradasi kandungan
organik yaitu VS dan COD semakin meningkat seiring meningkatnya suhu. Pada
kondisi mesofilik laju degradasi VS dan COD secara berurut diperoleh maksimum
sebesar 80%; 76% dan pada kondisi termofilik sebesar 80%; 81% [32]

2.5.2 pH
Komunitas mikroba dalam digester anaerob sensitif terhadap perubahan pH
dan metanogen banyak dipengarungi dan menyebar. Sebuah penelitian oleh Beccari
et al. (1996) menegaskan bahwa metanogenesis sangat dipengaruhi oleh pH.
Keadaan yang berkaitan dengan nilai pH serupa dengan suhu [30]. Mikroorganisme
yang terlibat dalam berbagai tahap dekomposisi mengharuskan nilai pH yang
berbeda untuk pertumbuhan optimum. pH optimum untuk proses hidrolisis dan
bakteri pembentukan asam adalah pada kisaran pH 5,2 – 6,3. Bagaimanapun proses
tidak hanya tergantung pada pH, dan masih cocok untuk mengkonversi substrat pH

15
yang sedikit lebih tinggi. Satu – satunya konsekuensi adalah aktivitas mikrorganisme
sedikit berkurang. Sebaliknya, nilai pH pada kisaran netral 6,5 – 8 adalah mutlak
lebih penting untuk bakteri yang membentuk asam asetat dan untuk archaea
netanogen. Akibatnya, jika proses fermentasi berlangsung dalam digester tunggal
kisaran pH ini harus dipertahankan [33]. Pabrik bebasis slurry sering memiliki pH
agak lebih tinggi (8 – 8,3) karena kandungan amonium lebih tinggi [34].

2.5.3 Laju Pengadukan


Dalam rangka untuk mendapatkan tingkat produksi biogas yang lebih tinggi
perlu ada kontak intensif antara bakteri dan substrat yang umumnya dicapai dengan
pencampuran menyeluruh dalam tangki digesti [33]. Pengadukan akan memberikan
kontak yang baik antara substrat dan mikroba untuk memberikan kondisi suhu yang
seragam, mengurangi resistensi terhadap transfer massa, dan meminimalkan
membangun kondisi lingkungan penghambat. Pengadukan mampu membawa bakteri
konsorsium ke dalam kontak substrat. Pengadukan juga akan mengurangi ukuran
partikel yang menimbulkan pelepasan biogas dari pencampuran. Bioreaktor dengan
pengaduk telah diterapkan oleh pabrik Keck Seng (Malaysia) Berhad di Masai, Johor
sejak 1980. Pabrik kelapa sawit berhasil mengurangi penyisihan 83% COD dan
memproduksi metana sebesar 62,5% [35]. Isi digester harus diaduk beberapa kali
sehari dengan tujuan untuk pencampuran bahan baku baru dengan substrat yang ada
di dalam digester. Pengadukan mencegah pembentukan lapisan tipis dan sedimen,
membawa mikroorganisme kontak dengan partikel bahan baku yang baru,
memfasilitasi aliran atas dari gelembung gas dan distribusi homogenesis dari panas
dan nutrisi melalui seluruh massa dari substrat [6]. Penelitian telah dilakukan untuk
mengamati efek dari pencampuran dengan kinerja digester anaerob. Ditemukan
bahwa pengadukan meningkatkan kinerja digester dalam mengolah limbah dengan
konsentrasi yang lebih tinggi sementara resirkulasi slurry menunjukkan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan impeller dan resirkulasi biogas tipe pencampuran.
Pengadukan juga meningkatkan produksi biogas dibanding dengan digester tanpa
pengadukan [30].

16
2.5.4 Organic Loading Rate (OLR)
Dalam hal ini tingkat beban organik/ Organik Loading Rate (OLR) adalah
parameter operasi yang penting. Hal ini menunjukkan bahwa banyak kilogram dari
padatan volatil (VS, atau bahan organik kering – odm) dapat dimasukkan ke dalam
digester per m3 volume kerja per unit waktu. Tingkat beban organik dinyatakan
sebagai kg VS/(m3 · d) [33]. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa OLR
lebih tinggi akan mengurangi efisiensi pengurangan COD (dalam sisitem pengolahan
air limbah). Namun produksi gas akan meningkat dengan OLR sampai tahap
metanogen tidak bisa bekerja cukup cepat untuk mengkonversi asam asetat menjadi
metana.OLR berhubungan dengan konsentrasi substrat dan HRT sehingga
keseimbangan yang baik antara kedua parameter harus diperoleh untuk operasi
digester yang baik. HRT pendek akan mengurangi waktu kontak antara substrat dan
biomassa [30].

2.5.5 Hydraulic Retention Time (HRT)


Parameter penting untuk pendimensian digester biogas adalah waktu retensi
hidrolik (HRT). HRT adalah rata – rata interval waktu ketika substrat disimpan
dalam tangki digester. HRT berkolerasi dengan volume digester dan volume substrat
yang diumpankan per unit waktu, menurut persamaan berikut:
HRT = VR / V
HRT hydraulic retention time/ waktu retensi hidrolik [waktu]
VR volume digester [m³]
V volume substrat yang diumpankan per unit waktu [m³/hari]
Menurut persamaan diatas, dengan meningkatkan beban organik mengurangi
HRT. Waktu retensi harus cukup panjang untuk memastikan bahwa jumlah
mikroorganisme yang dibuang bersama effluent tidak lebih tinggi dari jumlah
mikroorganisme yang diproduksi. Tingkat penggandaan diri bakteri anaerob biasanya
10 hari atau lebih. HRT yang singkat menyediakan laju alir substrat yang baik, tapi
hasil gas lebih rendah. Oleh karena itu, penting untuk mengadaptasi HRT agar
tingkat dekomposisi spesifik dari substrat yang digunakan. Dengan mengetahui HRT

17
yang ditargetkan, input bahan baku harian dan tingkat dekomposisi substrat maka
mungkin untuk menghitung volume digester yang yang diperlukan [6].

2.6 UF Membran
Filtrasi membran telah mendapatkan popularitas dalam proses pengolahan air
limbah. Penerapan filtrasi membran dalam pengolahan air limbah, dibandingkan
dengan metode perlakuan konvensional, dapat memberikan keuntungan beraneka
ragam termasuk menghasilkan efisiensi akhir yang jelas, penggunaan reagen kimia
yang lebih rendah, kebutuhan energi yang rendah untuk pemeliharaan, kekompakan
peralatan, start up lebih cepat dan Otomasi tanaman. Teknik pemisahan membran
telah terbukti menjadi metode yang efektif dalam memisahkan padatan biomassa dari
suspensi digester dan mendaur ulangnya ke digester. Beberapa penelitian tentang
proses anaerobik membran untuk pengolahan berbagai limbah cair telah dilakukan.
Studi menunjukkan bahwa proses anaerobik membran telah mempertahankan materi
partikulat I dan sebagai hasilnya akhirnya dicairkan dan didekomposisi karena waktu
retensi padatan yang panjang (8RT). Mikroorganisme anaerobik. Yang memiliki
tingkat pertumbuhan dan laju hasil panen yang relatif jauh lebih lambat daripada
mikroorganisme aerobik. Mampu berkembang biak secara independen dari waktu
retensi hidrolik (HRT) [36].

18

Anda mungkin juga menyukai