Anda di halaman 1dari 18

EPILEPSI

Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat


cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih
luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis
yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi
ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala
klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya.
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan
epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against
Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005
merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,
perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan
epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu:
 Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
 Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
 Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis,
dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.

Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana


seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu
diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan
seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah
penyakit menular, dan sebagainya.
Faktor Resiko

1
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan
bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan
pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di
Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi,
dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada lima tahun
terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di
seluruh dunia mengidap epilepsi (2004 Epilepsy.com).

Epidemiologi

Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki
otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang
tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup
beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak.
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur berapa saja, dan ras
apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum
diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola bimodal: puncak
insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut.

Etiologi

Kejang disebabkan oleh banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit


serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan
neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP
(sistem saraf pusat). Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi
sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon,
sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan frekuensi
terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang
seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau
bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko kejang.

Klasifikasi Epilepsi

2
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-
faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau
idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan
klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan
elektroensefalogram.

Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981)

I. Bangkitan Parsial
A. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik

B. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)


1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan Kesadaran
a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme

C. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)


1. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
3 Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum

II

3
. II. Bangkitan Umum ( Konvulsi atau Non-Konvulsi )kitalsi atau non-
konvulsi)A. Bangkitan lena
B. Bangkitan mioklonik
C. Bangkitan tonik
D. Bangkitan atonik
E. Bangkitan klonik
F. Bangkitan tonik-klonik
II. Bangkitan epileptik yang tidak tergolongkan
III. Bangkitan Epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma

Localization-related (focal, partial) epilepsies


● Idiopatik
cal, ► Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
► Childhood epilepsy with occipital paroxysm
● Symptomatic
► Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi
anatomi yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang
predominan, EEG interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing
► Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder
berasal dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus
multipel atau fokus tidak diketahui
► Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik

Epilepsi Umum
● Idiopatik
► Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
► Benign myoclonic epilepsy in infancy
► Childhood absence epilepsy
► Juvenile absence epilepsy
► Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
► Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

4
► Other generalized idiopathic epilepsies

●Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik


► West’s syndrome (infantile spasms)
► Lennox gastaut syndrome
► Epilepsy with myoclonic astatic seizures
► Epilepsy with myoclonic absences

●Simtomatik
► Etiologi non spesifik
► Early myoclonic encephalopathy
► Specific disease states presenting with seizures

Patofisiologi Epilepsi

Patofisiologi Epilepsi Umum

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara


lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum,
onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan
pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik
kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa
hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus,
hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras
thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan
aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada
korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.
Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion.
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium
(natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi
aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron (gambar 1A).

5
Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy
with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan
kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi
yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron
(gambar1B). Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion
dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang
berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar 1C). Sindro

ma

Gambar 1. Mutasi kanal ion

Patofisiologi Epilepsi Parsial

Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah


epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada
sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel
piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks
entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari
interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular). Sel granula
dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi
propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal.
Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke
lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang
aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk
sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron

6
eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal
mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di
hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di
daerah proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus
baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi.
Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi
reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit
yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan
cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan
ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga menyebabkan
sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme
inhibisi.
Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi
pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan terjadi
eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi
influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada
plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati
sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.

Evaluasi Bangkitan/Seizure
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang rinci sangat diperlukan dalam
mentatalaksana pasien epilepsi karena dengan anamesis yang lengkap seorang
dokter dapat memperkirakan apakah seseorang benar menderita kejang atau tidak,
dan juga perlu untuk menentukan tipe kejang atau jenis epilepsi tertentu.
Penentuan tipe kejang atau epilepsi sangat penting karena pengobatan penderita
epilepsi salah satunya didasarkan pada tipe kejang atau jenis epilepsi. Anamnesis
dapat dilakukan pada pasien atau saksi mata yang menyaksikan pasien kejang.
Selain itu diperlukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium,
pencitraan seperti CT Scan atau MRI dan pemeriksaan elektroensefalogram
(EEG).

7
Penanggulangan

Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar


pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi
efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat.
Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik.
Beberapa obat antiepilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain
karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate
(Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra),
oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin
(Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene,
Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status
epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital
atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium
berperan dalam memblok loncatan listrik.
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan
otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang
bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor
NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan
ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat
tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi.

8
Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada
penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien
epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak
berinteraksi dengan obat CNS lainnya.
Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan
adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari
beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah
satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada
karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini
terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog
dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.

Penggolongan obat antiepilepsi

(1) Hidantoin
Fenitoin
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang
tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf.
Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien
dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi fenitoin
adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk
(pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang. dan menghambat
terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis
awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari
tiap 6 jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin
adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan,
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan
mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang
mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi).
Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko gingival
hyperplasia.

9
(2) Barbiturat
Fenobarbital
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan
kejang tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah
menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini.
Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan
perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat
utama. Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk
menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium
dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA (aktivasi reseptor
barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABA A dan
meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga
menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic
inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis
pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal
yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang
mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi.
Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas.
Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson
syndrome.

(3) Deoksibarbiturat
Primidon
Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik.
Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti
kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten.
Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital
dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas
fenobarbotal. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping yang
sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan
keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi.

10
(4) Iminostilben
(a) Karbamazepin
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.
Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial
dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang
mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang
dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus
pada neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg
3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis
pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan
dewasa 400 mg 2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi pada
penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan
berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak)
dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan usia.

(b) Okskarbazepin
Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin
merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk
aktifnya, yaitu suatu turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui
ekskresi ginjal. Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial.
Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin.
Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali
sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari. Efek samping
penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare,
konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan.
Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan dibanding dengan
fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin. Okskarbazepin dapat
menginduksi enzim CYP450.

11
(5) Suksimid
Etosuksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium
merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat
pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan
yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga
penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang
absens. Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis
awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada
anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari. Efek samping
penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping penggunaan
etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk,
gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.

(6) Asam valproat


Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial,
kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat
dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau
mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon
GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta
mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15
mg/kg/hari. Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan
(>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan.
Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan
keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek
gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan
asam valproat adalah hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan
metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia dalam darah)
umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati.
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu
masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin
dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan
dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat

12
menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang
dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat.
Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari
5% saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut.

(7) Benzodiazepin
Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang. Benzodiazepin
merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan
meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA. Dosis benzodiazepin
untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak
usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan dewasa 4-40 mg/hari. Efek samping
yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas,
kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit,
konstipasi, dan mual.

(8) Obat antiepilepsi lain


(a) Gabapentin
Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial
epilepsi walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri
neuropati. Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita seizure
parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin pada
obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median
seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan
12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau
1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan
efikasi karbamazepin (600 mg/hari). Gabapentin dapat meningkatkan
pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui.
Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca2+ tipe L.
Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe T, N,
atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan potensial aksi
berulang terus-menerus. Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40
mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia
12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek samping yang

13
sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan
ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-
anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin mengalami
peningkatan berat badan.

(b) Lamotrigin
Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan
spektrum luas yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum.
Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti
epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na,
menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi
neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin
25-50 mg/hari. Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada
pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit kepala,
pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan
kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-
Johnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin.

(c) Levetirasetam
Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat
pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide). Levetirasetam
digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik,
kejang tonik-klonik. Mekanisme levetirasetam dalam mengobati epilepsi
belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan
levetirasetam dapat menghambat kanal Ca2+ tipe N dan mengikat protein
sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori (atau meningkatkan
inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein sinaptik belum
diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari. Efek samping yang
umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan
perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan
levetirasetam.

14
(d) Topiramat
Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang
parsial, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati
kejang dengan menghambat kanal sodium (Na+), meningkatkan aktivitas
GABAA, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat
karbonat anhidrase yang lemah. Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari. Efek
samping utama yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh,
sulit berkonsentrasi, sulit mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa
tidak enak atau abnormal). Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik
sehingga terjadi anorexia dan penurunan berat badan.

(e) Tiagabin
Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan
anak ≥16 tahun. Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA, antagonis neuron
atau menghambat reuptake GABA. Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari. Efek
samping yang sering terjadi adalah pusing, asthenia (kekurangan atau
kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi. Penggunaan
tiagabin bersamaan dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP.

(f) Felbamat
Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang,
felbamat hanya digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien
epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia aplastik. Mekanisme aksi
felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA. Dosis
felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali
sehari. Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan
felbamat adalah anorexia, mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan
penurunan berat badan. Anorexia dan penurunan berat badan umumnya
terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori yang rendah.
Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang
mempunyai riwayat penyakit cytopenia.

15
(g) Zonisamid
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid yang digunakan
sebagai terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan
dewasa. Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal
kalsium (Ca2+) tipe T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari. Efek samping
yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual,
dan agitasi. Di United Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal.

Temporal EkstrTabel 1. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik

Tipe seizure Terapi pilihan Obat alternatif


pertama
Seizure parsial Karbamazepin Gabapentin

Fenitoin Topiramat

Lamotrigin Levetiracetam

Asam valproat Zonisamid

okskarbanzepin Tiagabin

Primidon

Fenobarbital

Felbamat
kejang absens Asam valproat Lamotrigin
umum Etosuksimid Levetiracetam
Mioklonik Asam valproat Lamotrigin,
Klonazepam
topiramat,

felbamat, zonisamid,

levetiracetam
Tonik-klonik Fenitoin Lamotrigin,

Karbamazepin topiramat, primidon,

Asam valproat fenobarbital,

16
a temporkKKSKASHHDDHDJ

KESIMPULAN

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang
bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak,
bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi
didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemilihan obat antiepilepsi selain tipe
kejang adalah faktor sosio-ekonomi pasien karena pengobatan epilepsi adalah
pengobatan jangka panjang dan diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk
terjaminnya keberlangsungan pengobatan. Untuk itu diperlukan diskusi antara
dokter dan pasien dalam memilih obat antiepilepsi, dan dokter harus memotivasi
pasien untuk berobat teratur dan tidak putus obat. Terapi lain yang dapat diberikan
selain obat antiepilepsi adalah diet ketogenik, stimulasi vagal, dan pembedahan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Annegers JF., 2001, The Epidemiology of Epilepsy. In: Wylie E, ed. The Treatment
of Epilepsy, 3d ed, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 131–138

Browne TR, Holmes GL. Epilepsy: definitions and background. In: Handbook of
epilepsy, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000.p.1-
18.

Harsono.2007.Epilepsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

McNemara, J.O., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1, diterjemahkan
oleh alih bahasa sekolah farmasi ITB, EGC, Jakarta, 1517, 522, 524.

Sidharta, Priguna M.D.,Ph. D.1999. Neurology klinis dalam praktek umum, Dian
Rakyat, Jakarta.

Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press,
Yogyakarta, 85.

DS

18

Anda mungkin juga menyukai