Anda di halaman 1dari 16

ETIKA KEPERAWATAN

“INFORMED CONSENT”

DOSEN:

SARIMAN PARDOSI,S.KP,M.SI

DISUSUN OLEH :

KELAS 1A / KELOMPOK 12

MUHAMMAD IKHWAN P05120217 013


NOVILA YUNITA SARI P05120217 017
RINI TRI JULIASNI P05120217 026

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BENGKULU

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2017
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………....i


DAFTAR ISI …………………………………………………………………….….ii
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………...…….........1
1.1. Latar Belakang………………………………………………………........1
1.2. Rumusan masalah……………………………………………………..…2

1.3 Tujuan……………………………………………....………………….....2

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………….3


2.1. Pengertian Informed Consent……………………………………….…....3

2.2. Pengertian Transaksi Terapeutik…………………………………….…..4

2.3. Hubungan antara Informed Consent dan Transaksi Terapeutik………....5

2.4. Syarat – syarat terjadinya Informed Consent dan Transaksi

Terapeutik………………………………………………………………...7

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………......10


3.1 Simpulan ………………………………………………………………...10
3.2 Saran…………………………………………………………….……….11

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...….12


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Bengkulu, 30 Januari 2018

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagian besar keluhan ketidakpuasan pasien disebabkan komunikasi yang


kurang terjalin baik antara tim medis dengan pasien dan keluarga pasien.

Apakah para pasien perlu sepenuhnya dilibatkan dalam pengambilan


keputusan mengenai apa yang akan diperbuat dalam rangka pemeriksaan,
pengobatan, dan perawatan mereka? Apakah mereka harus selalu dimintai
persetujuan atas apa yang akan dilakukan oleh tenaga medis kepada mereka?
Bukankan pelibatan dan permintaan persetujuan macam itu malah akan menghambat
rencana kerja? Apalagi, bukankah dengan datang kepada dokter atau rumah sakit
mereka telah mempercayakan diri mereka terhadap dokter dan tim medisnya?
Seberapa jauh pasien perlu diberitahu mengenai resiko dan keuntungan dari langkah-
langkah pengobatan dan tindakan-tindakan lain yang harus diambil demi pemulihan
kesehatannya?

Bagaimana dengan pasien yang kalau diberitahu toch tidak mengerti apa yang
dimaksud, atau pasien yang sengaja tidak mau tahu tentang keadaan dirinya yang
sebenarnya dan pokoknya dibuat enak badan, masih perlukah mereka diberitahu?
Apakah dokter dan tim medis lainnya wajib memberitahukan kemungkinann resiko
yang akan terjadi dan alternatif pengobatan yang bisa diambil terhadap pasien, atau
hal itu hanya dapat diharapkan berdasarkan kebaikan sang dokter? Itulah beberapa
pertanyaan yang kadang muncul dalam praktek pelayanan medis. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut erat kaitannya dengan apa yang lazim disebut dengan “informed
consent”. Oleh karena itu perlu kiranya kita mengetahui apa itu “informen consent”.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa pengertian informed consent ?

2. Apa pengertian transaksi terapeutik ?

3. Hubungan informed consent dengan transaksi terapeutik ?

4. syarat- syarat terjadinya informed consent dan transaksi terapeutik ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas yang diberikan pada
mata kuliah Etika Dalam keperawatan, adapun tujuan lainnya yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian informed consent dan transaksi terapeutik

2. Hubungan informed consent dengan transaksi terapeutik

3. syarat- syarat terjadinya informed consent dan transaksi terapeutik


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Informed consent


Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu
tindakan, seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan
lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent
merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk
memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat
membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam
pengaruh obat seperti narkotika.

Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan


atas informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari
pihak-pihak yang terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed
consent” memuat dua unsur pokok, yakni:

1. Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis)
untuk dimintai persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan
kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat
kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh pasien.

2. Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan
untuk memberikan informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional
dapat diberikan kapada pasien.

Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien


untuk menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau
pemberian informasi seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001).

Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh
pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F.
Childress, dalam pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua
menyangkut pengertian informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut
perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan
informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat
perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok yang biasanya muncul adalah
seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa
jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya memberikan informasi yang
diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat
disebut suatu persetujuaninformed. Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan
beberapa standar pembeberan, yakni:

a. Standar praktek profesional (the professional practice standard)

b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)

c. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)

Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuanyang


diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakanmedik
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian diatas PTM adalah
persetujuan yang diperoleh sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau
tindakan medik apapun yang akan dilakukan.Persetujuan tersebut disebut dengan
Informed Consent Informed. Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan
perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional
menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed
Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW
Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:

a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.

b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan

c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan
perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.

2.2 Transaksi Terapeutik


Pengertian Transaksi Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang
berarti dalam bidang pengobatan, Ini tidak sama dengan therapy atau terapi yang
berarti pengobatan. Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan hanya di
bidang pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif,
rehabilitatif maupun promotif, maka persetujuan ini disebut perjanjian terapeutik atau
transaksi terapeutik.

Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang


memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang
dimiliki oleh dokter tersebut. dari hubungan hukum dalam transaksi terapeutik
tersebut, timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, pasien mempunyai hak
dan kewajibannya, demikian juga sebaliknya dengan dokter. Didasarkan mukadimah
Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan R.I. Nornor : 434/MEN.KES/X/1983 Tentang Berlakunya Kode Etik
Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, maka yang dimaksud dengan
transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan
dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala
emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insani.

Pada umumnya mulainya hubungan transaksi terapeutik dimulai saat seorang


pasien meminta pertolongan kepada dokter untuk mengobati penyakitnya dan dokter
menyanggupinya.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa transaksi terapeutik
merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang saling mengikatkan diri
didasarkan sikap saling percaya.

Definisi Transaksi Terapeutik Menurut Para Ahli :

Pengertian transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, yaitu :

Hermien Hadiati Koeswadji : transaksi terapeutik adalah perjanjian


(Verbintenis) untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien
oleh dokter. Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran ( Studi Tentang
Hubungan dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak ), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1998, hal. 132.

Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum


antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara professional, didasarkan
kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan ketrampilan tertentu di bidang
kedokteran. Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi
Terapeutik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1.

Transaksi terapeutik merupakan kegiatan didalam penyelenggaraan praktek


dokter berupa pemberian pelayanan medis. Sedangkan pelayanan medis itu sendiri
merupakan bagian pokok dari kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut sumber
daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraannya, yang harus tetap
dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tanggu ng jawabnya.
Dalam pengertiannya tersebut perjanjian terapeutik dapat ditarik beberapa unsur,
yaitu : Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali
Press, Jakarta. 2006, hal. 45.

Adanya subjek perjanjian, meliputi pasien dengan tenaga kesehatan/


dokter/dokter gigi. Adanya objek perjanjian, yaitu upaya maksimal untuk melakukan
penyembuhan terhadap pasien Kewajiban pasien, membayar biaya penyembuhan.

2.3 Hubungan Informed Consent dan Transaksi Terapeutik


Hubungan yang terjadi antara tim medis dengan pasien secara umum
dianggap sebagai suatu jenis kontrak. Sebuah kontrak adalah kesepakatan antara dua
orang atau lebih, dimana kedua belah pihak membuat perjanjian untuk masing-
masing pihak, menurut istilah hukum, memberikan prestasinya. Masalah perjanjian
diatur dalam Hukum Perdata.

Hukum perdata yang termuat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata


(KUH Perdata) yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek yang telah
mulai diberlakukan sejak Tahun 1847. Walaupun falsafah dan materinya sudah
banyak yang tidak sesuai lagi dengan zaman, namun masih juga ada dasar-dasar
pokok yang terdapat di bidang Hukum Perjanjian yang masih dapat dipergunakan.
Sebagaimana diketahui Burgerlijk Wetboek memperoleh akarnya dari code civil. Dan
kalau kita melihat di luar negeri, ternyata dasar-dasar pokok perjanjian dari code civil
masih tetap dipergunakan terus. Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar pokok code civil
masih berlaku secara universal, baik di Negara continental maupun Negara Anglo
Saxon ada juga pengaruhnya, sehingga ada kesamaannya.

· Subyek-Subyek Kontrak Terapeutik

Subyek-subyek kontrak terapeutik adalah masalah yang terletak di bidang


Hukum Perdata. Kontrak terapeutik dapat digolongkan ke dalam kelompok kontrak
atau perjanjian. Namun hal ini tidaklah berarti bahwa kontrak terapeutik ini sama
sekali tidak ada hubungannya dengan Hukum Pidana. Karena bisa saja pasien atau
keluarga yang merasa dirugikan oleh suatu tindakan medik (gross negligence),
menuntut dokternya berdasarkan KUHP pasal 359 tentang kelalaian yang
menyebabkan kematian. Atau berdasarkan KUHP pasal 360 karena menyebabkan
pasien sampai cacat tubuh berat (Zwaarlichamelijk letse). Dalam konteks ini hanya
dibahas segi perdatanya, yaitu yang ada sangkut pautnya dengan informed consent
yang merupakan syarat diambilnya suatu tindakan medik.
Pengaturan subyek-subyek dari suatu perjanjian pada umumnya, kontrak
teraupetik khususnya, diatur di dalam KUH Perdata. Hal ini membawa akibat, bahwa
sah tidaknya suatu perjanjian (kontrak terapeutik) harus diuji dan memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan di dalam KUH Perdata pasal 1320 dan seterusnya. Namun jika
ditinjau secara yuridis, maka yang dapat menjadi subyek hukum dalam lalu lintas
hukum termasuk juga mengadakan kontrak terapeutik, hanya ada 2 dua bentuk yaitu :

· Perorangan ( naturlijk persoon)

Setiap orang yang sudah dewasa (21) tahun, atau yang sudah menikah sebelunya,
berhak untuk membuat perjanjian, termasuk suatu kontrak terapeutik. Mereka yang di
bawah pengampunan (onder curatele) harus diwakili oleh walinya (curator)

· Badan Hukum (rechtspersoon)

Badan-badan yang sudah diberikan izin untuk menyelenggarakan pemberian


pelayanan kesehatan dengan mendirikan rumah sakit, seperti : pemerintah, ABRI,
yayasan yang sudah ada pengakuan sebagai badan hukum, PT, atau badan hukum
lainnya. Selain harus dipenuhi persyaratan formal dan menyediakan peralatan
tertentu, kepada badan-badan hukum yang hendak mendirikan rumah sakit pun
diharuskan mengadakan suatu Unit gawat darurat.

Di dalam suatu kontrak terapeutik secara yuridis terdapat 2 (dua) kelompok subyek-
subyek yang dinamakan :

1. Pemberi pelayanan kesehatan (health provider:

Umumnya yang diartikan sebagai pemberi pelayanan kesehatan adalah semua


tenaga kesehatan (tenaga medis, paramedis perawatan dan tenaga kesehatan lainnya)
yang terlibat secara langsung dalam pemberian jasa perawatan dan pengobatan (cure
and care). Termasuk juga sarana-sarana kesehatan, seperti rumah sakit, rumah
bersalin, klinik-klinik serta badan atau kelompok lain yang memberi jasa tersebut.

2. Penerima pelayanan kesehatan (health receiver)

Setiap orang yang datang ke rumah sakit untuk menjalani prosedur tindakan
medik tertentu, lazim disebut sebagai “pasien”, walaupun ia sebenarnya
atau mungkin tidak sakit dalam arti umum. Atas dasar penafsiran itu, maka dapat
dibedakan antara :

3.Pasien dalam arti yang benar-benar sakit, sehingga secara yuridis ada perjanjian
terpeutik dengan tim medis/ rumah sakit.
Kesehatan merupakan salah satu modal untuk berlangsungnya kehidupan
manusia. Produktivitas dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh kondisi kesehatan
orang tersebut. Kesehatan memberikan pengaruh dalam semua sektor kehidupan.
Sebagai contoh dalam suatu kegiatan ekonomi jika seorang pegawai pabrik rokok
dalam kondisi kesehatan yang baik, maka dia akan dapat memberikan hasil sebanyak
500 linting rokok, namun jika dalam kondisi kesehatan yang tidak baik, maka
produktivitas orang tersebut akan menurun. Demikian juga dalam sektor pendidikan
seseorang dengan kondisi kesehatan yang baik dapat menerima pelajaran jauh lebih
baik, daripada dia berada dalam kondisi sakit. Contoh-contoh tersebut menunjukkan
bahwa kesehatan memberikan pengaruh yang besar sekaligus penunjang dalam
sektor-sektor kehidupan manusia.

Kesehatan yang dimiliki seseorang tidak hanya ditinjau dari kesehatan fisik
semata. Kesehatan seseorang bersifat menyeluruh, yaitu kesehatan jasmani dan
rohani. Kesehatan juga merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan
seseorang. Hal tersebut di atas dapat kita lihat pada Undang-undang Dasar 1945
amandemen Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi:“setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”.

2.4 Syarat-Syarat Terjadinya Informed Consent dan Transaksi

Terapeutik
Untuk syarat sahnya perjanjian terapeutik (Nasution : 2005), harus dipenuhi
syarat-syarat sesuai pasal 1320 KUH Perdata :

1. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya.

2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Mengenai suatu hal tertentu.

4. Untuk suatu sebab yang halal / diperbolehkan.

Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subjektif yang harus dipenuhi yaitu para
pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap
untuk membuat suatu perikatan.
Untuk keabsahan kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya, maka
kesepakatan ini harus memenuhi kriteria pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi :

" Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan".

Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka didalam kesepakatan ini para
pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan), terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak
boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan didalamnya.
Untuk itulah diperlukan adanya informed consent atau yang juga dikenal dengan
istilah Persetujuan Tindakan Medik.

Untuk syarat adanya kecakapan untuk membuat perjanjian, diatur dalam pasal
1329 dan 1330 KUH Perdata sebagai berikut :

Pasal 1329 :

"Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-
undang tidak dinyatakan tidak cakap".

Pasal 1330 :

Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa.

2. Mereka yang ditaruh di dalam pengampuan.

3. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.

Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk bertindak (tidak
boleh membuat kesepakatan, atau kesepakatan yang dibuat bisa dianggap tidak sah)
antara lain :

1. Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya : orang gila, pemabuk,
atau tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari pengampunya (yang boleh
membuat perikatan dengan dokter adalah pengampunya).

2. Anak dibawah umur, diperlukan persetujuan dari walinya atau orang tuanya.

Yang dimaksud dengan dewasa menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


585/Men.Kes/per/IX/1989, Pasal 8 ayat (2) adalah telah berumur 21 tahun atau telah
menikah. Jadi untuk seseorang yang berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah,
maka transaksi terapeutik harus ditanda tangani oleh orang tua atau walinya, yang
merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas
informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi
(informed consent). Jadi, informed consent merupakan implementasi dari kedua hak
pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dilindungi Undang-Undang.

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan
apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consentdilihat dari aspek
hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah
persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.

Peran perawat dalam informed consent terutama adalah membantu pasien untuk
mengambil keputusan pada tindakan pelayanan kesehatan sesuai dengan lingkup
kewenangannya setelah diberikan informasi yang cukup oleh tenaga kesehatan. Dasar
filosofi tersebut bertujuan untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
terintegrasi sehingga dapat mewujudkan keadaan sejahtera.

Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak
(yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya.

Secara umum, seorang tim medis diharuskan memperoleh suatuinformed


consent (persetujuan medik) dari pasien sebelum melakukan pengobatan. Bahwa
seorang anak terlalu muda atau imatur untuk memberi persetujuannya sendiri tidak
membebaskan seorang dokter dari kewajibannya memperoleh suatu persetujuan
medik.
3.2 Saran

1.Bagi Mahasiswa

Diharapkan mampu memahami tentang bagaimana pemberian informed consent pada


pasien agar dapat meningkatkan kesehatan di masyarakat.

2.Bagi Institusi

Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang


pemberian informed consent pada pasien dan dapat lebih banyak menyediakan
referensi-referensi buku tentang etika dan hukum kesehatan.

3.Bagi Masyarakat

Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang pemberian informed consent pada
pasien untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

 http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-transaksi-terapeutik.html
 Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
 Manurung, Santa dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika
 Doenges, Marilyn.dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
 Price, Sylvia Anderson. 2005. Petofisiologi: Konsep KLinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC
 Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
 Kowalak, Jenifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
 https://gadarbima.wordpress.com/2013/01/31/informed-consent-dalam-
keperawatan/
 http://hasyimsoska.blogspot.com/2013/12/informed-consent-dalam-
transaksi.htmla
 Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku
I, Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai