Anda di halaman 1dari 18

Review Konsep Terkini Tren Penatalaksanaan Fraktur Terbuka

 Antibiotic sebaiknya diberikan kepada pasien dengan fraktur terbuka sesegera mungkin
untuk mengurangi resiko infeksi
 Pasien dengan fraktur terbuka sebaiknya dibawa ke kamar operasi secara urgen, dengan
stabilisasi pasien terlebih dahulu, persiapan kamar operasi, dan pertolongan yang tepat
 Rumusan masalah yang ada terkait dengan solusi dan metode yang optimal dalam irigasi
fraktur terbuka
 Penutupan luka yang sudah didebrideman secara adekuat sesegera mungkin memberikan
keamanan dan dapat memperbaiki luaran (outcomeI) pasien
 Terapi tambahan, seperti penggunaan cangkok (graft) tulang dan rhBMP-2, padat
meningkatkan proses penyembuhan fraktur

Seratus lima puluh tahun yang lalu, mortalitas fraktur terbuka sangatlah tinggi. Seiring dengan

berkembangnya terapi modern, outcome pasien fraktir terbuka telah membaik secara dramatis.

Tujuan ahli bedah dalam penatalaksanaan fraktur terbuka dalah mencegah infeksi, memicu

penyembuhan fraktur, dan mengembalikan fungsi tulang seoptimal mungkin. Semua pasien

dengan fraktur terbukan membutuhkan stabilisasi, profilaksis tetanus, antibiotic sistemik,

debrideman yang adekuat, irigasi yang banyak, stabilisasi fraktur, penutupan luka sesegera

mungkin, rehabilitasi dan follow up yang adekuat. Selain itu, pada pasien tertentu mungkin juga

diperlukan antibiotic local, rawat luka (mungkin dengan penutupan dengan bantuan vaccum),

cangkok (grafting) tulang, atau terapi-terapi tambahan lain. Pada review ini, kami menganalisa

bukti ilmiah yang berkaitan dengan isu-isu penting dalam penatalaksanaan fraktur terbuka

termasuk klasifikasi, penggunaan antibiotic, waktu untuk intervensi operatif, irigasi, fiksasi,

cakupan jaringan lunak (soft tissue), dan terapi-terapi tambahan lainnya.

Klasifikasi Ftraktur Terbuka

Suatu fraktur dikatakan terbuka jika lesi pada kulit dan jaringan lunak di bawahnya

membuat terjadinya kontak antara tulang yang fraktur dengan lingkungan luar. Fraktur terbuka
sebagian besar diklasifikasikan berdasarkan sistem Gustilo dan Anderson yang kemudian

dimodifikasi oleh Gustilo. Berdasarkan sistem ini (table 1), fraktur terbuka dibagi menjadi:

fraktur terbuka tipe I dengan ciri luka <1 cm dengan kontaminasi, kominutif dan kerusakan

jaringan lunak yang minimal; fraktur terbuka tipe II dengan ciri adanya laserasi >1 cm dan jejas

sedang pada jaringan lunak namun, namun cakupan luka masih adekuat dan lesi periosteum tidak

terlalu melebar; fraktur terbuka tipe III dibagi menjadi 3 subtipe yakni tipe IIIA yakni fraktur

karena trauma dengan energi besar, kerusakan jaringan lunak yang luas, dan kontaminasi, namun

cakupan luka masih adekuat setelah dilakukan debrideman. Tipe III B sama dengan tipe IIIA,

kecuali pada cakupan luka yang tidak lagi adekuat. Tipe IIIC adalah fraktur terbuka yang

berkaitan dengan lesi pada arteri dan membutuhkan upaya perbaikan. Karena prognosa jejas

pada jaringan luna dan tulang bergantung pada kedalamam luka, maka penting untuk

mengklasifikasikan fraktir terbuak tidak di UGD namun di meja operasi, setelah eksplorasi

pembedahan, dan debrideman yang adekuat.

Tabel 1. Sistem Klasifikasi Gustilo et al, Definisi dan Angka Infeksi


Tipe Definisi Angka infeksi(%)
Fraktur
I Luka<1cm, kontaminasi, kominutif dan kerusakan jaringan 0-2
lunak yang minimal,
II Luka >1 cm, kerusakan sedang jaringan lunak, lesi 2-5
periostela yang minimal
IIIA Kerusakan soft tissue berat, kontaminasi yang bermakna, 5-10
cakupan luka adekuat
IIIB Kerusakan soft tissue berat, kontaminasi yang bermakna, 20-50
cakupan luka tidak adekuat
IIIC Jejas pada arteri yang memerlukan upaya perbaikan 25-50

Saat ini peneliti-peneliti dua studi terdahulu menyatakan bahwa sistem klasifikasi Gustilo
dan Anderson berhubungan dengan rendahnya tingkat persetujuan antar ahli. Brumback dan
Jone mempresentasikan 12 rekaman video kasus fraktur terbuka kepada 245 ahli bedah dimana
video kasus tersebut menceritakan data demografi, riwayat luka, hasil dari pemeriksaan fisik,
tampilan luka sebelum operasi, radiografi preoperatif, menceritakan proses debrideman, dan
kemudian meminta para ahli bedah tersebut untuk mengklasifikasikan fraktur terbuka dengan
menggunakan sistem Gustilo dan Anderson. Tingkat persetujuan (didefinisikan sebagai
prosentase terbesar dari para ahli yang memilih satu klasifikasi) rata-rata adalah 60%, yang mana
penulis menggambarkan hasilnya sebagai “sedang ke buruk”. Namun, masih belum jelas apakah
tingkat persetujuan para ahli tersebut dikarenakan oleh fakta bahwa klasifikasi dilakukan hanya
berdasarkan hasil rekaman video.
Meskipun dengan keterbatasan tersebut di atas, klasifikasi Gustilo dan Anderson masih
tetap dipilih sebagai sistem klasifikasi guna menggolongkan fraktur terbuka karena tipe fraktur
sangat berhubungan dengan resiko infeksi dan komplikasinya. Sebagai contoh, angka kejadian
infeksi pada tipe I dilaporkan berkisar 0-2%, tipe II 2-5%, tipe IIIA 5-10% dan tipe IIIB berkisar
25-50% (table 1). Jumlah pasien dalam laporan tersebut berkisar antara 84-1104 orang.
Baru-baru ini, Bowen dan Widnaier meneliti 174 pasien dengan fraktur terbuka tulang-
tulang panjang dan menemukan tidak hanya klasifikasi Gustilo dan Anderson, namun juga
jumlah kemungkinan komorbiditas yang terjadi untuk menjadi predictor yang bermakna untuk
terjadinya infeksi melalui analisa multivariate. Pasien dibagi menjadi 3 kelas berdasarkan ada
atau tidaknya 14 faktor medis dan immune kompromis yang meliputi usia > 80 tahun, pengguna
nikotin, diabetes, keganasan, indufisiensi pulmonal, dan imunodefisiensi sistemik. Infeksi
ditemukan pada 4% (2 dari 78 pasien) pasien dengan kelas A (tanpa factor kompromis), 15% (13
dari 89) untuk pasien dengan kelas B (memiliki 1 atau 2 faktor kompromis), dan 31% (5 dari 16)
untuk pasien dengan kelas C ( > 3 faktor kompromis) (p = 0.007).

Penggunan Antibiotik
Antibiotik telah digunakan sebagai terapi standar pada fraktur tebuka sejak tahun 1974, ketika
Patzkis dkk melaporkan penelitian randomized control trial mereka mengenai pemberian
sefalotin (sefalosporin generasi pertama) pada tatalaksana fraktur terbuka. Keuntungan
penggunaan antibiotik juga telah dilaporkan pada review sistematik Cochrane yang menunjukan
bahwa pemberian antibiotic pada fraktur terbuka menurunkan resiko infeksi hingga 59%
(relative risk 0.41; 95% CI 0,27-0.63) (table II). Meskipun dulu kultur bakteri dilakukan baik
sebelum maupun sesudah debrideman fraktur tebuka, para peneliti terkini telah mempertanyakan
manfaatnya. Lee meneliti tentang kultur bakteri predebrideman dan menelukan hanya 8% (18)
dari 226 mikroorganisme yang tumbuh pada media kultur yang mampu menyebabkan infeksi,
dan 7% (7) dari 106 pasien dengan hasil kultur negative menjadi menderita infeksi. Kultur
postdebrideman juga tidak lebih baik, karena hanya 25% (8) dari 32 mikroorganisme yang
tumbuh pada media kultur yang mampu menyebabkan infeksi, dan 12% (10) dari 87 pasien
dengan hasil kultur negative menjadi menderita infeksi. Sehingga saat ini, kami tidak
merekomendasikan untuk dilakukan kultur rutin baik sebelum mamupun sesudah debrideman
(table II).
Seperti yang dinyatakan oleh studi-studi sebelumnya, bahwa mikroorganisme yang
ditemukan pada fraktur tebuka dengan kontaminasi, tidaklah mewakili mikroba yang akan
menyebabkan infeksi. Faktanya, justru banyak bukti yang menyatakan bahwa kasus infeksi pada
lokasi fraktur tebuka lebih dikarenakan infeksi bakteri nosokomial. Pada studi yang dilakukan
oleh Carsenti-Etese dkk, 92% (35) dari 38 kasus infeksi fraktur terbuka disebabkan oleh bakteri
yang didapat ketika pasien berada di rumah sakit. Saat ini, sebagian besar infeksi fraktur terbuka
disebabkan oleh bacil Gram negative dan stafilococcus Gram positif. Akan tetapi, methicilin
resistance staphylococcus aureus (MRSA) telah banyak terbukti sebagai penyebab dari infeksi
pada fraktur tebuka. Pada tahun 1980 di rumah sakit Texas, MRSA terdapat dalam 23 pasien
yang mengalami fraktur terbuka, sebagian besar memiliki outcome yang buruk. Infeksi MRSA
pada fraktur tebuka juga dilaporkan pada studi yang dilakukan carsenti-Etese dkk. Sehingga
studi-studi tersebut diatas telah mengindikasikan pentingnya perawatan luka sedini mungkin.
Meskipun banyak data yang mendukung penggunaan antibiotic pada fraktur terbuka,
namun data mengenai regimen yang optimal masih terbatas. Pada studi randomized controlled
trial yang dilakukan oleh Patzkis dkk, pasien yang menerima sefalosporin generasi pertama
memiliki angka kejadian infeksi yang lebih rendah dibandingkan dengan kombinasi penicillin
dan streptomisin (2,3% dibandingkan dengan 9,7%). Pada studi berikutnya yang dilakukan oleh
peneliti yang sama, menyatakan bahwa teapi dengan cefamandole dan tobramycin pada fraktur
terbuka lebih baik dibandingkan kombinasi penicillin dan streptomisin (4.5% vs 10%), namun
tidak lebih baik dari terapi dengan sefalotin (5,6%). Pada studi prospektif double blind yang
dilakukanoleh Benson dkk, menyatakan bahwa clindamycin juga sama efektifnya dengan
sefazolin untuk mencegah infeksi paska fraktur terbuka.
Siprofloksasin juga dapat dipertimbangkan guna tata laksana fraktur terbuka, karena
dapat melawan bakteri Gra, positif dan Gram negative. Patzkis dkk melakukan studi prospektif
double blind randomized control trial membandingkan monoterapi siprofloksasin dengan terapi
kombinasi cefamandole dan gentamisin dan menyatakan bahwa pada 2 macam regimen, angka
kejadian infeksi pada fraktur terbuka tipe I dan II adalah tidak berbeda bermakna, sedangkan
monoterapi siprofloksasin berkaitan dengan tingginya kejadian infeksi pada fraktur terbuka tipe
III (31% [8 dari 26] vs 7,7% [2 dari 27] ; p = 0.05). sedangkan studi pada hewan dan in vitro
menyatakan bahwa siprofoksasin dan golongan kuinolon lain dapat menghambat kinerja
osteoblas dan menghambat proses penyembuhan tulang, studi klinis dari antibiotic ini diperlukan
guna menentukan kebijakan terapi fraktur terbuka.
Table II. Rekomendasi Tatalaksana Fraktur Terbuka
Rekomendasi Tingkat Rekomendasi
Antibiotik
Sistemik A
Local B
Waktu debrideman
Urgen B
Dalam 6 jam C
Irigasi
Lavase tekanan tinggi pulsatif I
Additives† I
Fiksasi
Femur (intramedullary nailing) B
Tibia B
Fiksasi eksternal B
Intramedullary nailing I
Reaming (melebarkan) I
Perawatan dan penutupan luka
Penutupan primer B
Penutupan dibantu vaccum I
Terapi tambahan
profilaksis bone-grafting C
l rhBMP-2 lokal B
Modalitas yang tidak direkomendasikan
Kultur luka B
*A = bukti yang baik untuk melawan atau merekomendasikan intervensi (studi level I dengan hasil yang
kosisten), B = bukti yang cukup (studi Level-II or III dengan hasil kosisten), C= bukti kualitas rendah
(studi Level-IV or V dengan hasil kosisten), dan I = data yang insufisien dan controversial, tidak
dianjurkan untuk rekomendasi. †Antibiotic, antiseptic, atau sabun.
Terdapat kontroversi penggunaan agen antibiotic yang diberikan pada fraktur terbuka.
Sedangkan beberapa penelitian merekomendasikan pemberian kombinasi sefalosporin generasi
pertama dan aminoglikosida pada semua kasus fraktur terbuka. Namun beberapa studi
lainmenganjurkan untuk pemberian monoterapi dengan sefalosporin generasi pertama pada
fraktur terbuka tipe I dan II dengan tambahan aminoglikosida (biasanya gentamisin) untuk
fraktur tipe III. Sebagian besar peneliti setuju bahwa penicillin dan ampicilin sebaiknya
diberikan ketika terdapat resiko tinggi terinfeksi bakteri anaerob (contohnya, luka yang terkait
dengan pertanian).
Bukti yang ada saat ini menyatakan bahwa antibiotic sebaiknya diberikan sesegera
mungkin. Pada studi pada 1104 kasus fraktur terbuka, Patzkis dan Wilkins melaporkan angka
infeksi sebesar 4,7% (17 dari 364) ketika antibiotic diberikan dalam 3 jam setelah fraktur,
dibandingkan dengan ketika antibiotic diberikan lebih dari 3 jam paska fraktur yang angka
infeksinya mencapau 7,4% (49 dari 661; 79 pasien tidak menerima antibiotik). Durasi optimal
pemberian antibiotic masih belum jelas. Banyak penulis yang merekomendasikan pemberian
antibiotic inisial selama 3 hari, dilanjutkan lagi 3 hari jika diperlukan, meskipun bukti klinis
untuk mendukung pernyataan tersebut masih terbatas. Dellinger dkk mengusulkan untuk
pemberian antibiotic 1 hari berdasarkan studi prospektif double-blind, randomized, controlled
trial, yang menunjukan bahwa pemberian antibiotic hanya 1 hari sama efektifnya dengan
pemberian selama 5 hari dalam pencegahan infeksi.
Dalam institusi kami, kami merekomendasikan pemberian antibiotic cefazolin (1 g
intravena) setiap 8 jam dalam 24 jam setelah penutupan luka. Gentamisin intravena (dosis
disesuaikan berat badan) atau levofloksasin (500 mg setiap 24 jam) juga ditambahkan untuk
fraktur terbuka kelas III.
Selama satu decade terakhir, telah berkembang penggunaan antibiotic local untuk
pencegahan infeksi dalam kasus fraktur terbuka. Terapi local memiliki keuntungan yakni,
konsentrasi antibiotic yang mencapai target lebih tinggi dengan konsentrasi yang beredar secara
sistemik rendah, sehingga menurunkan resiko efek samping sistemik. Antibiotic yang digunakan
haruslah stabil terhadap panas, dalam bentuk serbuk, dan aktif melawan kuman pathogen.
Aminoglikosida dan vankomisin memiliki persyaratan antibiotic topikan tersebut.
Aminoglikosida lebih disukai dikarenakan dapat digunanan untuk mengatasi kuman yang
ressten terhadap vankomisin.
Namun, penggunaan aminoglikosida dosis tinggi dapat menghambat fungsi osteoblas,
studi in vitro menyatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi pada dosis ratusan microgram per
milliliter atau berkisar di atas 10-20 μg/mL di dalam luka. Namun, beberapa studi terkini
menyatakan bahwa nilai ambang dosis toksik amonoglikosida mungkin lebih kecil, yakni
berkisar 12,5 μg/mL. temuan-temuan ini sebaiknya diteliti kembali pada penelitian-penelitian
selanjutnya.
Penggunaan aminoglikosida yang tercampur dengan serbuk polymethylmethacrylate
telah diteliti oleh beberapa peneliti. Ostermann dkk melakukan analisa retrospektif pada 1085
kasus fraktur terbuka dan menemukan bahwa pasien yang diterapi dengan tobramisin yang
tercampur dengan polymethylmethacrylate memiliki angka kejadian infeksi yang lebih rendah
(3,7% [31 dari 845]) dibandingkan dengan tanpa polymethylmethacrylate (12,1% [29 dari 240]).
Namun, luka yang diterapi dengan antibiotic local menunjukanpenutupan luka yang lebih cepat,
sehingga menimbulkan kemungkinan suatu bias. Keating dkk melakukan analisa retrospektif
pada 81 kasus fraktur terbuka tibia dan menemukan bahwa pasien yang diterapi dengan
tobramisin yang tercampur dengan polymethylmethacrylate memiliki angka kejadian infeksi
yang lebih rendah (4% [2 dari 50]) dibandingkan dengan tanpa polymethylmethacrylate (16% [4
dari 25]), meskipun hasilnya tidak signifikan, mungkin dikarenakan sampel penelitian yang
terlalu kecil. Baru-baru ini, beberapa peneliti menyelidiki penggunaan terapi antibiotic saja.
Moehring dkk melakukan sebuah studi prospektif randomized, controlled trial membandingkan
terapi antibiotic local dan sistemik pada tatalaksana fraktur terbuka tipe II, IIIA dan IIIB. Setelah
menerima terapi standar di UGD dan kamar operasi (termasuk antibiotic sistemik inisial dose),
pasien diacak untuk selanjutnya diterapi dengan antibiotic local serbuk tobramisin dan grup lain
menerima antibiotic sistemik dengan sefalosporin generasi pertama. Terdapat kesamaan angka
infeksi pada kedua grup tersebut (8% [2 dari 24] untuk topical vs 5% [2 dari 38] untuk sistemik).
Akan tetapi, studi tersebut tidak memiliki kekuatan yang adekuat (karena sampel penelitian yang
terlalu kecil) dan terdapat 15% pasien yang diterapi dengan kedua regimen tersebut.
Kami mempertimbangkan bahwa terapi dengan antibiotic topical mungkin lebih
menguntungkan dibandingkan dengan antibiotic sistemik (table II). Serbuk gentamisin sudah
dikomersialkan dan beredar di Eropa, sedangkan antibiotic yang tercampur dengan serbuk
polymethylmethacrylate masih belum beredar di USA. Meskipun demikian, antibiotic serbuk
dapat dibuat dengan mencampur serbuk polymethylmethacrylate dengan serbuk tobramycin
dengan dosis 3.6 g antibiotic per 40 g polymethylmethacrylate. Saat ini, sejumlah studi dengan
hewan coba telah menyatakan potensi dari penggunaan antibiotic topical untuk kasus tertentu
antara lain antibiotic topical yang dapat ditanamkan dalam cangkok (graft) tulang, . antibiotic
yang terbungkus dalam intramedullary nails. Namun, sepengetahuan kami inovasi ini belum
diteliti dalam seting klinis.

Waktu yang tepat dalam tatalaksana operatif


Tatalaksana operatif emergensi telah menjadi standar terapi untuk fraktur terbuka sejak
lama. Asal-muasal terapi operatif disebut sebagai “six hour rule” atau “aturan 6 jam” masih
belum jelas. Beberapa percaya bahwa istilah tersebut datang dari percobaan yang dilakukan oleh
Friedrich (1898) yang menyatakan bahwa babi yang mengalami kontaminasi pada lukanya,
memiliki angka kejadian infeksi lebih rendah jika debrideman dilakukan dalam 6 jam.
Sedangkan beberapa percaya bahwa istilah tersebut datang dari Robson dkk (1973) yang
melaporkan bahwa 105 mikroorganisme per gram jaringan merupakan nilai ambang infeksi pada
fraktur tebuka, dan angka tersebut dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 5,17 jam.
Sampai saat ini, dua studi telah menunjukan sebuah penurunan angka infeksi ktika
debrideman dilakukan dalam 6 jam. Pada sebuah studi pada 47 fraktur terbuka tibia, Kindsfater
dan Jonassen menemukan bahwa terapi operatif dalam 5 jam berhubungan dengan lebih
rendahnya resiko infeksi (7% [1 dari 50]) jika dibandingkan dengan lebih dari 5 jam yakni
mencapai 38% (12 dari 32) (p <0.03). Akan tetapi, pada fraktur yang berat terapi operatif
nampaknya dilakukan lebih dari 5 jam post fraktur: fraktur terbuka tipe III yang dilakukan terapi
operatif dalam waktu 5 jam berkisar 33% (5 dari 15), sedangkan dalam waktu lebih dari 5 jam
berkisar 53% (17 dari 32). Kreder dan Armstrong menemukan bahwa 56 fraktur tibia pada anak-
anak, 42 kasus yang diterapi dalam waktu 6 jam menunjukan angkan infeksi yang lebih rendah
(12% [5 kasus]) dibandingkan dengan yang mengalami penundaan terapi lebih dari 6 jam (25%
[2 kasus]). Akan tetapi, studi tersebut memiliki sampel yang terlalu kecil (hanya ada 1 kasus
fraktur yang mengamami penundaan terapi, namun memiliki angka kejadian infeksi yang lebih
rendah).
Sebuah studi telah mempertanyakan istilah “aturan 6 jam”. Bednar dan Parikh mereview
hasil-hasil penelitian yang behubungan dengan 82 kasus fraktur tibia dan femur, dan tidak
menemukan perbedaan yang bermakna antara fraktur yang dilakukan debrideman dalam 6 jam
dan dalam 7 jam (9 % vs 3,4%; p > 0.05). .Ashford dkk melaporkan kejadian fraktur tibia pada
pasien dari pedalaman Australia yang tidak mampu mencapai pusat pelayanan kesehatan dalam
waktu 6 jam paska fraktur karena alasan jarak yang etrlalu jauh. Pada penelitian tersebut, peneliti
menemukan tidak terdapat perbedaan signifikan antara angka kejadian infeksi pada individu
yang diterapi dalam waktu 6 jam dan lebih dari 6 jam (17% [2 dari 12] vs 11% [4 dari 36]; p >
0.05). Spencer dkk, yang melakukan studi prospektif terhadap 142 fraktur terbuka tulang panjang
di Inggris juga melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara individu atau pasien
yang diterapi dalam waktu 6 jam dan lebih dari 6 jam (10.1% [7 dari 69] vs 10.9% [5 dari 46 ]; p
> 0.05). selain itu , Pollack and the LEAP investigators meneliti 315 kasus fraktur terbuak pada
ekstremitas bawah dan menemukan interval wantu antara kejadian fraktur sampai diterapi
debrideman tidak berhubungan dengan angka kejadian infeksi. Sangat menarik untuk dicatat,
namun, pasien yang telah dibawa ke rumah sakit dalam waktu 6 jam paska fraktur memiliki
prevlasensi infeksi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang dibawa ke rumah sakit
lebih dari 6 jam (22% vs 39%; p < 0.01).
Satu lagi yang perlu diperhatikan, yakni ketika menyimpulkan laporan-laporan
tersebut. Karena studi tidak dilakukan secara randomized, terdapat potensi untuk terjadinya bias;
fakta bahwa fraktur berat sebaiknya diterapi secara urgen, sebagai contoh peningkatan angka
infeksi pada kelompok yang menerima terapi dalam waktu 6 jam jika dibandingkan dengan
dalam waktu lebih dari 6 jam. Selain itu banyak penelitian yang tidak memiliki kekuatan yang
adekuat, dengan sampel penelitian yang terlalu kecil sehingga tidak mampu mendeteksi
perbedaan bermakma angka infeksi secara klinis.
Sedikit peneliti yang lebih jauh meneliti bahwa debridemn operatif mungkin tidak
dibutuhkan pada fraktur terbuka derajat ringan. Orcutt dkk melakukan studi retrospektif
membandingkan 99 fraktur terbuka derajat ringan (tipe I dan II) yang diterapi dengan rawat luka
dan antibiotic intravena (tanpa debrideman) dengan 50 fraktur terbuka dengan derajat yang sama
yang diterapi dengan rawat luka dan antibiotic intravena, disertai debrideman operatif. Mereka
menemukan angka infeksi yang lebih kecil (3% vs 6%) pada kelompok tanpa debrideman,
namun perbedaanya tidaklah signifikan (p>0.05). peneliitian terkini yang dilakukan oleh Yang
dan Eisler melaporkan luaran pasien yang baik, dengan angka infeksi 0% pada studi retrospektif
91 kasus fraktur terbuka tipe I tanpa debrideman. Akan tetapi, peneliti tersebut mengakui
kesulitan memprediksi keparahan fraktur hanya berdasar temuan superficial saja dan perlu
dicatat bahwa banyak fraktur yang sudah digolongkan menjadi tipe I di UGD, kemudian
direklasifikasikan kembali saat di meja operasi saat dilakukan debrideman.
Menurut pendapat kami, debrideman operatif sebaiknya dijadikan sebagai standar terapi
untuk semua fraktur tebuka. Meskipun debrideman memiliki keuntunga yang tidak berbeda
signifikan pada fraktur derajat ringan, namun debrideman operatif masih perlu dilakukan untuk
klasifikasi luka. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, fraktur tebuka yang diklasifikasikan
hanya berdasarkan cirri-ciri superfial kerap kali misklasifiasi. Padahal, kegagalan dalam
eksplorasi dan debrideman fraktur di kamar operasi dapat beresiko tinggi terhadap infeksi.
Sebaliknya, tidak mungkin untuk memperdebatkan istilah “aturan 6 jam” dalam
tata laksana fraktur tebuka. Pada pencegahan infeksi paska fraktur terbuka, durasi waktu fraktur
sampai kapan dilakukan debrideman tidaklah terlalu penting, diabandingkan dengan factor lain
seperti batas waktu perawatan jaringan lunak. Pasien dengan fraktur terbuka sebaiknya dibawa
ke kamar operasi secara urgen, dengan tabilisasi pasien terlebih dahulu, persiapan kamar operasi,
ketersediaan komponen penolong (dokter orthopaedic, asisten operasi, teknisis radiografi, dan
personel lain di kamar operasi).

Irigasi Luka
Irigasi luka merupakan komponen penting dalam usaha mencegah infeksi setelah fraktur terbuka,
karena dapat menurunkan bacterial load dan menyingkirkan benda asing. Meskipun banyak
guideline menginstruksikan untuk member irigasi sebanyak mungkin, namun terdapat data yang
membahas mengenai berapa banyak volume yang diperlukan untuk irigasi luka pada fraktur
tebuka. Karena kantung irigasi mengandung 3 L cairan, beberapa merekomendasikan pemberian
1 kantong (3 L) untuk irigasi fraktur terbuka tipe I, 2 kantong (6L) untuk tipe II, dan 3 kantong
(9L) untuk tipe III.
Mengenai cara pemberian irigasi, aliran/lavase tekanan dan pulsatil tinggi nampaknya
lebih merupakan cara yang paling efektif untukmenyingkirkan bakteri dan kontaminan yang lain.
Dengan sistem irigasi pulsatil dengan batuan tenaga batrai (misalnya, Surgilav Plus Debridement
System, Stryker Instruments, Kalamazoo, Michigan), tekanan yang dihasilkan berkisar 70 lb psi
dengan 1050 pulsasi per menit untuk aliran bertekanan tinggi (untuk aliran tekanan rendah
tekanan yang dihasilkan adalah 14 lb psi dan 550 pulsasi per menit). Anglen dkk menemukan
bahwa aliran tekanan dan pulsatif tinggi mampu meningkatkan penyingkiran bakteri penghasil
lumpur dari sekrup stainless steel (logam anti karat) dengan factor 100. Pada sebuah studi in
vitro dengan model tibia, Bhandari dkk menemukan bahwa meskipun aliran tekanan dan pulsatil
rendah dapat menyingkirkan bakteri dan kontaminan 3 jam setelh fraktur, namun hanya aliran
tekanan dan pulsatil yang tinggi yang dapat menyingkirkan bakteri dan kontaminan 6 jam setelah
fraktur.
Terdapat data dari studi binatang coba dan in vitro yang menyatakan bahwa aliran/lavase
tekanan dn pulsatil yang tinggi memiliki efek samping yang merugikan. Pada studi in vitro oleh
Bhandari dkk, aliran tersebut dapat secara signifikan menyebabkan kerusakan tulang secara
makroskopis jika dibandingkan denganlavase tekanan dan pulsatil rendah (p<0.001). Selain itu,
analisa histology menunjukan bahwa aliran tekanan dan pulsatil tinggi berhubungan dengan
defek cortical tulang yang secara signifikan lebih besar dan banyak jika dibandingkan dengan
aliran tekanan dan pulsatil rendah (p<0.001). pada studi dengan tikus, Adili dkk, menemukan
bahwa aliran/lavase tekanan dan pulsatile besar pada fraktur terbuka diafise femoral tanpa
kontaminasi berhubungan dengan penurunan kekuatan mekanik pada minggu ke-3 (namun tidak
pada minggu ke-6). Selain itu Hassnger dkk, menemukan juga bahwa lavase/aliran tersebut
berkaitan dengan semakin dalamnya penetrasi bakteri ke otot domba. Namun, berdasarkan
pengetahuan kami, tidak terdapat studi klinis mengenai aliran tekanan dan pulsatil tinggi maupun
rendah untuk irigasi luka fraktur terbuka. Oleh karena itu, tidak terdapat data yang sufisien
untuk membuat suatu rekomendasi mengenai cara irigasi (table II).
Larutan garam fisiologis steril, baik dengan additive maupun tidak, biasanya digunakan
sebagai cairan irigasi. Additive yang tersedia dapat dibagi menjadi 3 kategori umum: antiseptic,
seperti iodium providon (betadine), klorheksidin glukonat (hibitane), dan heksaklorofen
(pHisoHex); antibiotic seperti bacitracin;dan sabun yang berfungsi untuk menyingkirkan bakteri
(ketimbang membunuh bakteri). cairan-cairan tersebut telah diuji dan dibandingkan dalam
banyak studi. Pada studi yang dilakukan oleh Anglen dkk, sabun merupakan additive yang paling
efektif untuk menyingkirkan bakteri penghasil lumpur pada sekrup logam baja anti karat,
sedangkan antibiotic tidak memberikan perbedaan efek yang signifikan jika dibandingkan
dengan larutan garam fisiologis (p>0.05). Bhandari dkk, membandingkan berbagai larutan irigasi
in vitro dan menemukan bahwa povidone-iodine, chlorhexidine gluconate, dan sabun cair paling
efektif untuk menyingkirkan bakteri dari tulang, sabun memiliki efek samping yang paling
minimal terhadap fungsi osteoblas maupun osteoclast.
Baru-baru ini, Anglen melaporkan hasil penelitian prospektif, randomized, controlled
trial membandingkan sabun non steril dengan larutan bacitracin untuk irigasi 398 kasus fraktur
terbuka ekstremitas bawah. Cariran irigasi tersebut menganding 80 mL sabun cair (Triad
Medical, Franklin, Wisconsin) atau 100,000 unit bacitracin (Baciim; Pharma-Tek, Huntington,
New York) dalam 3 L kantong larutan normal saline. Volume irigasi bervariasi tergantung dari
tipe fraktur tebuka (3 L untukr type I, 6 L untuk type II, dan 9 L untuk type III) dan dialirkan
dengan power irrigator system (Pulsavac; Zimmer, Dover, Ohio). Tidak terdapat perbedaan
bermakna terhadap angka kejadian infeksi dan terkait dengan proses penyembuhan tulang,
namun proses penyembuhan luka lebih baik pada kelompok dengan bacitracin (9.5% [19 dari
199] vs 4% [8 dari 199]; p = 0.03).
Karena studi yang dilakukan memiliki kekuatan yang adekuat, kegagalan untuk
mendeteksi perbedaan yang tidak signifikan terhadap angka kejadian infeksi mungkin tidak
berhubungan dengan jumlah sampel. Oleh karena itu, berdasarkan temuan ini, tidak mungkin
untuk dianjurkan pemilihan additive tertentu untuk irigasi luka fraktur.

Peran Fiksasi
Fiksasi faraktur tebuka memiliki berbagai keuntungan seperti melindungi jaringan lunak
(soft tissue) dari fragmen fraktur, meningkatkan efektifitas rawat luka, dan memicu
penyembuhan luka di jaringan, merangsang mobilisasi dan rehabilitasi dan mungkin juga
menurunkan angka infeksi. Pada pasien dengan jejas yang multiple, fiksasi fraktur juga dapat
menurunkan resiko acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan kegagalan organ multiple
(MODS) yang mungkin dikarenakan efek menenangkan respon inflamasi. Sejumlah metode
telah tersedia guna memfiksasi fraktur terbuka yakni meliputi splinting (pembidaian), cast
immobilization (gibs) , atau traksi, fiksasi eksternal, plat dan sekrup, dan intramedularry nailing
atau pemakuan intrameduler (dengan atau tanpa reaming). Paku intrameduler bisa solid, dengan
slot yang cekung, atau berkanul, dengan paku solid menunjukan tahanan yang lebih besar
terhadap infeksi pada studi dengan hewan coba.
Pada situasi apapun, pilihan terbaik untuk fiksasi tergantung dari jumlah factor yang
mempengaruhinya yaitu tukang yang terlibat, lokasi fraktur, lokasi luka, dan kondisi pasien.

Femur
Sampai saat ini, terdapat konsensus mengenai stabilisasi fraktur terbuka diafise femur.
Kebanyakan ahli bedah menggunakan intramedullary nailing dengan reaming pada awalnya, dan
terdapat data yang sufisien yang mendukung hal ini (table II). Pada thun 1989, Brumback dkk,
yang diterapi dengan reamed intramedullary nailing dan mencatat tidak terdapat infeksi pada 62
pasien dengan fraktur terbuka tipe I, II dan IIIA, dan hanya terjadi 3 kasus infeksi (11%) dari 27
pasien fraktur terbuka tipe IIIB. Bahkan, angka kejadian infeksi tidak berbeda signifikan antara
pasien yang diterapi dalam 24 jam paska fraktur, maupun lebih dari 24 jam paska fraktur. Pada
tahun yang sama, Bone dkk, melaporkan sebuah studi prospektif randomized, controlled trial
membandingkan stabilisasi dini (dalam 24 jam) dan stabilisasi terlambat (lebih dari 48 jam) dari
178 pasien fraktur tebuka dan tertutup. Dan tidak terdapat perbedaan signifikan angka terjadinya
komplikasi pulmonal (ARDS, emboli lemak, dan pneumonia) baik pada pasien dengan fraktur
femur saja, maupun pasien yang juga disertai jejas multiple. Lama rawat inap lebih pendek pada
pasien yang diterapi dalam 24 jam. Sejak saat itu sejumlah studi juga mengkonfirmasi outcome
pasien yang baik jika dilakukan intramedulary nailing sedini mungkin pada fraktur terbuka
femur. Pada studi kecil dengan 18 pasien fraktur terbuka femur yang diterapi dengan fiksasi
eksternal dan disertai intramedullary nailing, Wu dan Shih melaporkan bahwa infeksi
berkembang pada 2 pasien dan penyatuan kembali tulang (union) terjadi pada 14 pasien.

Tibia
Tatalaksana fraktur terbuka tibia yang optimal masih belum jelas. Pada tahun 1980an, sejumplah
penelitian menyatakan bahwa external fiksasi memberikan outcome yang baik. Bach dan
Hansen melakukan sebuah studi prospektif, randomized, controlled trial membandingkan antara
fiksasi eksternal dan internal dengan plat dan menyatakan bahwa, meskipun kedua metode
tersebut memberikan outcome yang bagus, fiksasi eksternal nampak memberikan komplikasi
yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan fiksasi internal. Kira-kira pada tahun yang sama,
Edward dkk, melaporkan hasil studi prospektif dari 202 pasien dengan fraktur terbuka os tibia
tipe III yang diterapi dengan fiksasi eksternal dan menyimpulkan bahwa metode tersebut sukses
dalam menterapi fraktur terbuka os tibia yang berat.
Sepanjang tahun 1990, sejumlah penelitian menyatakan bahwa intramedullary nailing
(pemakuan intrameduler) banyak digunakan pada fiksasi ekternal. Henley dkk, melaporkan hasil
studinya dengan 172 pasien fraktur terbuka os tibia (tipe II, IIIA dan IIIB) dan menyatakan
enreamed intramedullary nailing berkaitan dengan lebih rendahnya angka kejadian mal-
alignnment jika dibandingkandengan fiksasi eksternal (8%[8 dari 104] vs 31% [20 dari 70]; p
<0.01), lebih sedikit prosedur berikutnya yang harus dilakukan (mean 1,7 vs 2,7; p = 0.001), dan
lebih rendahnya angka infeksi (13% [14 dari 104] vs 21% [15 dari 70]; tidak signifikan p = 0.73)
Schandelmaier dkk mereview hasil dari tatalaksana fraktur terbuka os tibia pada 114 kasus
dengan jejas jaringan lunak yang berat dan menemukan bahwa unreamed nailing berhubungan
dengan lebih sedikitny aprosedur terapi yang harus akan dijalani (mean 0.81 vs 1.84; p< 0.001)
dam outcome fungsional yang lebih baik (mean Karlstrom outcome score 31,4 vs 29,6; p = 0.02.
akhirnya Tornetta dkk melakukan studi prospektif randomized, controlled trial membandingkan
unreamed intramedullaru nailing dengan dengan fiksasi eksternal pada fraktur terbuka tibia tipe
IIIB. Meskipun sample studi sangat kecil (29 pasien fraktur) membuat tidak ditemukannya
perbedaan bermakna, para peneliti menyimpulkan bahwa nailing lebih disuki karena dikira
lebih mudah tata laksananya, dan meningkatnya kepuasan pasien.
Pada tahun-tahun terkini, perdebatan telah terjadi pada apakah intramedullary nailing
sebaiknya dilakukan dengan atau tanpa reaming. Karena reaming diketahui memiliki manfaat
dalam tatalaksana fraktur tertutup os tibia yakni waktu yang lebih singkat dalam penyembuhan
tulang, rendahnya prevalensi malunion (tidak menyatunya kedua fragmen tulang yang fraktur),
dan rendahnya pemakaian sekrup- studi pada hewan coba menunjukan penurunan aliran darah ke
tulang tibia pada cortical. Hal ini juga bis terjadi pada fraktur terbuka, dimana jaringan tubuh
yang rusak dan suplai darah yang berkurang, merupakan factor yang krusial dalam
pemnyembuhan dan pencegahan infeksi.
Studi-studi yang memandingkan metode pemakuan (nailing) reamed dan unreamed
pada pasien dengan fraktur terbuka os tibia masih belum tersimpulkan dengan jelas. Keating
dkk, melakukan sebuah studi prospektif , randomized, controlled trial pada 88 pasien dengan
fraktur os tibia yang diterapi dengan intramedullary nailing baik dengan reamed maupun
unreamed , dan menunjukan hasil tidak terdapat perbedaan angka kejadian infeksi maupun
nonunion (tidak menyatu) atau outcome fungsional, meskipun sekrup yang lepas sangat jarang
terjadi pada kelompok yang diterapi dengan reaming (p = 0.014). Finkemeier dkk, menemukan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nailing reamned dan nonreamed terhadap
penyatuan (union) tulang, jumlah prosedur tambahan yang harus dilakukan, dan kejadian infeksi
(p > 0.05). Studi tersebut merupakan studi prospektif, randomized, controlled trial pada 45
Ziran dkk, juga mereview secara retrospektif hasil dari 51 pasien dengan fraktur terbuka os tibia
dan menemukan angka kejadian nonunion (tidak menyatunya tulang) dan infeksi yang sama baik
pada nailing reamned maupun nonreamed. Namun, terdapat penurunan angka diperlukannya
prosedur tambahan pada grup dengan reaming (41% [9 dari 22] vs 69% [20 dari 29]; p<0.05).
oleh karena itu, kegagalan untuk mendeteksi perbedaan signifikan antara intramedullary nailing
dengan reaming maupun tidak dapat disebabkan oleh kecilnya sampel (kekuatan penelitian yang
tidak adekuat). Bhandari dkk juga gagal menunjukan perbedaan yang signifikan terkait dengan
infeksi, nonunion (tidak menyatunya tulang), atau reoperasi. Sebuah studi definitive
membandingkan nailing dengan reaming dan unreaming sedang berjalan, dan hasilnya masih
belum tersedia. Sampai saat ini, masih dimungkinkan untuk memberikan rekomendasi untuk
tidak menganjurkan reaming pada fiksasi fraktur os tibia (table II).

Perawatan dan penutupan luka


Secara historis, penutupan luka pada fraktur terbuka telah tertunda guna mencegah infeksi
Clostridium dan organisme kontaminan lainny . Strategi pendekata terapi ini pada umumnya
diterima terutama pada kasus fraktur terbuka yang didapat di area pertanian atau peternakan yang
mengandung banyak kontaminan. Sedangkan di negara-negara maju banyak para ahli ortopedi
melakukan penutupan luka pada fraktur terbuka sesegera mungkin setelah dilakukan debrideman
secara adekuat. Dalam seting dimana bakteri nosokomial merupakan sumber infeksi pada
fraktur terbuka, beberapa penelitian telah melaporkan outcome lebih baik secara signifikan pada
penutupan sedini mungkin luka fraktur terbuka (dalam waktu tujuh hari) dibandingkan dengan
penutupan yang tertunda (p <0,05). selain itu , sejumlah studi menyatakan terdapat out come
yang sangat baik dengan penutupan luka yang dilakukan dalam waktu tiga hari setelah cedera
fraktur.
Baru-baru ini, sejumlah penulis telah meneliti kelayakan penutupan luka sesegera
mungkin (dalam dua puluh empat jam setelah cedera). Dalam sebuah penelitian terhadap 119
fraktur terbuka, DeLong dkk. Tidak menemukan penutupan langsung (dalam dua puluh empat
jam) untuk dihubungkan dengan lebih tingginya angka kejadian infeksi atau nonunion ketika
dibandingkan dengan penutupan tertunda (lebih dari dua puluh empat jam) Gopal et al. secara
retrospektif meninjau hasil studi dengan delapan puluh empat pasien fraktur terbuka od tibia tipe
IIIB dan IIIC yang diterapi dengan fiksasi internal dan penutupan luka sesegera mungkin dan
melaporkan lebih rendahnya tingkat infeksi dan amputasi serta membutuhkan waktu yang lebih
singkat bagi tulang untuk menyatu pada penutupan dini luka (pada 24-72 jam) bila
dibandingkan dengan hasil penutupan terlambat (lebih dari tujuh puluh dua jam), meskipun
tidak sugnifikan (p>0.05). Akhirnya, Hertel dkk. melakukan sebuah studi retrospektif dengan
dua puluh sembilan pasien fraktur terbuka od tibia tipe-IIIA dan IIIB dan menemukan bahwa
perawatan luka secepat mungkin berkaitan dengan rendahnya tingkat infeksi (0% [nol empat
belas]) berkurangnya jumlah reoperasi (rata-rata 1,6 vs 3,9 ; p = 0,0001), dan lebih singkatnya
waktu penyatuan tulang (union) (rata-rata 5,6 bulan vs 11,6 bulan; p = 0,005) 89. Menurut
pendapat kami penutupan luka sedini mungkin paska debrideman secara adekuat adalah aman
dan dapat meningkatkan outcome pasien(Tabel II).
Sebagai catatan, kecenderungan untuk menutup luka fraktur sesegera mungkin
berlawanan dengan rekomendasi debrideman pada fraktur terbuka. Dengan debrideman pada
saat presentasi awal, dimungkinkan politrauma atau kondisi lain mungkin menyebabkan ahli
bedah meragukan adekuatnya hasil debrideman di awal tersebut. Selain itu, sangat sulit untuk
mengevaluasi viabilitas jaringan otit pada fase akut. Pada kasus ini, debrideman ulang
diperbolehkan.
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk penutupan luka termasuk menjahit luka
langsung, split-thickness skin-grafting, dan penggunaan lapisan penutup otot (muscle flaps).
Metode yang optimal tergantung pada jumlah factor yang mempengaruhi yakni, lokasi defek,
ukuran defek, cedera lain yang berkaitan, karakteristik pasien seperti jumlah fugsi tubuh yang
masih baik. Baru-baru ini, penutupan dengan batuan vaccum (vaccum assisted closure) (V.A.C.;
KCI, San Antonio,Texas) merupakan metode yang sagat berguna untuk mempecepat
penyembuhan luka dengan mengurangi edema kronis, meningkatkan aliran darah local,
meningkatkan pembentukan jaringan granulasi. Sejumlah kecil studi melaporkan penggunaann
vaccum assisted closurepada penatalaksanaan luka ortopedik, dengan outcome lyang baik. Sebagai
contoh Defranzo dkk yang menngunakan VAC dalam tatalaksana 55 pasien dengan luka pada ekstremitas
bawah dengan tulang yang terekspose dan hasilnya adalah terdapat penurunan edema jaringan,
penyunyutan ukuran luka, merangsang granulasi jaringan. Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh
Labrer dkk dimana mebandingkan VAC dengan penggunaan membrane sintetik Epigard ( Biovision,
Ilmenau, Germany) dalam tatalaksana fraktur terbuka tipe IIIA dan IIIB pada ekstremitas bawah.
VAC menunjukan outcome yang lebih baik jika dibandingkan dengan penutupan luka dengan
membrane sintetik.
VAC biasa digunakan pada akhir irigasi dan debrideman sampai luka tersebut sudah
dikatakan bersih. Setelah itu, sponge dapat diganti tiap 2 atau 3 hari sekali. VAC dapat
digunakan selama 10-12 hari pada penelitian-peneltian yang dilakukan di atas. Oleh karena itu
VAC dapat menjadi modalitas terapi yang menjanjikan, namun studi lebih lanjut perlu dilakukan
untuk membuat rekomendasi yang definitive (table II).

Terapi Tambahan
Terdapat data mengenai penggunaan terapi tambahan (additive) yang mungkin dapat digunakan
pada tatalaksana fraktur terbuka. Profilaksis cangkok tulang 9bone0grafting0 yang mana
biasanya dilakukan dalam 12 minggu setelah cedera (namun tidak sebelum 2 minggu setelah
penutupan luka) telah menunjukan bermanfat pada beberapa studi kecil. Blick dkk, melakukan
review restrospektif pada 53 pasien dengan fraktur tibia high energy (karena paparan energy
tinggi; kebanyakan tipe IIIB)yang diterapi secara profilaksisi dengan bone grafting
posteriolateral dalam waktu 10 minggu setelah cedera (8 minggu setelah penyembuhan jaringan
lunak). Pasien yang diterapi dengan bone grafting profilaksis memiliki waktu yang lebih singkat
untuk penyatuan tulang (union) jika dibandingkan dengan kontrol (rata-rata 47,7 minggu vs 57, 4
minggu). Pada studi yang dilakukan Trabulsy dkk juga menunjukan hal yang serupa, yakni
dengan menggunakan studi prospektif pada 45 pasien fraktur tibia IIIB, menunjukan pasien yang
diterapi dengan bone grafting 8-12 minggu setelah cedera memiliki waktu yang lebih singkat
untuk penyatuan osseus (mean, 41 minggu vs 52 minggu). Akan tetapi, pemberian fiksasi
eksternal merupakan sbabilisasi pasien yang utama pada studi-studi tersebut, satu hal yang perlu
diperhatikan ketika mengenerailasi hasil studi ke fraktur terbuka os tibia yang diterapi dengan
intramedullary nailing. Stidi lain juga dibutuhkan untuk menciptakan rekomendasi yang
definitive terkait penggunaan profilaksis bone grafting pada tatalaksana fraktur terbuka (table II).
Saat ini, terdapat bukti terkait penggunaan recombinant human bone morphogenetic
protein-2 (rhBMP-2). Pada studi multisenter, prospektif , randomized, controlled trial dari 450
pasien dengan fraktur terbuka os tibia, penggunaan implant rhBMP-2 mampu secara signfikan
menurunkan resiko untuk intervesi sekunder berikutnya (26% vs 46%; risk ratio = 0.56; 95%
confidence interval = 0.40 to 0.78; p = 0.0005). pasien yang diterapi dengan rhBMP-2 juga
memiliki angka kejadian kegagalan hardware yang lebih rendah (11% vs 22%; p = 0.0476),
penyembuhan fraktur yang lebih cepat, (median healing time, 22 minggu vs 52 minggu), dan
percepatan penyembuhan luka (83% vs 65% sembuh pada minggu ke-6; p = 0.001). Terapi
fraktur terbuka os tibia tipe IIIa dan IIIB dengan rhBMP-2 berhubungan dengan penurunan
resiko infeksi (21% vs 40%; p = 0.0234) dan prosedur (9% vs 28%; p = 0.0065) dan bone
grafting (2% vs 20%; p = 0.0005). Diantara semua pasien yang diterapi dengan reamed
intramedullary nailing (untuk semua jenis fraktur), penggunaan rhBMP-2 berkaitan dengan
penurunan kecenderungan untuk diperlukannya terapi invasive pada prosedur (8% [5 dari 65] vs
15% [7 dari 48 ]) dan bone-grafting (2% [1 dari 65] vs 6% [3 dari 48]), namun hasilnya tidak
signifikan (p = 0.35 and 0.31). Oleh karea itu karena analisisnya tidak adekuat dan dilakukan
post hoc, perlu diperhatikan ketika mengambil kesimpulan. Selain itu studi lebih lanjut rhBMP-2
dalam tata laksana fraktur terbuka khususnya dengan tingkat keparahan yang tinggi (Table II).

Ulasan
Fraktur terbuka menunjukan tantangan tersendiri bahkan bagi para ahli bedah orthopaedi.
Antibiotic dapat diberikan sesegera mungkin. Debrideman sedini mungkin perlu dilakukan,
meskipun terdapat kontroversi mengenai aturan 6 jam “6 hours rule”. Irigasi yang banyak
sangatlah penting, namun metode pemberian dan larutan yang dipakai irigasi yang optimal masih
dalam petanyaan. Fiksasi internal sedini mungkin dapat dikatakan aman, dan memiliki berbagai
keuntungan jika dilakukan dengan metode stabilisasi yang tergantung dari tulang yang terkait
dan factor-faktor lain. Bukti yang ada saat ini mendukung hal-hal mengenai tren penutupan dan
perawatan luka pada fraktur terbuka. VAC nampak mampu mengurangi ukuran luka,
mempercepat penyembuhan luka, namun studi lain di bidang orthopaedi perlu dilakukan. Terapi
tambahan seperti penggunaan profilaksis bone grafting dan recombinant human bone
morphogenetic protein-2 (rhBMP-2) mungkin dapat mempercepat penyembuhan tulang dan
memingkatkan outcome pasien.

Anda mungkin juga menyukai