Anda di halaman 1dari 24

“KOLELITIASIS”

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Endokrindigestif

Disusun oleh:
Kelompok 4
1. Alda Titania (P07220216002)
2. Annisya Yusnia (P07220216006)
3. Chindy Oktavinita (P07220216009)
4. Deti Gusvena Sugiantari (P07220216011)
5. Siska Elfrida Simorangkir (P07220216035)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB I

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan masalah

1.3 Tujuan Penulisan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Kolelitiasis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu,
biasanya berhubungan dengan batu empedu yang tersangkut pada ductus
kistik, menyebabkan distensi kandung empedu (Doenges, Marilynn, E., 1999).
Kolelitiasis adalah (kalkulus atau kalkuli, batu empedu), biasanya
terbentuk dalam kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk
cairan empedu. Batu empedu memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang
sangat bervariasi (Smeltzer, Suzanne, C. 2001).
Kolelitiasis adalah pembentukan batu empedu yang biasanya terbentuk
dalam kandung empedu dari unsur-unsur pada yang membentuk cairan empedu
(Brunner & Suddarth, 2011).
Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu
kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan
fosfolipid (Price & Wilson, 2005).
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat di dalam kandung
empedu tau saluran empedu (ductus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan
Sari, 2011). Batu empedu bisa terdapat pada kantung empedu, saluran empedu
ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatic. Bila terletak di dalam
kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak didalam
saluran empedu ekstra hetak (ductus koledokus) disebut koledokolitiasis,

2
sedangkan bila terdapat didalam saluran empedu intra hepatic disebelah
proximal ductus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis.
Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak dibawah hati yang
mengkonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam
usus. Kebanyakan batu ductus koledokus berasal dari batu kandung empedu,
tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu
mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di
dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu
(kolangitis). Jika salurann empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan
akan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar
melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.
Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung
empedu, sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian
menaikkan batu empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari
makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai ke kantong
empedu. Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar
tanpa terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu
sehingga cairan yang berada di kantong empedu mengendap dan menimbulkan
batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara
di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan lokal yang tidak dirasakan
pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih sering timbul
akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kolelitiasis adalah batu empedu yang
terletak pada saluran empedu yang disebabkan oleh factor metabolic antara lain
terdapat garam-garam empedu, pigmen empedu dan kolesterol, serta timbulnya
peradangan pada kandung empedu.

2.2 Patofisiologi
Fungsi kandung empedu, yaitu:

3
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang
ada di dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan
empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari
usus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah diubah
menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam
empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar
waktu makan, empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu.
Empedu hati tidak dapat segera masuk ke duodenum, akan tetapi setelah
melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan ke
kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh
darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu
dalam kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu
hati.
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode
interdigestif dan diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan.
Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh
hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam
keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam
kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter
relaksasi, dan empedu mengalir ke duodenum.
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon
duodenum, yaitu kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama
bagi pengosongan kandung empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih
kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding
kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120
menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air,
lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat
terlarut organik adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid.

4
Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung
empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di
dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf
sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu
mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.
Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan
penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh,
terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan
kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol,
lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses
penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk
membantu menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu)
dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel darah merah yang
dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan
selanjutnya dibuang dari tubuh.
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh
hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai
sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami
sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil
garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri
memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur
pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja. Hanya sekitar
5% dari asam empedu yang disekresikan dalam feses.
Batu-batu (kalkuli) dibuat oleh kolesterol, kalsium bilirubinat, atau
campuran, disebabkan oleh perubahan pada komposisi empedu. Batu
empedu dapat terjadi pada ductus koledukus, ductus hepatica, dan ductus
pancreas. Kristal dapat juga terbentuk pada submucosa kandung empedu
menyebabkan penyebaran inflamasi. Sering diderita pada usia diatas 40
tahun, bayak terjadi pada wanita (Doenges, Marilynn, E).

2.3 Etiologi

5
Ada beberapa literature menjelaskan mengenai etiologi dari
kolelitiasis. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko
dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang,
semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko
tersebut antara lain:

1. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis


dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

6
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama
untuk pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi
yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan
(medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total
parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan
kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass
lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu,
serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker
prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat
fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui
sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol.
Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu
dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.
Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu.
Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya
adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar
identik fraternal.
8. Infeksi bilier

7
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian
pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan
pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler
sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan
atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan
agen pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan
meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu
empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
12. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

2.4 Manifestasi Klinis


1. Asimtomistik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25%
pasien yang benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu
bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan
hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin
ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau
evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.

8
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat
mengalami dua jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit
pada kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi
pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau
kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan
nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.

2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier

Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu


akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita
panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat
mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan
atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh
makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berahir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan
mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah
memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris
dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya.
Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak
mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien
rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan presisten.

Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi


kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat
tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus
kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago
kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan
rongga dada.

9
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian
morfin dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu
dihindari.

3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu
dengan presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus
koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi
dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini
membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering
disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.

4. Perubahan Warna Urin dan Feses


Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna
sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan
tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.

5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D,
E, K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala
defisiensi vitamin-vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama.
Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus
sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses
inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu
empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat
mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis
generalisata.

10
2.5 Terapi/Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan Medis

1. Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak


menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi
serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak
meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu
dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.

2. Pemeriksaan sinar-X abdomen

Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada


kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan
penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu
empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak
melalui pemeriksaan sinar-X.

11
Gambar 3: hasil sinar-x pada kolelitiasis

3. Foto polos abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran


yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang
bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung
cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto
polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar di fleksura hepatika. Walaupun teknik ini
murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai
diagnostiknya rendah.

Gambar 4: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis

4. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral


sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat

12
dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada
prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG
tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan
memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada
malam harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan
distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara
yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas
yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran
saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG
juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab
lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit
dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat
bermanfaat dan merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi
kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu kandung
empedu pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran
opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian, manfaat US
untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan
sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi
BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat umumnya
batu terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan
kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus
BSE.

13
Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis

5. Kolesistografi

Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan


utama, namun untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras
cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk
melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran
batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta
mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang
diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu
diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi
oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya
akan Nampak pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada
keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum
diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras,
dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras

14
tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga
memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan
ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi

6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)

Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur


secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat melakukan
laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik
yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum pasrs
desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus dan
duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam
duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi
percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung
struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus
bagian distal untuk mengambil batu empedu.

15
Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)

Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan


kontras secara langsung ke dalam percabangan bilier. Karena
konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan relative besar, maka
semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup
duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus,
duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya
dengan jelas.

8. Computed Tomografi (CT)

CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat


untuk menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu
dan koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal
dibanding US.

16
Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis

9. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance


cholangiopancreatography (MRCP)

B. Penatalaksanaan keperawatan

Pengkajian kegawatdaruratan

a. Pengkajian primer
Airway

17
Umumnya pasien kolelitiasis mengalami muntah.

Masalah keperawatan :

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d sekresi yang tertahan

2. Risiko aspirasi

Emergency treatment :

 Kaji adanya penyumbatan jalan napas seperti air ludah, muntahan, dan
secret.
 Pasien dimiringkan ke kanan untuk mencegah aspirasi ludah atau
muntahan.
 Lidah dijaga agar tidak menghalangi jalan nafas atau tergigit.

Breathing
Pada pasien kolelitiasis dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada
abdomen kanan atas yang menjalar kepunggung atau bahu kanan. Pada periode
nyeri hebat ini pasien biasa mengalami dispneu.
Masalah keperawatan : Pola nafas tidak b.d hiperventilasi
Emergency treatment :
1. Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya
pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan.
2. Mengatasi nyeri hebat secepat mungkin.
3. Diberikan analgetik secara intravena jika klien masih dalam keadaan nyeri
hebat.
4. Kolaborasi dalam Pemberian O2 (oksigen)

Circulation
Pada pasien dengan kolelitiasis umumnya tidak mengalami gangguan pada
sirkulasi

Disability

18
Pada pasien dengan kolelitiasis umumnya mempunyai kesadaran penuh atau
composmentis.

b. Pengkajian sekunder.
1. Biodata/Identitas.
Biodata pasien mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial
anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, alamat.
2. Riwayat Penyakit.
a. Riwayat penyakit sekarang
 Ditanyakan kapan pertama kali pasien di diagnosa kolelitiasis?
 Apakah nyerinya sering timbul?
 Kualitas nyeri?
 Lamanya serangan?
b. Riwayat penyakit dahulu
 Ditanyakan apakah pernah di rawat di rumah sakit dengan penyakit
yang sama?
c. Riwayat kesehatan keluarga
 Ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang mengalami penyakit
yang sama?
 Riwayat sosial.
 Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu
dikaji siapakah yanh mengasuh anak?
Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman
sebayanya ?
 Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan.
 Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
 Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
a. Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat.

19
b. Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan
tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap
perawatan dan tindakan medis ?
c. Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita,
pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada
anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan
pertolongan pertama.
 Pola nutrisi
 Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan
bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi
oleh anak ?
 Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera
makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
 Pola eliminasi.
 BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis
ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ?
Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
 BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ?
Bagaimana konsistensinya lunak, keras, cair atau berlendir ?
 Pola aktivitas dan latihan.
 Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam?
 Aktivitas apa yang disukai?
 Pola tidur/istirahat.
 Berapa jam sehari tidur?
 Berangkat tidur jam berapa?
 Bangun tidur jam berapa?
 Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang?
3. Data Obyektif.
 Pemeriksaan Umum.
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran,
tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu.

20
 Pemeriksaan Fisik.
 Kepala.
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi
bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana
keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?
 Rambut.
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain
rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai
rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan
mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
 Muka/ wajah.
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis
tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah
tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus,
opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?
 Mata.
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil
dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva
?
 Telinga.
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda
adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah
belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya
pendengaran.
 Hidung.
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat
jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya,
jumlahnya ?
 Mulut.

21
Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis?
ada caries gigi?
 Tenggorokan.
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda
infeksi faring, cairan eksudat ?
 Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ?
Adakah pembesaran vena jugulans ?
 Thorax.
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak
pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
intercostale? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
 Jantung.
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ?
Adakah bunyi tambahan ?
Adakah bradicardi atau tachycardia ?
 Abdomen.
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ?
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ?
Adakah tanda meteorismus?
Adakah pembesaran lien dan hepar ?
 Kulit.
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya ?
Apakah terdapat oedema, hemangioma ?
Bagaimana keadaan turgor kulit ?
 Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi
kejang?
Bagaimana suhunya pada daerah akral ?

22
 Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina,
tanda-tanda infeksi ?

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

23
Daftar Pustaka

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/34994/Chapter%20II.pdf?
sequence=3&isAllowed=y

https://www.academia.edu/19742301/LAPORAN_PENDAHULUAN_KOLELITI
ASIS?auto=download

https://id.scribd.com/doc/312734268/LAPORAN-PENDAHULUAN-kolelitiasis

24

Anda mungkin juga menyukai