Anda di halaman 1dari 19

KOMUNIKASI DAN KONSELING PADA KLIEN

DENGAN HIV/AIDS

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 9 A

Viana Rebecca Siahaan (032017005)

Gracia Fransiska Hasibuan (032017025)

Krisdiana Simanjuntak (032017026)

Iestin Bernice Theodora Harefa (032017031)

Francine Angelica Van Bert Siregar (032017050)

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK

STIKES SANTA ELISABETH MEDAN

TAHUN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dimana
dengan rahmat dan berkat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul, “Komunikasi dan Konseling pada Klien dengan HIV/AIDS.” Dalam
penulisan makalah ini penulis mengalami banyak kendala baik dari waktu yang
terlalu singkat, referensi buku yang kurang dan keterbatasan waktu, tetapberkat
kerjasama yang baik, penulis mampu menyelesaikannya dengan baik.Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk penulis
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi perbaikan makalah ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada para dosen dan
teman semua yang sudah membantu memberikan saran dan kritik.Harapan penulis,
semoga makalah ini bisa membantu kita terutama menambah wawaasan dan
pengetahuan kita dalam proses belajar mengajar KeperawatanHIV/AIDS. Akhir
kata penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, Tuhan
menyertai kita.

Medan, Juni 2019


Penulis,

Kelompok 9A
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………... i


Daftar Isi …………………………………………………………………....... ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………...……………........1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………….........2
1.3 Tujuan Penulisan…....…………………………………………………........2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Defenisi, Ciri-ciri dan Tujuan Utama Konseling.............................…….....3
2.2 Konseling HIV/AIDS..................................................................................5
2.3 Tujuan Konseling HIV.................................................................................5
2.4 Ciri-ciri Konseling HIV...............................................................................6
2.5 Petugas Konseling.......................................................................................6
2.6 Konseling Versus Edukasi Kesehatan.........................................................7
2.7 Voluntary Counseling Testing (VCT).........................................................7
2.8 Tahap Konseling..........................................................................................8
2.9 Prinsip Komunikasi Konseling..................................................................12
2.10 Konseling Dengan Caregiver Pada Klien ODHA................................12

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………..........15

Daftar Pustaka................................................................................................16
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia, banyak penyakit yang sudah menjadi masalah kesehatan bagi
masyarakat, salah satunya HIV/AIDS. Laporan Kementerian Kesehatan, sejak
pertama kali kasus HIV ditemukan pada tahun 1987 hingga bulan September
2014, tercatat sebanyak 150.296 orang telah terinfeksi HIV, dimana 55.799
orang diantaranya telah pada tahap AIDS. (www.aidsindonesia.or.id).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS pasal 3 dijelaskan bahwa tujuan
penanggulangan HIV/ AIDS yaitu a) menurunkan hingga meniadakan infeksi
HIV baru; b) menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh
keadaan yang berkaitan dengan AIDS; c) meniadakan diskriminasi terhadap
ODHA; d) meningkatjumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Karanganyar
tercatat mencapai 238 orang dan 68 orang diantaranya telah meninggal dunia.
(www.timlo.net). Konselor diberikan pelatihan VCT guna menunjang program
penanggulangan dan penyebaran HIV/AIDS.
Dalam membantu ODHA, konselor diharapkan memiliki keterampilan
komunikasi antarpribadi yang baik untuk membangun kepercayaan diri klien
sehingga tujuan dari aktivitas komunikasi kesehatan dapat tercapai secara
efektif. Pada praktik konseling berfokus pada konselor berhadapan secara face
to face dengan ODHA dalam kondisi yang tertutup. Adanya interaksi
antarpribadi yang terbangun dengan baik, tentu saja akan memudahkan
konselor dalam menyampaikan pesan-pesan kesehatan guna merubah perilaku
beresiko dan meningkatkan kemampuan ODHA menghadapi tekanan dari
lingkungan.
Voluntary Conseling Testing menunjukkan hasil bahwa komunikasi
antarpribadi antara konselor dan klien sangat berpengaruh dalam
pembentukkan konsep diri ODHA. Meski awalnya ODHA mengalami shock,
takut, sedih, dan cemas ketika dinyatakan positif HIV karena kurangnya
pemahaman dan informasi mengenai HIV/AIDS. Namun, setelah melakukan
konseling dan bertambahnya pemahaman tentang HIV/AIDS, semakin kuat
pula keinginan mereka untuk hidup lebih baik.
Hasil dalam penelitian ini yaitu membangun kedekatan dengan pasien HIV
mutlak diperlukan, caranya dengan menanamkan kepercayaan diri pasien HIV
kepada konselor sampai timbul keterbukaan. Penggunaan komunikasi antar
pribadi untuk menimbulkan perasaan empati, keakraban dan keterbukaan
antara dokter dan pasien. Tujuan akhir dalam program konseling VCT ini
adalah agar pasien HIV dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
mempunyai motivasi dan semangat yang kuat untuk berjuang hidup.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah defenisi, ciri-ciri, tujuan dari konseling ?
b. Apakah defenisi dari Konseling HIV/AIDS?
c. Apakah tujuan dari Konseling HIV?
d. Bagaimanakah ciri-ciri Konseling HIV ?
e. Siapakah petugas Konseling HIV?
f. Apakah perbedaan dari Konseling HIV dan Edukasi Kesehatan ?
g. Apakah Voluntary Counseling Testing ?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Agar mahasiswa/i mampu melakukan konseling kepada ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS) sesuai dengan prosedur dan prinsip pemberian
konseling.
b. Agar mahasiswa/i mampu mengetahui perbedaan antara pemberian
konseling dan edukasi kesehatan
2. BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Defenisi, Ciri-ciri dan Tujuan Utama Konseling
A. Defenisi Konseling

Gunarsa S (2000) merangkum pendapat beberapa ahli yang


mendefenisikan konseling sebagai berikut :

a. Roblis (1942) mengatakan bahwa konseling adalah hubungan yang


bebas dan berstruktur dengan cara membiarkan klien memperoleh
pengertian secara mandiri yang membimbingnya untuk menentukan
langkah positif ke arah orientasi baru
b. Pepinsky (1954) mengatakan bahwa konseling merupakan interaksi
yang :
- Terjadi antara 2 orang, yaitu satu disebut sebagai konselor dan lainnya
sebagai klien.
- Berlangsung dalam kerangka profesional
- Diarahkan agar memungkinkan terjadinya perubahan perilaku pada
klien
c. Smith (1955) mengatakan bahwa konseling adalah proses yang terjadi
dalam hubungan pribadi antara seseorang yang mengalami kesulitan
dengan seorang profesional terlatih berpengalaman, dan
pengalamannya mungkin dapat digunakan untuk membantu orang lain
sehingga mampu memecahkan persoalan pribadinya
d. Blocker (1966) mengatakan bahwa konseling adalah upaya menolong
seseorang agar menyadari berbagai reaksi pribadi terhadap pengaruh
perilaku lingkungan dan juga membantu seseorang menjalin makna dari
perilakunya. Konseling juga membantu klien dalam membentuk dan
memperjelas rangkaian dari tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku
selanjutnya.
e. Lewis (1970) mengatakan bahwa konseling adalah proses ketika
seseorang mengalami kesulitan(klien) dibantu untuk merasakan dan
selanjutnya bertindak dengan cara yang lebih memuaskan dirinya
melalui interaksi dan seseorang yang tidak terlihat yaitu konselor.
Konselor memberikan informasi dan reaksi untuk mendrong klien
mengembangkan perilaku agar dapat berhubungan secara lebih efektif
dengan dirinya sendiri dan lingkungannya.
f. Elinsberg (1983) mengatakan bahwa konseling menambah kekuatan
pada klien untuk menghadapi, mengikuti aktivitas yang mengarah pada
kemajuan., dan untuk menentukan suatu keputusan konseling sehingga
membantu klien agar mampu menguasai masalah yang sedang dan
kelak akan dihadapi.

Beberapa faktor penting dalam konseling adalah bahwa :

a. Konseling berhubungan dengan tujuan untuk membantu orang lain


menentukan pilihan dan tindakannya
b. Dalam proses konseling terjadi proses belajar
c. Terjadi perubahan dan perkembangan kepribadian

B. Ciri-Ciri Konseling
1. Konseling berkaitan dengan kegiatan memengaruhi secara sengaja
agar terjadi perubahan perilaku pada sebagian dari kepribadian
klien
2. Tujuan dari konseling adalah untuk membuat kondisi yang
memudahkan terjadinya perubahan yang disengaja pada sebagian
diri klien
3. Seperti halnya dalam semua hubungan pada klien harus ada
pembatasan untuk hal-hal yang bersifat pribadi bagi konselor.
Hanya hal yang berhubungan dengan penyakit saja yang dibahas
4. Kondisi yang mempermudah terjadinya perubahan perilaku
diperoleh melalui wawancara
5. Kegiatan mendengarkan harus ada pada konseling, tetapi tidak
semua konseling adalah mendengarkan
6. Konselor harus memahami kliennya
7. Konseling dilakukan dengan tertutup (privacy) dan diskusi bersifat
rahasia (confidential)
8. Pattersen dan Hasbullah (1999) memperjelas mengenai hal-hal
yang bukan konseling dan penjelasannya merupakan perbaikan dari
apa yang pernah dikemukakan sebelumnya ditahun 1967. Perbaikan
ini memperjelas bahwa :
- Konseling bukan kegiatan pemberian informasi meskipun
informasi bisa diberikan dalam konseling
- Konseling bukan kegiatan pemberian nasihat, sugesti, atau
rekomendasi
- Konseling bukan kegiatan untuk memengaruhi sikap,
kepercayaan atau perilaku dengan cara memaksa, mengatur,
atau meyakinkan
- Konseling bukan seleksi dari tugas yang harus dilakukan
dalam menghadapi bermacam-macam pekerjaan dan aktivitas
- Konseling bukan kegiatan melakukan wawancara, sekalipun
wawancara bisa dilibatkan dalam konseling.

C. Tujuan Utama Konseling


1. Menyediakan fasilitas untuk perubahan perilaku
2. Meningkatkan keterampilan untuk menghadapi sesuatu
3. Meningkatkan kemampuan dalam menentukan keputusan
4. Meningkatkan dalam hubungan antarperorangan
5. Menyediakan fasilitas untuk pengembangan kemampuan klien

2.2 Konseling HIV/AIDS

Konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang (klien) dengan


pelayan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan
orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan stres dan
sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.

Konseling HIV berbeda dengan jenis konseling lainnya, walaupun


keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal
yang unik karena :

a. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual


(IMS) dan HIV/AIDS
b. Membutuhkan pembahasan menganai praktik seks yang bersifat pribadi
c. Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian
d. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan
pendapat dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang
dianut oleh konselor itu sendiri
e. Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV yang
positif
f. Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan
maupun anggota keluarga klien

2.3 Tujuan Konseling HIV


a. Mencegah penularan HIV dengan cara mengubah perilaku. Untuk
mengubah perilaku ODHA tidak hanya membutuhkan informasi belaka,
tetapi jauh lebih penting adalah pemberian dukungan yang dapat
menumbuhkan motivasi mereka, misalnya dalam perilaku seks aman,
tidak berganti-ganti jarum suntik dan lain-lain
b. Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan untuk
memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara positif

Dalam hal ini konselor juga diharapkan dapat membantu mengatasi rasa putus
asa, rasa duka yang berkelanjutan, kemungkinan stigma, diskriminasi,
penyampaian status HIV pada pasangan seksual, pemutusan hubungan kerja, dll

2.4 Ciri-Ciri Konseling HIV

Konseling merupakan kegiatan membantu klien agar dapat :

a. Memperoleh akses informasi yang benar


b. Memahami dirinya dengan lebih baik
c. Agar mampu menghadapi masalahnya
d. Agar mampu berkomunikasi dengan lancar
e. Mengantisipasi harapan-harapan, kerelaan, dan perubahan perilaku

Konseling bukan merupakan percakapan tanpa tujuan, juga bukan


memberikan nasihat atau instruksi pada orang untuk melakukan sesuatu sesuai
kehendak konselor. Konseling bersifat sangat pribadi, sehingga membutuhkan
pengembangan rasa saling percaya. Hal ini bukan suatu hal yang baku, dapat
bervariasi tergantung kondisi daerah atau wilayah, latar belakang klien, dan jenis
layanan medis atau sosial yang tersedia. Konseling bersifat tidak eksklusif,
artinya setiap orang yang diberi pelatihan khusus dapat menjadi seorang
konselor. Konseling HIV Dianjurkan untuk Keadaan Berikut :

1. Orang yang sudah diketahui menderita AIDS atau terinfeksi HIV dan
keluarganya.
2. Mereka yang sedang dites untuk HIV (sebelum dan sesudah tes)
3. Mereka yang sedang mencari pertolongan diakibatkan perilaku resiko yang
lalu dan sekarang sedang merencanakan masa depannya
4. Mereka yang tidak mencari pertolongan dan berprilaku resiko tinggi.
5. Orang yang mempunyai masalah akibat infeksi HIV
(pekerjaan,perumahan,keuangan,keluarga,dll) sebagai akibat infeksi HIV

2.5 Petugas Konseling


Selain dokter, perawat, psikolog, psikoterapis, pekerja sosial dan orang
dengan profesi lain dapat dianjurkan dan dilatih untuk memberikan dukungan
konseling. Petugas konseling tidak harus merupakan petugas kesehata yang
ahli. Guru, penyuluh kesehatan, petugas laboratium, pemuka agama, kelompok
kerja muda, dukun tradisional, dan anggota kelompok masyarakat dapat
menolong dalam konseling pencegahan maupun konseling dukungan untuk
ODHA. Jadi, pada dasarnya yang dapat menjadi petugas konseling adalah
mereka masih mempunyai ruang untuk orang lain dalam dirinya.

2.6 Konseling versus Edukasi Kesehatan


Perbedaan antara konseling dan edukasi kesehatan dapat dilihat pada tabel
berikut ini

Tabel 2.1 Perbedaan Konseling dan Edukasi Kesehatan


Konseling Edukasi Kesehatan

1. Proses penyesuaian 1. Proses Belajar


2. Bersifat individual atau 2. Kelompok besar atau kecil
kelompok kecil 3. Berorientasi pada isi
3. Berorientasi pada masalah 4. Meningkatkan pengetahuan
4. Menurunkan stress 5. Didominasi oleh komprehensi
5. Didominasi mood dan
perasaan
Sumber. Depkes RI (2003)

Sedangkan persamaannya adalah sebagai berikut :

1. Keduanya memberikan pengetahuan dan mengubah sikap


2. Merupakan komunikasi dua arah
3. Memerlukan pelatihan dalam aspek teknik

Jenis Konseling HIV/AIDS

Ada beberapa jenis konseling yang dapat dilakukan untuk para


penderita HIV/AIDS. Jenis konseling itu adalah sebagai berikut :

1. Konseling untuk pencegahan terjadinya HIV/AIDS


2. Konseling pra-tes
3. Konseling pasca –tes
4. Konseling keluarga
5. Konseling berkelanjutan
6. Konseling pada mereka yang menghadapi kematian

2.7 VCT (Voluntary Counseling Testing)

VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak
terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah
penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan
lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungannya.
Tujuan VCT adalah sebagai berikut :

1. Upaya pencegahan HIV/AIDS


2. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan
persepsi/pengetahuan mereka tentang faktor-faktor risiko penyebab
seseorang terinfeksi HIV
3. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini
mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan
termasuk akses terapi antiretrovial, serta membantu mengurangi stigma
dalam masyarakat.

2.8 Tahap Konseling VCT


Voluntary counseling and testing pada dasarnya merupakan gabungan dari
konseling dan tes. Voluntary counseling and testing memiliki 3 tahapan dalam
pelaksanaannya, yaitu tahap konseling pra testing, tahap tes HIV, tahap
konseling pasca testing.
a. Konseling Pra Testing.
Konseling yang dilakukan sebelum seseorang melakukan tes HIV yang
bertujuan untuk membantu klien dalam membuat keputusan yang baik
tentang apakah akan menjalani tes HIV atau tidak, dengan sebelumnya
klien diberikan informasi yang baik, benar, jelas dan tepat tentang tes
HIV dan HIV/AIDS. Langkah-langkah dalam konseling pra testing
antara lain adalah :
- Pertama, Menerima Klien. Menerima klien dilakukan konselor
dengan menyambut kedatangan klien, membukakan pintu jika
pintu dalam keadaan tertutup, berjabat tangan, menyapa dengan
menyebutkan nama jika sudah kenal, jika belum menanyakan
nama. Menerima klien dengan hal tersebut agar klien merasa
diterima dan diperhatian oleh konselor, sehingga mempermdah
proses konseling selanjutnya.
- Kedua, Membangun Rapport atau Menjalin Hubungan.
Menjalin hubungan bertujuan agar konselor dan klien saling
mengenal dan menjalin kedekatan emosional untuk pemecahan
masalah dengan menciptakan suasana yang santai, nyaman,
aman, agar klien merasa tidak takut, percaya dan bebas
mengungkapkan perasaan dan pernyataan yang ingin
disampaikan sehingga klien percaya dan terbuka kepada
konselor. Untuk mewujudkan hal itu dalam menjalin hubungan
dilakukan dengan cara konselor memperkenalkan diri; konselor
memberikan pertanyaan basa-basi agar situasi mencair seperti
menanyakan kabar, kesibukkannya; konselor menanyakan
identitas klien; serta konselor menjelaskan peraturan dalam
proses konseling yang akan dilakukan, seperti waktu, tujuan,
maksud dan kerahasiaan agar klien mengetahui aturan, maksud
dan tujuan dari proses konseling.
- Ketiga, Eksplorasi. Eksplorasi disebut juga dengan penggalian
masalah yang bertujuan untuk mencari tahu permasalahan dan
perasaan yang dialami oleh klien. Pertanyaan konselor yang
diberikan saat eksplorasi antara lain adalah alasan klien datang
kesini, perasaan klien, situasi klien, menggali informasi
berkaitan dengan faktor perilaku berisiko HIV, seperti perilaku
seksual, tato/tindik, jarum suntik, transfusi darah.
- Keempat, Identifikasi. Identifikasi dilakukan konselor untuk
membantu klien menentukan permasalahan yang dialami dan
mengetahui penyebab permasalahan yang dialaminya. Dalam
identifikasi ini konselor membiarkan klien untuk menceritakan
permasalahan dan perasaan yang dialaminya. Konselor bertugas
mendengarkan dan mengarahkan klien.
- Kelima, Memberikan Informasi. Informasi sangat diperlukan
dalam voluntary counseling and testing terutama dalam
konseling pra testing, karena masih kurangnya informasi
tentang voluntary counseling and testing dan HIV/ AIDS.
Konselor memberikan informasi dengan baik, jelas, tepat antara
lain informasi tentang VCT dan prosedurnya, tentang
HIV/AIDS serta penularan HIV/AIDS. Dengan informasi yang
didapat dalam tahap ini berguna untuk menentukan keputusan
apakah mau menjalani tes HIV atau tidak.
- Keenam, Membuat Perencanaan. Setelah informasi didapatkan,
selanjutnya yaitu klien dibantu oleh konselor untuk membuat
perencanaan dengan cara konselor memberikan alternatif-
alternatif perencanaan, serta berdiskusi bersama mengetahui
kelebihan dan kekeurangan dari alternatif perencanaan.
- Ketujuh, Membuat Keputusan. Setelah informasi dan berdiskusi
perencaanaan, tibalah saatnya eksekusi yaitu menentukan
keputusan apakah mau tes HIV atau tidak. Jika tidak mau, maka
konselor diberi kesempatan untuk menyakinkan dan
memberikan penguatan kembali, lalu ditanyakan kembali. Jika
jawaban tetap tidak, maka konselor tidak boleh memaksa dan
proses konseling diakhiri. Jika jawaban mau dites HIV, maka
masuk ke tahap berikutnya.
 Tes HIV. Proses pengambilan darah sebanyak 2cc untuk dites guna
mengetahui status klien apakah positif HIV atau negatif HIV. Namun
sebelum tes HIV dilakukan, klien diwajibkan untuk mengisi dan
menandatangani surat pernyataan dan persetujuan melakukan tes HIV yang
sering disebut informed consent.
 Konseling Pasca Testing. Konseling yang dilakukan setelah klien
melakukan tes HIV yang bertujuan untuk membacakan hasil tes, membantu
klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes, baik itu positif
maupun negatif serta memberikan informasi dan penguatan kepada klien.
Langkah-langkah dalam konseling pasca testing adalah :
- Pertama, Menerima Klien. Konselor mempersilakan klien kembali
masuk ke ruangan voluntary counseling and testing dengan ramah,
baik dan sopan sesuai dengan kode etik konselor.
- Kedua, Mengembangkan Hubungan. Konselor mengembangan
hubungan dengan klien untuk mengetahui kesiapan mengetahui
hasil tes. Yang bisa dilakukan dalam langkah ini adalah konselor
menanyakan kesiapan klien. Jika sudah siap, maka lanjut ke langkah
berikutnya. Namun jika belum siap, konselor bertugas memotivasi
klien hingga siap.
- Ketiga, Perencanaan Kegiatan. Konselor membantu klien membuat
perencanaan tentang hasil yang akan didapatkan dengan cara
melakukan pengandaian jika hasil positif dan negatif. Konselor
menanyakan kepada klien, jika hasil positif apa yang akan dilakukan
dan jika hasil negatif apa yang dilakukan. Cara ini dilakukan untuk
membuat klien mengetahui apa yang akan dilakukan dan membuat
klien bertanggung jawab kepada dirinya sendiri.
- Keempat, Membacakan Hasil Tes. Pada langkah ini, konselor
waktunya untuk membacakan hasil tes dan klien mengetahui status
kesehatannya. Konselor membacakan hasil tes dengan nada suara
yang datar, tidak menunjukkan muka tertentu, tidak tergesa-gesa,
dan tidak memberikan komentar. Setelah membacakan hasil tes,
konselor diam sejenak untuk menunggu reaksi klien dan untuk
memberi waktu klien menerima hasil tes dirinya. Selanjutnya
konselor menjelaskan hasil tes yang diterima klien.
- Kelima, Integritas Hasil Tes. Dalam langkah integrasi hasil tes ini
ada dua, yaitu integrasi kognitif dan integrasi emosional. Integrasi
kognitif yaitu mengetahui pemahaman klien tentang HIV sesuai
hasil yang diterima. Integrasi kognitif dilakukan oleh konselor
dengan menanyakan pengetahuan tentang HIV mengenai hasilnya,
setelah itu konselor menambahan jika ada yang kurang dan
memperbaiki jika ada yang kurang tepat. Integrasi emosional yaitu
mengetahui pengaruh hasil tes yang diterima dengan emosional
yang terjadi pada klien. Dan memberikan penguatan kepada klien
sesuai dengan hasilnya.
- Keenam, Memberikan Informasi. Informasi yang diberikan pada
tahap ini disesuaikan dengan hasil tes yang didapatkan klien. Jika
hasil negatif, konselor memberikan informasi tentang masa jendela
(window period), pola hidup yang baik, dan menyarankan untuk tiga
bulan setelah hari tes kembali lagi untuk tes ulang. Jika hasil positif,
konselor memberikan informasi apa yang harus dilakukan oleh
klien, pola hidup yang baik, menghindari hal-hal yang dapat
menularkan HIV/AIDS.
- Ketujuh, Memberikan Harapan, Advokasi, Motivasi dan
Pemberdayaan. Dalam langkah ini, konselor memberikan harapan,
advokasi dan pemberdayaan dengan memberikan pernyataan secara
konsisten dan realisitis tentang adanya harapan disertai dengan
bukti-bukti yang mendukung, memfokuskan pada masalah kualitas
hidup dan mendorong klien agar berpartisipasi aktif untuk
meningkatkan status kesehatannya.
- Kedelapan, Mengidentifikasi Sumber Rujukan yang Memadai. Pada
langkah ini konselor membantu klien dalam mengindentifikasi
kebutuhan dukungan yang diperlukan oleh klien. Rujukan tersebut
meliputi kelompok dukungan sebaya, rumah sakit, puskesmas,
terapi individual, intervensi krisis, layanan media, informasi terapi
alternatif, rehabilitasi pengguna narkoba, layanan hukum, sosial,
psikologis, dan spiritual, serta programprogram lainnya.
- Kesembilan, Konselor Melakukan Layanan Lanjutan. Layanan
lanjutan terdiri dari konseling lanjutan dan pelayanan penanganan
manajemen kasus. Langkah konseling lanjutan ini bisa dilakuan
diwaktu lain. Dalam langkah ini konselor melakukan konseling
lanjutan bisa dengan pasangan jika mempunyai pasangan, bisa
dengan orangtua dan bisa dengan anak. Namun konseling lanjutan
harus sesuai dengan persetujuan dari klien. Pelayanan penanganan
manajemen kasus bertujuan membantu klien untuk mendapatkan
pelayanan berkelanjutan yang dibutuhkan. Tahapan dalam
manajemen kasus adalah identifikasi, penilaian kebutuhan
pengembangan rencana tindak individu, rujukan sesuai kebutuhan
dan tepat dan koordinasi pelayanan tindak lanjut.
2.9 Prinsip Komunikasi Konseling pada Klien Dengan HIV/AIDS
Prinsip-prinsip dalam konseling harus berkenaan dengan sasaran pelayanan,
masalah individu, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan,
dan pelaksanaan pelayanan. Sedangan prinsip dasar dalam voluntary
counseling and testing ada 4, yaitu rahasia, sukarela, konseling dan
persetujuan.
 Rahasia. Hasil pemeriksaan hanya boleh diketahui oleh yang bersangkutan
dan konselor yang menanganinya. Boleh dibukakan statusnya kepada orang
lain, dengan melalui persetujuan dari yang bersangkutan atau yang
bersangkutan menyampaikan sendiri.
 Sukarela. Untuk tes HIV sifatnya sukarela (voluntary), tidak ada paksaan
dari konselor. Konselor hanya mengajaknya secara persuasive, terutama
bagi klien yang memiliki risiko tinggi untuk terpapar HIV.
 Konseling. Mempelajari pengalaman-pengalaman hidup klien, dalam
mengatasi permasalahan yang dapat menimbulkan stres atau depresi pada
dirinya. Mempelajari latar belakang perilaku berisiko klien termasuk
diantaranya kemungkinan-kemungkinan melukai diri sendiri atau melukai
orang lain, seandainya hasilnya positif. Menilai pemahaman klien mengenai
HIV/AIDS, konseling, keuntungan-keuntungannya melakukan VCT, dll.
 Persetujuan. Klien harus mengisi formulir persetujuan untuk melakukan tes
(inform concent), yang kemudian akan ditandatangani oleh klien dan
konselor. Namun selain prinsip dasar tersebut prinsip-prinsip yang lainnya
adalah empati, mendengarkan, memberikan informasi yang tepat, dan alih
tangan. Sedang menurut Prayitno dan Erma Amti (2003, ) menyatakan
bahwa prinsip-prinsip konseling adalah berkenaan dengan sasaran
pelayanan, masalah individu, program layanan, pelaksanaan layanan, tujuan
dan proses penanganan masalah.

2.10 Konseling Dengan Caregiver pada klien ODHA


Dalam kegiatan konseling terdapat tahapan yang harus dilakukan oleh
seorang konselor agar proses pendampingan kepada pasien hiv aids dapat
terarah dengan baik dan fokus pada proses komunikasi yang terdapat pada
pelaksanaan Hiv Voluntary Counseling And Testing (Vct), yaitu:
3. a) Menciptakan hubungan kepercayaan.
Perawat akan berusaha menimbulkan kesan dirinya kepada pasien
hiv sebagai seseorang yang berusaha membantu dan menolong pasien
hiv tanpa mengharapkan timbal balik atau balasan atas perbuatannya.
Kesan yang berusaha dibangun oleh perawat kepada pasien hiv
diharapkan dapat menimbulkan kepercayaan dalam diri pasien hiv
terhadap perawat. Kepercayaan pasien hiv terhadap perawat merupakan
sebuah modal dasar bagi perawat dan pasien hiv dalam menjalin
hubungan komunikasi antarpribadi diantara keduanya. Menurut
Johnson (dalam Supratiknya, 2006 : 26) bahwa komunikator lebih
dahulu dituntut untuk membangun kedekatan dengan komunikan
sampai terjalin hubungan kepercayaan. Kepercayaan mutlak diperlukan
agar suatu relasi dapat tumbuh dan berkembang.
4. b) Tahapan Pengumpulan Informasi
Data atau Fakta Informasi dan data yang diperlukan oleh perawat
pada diri pasien hiv adalah informasi atau data yang mencakup keadaan
biologis, psikologis, sosial dari pasien hiv. Informasi atau data tentang
kondisi pasien hiv dalam komunikasi kesehatan diperlukan agar
perawat mengerti hal-hal apa saja yang dibutuhkan oleh pasien hiv.
5. c) Pembuatan Rencana Tindakan
Pembuatan rencana tindakan dilakukan oleh perawat bersama
dengan pasien hiv untuk menanggapi masalah-masalah yang ada pada
diri pasien hiv. Untuk itu pada saat pembuatan rencana tindakan
diharapkan telah terjalin komunikasi antarpribadi terlebih dahulu antara
perawat dan pasien hiv. Komunikasi antarpribadi merupakan
komunikasi yang terjadi diantara kedua orang yang mempunyai
hubungan yang jelas (DeVito, 1997: 231).
6. d) Tahapan Tindakan Pertolongan
Tugas perawat dalam pelaksanaan Hiv Voluntary Counseling And
Testing (Vct) adalah memberikan kesempatan orang untuk menilai
resiko terinfeksi hiv, mendapatkan informasi tentang penularan hiv dan
untuk menentukan cara pencegahan penularan hiv di masa depan (Modul
Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela Hiv, 2011: 31). Tugas seorang
perawat (konselor) yang lain adalah pendampingan. Pendampingan
adalah proses perjumpaan pertolongan antara pendamping dan orang
yang didampingi dengan tujuan menolong orang yang didampingi agar
dapat menghayati keberadaannya dan mengalami pengalamannya secara
utuh sehingga dapat menggunakan sumbersumber yang tersedia untuk
berubah, tumbuh dan berfungsi secara fisik, mental, spiritual dan sosial.
(Wiryasaputra, 2006: 57).
7. e) Evaluasi dan Review
Evaluasi yang dilakukan oleh perawat pada pasien hiv merupakan
sebuah formalitas yang tidak harus dipenuhi dalam pelaksanaan Hiv
Voluntary Counseling and Testing (Vct). Evaluasi tersebut hanya
merupakan cek kesehatan yang dilakukan oleh pasien hiv dan perawat.
8. f) Pemutusan Hubungan dalam pelaksanaan Hiv Voluntary Counseling and
Testing (Vct).
Pemutusan hubungan secara formal jarang terjadi dalam pelaksanaan
Hiv Voluntary Counseling and Testing (Vct). Karena kebanyakan proses
konseling itu bisa terjadi kapan saja dan tidak ditentukan waktunya,
apabila pasien hiv membutuhkan konseling lagi pasien hiv tersebut bisa
kembali lagi untuk konsultasi. Pemutusan hubungan disini yaitu diartikan
pasien hiv tersebut dapat mandiri.
9. BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dengan berjalannya waktu perkembangan HIV/AIDS semakin
meningkat untuk membantu perubahan perilaku sehingga risiko tertular
HIV menurun, maka pemerintah membuka layanan voluntary
counseling and testing. Voluntary counseling and testing terdiri dari tiga
tahap, yaitu Pertama, Konseling Pra Testing.
Konseling Pra Testing, yaitu konseling yang dilakukan sebelum
seseorang melakukan tes HIV yang bertujuan untuk membantu klien
dalam membuat keputusan yang baik tentang apakah akan menjalani tes
HIV atau tidak, dengan sebelumnya memberikan informasi tentang tes
HIV dan HIV/AIDS. Dalam tahap pertama ini dimulai dengan
menerima klien, membangun rapport, eksplorasi, pemahaman,
perencanaan tindakan dan membuat keputusan.
Kedua, Tes HIV. Tes HIV, yaitu proses pengambilan darah untuk
mengetahui apakah positif HIV atau negatif HIV, sebelum klien tes HIV
mengisi surat pernyataan dan persetujuan (informed consent). Ketiga,
Konseling pasca testing. Konseling pasca testing, yaitu konseling yang
dilakukan setelah klien melakukan tes HIV yang bertujuan untuk
membacakan hasil tes, membantu klien memahami dan menyesuaikan
diri dengan hasil tes, baik itu hasilnya positif atau negatif serta
memberikan informasi dan penguatan kepada klien. Dalam tahap ini
sebelum dibacakan hasil, klien dibantu untuk membuat rencana tentang
hasil yang akan diterima. Proses pelaksanaan tahap konseling pasca
testing tergantung dengan hasil tes.
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam,Ninuk Dian Kunrniawati.2007.Asuhan Keperawatan Pada


Pasien Terinfeksi HIV/AID.Jakarta:Salemba Medika

Retnaningsih,Diah Astuti Saputri.2016. Voluntary Counseling and Testing


untuk Orang Berisiko HIV/AIDS. IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN:
2527-5682 (E)

Anyta,Nurul Diah.2015.Komunikasi Antar Pribadi Konselor Terhadap


ODHA Di Klinik VCT RSUD Kabupaten Karanganyar.Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Anda mungkin juga menyukai