PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah
tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan berlebihnya kadar
glukosa darah. Umumnya diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau
sebagian besar dari sel-sel betha dari pulau-pulau Langerhans pada pankreas yang berfungsi
menghasilkan insulin, akibatnya terjadi kekurangan insulin. Di samping itu diabetes melittus
juga dapat terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin dalam memasukan glukosa ke
dalam sel.1
Diabetes melitus adalah salah satu penyakit keturunan yang bersifat poligen atau multi
faktor genetik. Artinya bukan hanya satu gen saja tetapi interaksi antar gen. Sehingga sulit
untuk menentukan secara tepat berapa persentasi faktor genetik yang menyebabkan terjadinya
penyakit ini. Namun dapat dipastikan resiko penderita diabetes melitus paling tinggi terjadi
bila salah satu atau kedua orang tuanya menderita dibetes melitus jika dibandingkan dengan
orang tua yang bukan penderita.1
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030, sedangkan Badan Federasi
Diabetes Internasional (IDF) pada tahun 2009 memperkirakan kenaikan jumlah penyandang
diabetes melitus dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (Persi, 2011).
Indonesia kini telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes terbanyak
setelah Amerika Serikat, China dan India. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola
pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030 ada 20,1 juta penderita diabetes dengan
tingkat prevalensi 14,7 persen untuk daerah urban dan 7,2 persen di daerah rural.2
DM tipe 2 menempati lebih dari 90% kasus di negara maju. Negara sedang berkembang,
hampir seluruh diabetes tergolong sebagai penderita DM tipe 2, 40% diantaranya terbukti
dari kelompok masyarakat yang terlanjur mengubah gaya hidup tradisional menjadi modern.
DM tipe 2 merupakan yang terbanyak di Indonesia. DM dapat menjadi penyebab aneka
penyakit seperti hipertensi, stroke, jantung koroner, gagal ginjal, katarak, glaukoma,
kerusakan retina mata yang dapat membuat buta, impotensi, gangguan fungsi hati, dan luka
yang lama sembuh mengakibatkan infeksi, sehingga harus diamputasi terutama pada kaki.
Selain diabetes melitus, hipertensi juga menjadi penyakit non infeksi yang kejadiannya
semakin meningkat.2
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang
mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke
jaringan tubuh yang membutuhkannya. Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah
lebih dari 140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-
95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan
penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan
oleh penyakit atau keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma
Conn), sindroma cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler serta akibat obat.3
Menurut World Health Organization (WHO) dan The International Society of
Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia dan 3 juta
di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak
mendapatkan pengobatan secara adekuat (Joint National Committee, 2011). World Health
Organization (WHO) tahun 2005 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang atau
26,4% penghuni bumi mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1%
wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025, di mana dari
972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 sisanya berada di
negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Masalah hipertensi di Indonesia cenderung
meningkat. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2011 menunjukkan bahwa
8,3% penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5%.4
Penyakit hipertensi juga disebut sebagai “the silent diseases” karena tidak terdapat tanda-
tanda atau gejala yang dapat dilihat dari luar. Perkembangan hipertensi berjalan secara
perlahan, tetapi secara potensial sangat berbahaya karena menjadi faktor risiko utama dari
perkembangan penyakit jantung dan stroke. Penyakit hipertensi apabila tidak diperbaiki akan
menyerang target organ dan dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, gangguan ginjal
serta kebutaan. Penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang tujuh
kali lebih besar terkena stroke, enam kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan tiga
kali lebih besar terkena serangan jantung (WHO, 2005). Oleh karena hipertensi sebagai
penyakit pembunuh diam-diam, maka satu-satunya cara adalah melakukan pencegahan dan
penanggulangan terjadinya hipertensi.
Menurut teori Lawrence Green (1980) yang dikutip Notoatmodjo (2010), perilaku
kesehatan dipengaruhi oleh faktor predisposisi termasuk di dalamnya adalah sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan pengetahuan. Semakin baik tingkat pengetahuan
seseorang maka semakin baik pula perilaku pencegahan individu terhadap penyakit
hipertensi. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku
terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng.
Penyakit Diabetes melitus dan hipertensi juga menempati sepuluh penyakit terbanyak di
PUSKESMAS Perumnas Arga Makmur, Dimana jumlah penderita penyakit Diabetes melitus
menempati urutan ke-9 dengan jumlah kasus sebanyak 65 kasus pada tahun 2015, sementara
itu hipertensi menempati urutan ke-4 dengan 231 kasus. Berdasarkan data tersebut untuk
menilai pengetahuan masyarakat disekitasr PUSKESMAS Perumnas Arga Makmur terhadap
penyakit penyakit Diabetes melitus dan Hipertensi dilakukan penelitian kecil mengenai
“Gambaran Pengetahuan Peserta Senam Prolanis PUSKESMAS Perumnas Arga Makmur
tentang Penyakit Diabetes Melitus Sebelum dan Sesudah Dilakukan Penyuluhan”.5
B. Masalah
Salah satu Faktor terjadinya penyakit Diabetes Melitus dan Hipertensi adalah
pengetahuan yang kurang mengenai penyakit tersebut sehingga mempengaruhi pola hidup
yang dapat menyebabkan terjadinya Diabetes melitus dan Hipertensi. Karena tertarik dengan
fenomena diatas maka peneliti mencoba melakukan penelitian untuk menilai pengetahuan
peserta senam prolanis tentang diabetes dan hipetensi.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh penyuluhan hipertensi dan DM terhadap tingkat pengetahuan
pasien hipertensi dan DM sebelum dan sesudah diberi penyuluhan.
2. Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan pasien hipertensi dan DM sebelum dan sesudah
diberi penyuluhan.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
pengetahuan pasien tentang hipertensi dan diabetes melitus
2. Bagi Puskesmas, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang
pengetahuan pasien hipertensi dan DM dalam menjalani terapi pengobatan hipertensi dan
diabetes melitus
3. Bagi Tenaga Kesehatan dan Apoteker tentang perlunya memberikan informasi secara
lengkap mengenai penyakit hipertensi, DM dan pengobatannya serta perlunya memantau
pengobatan pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi dan klasifikasi Hipertensi
Hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri.
Tekanan tersebut dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah. Hipertensi
berkaitan dengan kenaikan tekanan diastolik, tekanan sistolik, atau kedua-duanya
secara terus-menerus. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri
bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan darah diastolik berkaitan dengan
tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua
denyutan.6,7
The Joint National Community on Preventation, Detection,Evaluation and Treatment
of High Blood Preassure 7 (JNC-7), WHO dan European Society of Hipertension
mendefinisikan hipertensi sebagai kondisi dimana tekanan darah sistolik seseorang
lebih dari 140 mmHg atau tekanan darah diastoliknya lebih dari 90 mmHg.6
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun)
berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih
kunjungan klinis2 (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan
nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan darah
diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit
tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke
klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi ,
dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat.
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC 7
a. Isolated Sistolik Hypertension
Sesuai dengan panduan JNC-VII, ISH didefinisikan sebagai Tekanan Darah
Sistolik ≥140 mmHG dengan Tekanan Darah Diastol 90 mmHg atau kurang.
Kenaikan tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah diastolik umumnya
terjadi diatas usia 60 tahun. Hal ini sejalan dengan berkurangnya elastisitas
pembuluh darah besar (aorta) dan proses aterosklerosis. ISH didapatkan pada usia
60-70 dari kasus hipertensi pada usia lanjut dengan risiko 2-4 kali lipat untuk
terjadinya infark miokard, LVH, gangguan fungsi ginjal, stroke, dan mortalitas
kardiovaskuler.3
Komplikasi KV berbanding lurus dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan
tekanan nadi serta berbanding terbalik dengan penurunan tekanan darah diastolik.
Semakin tinggi tekanan darah sistolik atau tekanan nadi semakin berat risiko
komplikasi kardiovaskular. Selain itu penurunan tekanan darah dioastolik yang
terlalu rendah berisiko mengurangi aliran darah ke arteri koroner.3
b. Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah
terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120
mmHg; dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi. Pada
hipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan
organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus
diturunkan segera (dalam hitungan menit – jam) untuk mencegah kerusakan
organ target lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut: encephalopathy,
pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema paru, dissecting
aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil, dan eklampsia atau hipertensi berat
selama kehamilan.. Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa
disertai kerusakan organ target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan
obat antihipertensi oral ke nilai tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu
beberapa jam s.d. beberapa hari.
2.1.2 Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita tekanan darah
tinggi (≥ 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan cukup besar setiap
tahunnya.4 Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES),
insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000 adalah sekitar 29-
31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang menderita hipertensi, dan terjadi
peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991.
Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya tekanan
darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Risiko untuk menderita
hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal adalah
90%.2 Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum mereka
didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi pada umur
diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki
lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 - 74 tahun,
sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada
populasi lansia (umur ≥ 60 tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 %.8
2.1.3 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada
kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi
primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol.
Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang
khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder;
endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi,
hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.8
a. Hipertensi primer (essensial). Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan
hipertensi essensial (hipertensi primer).5 Literatur lain mengatakan, hipertensi
essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme
yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi,
namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer
tersebut. Hipertensi sering turun-temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis
hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi
tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan
timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya
mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric
oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.
b. Hipertensi sekunder. Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder
dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan
darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.10 Obat-obat
tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat
dilihat pada tabel 2. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan
menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi
komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.
2.1.5 Diagnosis
Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi:
- Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular atau
penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis sehingga dapat
memberi petunjuk dalam pengobatan
- Mencari penyebab tekanan darah tinggi
- Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskular
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu
dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur
diagnostik lainnya.
Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan hipertensi
esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang utama adalah
meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu
dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi.
Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah mempunyai
faktor resiko tambahan (lihat tabel 3) tetapi kebanyakan asimptomatik.
Tabel 2.3 Faktor-faktor resiko kardiovaskular11
Faktor resiko mayor Kerusakan organ target
→ Hipertensi → Jantung : Left ventricular hypertrophy
→ Merokok → Angina atau sudah pernah infark miokard
→ Obesitas (BMI ≥30) → Sudah pernah revaskularisasi koroner
→ Immobilitas → Gagal jantung
→ Dislipidemia → Otak : Stroke atau TIA
→ Diabetes mellitus → Penyakit ginjal kronis
→ Mikroalbuminuria atau perkiraan → Penyakit arteri perifer
GFR<60 ml/min → Retinopathy
→ Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65
tahun untuk perempuan)
→ Riwayat keluarga untuk penyakit
kardiovaskular prematur (laki-laki < 55
tahun atau perempuan < 65 tahun)
BMI = Body Mass Index; GFR= glomerular Filtration Rate; TIA = transient ischemic
attack
Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan
funduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan
tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan bruit arteri
femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru;
pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan
pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk melihat adanya edema
dan denyut nadi, serta penilaian neurologis. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik juga
perlu digali apakah sudah ada kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan
hipertensi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal seperti:
Otak: stroke, TIA, dementia
Mata: retinopati
Jantung: hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark miokard, pernah
revaskularisasi koroner
Ginjal: penyakit ginjal kronis
Penyakit arteri perifer
Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai terapi
antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium, kreatinin,
dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 – 12 jam) termasuk HDL, LDL, dan
trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk pengukuran
ekskresi albumin urin atau rasio albumin / kreatinin. Pemeriksaan yang lebih
ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak diindikasikan kecuali
apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai.
2.1.6 Penatalaksanaan
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah : Penurunan mortalitas dan morbiditas
yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan
dengan kerusakan organ target (misal: kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular,
gagal jantung, dan penyakit ginjal). Mengurangi resiko merupakan tujuan utama
terapi hipertensi, dan pilihan terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang
menunjukkan pengurangan resiko.
a. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII.6
- Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg
- Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg
- Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg
b. Target nilai tekanan darah menurut JNC VIII12
- Pada populasi umum usia ≥60 tahun terapi farmakologi dimulai pada
SBP>150 dan DBP>90 mmHg dengan target tekanan darah
<150/90mmHg (Grade A)
- Pada populasi umum usia ≥60 tahun jika terapi farmakologi berhasil
mencapai SBP <140mmHg dan dapat ditoleransi secara baik tanpa efek
samping maka terapi tidak perlu diubah (Grade E)
- Pada populasi umum <60 tahun terapi farmakologi dimulai untuk
mencapai target DBP <90mmHg (Grade A untuk usia 30-59 tahun, grade
E untuk usia 18-29 tahun) dan SBP <140mmHg (Grade E)
- Pada populasi usia ≥18 tahun dengan CKD atau diabetes terapi
farmakologi bertujuan mencapai SBP <140 dan diastolik <90mmHg
(grade E)
Tabel 2.4 Perbandingan target tekanan darah menurut JNC VII, JNC VIII,
ESH/ESC 2013, ISHIB 2010, ADA 2013, KDIGO 2102, NICE, CHEP 20138
Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum dijumpai,
tetapi kontrol tekanan darah masih buruk. Kebanyakan pasien dengan hipertensi
tekanan darah diastoliknya sudah tercapai tetapi tekanan darah sistolik masih
tinggi. Diperkirakan dari populasi pasien hipertensi yang diobati tetapi belum
terkontrol, 76.9% mempunyai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≤90 mmHg.12 Pada kebanyakan pasien, tekanan darah diastolik
yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik yang diiginkan sudah
tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah sistolik berkaitan dengan resiko
kardiovaskular dibanding tekanan darah diastolik, maka tekanan darah sistolik
harus digunakan sebagai petanda klinis utama untuk pengontrolan penyakit pada
hipertensi.6
Modifikasi gaya hidup saja bisa dianggap cukup untuk pasien dengan
prehipertensi, tetapi tidak cukup untuk pasien-pasien dengan hipertensi atau untuk
pasien-pasien dengan target tekanan darah ≤130/80 mmHg (DM dan penyakit
ginjal). Pemilihan obat tergantung berapa tingginya tekanan darah dan adanya
indikasi khusus. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tingkat 1 harus diobati
pertama-tama dengan diuretik tiazid. Pada kebanyakan pasien dengan tekanan
darah lebih tinggi (hipertensi tingkat 2), disarankan kombinasi terapi obat, dengan
salah satunya diuretik tipe tiazid. Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan
dengan: terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi
a. Terapi nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi
harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat
menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan
rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada
pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat
mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien
dengan tekanan darah prehipertensi.14 Modifikasi gaya hidup yang penting
yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk
individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary
Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet
rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada
sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi
satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat
membebaskan pasien dari menggunakan obat.10 Program diet yang mudah
diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat badan secara perlahan-
lahan pada pasien yang gemuk dan obesitas disertai pembatasan pemasukan
natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan
moril.
b. Terapi farmakologi
Panduan dalam Pemilihan dosis obat antihipertensi
- Mulai satu obat: titrasi maksimal. Jika tujuan tekanan darah tidak dicapai
dengan penggunaan satu obat meskipun titrasi dengan dosis maksimum
yang disarankan, tambahkan obat kedua dari daftar (thiazide-jenis
diuretik, CCB, ACEI, atau ARB) dan titrasi sampai dengan maksimum
yang disarankan dosis obat kedua untuk mencapai tujuan tekanan darah.
- Jika tujuan tekanan darah tidak tercapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga
dari daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB), hindari
penggunaan kombinasi ACEI dan ARB. Titrasi obat sampai ketiga untuk
maksimum dosis yang dianjurkan untuk mencapai tujuan tekanan darah.
- Mulailah dengan 2 obat pada saat yang sama, memulai terapi dengan 2
obat secara bersamaan, baik sebagai obat 2 yang terpisah atau sebagai
kombinasi pil tunggal. Titrasi obat ketiga sampai dengan maksimum dosis
yang dianjurkan untuk mencapai tujuan tekanan darah. Beberapa anggota
komite sarankan mulai dengan> 2 obat ketika tekanan darah sistolik > 160
mmhg kombinasi pil dan / atau tekanan darah diastolk > 100 mm hg, atau
jika tekanan darah sistolik > 20 mm hg di atas target dan / atau tekanan
darah diastolik > 10 mmhg di atas target. jika tujuan tekanan darah tidak
tercapai dengan 2 obat, pilih obat ketiga dari daftar (thiazide-jenis
diuretik, CCB, ACEI, atau ARB), hindari penggunaan gabungan ACEI
dan ARB. Titrasi obat sampai ketiga dengan dosis maksimum yang
disarankan.
Tabel 2.7 Indikasi memulai obat antihipertensi menurut ESC 2013.12
15
- Kombinasi Obat-Obat Anti-Hipertensi : Data-data menunjukkan bahwa
sebagian besar penderita hipertensi memiliki tekanan darah yang tidak
terkontrol (tidak mencapai target). Hal ini selain disebabkan karena pasien
tidak patuh menggunakan obat, juga disebabkan karena pemberian obat
anti-hipertensi yang tidak adekuat. The American ALLHAT study (The
Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack
Trial, 2000) menunjukkan bahwa untuk mencapai TD < 140/90 mmHg
],60% pasien hipertensi membutuhkan 2 atau 3 jenis obat anti-hipertensi.
Dengan demikian berbagai asosiasi hipertensi menganjurkan
menggunakan 2 atau 3 jenis obat anti-hipertensi. Bahkan mereka telah
membuat algoritme pengobatan agar lebih efektif menurunkan tekanan
darah dalam kombinasi obat. Pabrik obat juga membuat dosis kombinasi
tetap (fixed dose combination) dalam satu tablet dengan tujuan
meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Contoh
kombinasi 2 obat antihipertensi antara lain :(Exforge®), Nifedipin +
atenolol (NIF-TEN®), Telmisartan + HCT (Micardis Plus®),
Irbesartan+HCT(Co-aprovel®), Valsartan+HCT (CoDiovan®), Bisoprolol
+ HCT (Lodoz®), Spironolacton + Butizide (Aldazide®), Reserpin +
Hydralazine + HCT (Serapes®), dan lain lain. Kombinasi obat hipertensi
dengan obat lain juga tersedia seperti kombinasi Amlodipin dengan
Atorvastatin (Caduet®).
-
- Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan:
1. Mempunyai efek aditif
2. Mempunyai efek sinergisme
3. Mempunyai sifat saling mengisi
4. Penurunan efek samping masing-masing obat
5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu
6. Adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien
(adherence)
Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut:6,8
1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik
2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik
3. Penyekat beta dengan diuretik
4. Diuretik dengan agen penahan kalium
5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis
kalsium
6. Agonis α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretic
Menurut European Society of Hypertension 2013, kombinasi dua obat untuk
hipertensi ini dapat dilihat pada gambar dibawah dimana kombinasi obat
yang dihubungkan dengan garis hijau adalah kombinasi yang paling
efektif.
Gambar 5. Kombinasi yang memungkinkan dari kelas yang berbeda untuk obat-obat
antihipertensi. Garis hijau : kombinasi yang direkomendasikan. Garis hijau putus-
putus : kombinasi yang mungkin. Garis hitam putus-putus: kombinasi yang
memungkinkan tetapi kurang disarankan. Garis merah: tidak direkomendasikan9
A. Diuretik
Diuretik yang digunakan sebagai obat antihipertensi adalah diuretik tiazid,
diuretik hemat kalium, dan loop-diuretik . Pemberian diuretik sebagai obat
antihipertensi tunggal dilaporkan efektif dalam menurunkan TD pada 50%
penderita HT ringan sampai sedang. Diuretik menyebabkan ekskresi air dan
Na+ melalui ginjal meningkat. Berkurangnya volume plasma menurunkan
preload selanjutnya menurunkan cardiac output. Selain itu, berkurangnya
konsentrasi Na+ dalam darah menyebabkan sensitivitas adrenoreseptor–alfa
terhadap katekolamin menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau resistensi
perifer menurun. Diuretik bermanfaat pada orang tua karena orang tua volume
dependent. 12,13
1. Diuretik tiazid. Hydro-chloro-thiazide (HCT) adalah yang paling banyak
dilakukan klinik. Dulu HCT diberikan pada dosis besar yaitu 25-50
mg/hari sehingga banyak menimbulkan efek samping seperti peningkatan
asam urat (70%), peningkatan gula darah (10%), gangguan profil lipid
atau hiponatremia. Saat ini HCT digunakan dalam dosis kecil yaitu 12,5 -
25 mg/hari. Pada dosis ini HCT dilaporkan efektif menurunkan TD,
menurunkan morbiditas dan mortalitas dan tidak banyak menimbulkan
efek samping, sehingga HCT dosis kecil dianjurkan sebagai obat
antihipertensi lini I pertama untuk kebanyakan pasien hipertensi. HCT
memiliki efek retensi Ca++ sehingga dapat mencegah osteoporosis.
Dengan demikian penggunaan HCT sebagai obat antihipertensi pada
lansia memiliki efek tambahan. HCT dosis kecil (6,25 mg) dapat
dikombinasi dengan hampir semua obat anti-hipertensi lainnyaa dan
memberi efek sinergistik. Hasil ALLHAT (2002) memberi informasi
bahwa diuretik tiazid merupakan obat antihipertensi lini pertama bagi
pasien HT tanpa komplikasi. Kondisi lain yang juga menguntungkan
penggunaan diuretik tiazid adalah isolated systolic hypertension. Dosis
maksimum HCT adalah 25 mg/hari. Dosis diatas ini meningkatkan
mortalitas. Chlorthalidone (Hygroton®) adalah preparat lain dari diuretik
tiazid. Indapamide (Natrilix SR.®) adalah diuretik tiazid yang non
diuresis; obat ini menurunkan tekanan darah tanpa meningkatkan
produksi urin. Kelebihan indapamide adalah menurunkan TDS tanpa
mempengaruhi TDD. Pada pasien gangguan fungsi ginjal tiazid tidak
efektif menurunkan TD dan sering menyebabkan hipokalemia. Pada
keadaan ini loop diuretik menjadi pilihan. Untuk meningkatkan efektifitas,
tiazid dan loop diuretik dapat dikombinasi.
2. Diuretik hemat kalium. Spironolakton (Aldactone®, carpiaton®, letonal®,
25 mg dan 100 mg) adalat anti-aldosteron, memiliki efek antihipertensi
lemah sehingga jarang diberikan sebagai obat tunggal dalam terapi HT.
Spironolakton disebut diuretik hemat kalium karena meningkatkan kadar
kalium dalam plasma, sehingga obat ini selalu dikombinasikan dengan
HCT atau furosemide untuk mencegah terjadinya hipokalemia. Pada
pasien gagal jantung, dilaporkan bahwa konsentrasi plasma aldosteron
berbanding lurus dengan mortalitas, pemberian spironolakton pada pasien
HT vang juga gagal jantung menurunkan mortalitas seperti dilaporkan
pada Randomized Aldactone Evaluation Study (RALES). Spironolakton
juga dianjurkan pada penderita infark miokard dengan hipertensi karena
memiliki efek mencegah remodeling. Indikasi lain dari diuretik hemat
kalium adalah untuk hiperaldosteronisme. Efek samping spironolakton
adalah impotensi, gynecomastia dan hipertrofi prostat. Hati-hati
digunakan bersama ACE-I karena dapat menyebabkan hiperkalemia.
3. Loop diuretik. Furosemide (Lasix®: Farsix®, Uresix®) adalah loop
diuretik yang kuat, tersedia dalam tablet (40 mg/tablet) dan dalam bentuk
vial (20 mg/ampul). Obat ini dapat cepat sekali menguras cairan tubuh dan
elektrolit, sehingga tidak dianjurkan sebagai obat antihipertensi kecuali
pada pasien HT yang juga menderita retensi cairan yang berat, atau pada
Hypertension Heart Failure (HHF) . Efek samping loop diuretik adalah
hiponatremia, ototoksisitas, hiperurisemia, hiperglisemia, hipokalemia,
dan meningkatkan LDL kolesterol sebaliknya menurunkan HDL
kolesterol. Indikasi lain dari loop diuretik adalah edema pada sindrom
nefrotik, chronic renal insufficiency, atau sirosis hepatis yang sudah
refrakter terhadap diuretik lain. Akan tetapi loop diuretik mengaktifkan
sistem RAA dan meningkatkan PGC, hal ini dilaporkan dapat
memperburuk kerusakan ginjal. Kontraindikasi loop diuretik adalah
hipovolemia, hiponatremia, anuri (obstruksi post renal) dan pasien yang
alergi terhadap preparat sulfa. Bumetanide (Bumex®) dan ethacrynic acid
(Edecrin®) adalah preparat loop diuretik.
A. Beta bloker.
Beta bloker menurunkan tekanan darah terutama dengan mengurangi isi
sekuncup jantung, selain itu juga menurunkan aliran simpatik dari SSP
dan menghambat pelepasan rennin dari ginjal, sehingga mengurangi
sekresi aldosteron. Beta bloker generasi baru seperti bisoprolol, carvedilol,
nebivolol dan lain - lain yang memiliki farmakokinetik lebih netral, serta
memiliki efek pleiotropik seperti meningkatkan produksi NO, memiliki
efek anti-oksidan dan menghambat adrenoseptor-a1. Efek antihipertensi
dari beta bloker generasi ketiga ini belum pemah diperbandingkan. Beta
bloker menurunkan Cardiac output dan resistensi perifer sehingga
memiliki efek antihipertensi . Sejak ditemukan pada tahun 1960, B-bloker
selain sebagai obat antiaritmia, juga digunakan sebagai obat
antihipertensi. Bahkan pada JNC I-V (1998), beta bloker dan diuretik
direkomendasikan sebagai obat antihipertensi lini pertama. Namun pada
tahun 1985, laporan dari Medical Research Council (MRC) Trial of mild
hypertension menunjukkan bahwa pada pasien hipertensi ringan, diuretik
lebih unggul menurunkan insiden stroke dibanding propranolol; dan pada
tahun 1992 MRC Trial of hypertension in older adult menunjukkan bahwa
pada pasien hipertensi umur 65-74 tahun, diuretik lebih unggul dari
atenolol dalam mencegah kejadian kardiovaskular termasuk stroke;
kemudian Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial (ASCOT, 2006)
menunjukkan bahwa resimen kombinasi atenolol dan diuretik .tiazid tidak
lebih baik bahkan sedikit inferior dibandingkan regimen kombinasi
amlodipin dan ACE-inhibitor dalam menurunkan kejadian kardiovaskular
pasien hipertensi. Hasil hasil ini menyebabkan popularitas BB sebagai
antihipertensi menurun. Padahal secara farmakologi hasil hasil penelitian
tersebut diatas memiliki banyak kelemahan yang perlu diluruskan disini.
Indikasi utama beta bloker adalah pada pasien HT yang takikardi atau
takiaritmia (termasuk pasien anxiety, feokromositoma dan tirotoksikosis),
dan pada pasien HT yang memiliki penyakit jantung koroner (angina
pektoris atau pasca miokard infark). Bagi pasien HT umur lanjut yang
sudah mengalami j penurunan fungsi jantung, penggunaan Beta bloker
tentu harus sangat hati-hati. Beta bloker yang dapat digunakan pada
pasien HT golongan ini hanya metoprolol, bisoprolol dan carvedilol
dengan ketentuan "start low go low”. Beberapa beta bloker yang sering
dipakai adalah:
- Propranolol (Inderal®) adalah prototype dari beta bloker yang non-
cardioselective. Obat ini tersedia dalam dua kemasan (10 mg dan 40
mg/tablet). Dosis : 2-3 x 10 mg, atau 2-3 x 20 mg biasanya cukup efektif
menurunkan TD. Efek samping antara lain: bronkospasme, bradikardi,
hiperglikemia.
- Atenolol (Tenormin®, Farnormin®, betablok®) tersedia dalam tablet 50
dan 100 mg Dosis : 1-2 x 50 mg, atau 1 x 100 mg.
- Metoprolol (Seloken®, Lopresol®, Cardiosel®)tersedia dalam tablet 50
dan 100 mg. Dosis : 1-2 x 50 mg, atau 1 x 100 mg
- Bisoprolol (Concor®, Maintate®) tersedia dalam tablet 2,5 dan 5 mg.
Dosis : 1.-2 x 2,5 mg, atau 1 x5 mg.
- Carvedilol (Dilbloc®, V-bloc®, Blorec®) tersedia dalam tablet 25 mg.
Dosis: 1 x/ 12,5 atau 25 mg. Dilbloc® dan V-bloc 6,25/tablet digunakan
untuk gagal jantung.
Beta bloker aktif secara oral. Efek samping biasa meliputi kelelahan,
insomnia, dan halusinasi, juga dapat menyebabkan hipotensi. Selain itu juga
dapat menurunkan libido dan menyebabkan impotensi. Beta bloker dapat
mengganggu metabolisme lipid, menurunkan HDL, dan meningkatkan
trigliserol plasma, selain itu juga dapat menyebabkan rebound hipertensi.
B. Penyekat kanal kalsium (Calcium Channel Blocker). 12
Sebagaimana diketahui bahwa kalsium adalah zat yang tersebar di sel tubuh,
dan merupakan intracellular messenger untuk menjembatani suatu rangsang
menjadi respon. Sebuah sel dapat berkontraksi-apabi la terjadi peningkatan
Ca2+ intrasel baik disebabkan oleh masuknya Ca ekstrasel melalui kanal
kalsium atau karena dilepaskan dari intrasellular store. Berbagai penyakit
atherosklerotik seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, juga diabetes
melitus dan obesitas, homeostasis kalsium intrasel terganggu, akibatnya
pembuluh darah menjadi sangat sensitif terhadap substansi vasoaktif
sehingga cenderung berkontraksi. Hal ini meningkatkan resistensi perifer
dan meningkatkan TD. Dengan menghambat kalsium masuk kedalam sel,
CCB memiliki efek vasodilatasi, memperlambat laju jantung dan
menurunkan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan TD. CCB juga
dapat bertindak sebagai intracellular messenger bagi sistem RAA, dan juga
berperan dalam sekresi berbagai substansi neurohumoral. Dalam penelitian
telah dibuktikaf bahwa CCB menurunkan produksi angiotensin II (Ang-II)
melalui mekanisme penghambatan terhadap aktivitas ACE. CCB juga
menghambat vasokonstriksir hiperplasi dan hipertrofi pembuluh darah yang
diinduksi oleh Ang-II. Efek-efek ini membuat CCB mampu menghambat
proses dan progresivitas atherosclerosis. Efek lain adalah CCB
menghambat sekresi aldosteron, menurunkan sintesis endotelin dan
menghambat vasokonstriksi yang ditimbulkan oleh endotelin. dilaporkan
juga memiliki efek antiperoksidan terhadap jaringan lemak. Di bidang
reologi, CCB dilaporkan menghambat agregasi trombosit. Masih ada satu
efek CCB yang tidak kalah pentingnya yaitu efek pada arterial compliance
(komplians arteri). Suatu obat antihipertensi dikatakan baik apabila mampu
meningkatkan komplians arteri sehingga menurunkan pulse pressure dan
pulse wave velocity. Komplians arteri diartikan sebagai kemampuan arteri
untuk mengakomodasi volume darah yang meningkat secara simultan pada
waktu ventrikel kiri berkontraksi. Semakin elastik sebuah pembuluh darah,
maka kompliansnya semakin baik. Efek CCB yang antisklerotik atau efek
yang menurunkan ketebalan tunika media dan meningkatkan kandungan
elastin pada arteri meningkatkan komplians. Dengan demikian CCB sebagai
obat antihipertensi memiliki efek proteksi terhadap penyakit jantung,
penyakit pembuluh darah dan penyakit ginjal. Semua CCB memiliki efek
anti iskemik miokard melalui mekanisme yang telah dijelaskan diatas yaitu:
menurunkan resistensi perifer, menurunkan beban jantung, meningkatkan
suplai; menurunkan kebutuhan O2, anti sklerotik dan anti agregasi. Berbagai
studi menunjukkan bahwa CCB menurunkan episode angina pada penderita
PJK. Prospective Randomized Amlodipine Survival Evaluation (RAISE)
trial (1996) dan Vasodilator -Heart Failure Trial III (V-HeFT III,1997)
menunjukkan bahwa golongan dihidropiridin efektif memperbaiki gejala
seperti sesak dan menurunkan mortalitas pasien gagal jantung yang
memiliki ejection fraction (EF) rendah. Golongan benzotiazepin dan
verapamil memiliki efek antiaritmia (terutama takiaritmia). Verapamil
merupakan obat yang memiliki sifat seperti beta-blockers yaitu efek
kronotropik negatif dan inotropik negatif, jadi pasien yang mempunyai
indikasi diberikan beta-blockers namun memiliki penyakit asma atau
diabetes yang tidak cocok diberikan beta-blockers dapat diganti dengan
verapamil. Efek proteksi terhadap penyakit ginjal. CCB golongan
dihidropiridin dan benzotiazepin mampu memperbaiki efek vasokonstriksi
vasa aferen arteri ginjal yang diinduksi oleh Ang-II atau adrenalin. Dengan
demikian meningkatkan glomerular capillary pressure, meningkatkan
glomerulo flow rate dan meningkatkan perfusi ginjal pada penderita HT.
Dihidropiridin generasi baru seperti efonipine dan manidipine selain
menyebabkan dilatasi vasa aferen, juga menyebabkan delatasi vasa eferen
ginjal sehingga menurunkan glomerular capillary pressure, dengan demikian
memiliki efek menurunkan proteinuria. Studi klinik juga telah membuktikan
bahwa CCB menghambat progresivitas kerusakan ginjal pada pasien dengan
berbagai Penyakit ginjal kronis, efek renoprotektif CCB dilaporkan
sebanding dengan ACE-Inhibitor. CCB memiliki Trough-to-Peak (T/P) ratio
antara 55-70 %. Golongan CCB. Beberapa golongan CCB yang dibicarakan
disini adalah yang memiliki efek pada sistem kardiovaskuler yaitu :
dihidropiridin, fenilalkilamin dan bensotiazepin.
a. Dihidropiridin: merupakan CCB generasi kedua ini mempunyai afinitas
lebih besar untuk kanal kalsium vaskuler dibandingkan dengan kanal
kalsium di jantung.
1) Nifedipin (Adalat®) adalah CCB generasi pertama yang paling kuat
menyebabkan vasodilatasi. Tersedia dalam dua kemasan (5 mg dan 10
mg) diberikan secara oral. Berhubung karena onset of action dari obat ini
sangat cepat dan memiliki duration of action yang pendek yaitu hanya 6-8
jam, maka obat ini memprovokasi suatu refleks takikardi dan TD menjadi
fluktuatif. Sifat ini menyebabkan nifedipin tidak popular digunakan
sebagai obat antihipertensi, apalagi pada pasien HT yang juga menderita
PJK. Nifedipin GIT (Adalat oros®) berisi nifedipin 30 mg dengan
formulasi lepas lambat yang memiliki duration of action 24 jam (T/P ratio
65%), sehingga menurunkan TD lebih stabil dan tidak memiliki efek
refleks takikardi yang nyata. Obat ini diberikan sekali sehari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nifedipin GIT bermanfaat pada pasien
HT, termasuk mereka yang juga menderita PJK maupun gagal jantung.
2) Amlodipin (Norvask®) adalah CCB yang unik karena bersifat long
acting. Obat ini menurunkan TD secara perlahan-lahan sehingga tidak
menimbulkan refleks takikardi. Efek samping amlodipin adalah edema
pretibial. Amlodipin tersedia dalam dua kemasan (5 mg dan 10 mg) yang
diberikan secara oral sekali sehari.
3) Felodipin (Plendil®, Nirmadil®), tersedia dalam bentuk tablet 2,5,5
dan 10 mg.
4) Nicardipine (Perdipine®) adalah CCB yang dapat diberikan secara
parenteral. Berbagai guideline sudah merekomendasikan nicardpine
digunakan pada hipertensi emergensi, diantaranya JNC 7 (2003),
American stroke Association 2007 dan CHEST 2007. Pada evaluasi
keamanan penggunaan nicardipine pada pasien pre-eclampsia berat,
penggunaan obat ini baik pada jangka pendek (< 7 hari), jangka
menengah (2-28 hari) dan jangka panjang (>29 hari) menunjukkan
perbaikan pada tekanan darah sistolik maupun diastolik pada ibu tanpa
efek toksik terhadap janin.
Nicardipine di Indonesia tersedia dalam sediaan ampul 10 mg (untuk
syringe pump/infus drip) dan ampul 2 mg. Obat ini dapat dilarutkan
dengan berbagai jenis pelarut seperti NaCl 0,9%, larutan Ka En, dextrosa
5% dan Ringer Asetat, namun tidak dapat dilarutkan dengan Ringer
Laktat dan tidak dapat digunakan bersama Bikarbonat natrikus.
Nicardipine memiliki mula keija 5-10 menit dan lama kerja 15-90 menit.
Untuk hipertensi emergensi dosis adalah 0,5-6 ug/KgBb/ menit (dengan
syringe pump). Pada kasus hipertensi peri dan pasca operasi dapat
diberikan secara bolus dengan dosis 10-30 ug/KgBb/menit.
b. Fenilalkilamin
Prototip dari golongan ini adalah Verapamil (Isoptin®). Obat ini
memiliki afinitas besar terhadap kanal kalsium di jantung sehingga
memiliki efek kronotropik dan inotropik negative mirip beta blocker.
Jadi indikasi obat ini juga seperti beta-blocker yaitu sebagai obat
antihipertensi, antiaritmia terutama Supraventricular Tachycardi (SVT),
anti angina dan anti atherosklerosis. Verapamil biasanya diberikan pada
pasien yang kontraindikasi terhadap beta blocker.
Isoptin® tersedia dalam bentuk oral (80 mg/tablet) dan injeksi (10
mg/ vial). Untuk pengobatan HT biasanya 2-3 x 80mg sehari. Untuk
pengobatan SVT dapat diberi Isoptin 10 mg I.V. perlahan-lahan,
kemudian dilanjutkan dengan tablet Verapamil diabsorbsi cukup baik
melalui GIT, didistribusi ke seluruh tubuh. Efek samping verapamil
adalah bradikardi, AV blok, hipotensi dan konstipasi.
c. Bensotiazepin
a. ACE-inhibitor
ACE selain mengubah Ang-I menjadi Ang-II, enzim ini juga
menghambat katabolisme kinin menjadi bradikinin. Bradikinin dibentuk dari
kininogen oleh kallikrein. Peptide ini merangsang reseptor bradikinin pada
endotel selanjutnya meningkatkan produksi NO dan prostaglandin yang
memiliki efek vasodilatasi (prostasiklin dan PGE2). Dengan demikian
penghambatan aktivitas ACE oleh ACE-inhibitor meningkatkan konsentrasi
bradikinin yang memiliki efek kardioprotektif.
1) Batuk batuk: batuk kering tejadi pada 5 - 20% pasien. Efek samping ini tidak
berhubungan dengan dosis dan lama penggunaan. Lebih banyak terjadi pada
wanita. Hal ini disebabkan karena akumulasi bradikinin, substansi P dan/atau
prostaglandin. Dilaporkan bahwa pemberian aspirin, antagonis tromboksan
dan preparat besi mengurangi batuk yang ditimbulkan oleh ACE-inhibitor.
Batuk akan mereda setelah 2-3 hari berhenti obat.
2) Dysgeusia: hilang rasa pengecap sering dilaporkan pada penggunaan
kaptopril. Efek samping ini reversible.
3) Angioedema: Terjadi pada 0,1 -0,5% pasien. Efek samping ini diduga
berhubungan dengan produksi bradikinin atau reaksi alergis. Gejalanya
adalah pembengkakan di hidung, kerongkongan, glottis, larynx, lidah dan
bibir. Angioedema yang terjadi pada jalan napas dapat menyebabkan
kematian. Proteksi jalan napas dengan pemberian adrenalin, antihistamin atau
kortikosteroid harus segera diberikan. Angioedema juga dapat terjadi di
saluran cerna menimbulkan gejala berupa mual dan muntah, sakit perut dan
diare.
4) Skin rash: bercak makulopapular yang disertai gatal atau tidak gatal pernah
dilaporkan. Bercak ini kadang kadang menghilang sendiri atau dengan
mengurangi dosis, atau dengan pemberian antihistamin.
5) Lain lain: Hiperkalemia dan gagal ginjal akut telah dibahas diatas.
Hepatotoksik. glikosuria dan proteinuria merupakan efek samping yang
jarang.
b. Angiotensin receptor blockers (ARB)
Angiotensin receptor blockers (ARB) yang pertama dipasarkan adalah
losartan (1995). Dengan memblokade AT2 reseptor, ARB menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi volume
plasma), menurunkan hipertrofi vaskular. Efek ini mirip efek ACE-inhibitor
sehingga indikasi ARB dan efek samping hampir sama seperti ACE-inhibitor.
ARB bahkan pernah dilaporkan lebih unggul dari ACE-inhibitor, hal ini
disebabkan karena selain memblokade AT1 ARB tidak menurunkan
konsentrasi Ang-II dalam darah, jadi terjadi perangsangan AT2 lebih banyak
oleh Ang-II yang menyebabkan vasodilatasi dan antiproliferasi. Namun Levy
(2004) dan Reudelhuber (2005) menemukan hasil berbeda, mereka
menunjukkan bahwa perangsangan AT2 dapat menyebabkan fibrosis dan
hipertrofi vaskular, serta memiliki efek proinflamasi dan proatherogenik.
Akhir akhir ini ada beberapa studi menunjukkan bahwa ARB sebagai obat
antihipertensi meningkatkan insiden miokard infark. Namun hal ini dibantah
oleh Volpe dkk (2009) melalui suatu meta-analisis. Kontroversi ini
menyebabkan beberapa senter menganjurkan ARB sebagai penggati ACE-
inhibitor, artinya ARB hanya diberikan pada pasien yang tidak dapat
menerima ACE-inhibitor. Walaupun demikian telah dilaporkan bahwa pasien
yang menggunakan ARB terjadi penurunan insiden penyakit Alzheimer,
insiden atrial fibrilasi, dan terjadi peningkatan ekskresi asam urat Angiotensin
receptor blockers (ARB) yang pertama dipasarkan adalah losartan (1995).
Dengan memblokade AT2, reseptor, ARB menyebabkan vasodilatasi,
peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi volume plasma),
menurunkan hipertrofi vaskular. Semua ARB memiliki bioavailability rendah,
namun karena ikatan dengan protein plasma sangat kuat sehingga ARB hanya
diberikan sehari sekali. Efek samping ARB antara lain: pusing, sakit kepala,
diare, hiperkalemia, penurunan rash, batuk-batuk (lebih kurang dibanding
ACE-inhibitor), abnormal taste sensation (metallic taste). Walaupun jarang
terjadi, ARB pernah dilaporkan menyebabkan gagal ginjal dan gangguan
fungsi hati, serta menimbulkan reaksi alergi.
Obat Nama dagang Sediaan (mg/ tab) Dosis (mg/hari) Keterangan
Valsartan - Diovan 80 & 160 40-160 1 x/hari
Losartan - Cozaar 50 25-100 1 x/harT"
Telmisarta -Micardis — 20&40 20-40 1 x/hari
n
Irbesartam - Aprovel 150 & 300 150-300 1 x/hari
Olmesarta - Olmetec 5 & 20 5-20 1 x/hari
n
Candesart - Blopress 8 & 16 8-16 1 x/hari
an
Eprosartan - Teventen 400 200 - 400 1 x/hari
Tabel 9. Preparat ARB
Glukosa dimetabolisme menjadi piruvat melalui jalur glikolisis, yang dapat terjadi
secara anaerob, dengan produk akhir yaitu laktat. Jaringan aerobik memetabolisme piruvat
menjadi asetil-KoA, yang dapat memasuki siklus asam sitrat untuk oksidasi sempurna
menjadi CO2 dan H2O, berhubungan dengan pembentukan ATP dalam proses fosforilasi
oksidatif. 16
Glukosa dan metabolitnya juga ambil bagian dalam beberapa proses lain, seperti:
konversi menjadi polimer glikogen di otot rangka dan hepar; jalur pentosa fosfat yang
merupakan jalur alternaltif dalam glikolisis untuk biosintesis molekul pereduksi (NADPH)
dan sumber ribosa bagi sintesis asam nukleat; triosa fosfat membentuk gugus gliserol dari
triasilgliserol; serta piruvat dan zat-zat antara dalam siklus asam sitrat yang menyediakan
kerangka karbon untuk sintesis asam amino, dan asetil-KoA sebagai prekursor asam lemak
dan kolesterol. 16
Glukosa adalah satu-satunya nutrisi yang dalam keadaan normal dapat digunakan oleh
otak, retina, dan epitel germinal dari gonad. Kadar glukosa darah harus dijaga dalam
konsentrasi yang cukup untuk menyediakan nutrisi bagi organ – organ tubuh. Namun
sebaliknya, konsentrasi glukosa darah yang terlalu tinggi juga dapat memberikan dampak
negatif seperti diuresis osmotik dan dehidrasi pada sel. Oleh karena itu, glukosa darah perlu
dijaga dalam konsentrasi yang konstan.17
Pada orang normal, konsentrasi glukosa darah dikontrol dalam rentang yang cukup
sempit, biasanya antara 80 dan 90 mg/ 100ml darah dalam keadaan puasa setiap pagi sebelum
sarapan. Konsentrasi ini meningkat menjadi 120 sampai 140 mg/ 100 ml selama sekitar satu
jam pertama setelah makan, namun sistem umpan balik untuk kontrol glukosa darah
mengembalikan kadar glukosa ke rentang rormal dengan cepat, biasanya dalam 2 jam setelah
absorpsi karbohidrat terakhir. Sebaliknya, dalam keadaan starvasi, fungsi glukoneogenesis
dari hepar menyediakan glukosa yang diperlukan untuk mempertahankan kadar glukosa
darah puasa. 17
Baik insulin maupun glukagon berfungsi sebagai sistem kontrol umpan balik yang
penting dalam mempertahankan kadar glukosa darah. Ketika terjadi peningkatan kadar
glukosa darah, insulin disekresikan. Sebaliknya, ketika terjadi penurunan kadar glukosa
darah, glukagon yang memiliki fungsi berlawanan dari insulin akan disekresikan. 17
Hepar berfungsi sebagai sistem buffer yang penting untuk glukosa darah. Ketika
kadar glukosa darah meningkat setelah makan dan laju sekresi insulin juga meningkat, dua
pertiga dari glukosa yang diabsorpsi usus langsung disimpan di dalam hepar dalam bentuk
glikogen. Kemudian, ketika konsentrasi glukosa darah dan laju sekresi insulin mulai
menurun, hepar akan melepaskan kembali glukosa ke aliran darah. 17
Umumnya diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau sebagian
besar dari sel-sel betha dari pulau-pulau Langerhans pada pankreas yang berfungsi
menghasilkan insulin, akibatnya terjadi kekurangan insulin. Di samping itu diabetes melittus
juga dapat terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin dalam memasukan glukosa ke
dalam sel. Gangguan itu dapat terjadi karena kegemukan atau sebab lain yang belum
diketahui. Dampak dramatis dari diabetes mellitus terhadap kesehatan seseorang sangatlah
kompleks. Diabetes mellitus dan penyakit turunannya telah menjadi ancaman serius. Penyakit
ini membunuh 3,8 juta orang per tahun dan dalam setiap 10 detik seorang penderita akan
meninggal karena sebab-sebab yang terkait dengan diabetes. Pemeriksaan laboratorium bagi
penderita DM diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta memonitor Tx dan timbulnya
komplikasi spesifik akibat penyakit. Dengan demikian, perkembangan penyakit bisa
dimonitor dan dapat mencegah komplikasi. 18
2.3.2 Etiologi Diabetes
Melitus Penyebab diabetes yang utama adalah kurangnya produksi insulin (DM tipe I)
atau kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (DM tipe II). Namun jika dirunut
lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan DM sebagai berikut :
3. Virus dan bakteri Virus penyebab DM adalah rubella, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta. Virus ini
mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi
autoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta. Sedangkan bakteri masih
belum bisa dideteksi, tapi menurut ahli mengatakan bahwa bakteri juga berperan penting
menjadi penyebab timbulnya DM .
4. Bahan toksik atau beracun Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara
langsung adalah alloxan, pyrineuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis
jamur). 18
1. Nutrisi
Penyakit diabetes mellitus yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kencing manis
terjadi pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula (glukosa) dalam darah akibat
kekurangan insulin atau reseptor insulin tidak berfungsi baik. Diabetes yang timbul akibat
kekurangan insulin disebut DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM).
Sedang diabetes karena insulin tidak berfungsi dengan baik disebut DM tipe 2 atau Non-
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). 18
Insulin adalah hormon yang diproduksi sel beta di pankreas, sebuah kelenjar yang
terletak di belakang lambung, yang berfungsi mengatur metabolisme glukosa menjadi energi
serta mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen yang disimpan di dalam hati dan otot.
Tidak keluarnya insulin dari kelenjar pankreas penderita DM tipe 1 bisa disebabkan oleh
reaksi autoimun berupa serangan antibodi terhadap sel beta pankreas. Pada penderita DM tipe
2, insulin yang ada tidak bekerja dengan baik karena reseptor insulin pada sel berkurang atau
berubah struktur sehingga hanya sedikit glukosa yang berhasil masuk sel. Akibatnya, sel
mengalami kekurangan glukosa, di sisi lain glukosa menumpuk dalam darah. Kondisi ini
dalam jangka panjang akan merusak pembuluh darah dan menimbulkan berbagai komplikasi.
Bagi penderita Diabetes Melitus yang sudah bertahun-tahun minum obat modern seringkali
mengalami efek yang negatif untuk organ tubuh lain. 18
2.3.4 Patofisiologi
Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 2
DM tipe 2 memiliki hubungan genetik lebih besar dari tipe 1 DM. Satu studi populasi
kembar yang berbasis di Finlandia telah menunjukkan rate konkordansi pada kembar yang
setinggi 40%. Efek lingkungan dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingkat konkordansi
diabetes tibe 2 lebih tinggi daripada tipe 1 DM. Studi genetika molekular pada diabetes tipe
2, menunjukkan bahwa mutasi pada gen insulin mengakibatkan sintesis dan sekresi insulin
yang abnormal, keadaan ini disebut sebagai insulinopati. Sebagian besar pasien dengan
insulinopati menderita hiperinsulinemia, dan bereaksi normal terhadap administrasi insulin
eksogen. Gen reseptor insulin terletak pada kromosom yang mengkodekan protein yang
memiliki alfa dan subunit beta, termasuk domain transmembran dan domain tirosin kinase.
Mutasi mempengaruhi gen reseptor insulin telah diidentifikasi dan asosiasi mutasi dengan
diabetes tipe 2 dan resistensi insulin tipe A telah dipastikan.
Insulin resistensi tidak cukup untuk menyebabkan overt glucose intolerance, tetapi
dapat memainkan peranan yang signifikan dalam kasus obesitas di mana terdapat penurunan
fungsi insulin. Insulin resistensi mungkin merupakan event sekunder pada diabetes tipe 2,
karena juga ditemukan pada individual obese non-diabetik. Namun, gangguan dalam sekresi
insulin barulah faktor primer dalam diabetes tipe 2. Banyak faktor berkontribusi kepada
ketidakpekaan insulin, termasuk obesitas dan durasi obesitas, umur, kurangnya latihan,
peningkatan pengambilan lemak dan kurangnya serat dan faktor genetik. Obesitas dapat
disebabkan oleh faktor genetika bahkan faktor lingkungan, namun, ini memiliki efek yang
kuat pada pengembangan diabetes tipe 2 DM seperti yang ditemukan di negara-negara barat
dan beberapa etnis seperti Pima Indian. Evolusi obesitas sehingga menjadi diabetes tipe 2
adalah seperti berikut: (1) augmentasi dari massa jaringan adiposa, yang menyebabkan
peningkatan oksidasi lipid. (2) insulin resistensi pada awal obesitas, dinampakkan dari klem
euglycemic, sebagai resistent terhadap penyimpanan glukosa insulinmediated dan oksidasi.
Seterusnya memblokir fungsi siklus glikogen. (3) meskipun sekresi insulin dipertahankan,
namun, glikogen yang tidak terpakai mencegah penyimpanan glukosa yang lebih lanjut dan
mengarah ke diabetes tipe2. (4) kelehan sel beta yang menghasilkan insulin secara komplet.
Dari proses-proses ini, dapat dinyatakan bahwa obesitas lebih dari sekedar faktor risiko
sahaja, namun dapat memiliki efek kausal dalam pengembangan diabetes tipe 2.
2.3.5 Gejala Diabetes Melitus
• banyak minum,
• banyak kencing,
• Rasa haus
• Banyak kencing
• Rasa lapar
• Badan lemas
• Rasa gatal
• Kesemutan
• Mata kabur
• Kulit Kering
Komplikasi:
• Penglihatan kabur
• Penyakit jantung
• Penyakit ginjal
• Pembusukan
Jika tidak tepat ditangani, dalam jangka panjang penyakit diabetes bisa menimbulkan
berbagai komplikasi. Maka bagi penderita diabet jangan sampai lengah untuk selalu
mengukur kadar gula darahnya, baik ke laboratorium atau gunakan alat sendiri. Bila tidak
waspada maka bisa berakibat pada gangguan pembuluh darah antara lain :
• pembuluh darah kaki (luka yang sukar sembuh/gangren). Penderita juga rentan
infeksi, mudah terkena infeksi paru, gigi, dan gusi serta saluran kemih. 18
2.4 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap
objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).19
1. Tahu (know)
Diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah
mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu.
2. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar
dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar
objek tersebut.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat
menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.
4. Analisa (analisys)
masalah.
5. Sintesis (synthesis)
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen- komponen pengetahuan yang
dimiliki.
6. Evaluasi (evaluation)
1. Pendidikan
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio,
surat kabar, majalah, internet, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan opini dan kepercayaan orang.
Kebiasan dan tradisi yang dilakukan oleh orang-orang tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk.
4. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan fisik,
biologis, maupun sosial.
5. Pengalaman
Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan jumlah skor jawaban dengan skor
yang diharapkan (tertinggi) kemudian dikalikan 100% dan hasilnya berupa prosentase dengan
rumus yang digunakan sebagai berikut:19
Keterangan :
N = Nilai pengetahuan
Misal : jumlah jawaban benar Responden A = 20. Julah soal 25 (nilai maksimal 25). Maka
nilai prosentase Responden A =
20
X 100% = 80%
25
Sebelum Penyuluhan
Pengetahuan
Sesudah Penyuluhan
- Baik - Baik
- Cukup - Cukup
- Kurang - Kurang
- Tidak baik - Tidak baik
BAB III
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh peserta senam prolanis di puskesmas
perumnas Arga makmur.
b. Sampel
Sampel adalah bagian tertentu yang dipilih dari populasi. Sampel yang diambil pada
penelitian ini adalah seluruh peserta senam prolanis di puskemas perumnas Arga makmur.
Kriteria Inklusi :
Kriteria ekslusi :
1. Tidak datang saat penelitian
2. Tidak bersedia menjadi responden.
c. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel adalah suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam
penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel mewakili keseluruhan populasi
yang ada. Dalam penelitian ini menggunakan teknik Total sampling. Total sampling adalah
penentuan sampel jika jumlah populasi dijadikan sampel.
HASIL PENELITIAN
Pada Tabel 4.1 didapatkan persentase usia responden yang berusia kurang dari 50 tahun
sebanyak 33 %, untuk pasien berusia 50-60 tahun sebanyak 50 %, sementara itu pasien yang
berusia lebih dari 60 tahun sebanyak 17 %. Dibawah ini disajikan Grafik 4.1 yang
menunjukan demografi responden berdasarkan usia.
60%
40% < 50 tahun
0% > 60 tahun
usia
Pada Tabel 4.2 didapatkan persentase jenis kelamin wanita sebanyak 100%, sementara itu
persentase jenis kelamin laki-laki sebanyak 0 %. Hal ini terjadi karena peserta senam prolanis
yang di Puskesmas prumnas Arga Makmur hanya peserta wanita yang aktiv dan rutin
mengikuti senam. Dibawah ini disajikan Grafik 4.2 yang menunjukan demografi responden
berdasarkan jenis kelamin.
150%
100%
Wanita
50%
Pria
0%
jenis Kelamin
Pada Tabel 4.3 didapatkan gambaran tingkat pendidikan yang tidak sekolah sebanyak 16
%, tamatan SD sebanyak 26 %, tamatan SLTP sebanyak 8 %, tamatan SLTA sebanyak 30 %,
tamatan perguruan tinggi sebanyak 20 %. Dari data tersebutkan disajikan Grafik 4.3 yang
mengambarkan demografi responden berdasarkan tingkat pendidikannya.
40%
Tidak sekolah
30%
SD
20%
SLTP
10% SLTA
0% PT
Pendidikan
Tabel 4.4 Gambaran tingkat pengetahuan responden tentang diabetes melitus sebelum
penyuluhan secara umum.
Pada Tabel 4.4 didapatkan gambaran tingkat pengetahuan responden tentang diabetes
melitus sebelum penyuluhan yang berpengetahuan tidak baik sebanyak 8 %, kurang
sebanyak 4 %, cukup sebanyak 73 %, baik sebanyak 15 %. Dari data tersebut disajikan grafik
4.4 yang menggambarkan tingkat pengetahuan responden tentang diabetes melitus sebelum
penyuluhan.
80%
60% Tidak Baik
40% Kurang
20% Cukup
0% Baik
Tingkat Pengetahuan
Grafik 4.4 tingkat pengetahuan responden tentang diabetes melitus sebelum penyuluhan.
Tabel 4.5 Gambaran tingkat pengetahuan responden sesudah penyuluhan secara umum.
80%
60% Tidak baik
40% Kurang
20% Cukup
0% Baik
Tingkat pengetahuan
Grafik 4.5 tingkat pengetahuan responden tentang diabetes melitus sesudah penyuluhan.
4.1.6 Tingkat Pengetahuan tentang Penyakit Diabetes Melitus Berdasarkan Tingkat
pendidikan Sebelum Penyuluhan
Tabel 4.6 Gambaran tingkat pengetahuan responden tentang diabetes melitus berdasarkan
tingkat pendidikan sebelum diberikan penyuluhan.
Pada Tabel 4.6 didapatkan data tingkat pengetahuan tentang diabetes melitus sebelum
penyuluhan, untuk tingkat pendidikan tidak sekolah didapatkan tingkat pengetahuan tidak
baik sebanyak 25 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 50 %, baik 25 %. Tingkat pendidikan
tamat SD didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 27 %, Kurang sebanyak 0 %,
cukup 83 %, baik 0 %. Tingkat pendidikan tamat SLTP didapatkan tingkat pengetahuan tidak
baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 100 %, baik 0 %. Tingkat pendidikan
tamat SLTA didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 15 %, Kurang sebanyak 15
%, cukup 42 %, baik 28 %. Tingkat pendidikan Perguruan tinggi didapatkan tingkat
pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 80 %, baik 20 %.
Tabel 4.7 Gambaran tingkat pengetahuan responden tentang diabetes melitus berdasarkan
tingkat pendidikan sesudah diberikan penyuluhan.
Pada Tabel 4.7 didapatkan data tingkat pengetahuan tentang penyakit diabetes melitus
setelah penyuluhan, untuk tingkat pendidikan tidak sekolah didapatkan tingkat pengetahuan
tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 25 %, cukup 50 %, baik 25 %. Tingkat
pendidikan tamat SD didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang
sebanyak 0 %, cukup 50 %, baik 50 %. Tingkat pendidikan tamat SLTP didapatkan tingkat
pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 100 %, baik 0 %.
Tingkat pendidikan tamat SLTA didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %,
Kurang sebanyak 0 %, cukup 85 %, baik 15 %. Tingkat pendidikan Perguruan tinggi
didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 40 %,
baik 60 %.
Tabel 4.8 Gambaran tingkat pengetahuan responden tentang hipertensi sebelum penyuluhan
secara umum.
Pada Tabel 4.4 didapatkan gambaran tingkat pengetahuan responden tentang hipertensi
sebelum penyuluhan yang berpengetahuan tidak baik sebanyak 8 %, kurang sebanyak 0 %,
cukup sebanyak 17 %, baik sebanyak 75 %. Dari data tersebut disajikan grafik 4.6 yang
menggambarkan tingkat pengetahuan responden tentang hipertensi sebelum penyuluhan.
100%
Tidak baik
50% Kurang
Cukup
0%
Baik
Tingkat pengetahuan
Tabel 4.9 Gambaran tingkat pengetahuan responden tentang hiperternsi sesudah penyuluhan
secara umum.
50% Kurang
Cukup
0% Baik
Tingkat pengetahuan
Tabel 4.10 Gambaran tingkat pengetahuan responden tetntang hipertensi berdasarkan tingkat
pendidikan sebelum diberikan penyuluhan.
Pada Tabel 4.6 didapatkan data tingkat pengetahuan untuk tingkat pendidikan tidak
sekolah didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 25 %, Kurang sebanyak 0 %,
cukup 50 %, baik 25 %. Tingkat pendidikan tamat SD didapatkan tingkat pengetahuan tidak
baik sebanyak 17 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 33 %, baik 50 %. Tingkat pendidikan
tamat SLTP didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %,
cukup 0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan tamat SLTA didapatkan tingkat pengetahuan
tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan
Perguruan tinggi didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak
0 %, cukup 0 %, baik 100 %.
Tabel 4.11 Gambaran tingkat pengetahuan responden berdasarkan tingkat pendidikan sesudah
diberikan penyuluhan.
Pada Tabel 4.7 didapatkan data tingkat pengetahuan tentang hipertensi sesudah diberikan
penyuluhan, untuk tingkat pendidikan tidak sekolah didapatkan tingkat pengetahuan tidak
baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 25 %, baik 75 %. Tingkat pendidikan
tamat SD didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %,
cukup 17 %, baik 83 %. Tingkat pendidikan tamat SLTP didapatkan tingkat pengetahuan
tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan
tamat SLTA didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %,
cukup 0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan Perguruan tinggi didapatkan tingkat pengetahuan
tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 0 %, baik 100 %.
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian tentang gambaran tingkat pengetahuan tentang penyakit diabetes melitus dan
hipertensi pada peserta senam prolanis di Puskesma perumnas Arga Makmur sebelum dan
sesudah dilakukan penyuluhan, pembahasan dalam penelitian ini sebagai berikut:
5.2 Tingkat Pengetahuan tentang Diabetes Melitus dan Hipertensi Sebelum dan
Sesudah Penyuluhan berdasarkan tingkat pendidikan
Dari penelitian ini didapatkan data tingkat pengetahuan reponden tentang diabates
melitus sesuai tingkat pendidikanya sebelum dilakukan penyuluhan. Tingkat pengetahuan
untuk tingkat pendidikan tidak sekolah didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak
25 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 50 %, baik 25 %. Tingkat pendidikan tamat SD
didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 17 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 33
%, baik 50 %. Tingkat pendidikan tamat SLTP didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik
sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan tamat
SLTA didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %,
cukup 0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan Perguruan tinggi didapatkan tingkat pengetahuan
tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 0 %, baik 100 %.
Setelah penyuluhan didapatkan data tingkat pengetahuan reponden tentang diabates
melitus sesuai tingkat pendidikanya, untuk tingkat pendidikan tidak sekolah didapatkan
tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 25 %, cukup 50 %, baik 25
%. Tingkat pendidikan tamat SD didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %,
Kurang sebanyak 0 %, cukup 50 %, baik 50 %. Tingkat pendidikan tamat SLTP didapatkan
tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 100 %, baik 0
%. Tingkat pendidikan tamat SLTA didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %,
Kurang sebanyak 0 %, cukup 85 %, baik 15 %. Tingkat pendidikan Perguruan tinggi
didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 40 %,
baik 60 %.
Untuk pengetahuan tentang hipertensi didapatkan data, untuk tingkat pendidikan tidak
sekolah didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 25 %, Kurang sebanyak 0 %,
cukup 50 %, baik 25 %. Tingkat pendidikan tamat SD didapatkan tingkat pengetahuan tidak
baik sebanyak 17 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 33 %, baik 50 %. Tingkat pendidikan
tamat SLTP didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %,
cukup 0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan tamat SLTA didapatkan tingkat pengetahuan
tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan
Perguruan tinggi didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak
0 %, cukup 0 %, baik 100 %.
Setalah dilakukan penyuluhan didapatkan data, tingkat pendidikan tidak sekolah
didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 25 %,
baik 75 %. Tingkat pendidikan tamat SD didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik
sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 17 %, baik 83 %. Tingkat pendidikan tamat
SLTP didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup
0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan tamat SLTA didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik
sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup 0 %, baik 100 %. Tingkat pendidikan Perguruan
tinggi didapatkan tingkat pengetahuan tidak baik sebanyak 0 %, Kurang sebanyak 0 %, cukup
0 %, baik 100 %.
Dari gambaran data- data tersebut menunjukan bahwa pendidikan perguruan tinggi dan
SLTA terjadi peningkatan persentase tingkat pengetahuan yang lebih baik dibandingakan
responden yang tidak sekolah, tamatan SD dan SLTA. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh
Wawan dan Dewi (2011), bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula
mereka menerima informasi dan pada akhirnya pengetahuan yang dimiliki semakin banyak.
Sebaliknya jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, maka akan menghambat
perkembangan sikap orang tersebut terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai yang baru
diperkenalkan.21
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
- Karakteristik usia responden pada penelitian ini paling banyak pada rentang usia 50
sampai 60 tahun dengan persentase sebanyak 50 % responden.
- Responden pada penelitian ini hanya diikuti oleh responden dengan jenis kelamin
wanita, hal ini karena tidak adanya peserta senam prolanis di Puskesmas perumnas
Arga Makmur dengan jenis kelamin pria.
- Pada penelitian ini latar pendidikan responden terbanyak berlatar pendidikan SLTA
dengan persentase 30 %, dan paling sedikit berlatar pendidikan SLTP dengan
persentase 8 %.
- Pada penelitian ini terjadi peningkatan tingkat pengetahuan responden setelah diberikan
penyuluhan.
- Semakin tinggi latar belakang responden semakin tinggi persentase peningkatan tingkat
pengetahuan yang terjadi.