Anda di halaman 1dari 30

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

RUPTUR URETRA POSTERIOR

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi


Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Radiologi di RS Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh :
Cheri Andayani 30101306901
Humam Nur Ashfiar 30101306963
Retno Sulistyo Unggul Pertiwi 30101307057

Pembimbing :
Dr. dr. Bambang Satoto, Sp.Rad(K)., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

RUPTUR URETRA POSTERIOR

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi


Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Radiologi di RS Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh :
Cheri Andayani 30101306901
Humam Nur Ashfiar 30101306963
Retno Sulistyo Unggul Pertiwi 30101307057

Judul : Ruptur Uretra Posterior


Bagian : Ilmu Radiologi
Fakultas : Kedokteran UNISSULA
Pembimbing : Dr. dr. Bambang Satoto, Sp.Rad(K)., M.Kes

Telah diajukan dan disahkan,


Semarang, Desember 2018
Pembimbing,

Dr. dr. Bambang Satoto, Sp.Rad(K)., M.Kes

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
1.3. Manfaat Penulisan .................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
2.1. Anatomi dan Fisiologi Uretra ....................................................................... 3
2.2. Epidemiologi ................................................................................................ 9
2.3. Etiologi ......................................................................................................... 9
2.4. Patofisiologi................................................................................................ 10
2.5. Manifestasi klinis ....................................................................................... 10
2.6. Diagnosis Radiologi ................................................................................... 12
2.7. Penatalaksanaan .......................................................................................... 15
BAB III ................................................................................................................. 18
3.1 Identitas Pasien ....................................................................................... 18
3.2 Anamnesis (Autoanamnesis) .................................................................. 18
3.3 Pemeriksaan Fisik................................................................................... 19
3.4 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 21
3.5 Diagnosis ................................................................................................ 24
BAB IV ................................................................................................................. 25
BAB V................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ruptur uretra adalah suatu kegawatdaruratan bedah yang sering terjadi
oleh karena fraktur pelvis akibat kecelakaan lalulintas atau jatuh dari
ketinggian. Sekitar 70% dari kasus fraktur pelvis yang terjadi akibat dari
kecelakaan lalulintas/kecelakaan kendaraan bermotor, 25% kasus akibat jatuh
dari ketinggian, dan 90% kasus cedera uretra akibat trauma tumpul. Secara
keseluruhan pada fraktur pelvis akan terjadi pula cedera uretra bagian
posterior (3,5%-19%) pada pria, dan (0%-6%) pada uretra perempuan (
Smith.2009)
Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra
posterior dengan angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama
terjadinya fraktur pelvis adalah kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh
cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian lebih dari 15 kaki (13%),
kecelakaan pada penumpang mobil (10,2%) dan kecelakaan kerja (6%).
Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda bahwa telah terjadi cedera
intraabdominal ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-
20% pasien. Cedera organ terbanyak pada fraktur pelvis adalah pada uretra
posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh cedera hati (6,1%-10,2%) dan cedera
limpa (5,2%-5,8%) (Schreiter.2006).
Fraktur pelvis yang tidak stabil atau fraktur pada ramus pubis bilateral
merupakan tipe fraktur yang paling memungkinkan terjadinya cedera pada
urethra posterior. Dilaporkan, cedera pada urethra posterior sekitar 16% pada
fraktur pubis unilateral dan meningkat menjadi 41% pada fraktur pubis
bilateral. Cedera urethra prostatomembranaceus bervariasi mulai dari jenis
simple ( 25%), ruptur parsial ( 25%) dan ruptur komplit ( 50%) ( Smith.2009 )
Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada laki-laki yang
menyebabkan cedera uretra bervariasi antara 1-25% dengan nilai rata-rata

1
10%. Cedera uretra pada wanita dengan fraktur pelvis sebenarnya jarang
terjadi, tetapi beberapa kepustakaan melaporkan insiden kejadiannya sekitar 4-
6% ( Smith.2009 )
Angka kejadian cedera uretra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis
kebanyakan ditemukan pada awal dekade keempat, dengan umur rata-rata 33
tahun.Pada anak (<12 tahun) angka kejadiannya sekitar 8%.Terdapat
perbedaan persentasi angka kejadian fraktur pelvis yang menyebabkan cedera
uretra pada anak dan dewasa. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56% kasus yang
merupakan resiko tinggi untuk terjadinya cedera uretra ( Smith.2009 )
Trauma uretra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita,
perbedaan ini disebabkan karena uretra wanita pendek, lebih mobilitas dan
mempunyai ligamentum pubis yang tidak kaku (Schreiter.2006)

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1 Memahami definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
penatalaksanaan rupture uretra posterior.
1.2.2 Memahami gambaran radiologi rupture uretra posterior.

1.3. Manfaat Penulisan


1.3.1 Dapat menerapkan cara penegakan diagnosis rupture uretra
posterior.
1.3.2 Dapat mengusulkan jenis pemeriksaan radiologi rupture uretra
posterior.
Dapat mendeskripsikan gambaran radiologi rupture uretra posterior.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Uretra


Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-
buli melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian
yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi
juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra dilengkapi dengan sfingter
uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta
sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan
posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi
oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini
terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot lurik dipersarafi oleh
sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang.
Pada saat miksi sfingter ini tetap terbuka dan tetap tertutup pada saat
menahan miksi.(purnomo,2008)

Gambar 1. Potongan sagital panggul pria (Martini,2009)

3
Gambar 2. Penampang melintang uretra pria (Martini,2009)

Panjang uretra laki-laki dewasa sekitar 18 cm, dengan


perbandingan uretra posterior 3 cm dan uretra anterior 15 cm, titik baginya
berada antara 2 lokasi pada membran perineal. Uretra dapat dibedakan ke
dalam 5 segmen yaitu :
a. Uretra posterior
· Uretra pars prostatika
· Uretra pars membranasea
b. Uretra anterior
· Uretra pars bulbosa
· Uretra pars pendulosa
· Fossa naviculare
Uretra pars prostatika berjalan menembusi prostat, mulai dari basis
prostat sampai pada apeks prostat. Panjang kira-kira 3 cm. Mempunyai
lumen yang lebih besar daripada di bagian lainnya. Dalam keadaan kosong
dinding anterior bertemu dengan dinding posterior. Dinding anterior dan
dinding lateral membentuk lipatan longitudinal. Pada dinding posterior di
linea mediana terdapat crista urethralis, yang kearah cranialis
berhubungan dengan uvula vesicae, dan ke arah caudal melanjutkan diri
pada pars membranasea. Pada crista urethralis terdapat suatu tonjolan yang
dinamakan collicus seminalis (verumontanum), berada pada perbatasan
segitiga bagian medial dan sepertiga bagian caudal uretra pars prostatika.

4
Pada puncak dari colliculus terdapat sebuah lubang, disebut utriculus
prostaticus, yang merupakan bagian dari suatu diverticulum yang
menonjol sedikit ke dalam prostat. Bangunan tersebut tadi adalah sisa dari
pertemuan kedua ujung caudalis ductus paramesonephridicus (pada wanita
ductus ini membentuk uterus dan vagina). Di sisi-sisi utriculus prostaticus
terdapat muara dari ductus ejaculatorius (dilalui oleh semen dan secret dari
vesicula seminalis). Saluran yang berada di sebelah lateral utriculus
prostaticus, disebut sinus prostaticus, yang pada dinding posteriornya
bermuara saluran-saluran dari glandula prostat (kira-kira sebanyak 30
buah).(Martini,2009)
Uretra pars membranasea berjalan kearah caudo-ventral, mulai dari
apeks prostat menuju ke bulbus penis dengan menembusi diaphragma
pelvis dan diaphragma urogenitale. Merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit, serta kurang mampu berdilatasi. Ukuran panjang 1 – 2 cm,
terletak 2,5 cm di sebelah dorsal tepi caudal symphysis osseum pubis.
Dikelilingi oleh m.sphincter urethrae membranasea pada diaphragma
urogenitale. Tepat di caudalis diaphragma urogenitale, dinding dorsal
urethra berjalan sedikit di caudalis diaphragma. Ketika memasuki bulbus
penis urethra membelok ke anterior membentuk sudut lancip. Glandula
bulbourethralis terletak di sebelah cranial membrana perinealis, berdekatan
pada kedua sisi uretra. Saluran keluar dari kelenjar tersebut berjalan
menembusi membrana perinealis, bermuara pada pangkal uretra pars
spongiosa.(Martini,2009)
Uretra pars spongiosa berada di dalam corpus spongiosum penis,
berjalan di dalam bulbus penis, corpus penis sampai pada glans penis.
Panjang kira-kira 15 cm, terdiri dari bagian yang fiks dan bagian yang
mobil. Bagian yang difiksasi dengan baik dimulai dari permukaan inferior
membrane perinealis, berjalan di dalam bulbus penis. Bulbus penis
menonjol kira-kira 1,5 cm di sebelah dorsal uretra. Bagian yang mobil
terletak di dalam bagian penis yang mobil. Dalam keadaan kosong,
dinding uretra menutup membentuk celah transversal dan pada glans penis

5
membentuk celah sagital. Lumen uretra pars spongiosa masing-masing di
dalam bulbus penis, disebut fosssa intrabulbaris, dan pada glans penis,
dinamakan fossa navicularis urethrae. Lacunae urethrales (= lacuna
morgagni ) adalah cekungan-cekungan yang terdapat pada dinding uretra
di dalam glans penis yang membuka kearah ostium uretra eksternum, dan
merupakan muara dari saluran keluar dari glandula urethrales. Ostium
uretra eksternum terdapat pada ujung glans penis dan merupakan bagian
yang paling sempit. (Martini,2009)
Uretra pars bulbosa bermula di proksimal setinggi aspek inferior
dari diafragma urogenitalia, yang menembus dan berjalan melalui korpus
spongiosum. Korpus spongiosum merupakan jaringan serabut otot polos
dan elastin yang kaya akan vaskularisasi. Kapsul fibrosa yang dikenal
sebagai tunika albuginea mengelilingi korpus spongiousum. Korpus
spongiosum dan korpus kavernosum bersama-sama ditutupi oleh dua
lapisan berurutan. Lapisan ini antara lain fascia buck’s dan fascia dartos,
fascia buck’s merupakan lapisan paling tebal terdiri dari dua lapisan dan
masing-masing terdiri atas lamina interna dan eksterna. Dua lamina dari
fascia buck’s membagi diri untuk menutupi korpus spongiosum. Fascia
dartos merupakan lapisan jaringan ikat longgar subdermal yang
berhubungan dengan fascia colles di perineum.(Cummings,2012)
Lumen uretra terletak di tengah bagian posterior korpus
spongiosum melalui uretra pars bulbosa, tetapi terpusat pada uretra pars
pendulosa. Berdasarkan defenisinya, uretra pars bulbosa tidak hanya
ditutupi oleh korpus spongiosum, tetapi juga oleh penggabungan garis
tengah dari otot ischiokavernosus. Otot bulbospongiosum berakhir hanya
pada proksimal sampai penoskrotal junction, dimana uretra berlanjut ke
distal sebagai uretra pars pedunlosa. Uretra pars pendulosa dekat dengan
korpus korporal di bagian dorsal. Di distal sebagian besar bagian dari
uretra anterior adalah fossa naviculare, yang dikelilingi oleh jaringan
spongiosa dari glans penis.(Cummings,2012)

6
Uretra wanita dewasa berukuran panjang sekitar 4 cm dan berjalan
uretrovesikal junction pada kollumna vesika urinaria ke vestibulum
vagina. Dua lapisan otot polos berjalan ke distal dari kollumna vesika
urinaria mengelilingi bagian proksimal uretra lapisan dalam merupakan
bagian sirkuler, sedangkan lapisan luar berjalan secara longitudinal. Otot
polos dikelilingi oleh lapisan otot lurik yang paling tebal setinggi
pertengahan uretra dan berkurang pada aspek
posteriornya.(Cummings,2012)

Gambar 3. Gambaran anatomi uretra pada pria (Martini,2009)

7
Lapisan uretra laki – laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan
paling dalam), dan lapisan submukosa. (Purnomo,2008)
Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan1,2,4:
 Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari
Vesika urinaria. Mengandung jaringan elastis dan otot polos.
Sphincter urethra menjaga agar urethra tetap tertutup.
 Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh
darah dan saraf.
 Lapisan mukosa.
Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubis berjalan
miring sedikit kearah atas, panjangnya ± 3 – 4 cm. Lapisan uretra pada
wanita terdiri dari Tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongeosa
merupakan pleksus dari vena – vena, dan lapisan mukosa (lapisan sebelah
dalam).Muara uretra pada wanita terletak di sebelah atas vagina (antara
klitoris dan vagina) dan uretra di sini hanya sebagai saluran ekskresi.
(Cummings,2012)

Vaskularisasi dan aliran limfe


Pada uretra maskulina, pars prostatika mendapat suplai darah
terutama dari arteri vesikalis inferior dan arteri rektalis media. Uretra pars
membranasea diberi suplai darah dari cabang-cabang arteri dorsalis penis
dan arteri profunda penis. Aliran darah venous menuju pleksus venosus
prostatikus dan ke vena pudenda interna. Aliran limfe dari uretra pars
prostatika dan pars membranasea dibawa oleh pembuluh-pembuluh limfe
yang berjalan mengikuti vasa pudenda interna menuju ke lymphonodus
iliaka interna (sebagian besar) dan ke lymphonodus iliaka eksterna
(sebagian kecil). Aliran limfe dari uretra pars spongiosa, sebagian besar
dibawa menuju lymphonodus inguinalis profunda dan sebagian besar
dibawa menuju ke lymphonodus iliaka interna. (Datu,2011)
Uretra feminine pars kranialis mendapatkan vaskularisasi dari
arteri vesikalis. Pars medialis mendapatkannya dari arteri vesikalis inferior

8
dan cabang-cabang dari arteri uterine, sedangkan pars kaudalis disuplai
oleh arteri pudenda interna. Pembuluh darah vena membawa aliran darah
venous menuju ke plexus venosus vesikalis dan vena pudenda interna.
(Datu,2012)
Innervasi
Uretra maskulina, pars prostatika menerima persarafan dari pleksus
nervosus prostatikus. Uretra pars membranasea dipersarafi oleh nervus
kavernosus penis, pars sponsiosa dipersarafi oleh pleksus nervosus
vesikalis dan pleksus nervosus uretrovaginalis, pars kaudalis dipersarafi
oleh nervus pudendus. (Datu,2012)

2.2. Epidemiologi
Cedera uretra posterior yang paling sering dikaitkan dengan patah
tulang panggul, dengan kejadian 5% -10%. Dengan tingkat tahunan
sebesar 20 patah tulang panggul per 100.000 penduduk. Cedera uretra
anterior kurang sering didiagnosis kegawatdaruratan, dengan demikian,
kejadian yang sebenarnya sulit untuk ditentukan. Namun, banyak pria
dengan striktur uretra bulbar mengingat cedera tumpul yang terjadi di
perineum atau cedera kangkang (straddle injury), membuat frekuensi
sebenarnya dari cedera uretra anterior jauh lebih tinggi. Cedera penetrasi
ke uretra jarang terjadi, dengan pusat-pusat trauma besar melaporkan
hanya sedikit per tahun.(Cummings,2012)

2.3. Etiologi
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera
pada uretra pars posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam
ini yang berhubungan dengan kecelakaan di pabrik atau pertambangan.
Akan tetapi, karena perbaikan dalam hal keselamatan pekerja pabrik telah
menggeser penyebab cedera ini dan menyebabkan peningkatan pada
cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada uretra
terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada
uretra membranasea yang berhubungan dengan trauma tumpul terjadi

9
bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis
dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan
uretra pars prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh
darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang
luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut
terobek, prostat berada buli-buli akan terangkat ke cranial.
(Kawashima,2011)

2.4. Patofisiologi
Cedera pada uretra posterior terjadi ketika terdapat gesekan yang
kuat pada persimpangan prostatomembranous pada trauma tumpul
panggul. Uretra pars prostatika dalam posisi tetap karena adanya tarikan
dari ligamen puboprostatic. Perpindahan dari tulang panggul dari fraktur
akibat cedera (fracture type injury) menyebabkan uretra pars membranosa
mengalami peregangan atau bahkan robek.(Purnomo,2008)
Cedera uretra anterior paling sering terjadi karena pukulan benda
tumpul ke perineum, menyebabkan hancurnya jaringan uretra. Luka-luka
awal sering diabaikan oleh pasien, dan pada akhirnya cedera uretra
anterior tersebut dapat memberikan manifestasi klinik beberapa tahun
kemudian sebagai sebuah striktur yang merupakan hasil penyempitan dari
jaringan parut yang disebabkan oleh iskemia pada tempat cedera. Luka
tembus juga terjadi pada uretra anterior sebagai akibat dari kekerasan
eksternal. (Purnomo,2008)

2.5. Manifestasi klinis


Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis.
Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas
hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur kandung kemih, bisa
dijumpai tanda rangsangan peritoneum. Pasien biasanya mengeluh tidak
bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian bawah.(Purnomo,2008)
Kemungkinan terjadinya cedera uretra posterior harus segera
dicurigai pada pasien yang telah didiagnosis fraktur pelvis. Seperti yang

10
telah dikemukakan sebelumnya, beberapa jenis fraktur pelvis lebih sering
berhubungan dengan cedera uretra posterior dan terlihat pada 87% sampai
93% kasus. Akan tetapi, banyaknya darah pada meatus uretra tidak
berhubungan dengan beratnya cedera. Teraba buli-buli yang cembung
(distended), urin tidak bisa keluar dari kandung kemih atau memar pada
perineum atau ekimosis perineal merupakan tanda tambahan yang merujuk
pada gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan uretra
prostatomembranosa adalah fraktur pelvis, darah pada meatus dan urin
tidak bisa keluar dari kandung kemih.(Cummings,2012)
Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang
paling penting dari kerusakan uretra. Pada kerusakan uretra tidak
diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan
infeksi pada periprostatik dan perivesical dan konversi dari incomplete
laserasi menjadi complete laserasi. Cedera uretra karena pemasangan
kateter dapat menyebabkan obstuksi karena edema dan bekuan darah.
Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam. Ekstravasasi
urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh tergantung fascia yang
rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang
mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. Adanya darah
pada ostium uretra eksterna mengindikasikan pentingnya uretrografi untuk
menegakkan diagnosis.(Datu,2011)
Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada pelvis
dengan pengeseran prostat ke superior. Bagaimanapun pemeriksaan
rektum dapat diinprestasikan salah, karena hematoma pelvis bisa mirip
denagan prostat pada palpasi. Pergeseran prostat ke superior tidak
ditemukan jika ligament puboprostikum tetap utuh. Disrupsi parsial dari
uretra membranasea tidak disertai oleh pergeseran prostat.(Datu,2011)
Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan
terdorong ke atas oleh penyebaran dari hematoma pada pelvis. High riding
prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan pada ruptur uretra
posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur pelvis kadang-

11
kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang ukurannya
kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang
normal mungkin adalah hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih
penting untuk mengetahui ada tidaknya jejas pada rektal yang dapat
dihubungkan dengan fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari
pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi yang
diperiksa.(Rosentein,2006)

2.6. Diagnosis Radiologi


1. Voiding cystourethrography adalah cara paling efektif untuk mengevaluasi
bagian posterior uretra.
2. Retrograde urethrography adalah modalitas pilihan untuk memeriksa
bagian anterior uretra. Ini akan menunjukkan kontras ekstraluminal, yang
telah ekstravasasi dari uretra di lokasi cedera. Penting untuk menentukan
apakah itu di atas diafragma urogenital (anterior) atau di bawah (posterior)
itu. Pasien dengan cedera yang tidak lengkap dapat mewakili dengan
striktur.
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk
mendiagnosis cedera uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan
pada keadaan trauma. Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang
ideal untuk saluran kemih bagian atas dan cedera vesika urinaria dan
terbatas dalam mendiagnosis cedera uretra. Sementara MRI berguna untuk
pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi,
pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera uretra. Sama
halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis dan
vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik.(Kawashima,2011)

12
Gambar 5. Uretra posterior masih utuh tetapi meregang pada
trauma tumpul. Retrograd uretrogram memperlihatkan peregangan dari
uretra posterior dan “diastasis” dari simphisis pubis.7

Gambar 6. Ruptur uretra posterior diatas dari diafragma urogenital


yang masih utuh disertai trauma tumpul (cedera uretra tipe
II).(Schreiter,2006)

13
Gambar 7. Ruptur uretra posterior meluas hingga di bawah
diafragma urogenitalia, dan uretra pars bulbosa bagian proksimal ikut
rusak (cedera uretra tipe III). (Schreiter,2006)
Tingkat cedera dapat dikategorikan:
 luka memar
 normal secara radiografi
 gangguan sebagian
 ekstravasasi kontras dengan pemeliharaan kontinuitas uretra normal
 gangguan total
 ekstravasasi kontras dengan hilangnya kontinuitas uretra dan kurangnya
pengisian uretra proksimal
3. CT
CT cystography dapat dilakukan tetapi ini kurang spesifik untuk
cedera uretra vs kandung kemih. Ciri-ciri lain dari cedera uretra termasuk
hematoma retropubik dan perifer serta pengaburan bidang lemak
urogenital.(Ali, 2003)

14
2.7. Penatalaksanaan
A. Emergency
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan
obat-obat analgesik. Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat
kencing, tidak perlu menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika tidak
bisa kencing dan tidak ada ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan
kateter harus dilakukan dengan lubrikan yang adekuat.(Purnomo,2008)
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan
organ lain, cukup dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari
kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan
pemasangan kateter silicon selama 3 minggu.(Kawashima,2011)
B. Pembedahan
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan.
Kateter uretra harus dihindari.
 Immediate management

15
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase
urin. Insisi midline pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari
pendarahan yang banyak pada pelvis. Buli-buli dan prostat biasanya
elevasi kearah superior oleh pendarahan yang luas pada periprostatik dan
perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh akumulasi volume urin yang
banyak selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin sering bersih
dan bebas dari darah, tetapi mungkin terdapat gross hematuria. Buli-buli
harus dibuka pada garis midline dan diinspeksi untuk laserasi dan jika ada,
laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan
pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik
dipertahankan selama 3 bulan. Pemasangan ini membolehkan resolusi dari
hematoma pada pelvis, dan prostat & buli-buli akan kembali secara
perlahan ke posisi anatominya.(Kawashima2011)
 Delayed urethral reconstruction
Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan
dalam 3 bulan, diduga pada saat ini tidak ada abses pelvis atau bukti lain
dari infeksi pelvis. Sebelum rekonstuksi, dilakukan kombinasi sistogram
dan uretrogram untuk menentukan panjang sebenarnya dari striktur uretra.
Panjang striktur biasanya 1-2 cm dan lokasinya dibelakang dari tulang
pubis. Metode yang dipilih adalah “single-stage reconstruction” pada
ruptur uretra dengan eksisi langsung pada daerah striktur dan anastomosis
uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu dipasang kateter uretra ukuran 16
F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah rekonstuksi,
kateter uretra dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika
sistogram memperlihatkan uretra utuh dan tidak ada ekstravasasi, kateter
suprapubik dapat dilepas. Jika masih ada ekstravasasi atau striktur, kateter
suprapubik harus dipertahankan. Uretrogram dilakukan kembali dalam 2
bulan untuk melihat perkembangan striktur.(Kawashima,2011)
 Immediate urethral realignment
Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki
uretra. Perdarahan dan hematoma sekitar ruptur merupakan masalah

16
teknis. Timbulnya striktur, impotensi, dan inkotinensia lebih tinggi
dari immediate cystotomydan delayed reconstruction. Walaupun demikian
beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan immediate urethral
realignment. (Kawashima,2011)

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. A
Umur : 41 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Sumbergirang 1/8 Lasem, Rembang
No. RM : 0136xxxx
Ruangan/poli : Baitussalam 1
Tanggal Pemeriksaan : 21 Desember 2018

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


a. Keluhan Utama
Tidak bisa kencing.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Onset : sejak ± 5 hari yang lalu
Lokasi : kemaluan
Konologi : ± 5 hari SMRS pasien menalami
kecelakaan lalulintas kemudian mengeluh
tidak bias kencing dan keluar darah dari
saluran kencing, sudah dirawat di RS
Rembang dan kemudian dirujuk ke RSI
Sultan Agung Semarang.
Kuantitas : terus menerus
Kualitas : darah yang keluar terus bertambah
Faktor memperberat : tidak ada

18
Faktor memperingan : tidak ada
Gejala penyerta : hematuria (+), nyeri di sekitar alat kelamin
(+), demam (-), mual (-), muntah (-), pusing
(+), BAB (+).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit seperti ini sebelumnya disangkal
Riwayat batu saluran kemih disangkal
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat batuk lama disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat batu ginjal disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta, tinggal bersama istri dan
anaknya. Biaya pengobatan menggunakan BPJS.

3.3 Pemeriksaan Fisik


a) KU : Composmentis
b) Kesadaran : Tampak sakit sedang
c) Tekanan darah : 130/80 mmHg
d) Nadi : 80 x/menit
e) RR : 20 x/menit
f) Suhu : 36,4°C
g) Kepala : Mesocephal, rambut warna hitam, dan tidak
mudah rontok

19
h) Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
i) Hidung : Deviasi (-/-), discharge (-/-)
j) Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), mukosa
hiperemis (-), lidah deviasi (-), lidah tremor (-), lidah kotor (-) tepi
hiperemis (-)
k) Telinga : Discharge (-/-), serumen (-/-)
l) Leher : Deviasi trakea (-/-), pembesaran KGB (-/-)
m) Thoraks
- Inspeksi : simetris kanan=kiri, retraksi sela iga (-/-), ictus
cordis tampak, ketertinggalan gerak (-/-), nafas teratur, pergerakan
otot bantu pernafasan (-/-)
- Palpasi : pergerakan dada simetris, stem fremitus kanan=
kiri, nyeri tekan (-), ictus cordis teraba, kuat angkat, danmelebar
(+) ± 3 cm ke caudolateral, getaran / thrill (+)
- Perkusi : sonor hemithorax dextra et sinistra, batas jantung
normal.
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki
basah (-/-), BJ I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
n) Abdomen
- Inspeksi : bentuk datar, warna sawo matang, tidak terdapat
sikatrik, striae dan tidak terdapat nodul di permukaan kulit
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani seluruh regio abdomen (+), shifting
dullness (-)
- Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), defance muscular (-),
nyeri ketok sudut kostovertebra kiri (-), hepar/lien/ren tidak teraba
besar

20
o) Ekstremitas

Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Capillaryrefill time < 2”/ < 2” < 2”/ < 2”
p) Genital
Kulit sekitar genital tidak ada kelainan
Bentuk penis normal, tampak darah pada orifisium uretra eksterna.

3.4 Pemeriksaan Penunjang


3.4.1 Pemeriksaan Uretrosistografi Retrogard
3.4.1.1 Gambaran Foto Polos Pelvis

21
3.4.1.2 Gambaran Uretrosistografi Retrogard (kontras)

22
23
3.4.1.3 Pembacaan Hasil Foto Polos Pelvis
 Opasitas multiple superposisi ramus superior os pubis
kanan (cenderung phlebolith, DD/ bone lession)
 Tak tampak opasitas patologis dalam cavum pelvis
 Tak tampak fraktur pada ossa pelvis maupun dislokasi
coxae joint kanan kiri.
3.4.1.4 Pembacaan Hasil Uretrosistografi Retrogard (kontras)
 Kontras water soluble yang telah diencerkan dimasukkan
secara retrogard melalui melalui orificium urethra eksterna.
 Kontras lancar mengisi urethra pars penile, par bulbosa.
Kontras terhenti pada pars membranosa, dan tampak
ekstravasasi kontras di periurethra pars bulbosa. Kontras
tak mengisi urethra pars prostatika. Tampak penyempitan
urethra pars prostatika.
 Tak tampak additional shadow.
3.4.1.5 K E S A N
 Gambaran ruptur urethra pars posterior
 Tak tampak fraktur pada ossa pelvis maupun dislokasi
coxae joint kanan dan kiri
3.5 Diagnosis
Ruptur Uretra Posterior

24
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini seorang pasien laki-laki dengan usia 41 tahun tahun dirawat di bangsal
baitussalam 1 dan diperiksa pada tangal 21 Desember 2018. Sekitar ± 5 hari sebelum pasien
mengeluh tidak bisa kencing. 5 hari SMRS pasien menalami kecelakaan lalulintas kemudian
mengeluh tidak bias kencing dan keluar darah dari saluran kencing, sudah dirawat di RS
Rembang dan kemudian dirujuk ke RSI Sultan Agung Semarang.selain itu pasien mengeluh
hematuria (+), nyeri di sekitar alat kelamin (+), demam (-), mual (-), muntah (-), pusing (+),
BAB (+). Riwayat sakit sama sebelumnya disangkal.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD 130/80 mmHg, suhu 36,4º C, RR 20
kali/menit, nadi 80 kali/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis,
tampak darah pada orifisium uretra eksterna.
Pada pemeriksaan foto polos pelvis didapatkan opasitas multiple superposisi ramus
superior os pubis kanan (cenderung phlebolith, DD/ bone lession).
Sedangkan pada pemeriksaan Uretrosistografi Retrogard (kontras) didapatkan kontras
water soluble yang telah diencerkan dimasukkan secara retrogard melalui melalui orificium
urethra eksterna mengisi urethra pars penile, par bulbosa. Kontras terhenti pada pars
membranosa, dan tampak ekstravasasi kontras di periurethra pars bulbosa. Kontras tak
mengisi urethra pars prostatika. Tampak penyempitan urethra pars prostatika.

25
BAB V
SIMPULAN

Rupture uretra adalah suatu kegawatdaruratan bedah yang sering terjadi oleh karena
fraktur pelvis akibat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.
Retrograde urethrography adalah modalitas pilihan untuk memeriksa uretra. Ini akan
menunjukkan kontras ekstraluminal, yang telah ekstravasasi dari uretra di lokasi cedera.
Penting untuk menentukan apakah itu di atas diafragma urogenital (anterior) atau di bawah
(posterior) itu. Pasien dengan cedera yang tidak lengkap dapat mewakili dengan striktur.
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis cedera
uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma traktus urinarius.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ali M., Safriel Y., Sclafani S. J., Schulze R., 2003, CT signs of urethral injury.
RadioGraphics 2003; 23:951–963.
Cummings, James, 2012, Urethral Trauma. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/
article/451797-workup#showall.
Datu A. R., 2011, Diktat Urogenitalia. Makassar : FKUH; 2011
Kawashima A., Sandler C. M., Wasserman N. F., et al., 2011, Imaging of urethral disease:
a pictorial review. 2011. Available from: URL
: http://radiographics.rsna.org/content/24/suppl_1/S195.full.pdf+html
Martini F.H., Nath J. L., 2009, The Urinary System. Dalam: Fundamentals of Anatomy &
Physiology, edisi ke 8. San Francisco: Pearson Education; 2009. hal.630-631, 1058.
Purnomo B. B., 2009, Dasar-dasar Urologi. Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2008. hal.
93-9.
Rosentein D. I., Alsikafi N. F., 2006, Diagnosis and classification of urethral injuries. In :
McAninch JW, Resinck MI, editors. Urologic clinics of north america. Philadelpia :
Elseivers Sanders; 2006 . p. 74-83
Schreiter F., et al., 2006, Reconstruction of the bulbar and membranous urethra. In :
Schreiter F, et al, editors. Urethral reconstructive surgery.Germany : Springer
Medizin Verlag Heidelberg; 2006 . p.107-20.
Smith’s general urology.17th Edition. United States of America : Mc Graw Hill; 2008.
p.278-93

27

Anda mungkin juga menyukai