Anda di halaman 1dari 17

MANAJEMEN KASUS

KETUBAN PECAH PREMATUR

MANAJEMEN KASUS

KETUBAN PECAH PREMATUR

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kepaniteraan Di Stase


Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD dr. Soedono Madiun

Oleh :
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOEDONO
SMF OBSTETRI – GINEKOLOGI
Jl. Dr. Soetomo 59. Telp 0351 464326 pswt. 150

LAPORAN KASUS
No. Rekam Medis : 6766612

IDENTITAS
 Nama pasien : Ny. NS umur : 23 tahun
 Nama suami : Tn. D umur : 22 tahun
 Agama : Islam
 Pendidikan istri : SMA
 Pendidikan suami : SA
 Pekerjaan istri : IRT
 Pekerjaan suami : Pekerja Pabrik mebel
 Lama menikah : 1 tahun
 Alamat : Dusun Panggung RT 12/3 Magetan.

MASUK dan KELUAR RS


 Masuk : 30 – 06 – 2019 (04.55 WIB)
 Keluar : 01 – 07 – 2019
ANAMNESIS
 Keluhan utama : Kencang-kencang jarang disertai dengan
keluar cairan bening dan lendir darah dari jalan lahir.
 Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang sendiri dengan keluhan keluar cairan
merembes dari jalan lahir sejak pukul 02.00. keluhan kenceng-
kenceng dan keluar lendir darah disangkal.

 Riwayat penyakit dahulu :


Hipertensi (-)
Penyakit jantung (-)
Diabetes mellitus (-)

 Riwayat pernikahan :
Status : Menikah
Banyak : 1 kali
Usia kawin : 22 tahun
Lama kawin : 1 tahun

 Riwayat kontrasepsi sebelum hamil : tidak ada


 Riwayat Perawatan Antenatal :
o BPM : 8 kali
o Sp.OG : 5 kali
 Riwayat persalinan yang lalu :
1. Riwayat Persalinan:
Tabel 1. Riwayat Persalinan
No. A/P/I/Ab/E/M BBL Cara Lhr Penolong L/P Umur H/M
1.
Hamil ini
2

PEMERIKSAAN FISIK
Status Umum:
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6

Vital sign :
TD : 130/80 mmHg RR : 20 x/menit
N : 82x/menit T : 36,60C
Berat badan : 72 kg Tinggi Badan : 152 cm
IMT : 31,3 kg/m2 (Obesitas grade I)
Kepala leher : anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispneu (-)
Cardiologi : S1S2 tunggal reguler
Respirasi : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Ekstremitas : Akral hangat +/+, edem tungkai -/-

Status Obstetri
 Inspeksi
Abdomen membuncit memanjang, stria gravidarum (+), bekas
operasi (-)
 Leopold I
o teraba bulat, lunak, tidak melenting, tinggi fundus
uteri 32 cm.
 Leopold II
o Letak memanjang, sisi kanan ibu teraba bagian kecil-
kecil
o Sisi kiri teraba datar seperti papan  punggung, DJJ
145 kali/menit.
 Leopold III
o teraba bulat, keras, melenting  kepala
 Leopold IV
o Konvergen kepala belum masuk pintu atas panggul
(PAP)
 Kesimpulan palpasi: Letak janin letak kepala, punggung kiri, HIS
(-).
 TFU= 32cm, DJJ 145x /menit
 Periksa dalam: pembukaan 1 cm, eff 0%, presentasi kepala.
Ketuban (-) Lakmus test (+)

 Riwayat Persalinan sekarang


o His Mulai :-
o Ketuban Pecah : Tanggal 30/06/2019 pukul 02.00
o Keluar lendir :-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- NST
- Laboratorium
Laboratorium darah (30-06-2019) pukul. 05.58
Parameter Hematologi Nilai
Hb 11,4 gr/dL
Leukosit 22,78 x 103/µL
Trombosit 286 x 103/µL
Hematokrit 36,4 %
Eritrosit 4.44 x 106/µL
MCV 82,1 Fl
MCH 25,6 pg
MCHC 31,2 g/dl
Eosinofil 0.0 %
Basofil 0.3 %
Neutrofil 82,5 %
Limfosit 11,2 %
Monosit 6%

DIAGNOSIS

G1 P0000 + 38/39 mgg + THIU + Letkep + KPP < 6 jam + TBJ 3000 gr

PLANNING
 Inj. Cefotaxime 1x1
 Pro terminasi
 Observasi tanda-tanda inpartu

30 – 06 – 2019 pukul 07.00


Pemeriksaan Dalam :
• Pembukaan : 4 cm
• Efficement : 50%
• Ketuban : (-)
• Presentasi : Kepala
• Denominator : UUK
• Hodge : II
• UPD : Normal
Diagnosis:
GIP0000 38/39 minggu THIU + letkep + observasi inpartu + inpartu kala 1 fase
aktif + Riwayat KPP + TBJ 3000 gram
Planning:
- Observasi CHPB
- Evaluasi 2 jam pro SptB
30 – 06 – 2019 pukul 08.15
Pemeriksaan Dalam :
• Pembukaan : 7-8 cm
• Efficement : 75%
• Ketuban : (-)
• Presentasi : Kepala
• Denominator : UUK
• Hodge : III
• UPD : Normal
Diagnosis:
GIP0000 38/39 minggu THIU + letkep + observasi inpartu + inpartu kala 1 fase
aktif + Riwayat KPP + TBJ 3000 gram
Planning:
- Observasi CHPB
- Evaluasi 2 jam pro SptB

30 – 06 – 2019 pukul 09.00


• His (+)
• Djj (+) 145x
• VTѲ 10 cm/100%/ket (-)/UUK/UPD N/H III
Assessement : GIP0000 38/39 minggu THIU + letkep + Riwayat KPP + inpartu
kala II + TBJ 3000 gram

Planning :
• Ibu dipimpin mengejan

Tanggal 30 Juni 2019 09.45


Lahir bayi Laki-laki / SptB/ 3200gr / 49 cm / LK 34cm / LD 33cm / LA 31cm /
AS 7,8 / anus (+), tidak ada cacat / caput (-), ketuban jernih. Plasenta dilahirkan
dengan tarikan ringan, lengkap, hecting pada luka episiotomi.
FOLLOW UP PASIEN DI RUANGAN MAWAR

30-6-2019 S : keluhan (-), Perdarahan dari jalan lahir (-) aktif


14.00 O : STU :
- Compos mentis, anemis (-)
- TD: 120/70 mmHg ; N: 84x ; RR: 20x ; tR: 37C
- C/P : dbn
STO :
- Kontraksi uterus baik (+) ; TFU 1 jari dibawah pusat
- V/V fluxus (-)
A : P1001 PP Spt B hari ke-0 + Riw. KPP
P:
- Diet TKTP
- Amoxicillin 3x500 mg
- Asam mefenamat 2x500 mg
- Sulfus ferous 2x1
- Mobilisasi
- v/v hygiene
- Monitoring keluhan, vital sign, fluxus, kontraksi uteri
01-7-2019 S: Keluhan (-), Perdarahan dari jalan lahir (-) aktif,
08.00 O : STU :
- Compos mentis, AICD (-)
- TD: 110/70 mmHg ; N: 84x ; RR: 20x ; tR: 36,6 C
- C/P : dbn
- Abd: dbn
- Ekst: dbn
STO :
- Kontraksi uterus baik (+) ; TFU 1 jari bawah pusat
- V/V fluxus (-)
A : P1000 PP Spt B hari ke-1 + Riwayat KPP
P:
- Diet TKTP
- Mobilisasi
- Amoxicillin 3x500 mg
- Asam mefenamat 2x500 mg
- SF 2x1tab
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
- Observasi keluhan, vital sign
- Pro KRS
LANDASAN TEORI
KETUBAN PECAH PREMATUR (KPP)

A. Definisi
Ketuban pecah prematur (KPP) atau disebut dengan Prelabour Rupture of
Membranes (PROM) (dahulu disebut dengan Premature Rupture of
Membranes) adalah suatu kondisi yang merujuk pada pecahnya selaput
ketuban sebelum onset kontraksi uterus (labour). Jika kejadian ini terjadi
pada kehamilan dengan usia ≤ 37 minggu, maka disebut dengan premature
prelabour rupture of membranes (PPROM) (Cuningham, et al., 2018).
B. Prevalensi
KPP merupakan suatu masalah obstetrik yang dapat menimbulkan
morbiditas maupun mortalitas pada ibu dan janin. Menurut American College
of Obstetric and Gynecology (ACOG) pada tahun 2016, sebanyak 8% dari
kehamilan di dunia disertai dengan ketuban pecah prematur. Sedangkan,
menurut data Depkes RI pada tahun 2010, prevalensi KPP di Indonesia
berkisar antara 4.5%-7.6% dari seluruh kehamilan (Abrar, Handono &
Rukmana, 2017).
C. Etiologi
Saat kelahiran normal, kematian sel yang terprogram, aktivasi enzim
katabolik seperti kolagenase dan rangsangan mekanik pada membrane janin
menyebabkan rupturnya selaput ketuban. Pada KPP, proses yang sama dapat
terjadi dikarenakan adanya proses inflamasi dan atau infeksi selaput ketuban,
kerusakan DNA akibat stres oksidatif dan penuaan sel yang terjadi secara
prematur (Cuningham 2018; Duff, 2019).
D. Faktor Resiko
Jazayeri, A (2018) menyebutkan adanya hubungan antara rendahnya status
sosioekonomi, skor BMI yang rendah, penggunaan tembakau, riwayat
melahirkan premature, infeksi traktus urinarius, perdarahan pervaginam pada
usia kehamilan berapapun, amniocentesis, dan cerclage. Cunningham (2018)
menyebutkan bahwa faktor resiko terjadinya KPP adalah riwayat ketuban
pecah prematur sebelumnya, infeksi cairan amnion, janin ganda, dan solusio
plasenta.
Mochtar et al. (2018) dan Duff (2019) membagi faktor resiko terjadinya
KPP menjadi tiga, yaitu faktor resiko yang berasal dari ibu atau maternal,
faktor uteroplasenta, dan faktor dari fetal.
1. Faktor maternal :
 Riwayat KPP sebelumnya (Merupakan prediktor kuat terjadinya kpp)
 Penyakit infeksi saluran kemih (ISK) dan infeksi menular seksual
(IMS)
 Perdarahan antepartum pervaginam (riwayat APB pada trimester 2
atau 3 meningkatkan resiko KPP 3-7 kali lipat).
 Wanita yang merokok atau terpapar asap rokok (meningkatkan resiko
KPP sebanyak 2-4 kali lipat dibandingkan bukan perokok)
 Terapi steroid dalam jangka lama
 Gangguan kolagen pada vaskular (pada Eshlers-Danlos syndrome,
SLE)
 Trauma langsung pada abdomen
 Persalinan prematur
 Anemia
 BMI < 19,8 kg/m2
 Defisiensi nutrisi
 Rendahnya status sosioekonomi
 Belum menikah
2. Faktor uteroplasenta
 Anomali uteri
 Insufisiensi serviks
 Overdistensi uteri (polihidramnion, multiple pregnancy)
 Korioamionitis
3. Faktor fetal
 Multifetal pregnancy (bayi kembar).
E. Patogenesis dan Patofisiologi
Mekanisme terjadinya KPP belum sepenuhnya diketahui. Pada dasarnya,
kekuatan dan ketahanan dari selaput ketuban berasar dari derivat protein
ekstraseluler seperti kolagen, fibronektin, dan laminin. Namun, ketika terjadi
KPP terjadi perubahan pada selaput ketuban, seperti berkurangnya
kandungan kolagen, perubahan struktur kolagen, dan peningkatan aktivitas
kolagenolitik. Perubahan molekuler merupakan suatu penyebab dari kelainan
pada jaringan ikat kolagen yang ada pada selaput ketuban yang menyebabkan
peningkatan faktor proapoptosis dan protease spesifik pada selaput ketuban
dan cairan amnion yang dicetuskan oleh Matrix metalloproteinase (MMP).
MMP merupakan suatu protein yang penting dalam proses homeostasis untuk
membantu tubuh mengeliminasi jaringan ikat yang telah rusak. Dalam
kerjanya, terjadi hubungan timbal balik antara MMP dan Tissue Inhibitor
Metalloproteinase (TIMP) sebagai protein mencegah agar tidak terjadi
kerusakan yang berlebihan. Akantetapi, ketika terjadi infeksi dan stress
fisiologis, tubuh akan meningkatkan sitokin proinflamasi dan meningkatkan
aktivitas trombin. Pada akhirnya akan meningkatkan prostaglandin E2
(PGE2), peningkatan aktivitas MMP dan penurunan TIMP. Ketika PGE2
meningkat, akan terjadi pematangan serviks dan kontraksi uterus sedangkan
peningkatan MMP akan mempermudah protein ekstrasel pada selaput
ketuban untuk terjadi ruptur (Duff, 2019).
KPP juga dapat terjadi karena kelainan jaringan ikat, seperti pada sindrom
Ehlers-Danlos yang menyebabkan berbagai macam defek sintesis atau
struktur kolagen. Pada wanita dengan defisiensi nutrisi juga akan lebih
beresiko terkena KPP, antara lain karena kekurangan asam askorbat yang
diperlukan dalam pembentukan kolagen. Wanita yang memiliki kebiasaan
merokok atau menggunakan tembakau juga mengalami hal yang sama.
Cadmium dalam tembakau meningkatkan ikatan metallothionein, atau metal-
binding protein dalam trofoblas. Hal ini akan menyebabkan sekuestrasi
tembaga (Cu). Penurunan availabilitas Cu dan asam askorbat dapat
menyebabkan abnormalitas struktur kolagen pada selaput ketuban sehingga
menyebabkan KPP (Parry, S & Strauss, J. 2015).

F. Diagnosis
Menurut Cunningham et al (2018) diagnosis KPP dapat ditegakkan dari 3
gejala klinis, yaitu terlihat genangan air pada fornix posterior, nitrazin test
positif, dan pemeriksaan secara mikroskopis dengan mengambil discharge
dari cervicovaginal. Selain itu, POGI (2016) menjelaskan bahwa penilaian
awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm harus meliputi 3
hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan presentasi janin,
dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal.
Untuk mendiagnosa KPP diperlukan tindakan sebagai berikut.
1. Anamnesa
Hal yang sering dikeluhkan pasien adalah keluar cairan berwarna
jernih atau putih kekuningan dari jalan lahir, baik hanya dirasa merembes
ataupun mengalir banyak. Beberapa menjabarkan sensasi basah pada
daerah sekitar vagina atau perineum.
2. Inspeksi
Pada inspeksi didapatkan adanya cairan yang mengalir melalui
vagina. Hal ini akan lebih mudah terlihat jika keuban baru pecah.
3. Inspekulo
Pada KPP akan terlihat genangan air pada fornix posterior, jika
genangan air tidak tampak, pemeriksa dapat meminta pasien untuk
mengejan, atau batuk untuk memprovokasi keluarnya cairan.
4. Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam pada pasien KPP bertujuan untuk mengetahui
apakah selaput ketuban masih intak atau tidak.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Nitrazin
Dilakukan tes lakmus dengan cara meletakkan kertas lakmus pada
sarung tangan setelah pemeriksaan dalam. Bila kertas lakmus
berubah menjadi biru menandakan positif adanya ketuban yang
keluar. Namun pemeriksaan ini dapat terjadi bias pada pasien dengan
discharge vaginal aktif seperti pada pasien IMS atau pada pasien
dengan ISK.

b. Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna,
konsentrasi, bau dan pH nya. Warna air ketuban normal adalah
jernih, apabila kehijauan maka ketuban telah bercampur mekoneum.
Konsentrasi air ketuban normal adalah encer dan licin, bila kental
dan berbau waspada terjadi infeksi atau distress janin. Air ketuban
bersifat alkalis (pH 7-7.5), kertas lakmus berwarna merah (asam)
menunjukkan urine.
Dapat juga dilakukan Ferning test dengan cara mengambil cairan
pada liang vagina yang diletakkan pada object glass lalu diamati
dibawah mikroskop. Hasil positif ditandai dengan gambaran seperti
daun pakis.
Kini juga terdapat pemeriksaan yang cepat dan spesifik dengan
menggunakan semacam dipstick immunokromatografi yang
medeteksi placental alpha microglobulin-1 (PAMG-1) dengan
sensitivitas 94.4%-98.9% dan spesifisitas 87.5%-100%. Serta
pemeriksaan insulin-like growth factor binding protein 1 (IGFBP-1)
dengan sensitivitas 95%-100% dan spesifisitas 93%-98% (Duff,
2019).
c. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG ditujukan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam uterus. Pada KPP dapat mengalami penurunan jumlah cairan
ketuban yang menyebabkan jumlahnya lebih sedikit dari normal
cairan sesuai usia kehamilan namun terkadang tanpa disertai dengan
oligohidramnion. Pada umumnya KPP sudah bisa terdiagnosa
melalui anamnesa dan pemeriksaan sederhana.
G. Diagnosis Banding
Pada KPP diagnosis banding yang mungkin adalah inkontinensia urin,
discharge vagina, cairan mukus serviks, dan cairan keringat (Duff, 2019).

H. Penatalaksanaan
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas
dan morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena
infeksi atau akibat kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37 minggu.
Prinsipnya penatalaksanaan ini diawali dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang mencurigai tanda-tanda
KPD. Setelah mendapatkan diagnosis pasti, dokter kemudian melakukan
penatalaksanaan berdasarkan usia gestasi. Hal ini berkaitan dengan proses
kematangan organ janin, dan bagaimana morbiditas dan mortalitas apabila
dilakukan persalinan maupun tokolisis. Penatalaksaan KPP berdasarkan usia
kehamilan. Penentuan penatalaksanaan KPP berdasarkan usia kehamilan
dibagi menjadi 3 yaitu kelompok kehamilan < 24 minggu, kelompok
kehamilan 24-34 minggu dan kelompok 34-38 minggu (POGI, 2016).
Pada pasien ini merujuk pada tatalaksana kelompok 34-38 minggu
dimana POGI (2016) merekomendasikan untuk dilakukan terminasi
kehamilan dikarenakan mempertahankan kehamilan pada usia gestasi ini
dapat meningkatkan resiko korioamnionitis. Menurut review sistematis oleh
Dare et al. 2006) pada kehamilan ≥ 37 minggu tatalaksana induksi lebih
baik dibandingkan ekspektatif dengan angka kejadian koriamnionitis dan
endometritis lebih rendah. Namun, induksi persalinan dengan prostaglandin
pervaginam berhubungan dengan peningkatan risiko korioamnionitis dan
infeksi neonatal bila dibandingkan dengan induksi oksitosin. Sehingga,
oksitosin lebih dipilih dibandingkan dengan prostaglandin pervaginam
untuk induksi persalinan pada kasus KPD. Penggunaan antibiotik profilaksis
pada KPP dengan usia kehamilan cukup bulan (term) tidak
direkomendasikan. Hal ini dikarenakan pada review sistematis
COCHRANE, tidak terdapat perbedaan outcome antara kelompok dengan
pemberian antibiotik jenis apapun terhadap kelompok kontrol (tanpa
antiobiotik). Hasil ini merujuk pada perbandingan kejadian sepsis
neonatorum, infeksi maternal seperti korioamnionitis dan endometritis,
kelahiran mati (stillbirth), mortalitas perinatal dan neonatal (Wojcieszek,
stock, flenady 2014).

I. Komplikasi
Salah satu fungsi selaput ketuban adalah sebagai barier terhadap
infeksi. Jika selaput keuban pecah, baik ibu maupun janin juga beresiko untuk
mengalami infeksi dan komplikasi lainnya (Cunningham et al, 2018).
Menurut Prawirohardjo (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada Ibu
dengan ketuban pecah dini berdasarkan usia kehamilan. Komplikasi yang
terjadi kembali lagi pada fungsi dari cairan ketuban itu sendiri, dimana jika
ketuban pecah sebelum waktunya, maka fungsinya tak lagi dapat
dipertahankan dan dapat terjadi infeksi maternal, infeksi neonatal, persalinan
prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin,
meningkatnya insiden seksio caesaria, atau gagalnya persalinan normal.
Secara lengkap Mochtar et al. (2010) membagi komplikasi yang dapat
terjadi menjadi 3, yaitu komplikasi neonatus dan komplikasi maternal.
Komplikasi yang dapat mengganggu kesejahteraan neonatus berkaitan dengan
saat pecahnya ketuban dengan usia kehamilan. Respiratory Distress Syndrom
(RDS) dapat terjadi pada 10%-40% pada KPP pada kehamilan prematur yang
dapat menyebabkan kematian pada neonatus 40%-70%. Infeksi intra amnion
juga merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus jika ketuban
pecah sebelum waktunya.
Komplikasi maternal juga ditakutkan mengganggu kesejahteraan ibu
jika ketuban pecah sebelum waktunya. Infeksi tak hanya dapat terjadi pada
janin, namun ibu juga dapat beresiko terkena infeksi intra amnion.
Endometriosis post partum, chorioamnionitis, oligohidramnion, serta
meningkatnya dilakukan secsio caesaria karena kebanyakan terjadi
malpresentasi janin.

J. Prognosis
KPP dengan usia kehamilan premature atau PPROM merupakan
penyebab terbesar terjadinya morbiditas dan mortalitas perinatal. Hal ini
berkaitan dengan 20% - 30% dari semua kelahiran prematur, dan
prognosisnya berkaitan dengan usia kehamilan (Cunningham et al, 2018).
Pada pasien ini prognosisnya dubia ad bonam. Kehamilan dengan KPP
disertai dengan IMS dapat meningkatkan resiko infeksi maternal dan fetal
jika tidak tertangani dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., Gilstrap, L.C., Hauth, J.C.,
Wenstrom, K.D., 2018. Obstetri Williams 5th Edition, Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
Jazayeri, A. 2018. Premature Rupture of Membranes. Diakses pada 11 Mei 2019
melaui Medscape Apps.
Parry, S & Strauss, J. Kofinas Perinatal. 2015. Diakses pada 11 Mei 2019 melalui
www.kofinasperinatal.org
Prawirohardjo, S., 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat Cetakan ketiga, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.
Mochtar, R., 2010. Sinopsis Obstetri Jilid 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.
Manuaba, I.B.G, 2011. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. EGC.
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai