Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah
penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan
karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang
hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Manifestasi disebabkan karena
adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang mengakibatkan pemisahan yang
luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran kulit yang melepuh
(bula)1,4.

2.2 Sejarah

Pada tahun 1922, dua orang dokter berkebangsaan Amerika, Stevens and
Johnsons menjelaskan tentang sindrom mukokutaneus akut pada dua orang anak laki-
laki. Kondisi tersebut ditandai dengan adanya konjungtivitis purulen yang berat,
stomatitis berat, dan neksosis mukosa yang luas dan lesi kutan yang menyerupai
eritema multiforme (EM). Kelainan ini kemudian dikenal sebagai Steven-Johnson
Syndrome (SJS) dan diketahui sebagai penyakit mukokutaneus berat yang dapat
berakhir fatal. SJS kemudian dimasukan sebagai EM mayor oleh Bernard Thomas
pada tahun 1950. Namun, penelitian yang dilakukan dewasa ini telah menemukan
bahwa SJS dan EM merupakan dua kelainan yang berbeda1,4.

Pada tahun 1956, Alan Lyell menjelaskan tentang empat orang pasien dengan
erupsi berupa bula pada kulit yang olehnya diberi istilah “toxic epidermal
necrolysis”. Lyell juga mengamati adanya serangan pada membrane mukosa sebagai
bagian dari sindroma dan mengamati bahwa inflamasi yang terjadi pada dermis
sangat minimal,yang kemudian disebut sebagai “dermal silence”, salah satu ciri-ciri

1
yang membedakan dengan infiltrate inflamasi yang jelas dari penyakit vesikobulosa
lainnya seperti EM, dermatitis herpetiformis dan pemfigus bulosa. TEN pada waktu
itu dianggap sebagai reaksi kutaneus akibat stimulus multiple, termasuk obat
(sulfonamid), dan mikroba (Staphylococcus) 1.

Penelitian yang dilakukan pada tikus neonatal yang mengalami subgranular


epidermal split setelah pajanan terhadap phage S. aureus grup II, penemuan
eksotoksin staphylococcal baru yang disebut epidermolytic toxic berujung pada
dibedakannya TEN dengan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Dengan
semakin banyaknya insidensi TEN pada tahun-tahun mendatang setelah penelitian
Lyell, menjadi jelas bahwa beberapa obat tertentu seperti sulfonamide, pyrazolon,
barbiturate, dan antikonvulsan sering berkaitan dengan timbulnya TEN. Pada waktu
yang sama, obat-obatan juga semakin dikaitkan sebagai penyebab timbulnya EM
mayor dengan stomatitis berat. Karena itu, EM, SJS dan TEN dulu dianggap sebagai
bagian dari spectrum reaksi kutaneus. Sekarang telah ditemukan bahwa penyebab
mayor dari EM adalah HSV dan virus ini tidak berhubungan dengan penyebab TEN.
Penelitian oleh Jean-Claude Roujeaujuga membuktikan bahwa SJS dan EM adalah
dua penyakit yang memiliki penyebab dan prognosis yang berbeda. SJS dan TEN
sekarang dianggap sebagai satu kesatuan epidermolisis berat karena reaksi kutaneus
akibat obat, dimana perbedaan hanya meliputi luas permukaan tubuh yang terkena1,4.

2.3 Epidemiologi dan Faktor Risiko

SJS dan TEN merupakan penyakit langka yang mengenai perempuan lebih
sering dari laki-laki. Sindrom ini lebih sering terjadi pada orang dewasa dan jarang
dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitasnya yang belum begitu
berkembang5. Pada anak-anak infeksi Mycoplasma merupakan salah satu penyebab
SJS dan dapat sangat mirip dengan SJS akibat obat2.

Beberapa golongan pasien tertentu memiliki risiko meningkat untuk terjadinya


SJS/TEN, termasuk pasien yang memiliki genotip slow-acetylator,

2
immunocompromised (HIV),menjalani radioterapi, antikonvulsan, atau yang memiliki
alel spesifik HLA (Human Leukocyte Antigen). Contoh dari faktor predisposisi
genetic ini adalah HLA B*1502 pada orang Asia dan India yang terpajan dengan
karbamazepin dan HLA*B5801 pada populasi Han di Cina yang terpajan dengan
allopurinol. Pada pasien dengan AIDS, risiko terjadinya TEN meningkat 1000 kali
lebih tinggi dari populasi umum1,4.

Angka kematian bervariasi pada sebagian besar kasus dimana hanya dilakukan
terapi suportif, dan diketahui bahwa angka ini sangat bergantung pada berbagai faktor
seperti usia pasien dan luas lesi. Angka kematian pada pasien dengan TEN 25-5-%,
dan 5% pada SJS1.

Penggunaan obat dilaporkan pada lebih dari 95% pasien denganTEN.


Hubungan erat antara konsumsi obat dengan munculnya erupsi kutaneus dilaporkan
pada 80% kasus. Penyebab lainnya yang jarang dapat berupa infeksi dan imunisasi.
Penelitian melaporkan hubungan yang kurang jelas (dibandingkan TEN) antara
konsumsi obat dengan SJS, dimana hanya 50% yang dinyatakan berhubungan dengan
obat. Lebih dari 100 jenis obat yang telah diidentifikasi berhubungan dengan
SJS/TEN1. Menurut penelitian oleh Adhi Djuandaa selama 5 tahun (1998-1002) pada
pasien SJS, diduga alergi obat tersering adalah analgetik/antipiretik (45%),
karbamazepin (20%), jamu (13.3%). Kausa lainnya berupa amoksisilin,
kotrimoksasol, klorokuin, seftriakson dan adiktif5.

Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan SJS dan TEN1

Allopurinol Carbamazepine
Aminopenicillin Chlormezanone
Amithiozone (Thioacetazonde) Phenytoin
Antiretroviral Piroxicam
Barbiturate Sulfadiazine

3
Sulfasalazine Trimethoprim sulfametoxazole
Pada umumnya risiko terjadinya SJS/TEN paling tinggi pada minggu-minggu
awal dari terapi. Lebih jauh lagi, obat-obatan dengan waktu paruh lama lebih sering
mengakibatkan reaksi obat dan akibat fatal dibandingkan obat dengan waktu paruh
singkat1,2.

2.4 Patogenesis

Hingga kini urutan pasti dari proses molekuler dan seluler yang terjadi dalam
SJS/TEN baru dipahami sebagian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SJS/TEN terkait
dengan ketidakmampuan tubuh dalam detoksifikasi metabolit obat reaktif. Prosesnya
diawali dengan adanya respon imun terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari
reaksi metabolit tersebut dengan jaringan tubuh tertentu1. Patogenesis utama diduga
akibata adanya proses hipersensitivitas tipe II (sitotoksik)4,5. Suseptibilitas genetic juga
memainkan peran, dibuktikan dengan identifikasi dari alel HLA spesifik terkait obat
(specific-drug related HLA) sebagai gen suseptibilitas mayor untuk perkembangan SJS
dan TEN1.

Sel T sitotoksik mengekspresikan skin-homing receptor, cutaneous lymphocyte-


associated antigen (CLA) dapat ditemukan pada lesi kutaneus awal. Sel-sel ini
kemungkinan adalah suatu T sitotoksik terkait obat (drug-spesiic cytotoxic T cells).
Sitokin-sitokin penting seperti IL-6, TNF-α, interferon γ, IL-18 dan Fas ligand (FasL)
juga terdapat pada epidermis yang mengalami kelainan dan/atau cairan bula dari pasien
dengan TEN, dan kerja dari sitokin-sitokin ini dapat menjelaskan sebagian dari gejala
TEN dan ketidaksesuaian antara luas kerusakan pada epidermis dengan infiltrat
inflamasi yang minimal. Selain itu, interval tipikal antara onset dari terapi obat dengan
timbulnya SJS/TEN adalah 1- 3 minggu, mengindikasikan adanya periode sensitasi dan
menunjang peran imunitas dalam patogenesisnya. Periode ini memendek secara
signifikan pada pasien yang terpapar kembali oleh obat yang sebelumnya
mengakibatkan SJS/TEN1.

Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan jaringan yang dideskripsikan sebagai


nekrolisis epidermal adalah akibat kematian sel-sel keratinosit yang luas melalui proses

4
apoptosis. Apoptosis dari keratinosit merupakan suatu ciri khas pada stadium awal SJS
dan TEN, dan merupakan tanda morfologik awal yang jelas dari kerusakan jaringan
spesifik. Gambaran histologik klasik berupa “nekrolisis” epidermal yang luas
sesungguhnya merupakan gambaran akhir dari apoptosis keratinosit. Keadaan apoptotik
dari sel bersifat sementara, dan akan diikuti dengan keadaan nekrosis bila sel-sel
apoptotic tersebut tidak segera difagositosis. Pada SJS dan TEN, dalam kurun waktu
singkat (hitungan jam), apoptosis keratinosit tertimbun sangat banyak pada kulit yang
terkena dan melebihi kapasitas fagositosisnya. Dalam hitungan jam sampai hari,
keratinosit yang apoptosis tersebut menjadi nekrosis dan kehilangan kemampuan
kohesinya pada kehilangan viabilitasnya, mengakibatkan gambaran histologik khas
berupa full thickness epidermal necrolysis1.

Fas ligand (FasL), salah satu sitokin TNF, memiliki kemampuan menginduksi
apoptosis dengan berikatan pada reseptor permukaan sel spesifik yaitu Fas (CD95, Apo-
1) death receptor. Death receptors secara fisiologis memiliki fungsi sebagai sensor di
permukaan sel yang mendeteksi adanya sinyal kematian sel spesifik dan secara cepat
mengaktifkan dekstruksi sel melalui apoptosis. Pada pasien dengan TEN, apoptosis
keratinosit yang luas dikaitkan dengan peningkatan signifikan ekspresi FasL dari
keratinosit dengan ekspresi Fas receptor yang tetap1,2.

Penelitian oleh Chung, et al, menunjukkan bahwa molekul sitotoksik lainnya turut
berperan dalam apoptosis keratinosit pada SJS maupun TEN. Konsentrasi tinggi dari
granulysin, protein sitolitik yang diproduksi oleh limfosit T sitotoksik (CTLs), natural
killer cell (NK), dan natural killer T cell (NKT) ditemukan pada cairan bula yang
didapat dari pasien SJS/TEN. Injeksi dari granulysin rekombinan ke dalam kulit tikus
mmengakibatkan terjadinya nekrolisis epidermal dan infiltrat sel inflamasi1.

Model patogenesis dari SJS/TEN kini dideskripsikan sebagai berikut: setelah


pajanan dari obat-obatan tertentu, seseorang dengan faktor predisposisi tertentu akan
membentuk reaksi imun spesifik terhadap obat atau metabolitnya. Dengan mekanisme
yang masih belum sepenuhnya diketahui, reaksi ini mengakibatkan molekul FasL
diekspresikan dalam jumlah besar pada keratinosit disertai sekresi granulysin dari CTLs,

5
NK dn NKT. Proses ini berujung pada FasL- dan granulysin-mediated apoptosis dari
keratinosit diikuti nekrosis epidermal1.

6
Gambar 2.1 Patogenesis Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal
Necrolysis1.

2.5 Gejala Klinik

Gejala awal dari TEN dan SJS dapat berupa demam, mata perih, nyeri menelan,
yang mendahului timbulnya lesi kulit 1-3 hari pertama. Lesi kulit biasanya muncul
pertama kali pada batang tubuh yang kemudian menyebar ke leher, wajah dan
ekstremitas proksimal. Bagian distal dari tangan dan kaki biasanya jarang terkena,
namun telapak tangan dan kaki dapat pula menjadi lokasi lesi awal. Eritema dan erosi
mukosa buccal, okular dan genital ditemukan pada lebih dari 90% pasien. Epitel dari
saluran pernafasan juga turut terlibat pada 25% pasien dengan TEN dan lesi
gastrointestinal, esofagitis, dan diare dapat juga terjadi. Lesi kulit biasanya lunak dan
nyeri, dan erosi mukosa terasa sangat nyeri. Manifestasi sistemik tambahan termasuk
demam, limfadenopati, hepatitis dan sitopenia1,2. Pada SJS terlihat trias kelainan berupa
kelainan pada kulit, kelainan pada mukosa orifisium (mulut, genital, hidung dan anus),
dan kelainan mata5.

Morfologi dari lesi kulit telah dipelajari secara mendetail. Mula-mula, lesi tampak
sebagai macula eritematous atau purpura dengan bentuk dan ukuran yang irregular dan
mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan lesi di dekatnya. Pada stadium ini,
dengan adanya keterlibatan mukosa dan rasa nyeri, risiko progresi ke arah SJS/TEN
harus dicurigai. Dalam keadaan dimana tidak terjadi spontaneous epidermal detachment,
harus diperiksa adanya Nikolsky sign yaitu dengan memberikan tekanan mekanis ringan
dengan jari pada beberapa zona eritematous. Tanda Nikolsky dinyatkan positif bila
terjadi pemisahan epidermis-dermis. Pada beberapa pasien lesi macular dapat
mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like
appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang mempunyai tiga
lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada
EM1.

7
Gambar 2.2 Lesi awal dari SJS dan TEN

Clinical Features That Distiguish Steven Johnson Syndrome (SJS), Toxic Epidermal
Necrolisis (TEN), and SJS-TEN Overlap1

Clinical SJS SJS-TEN TEN


Entity
Primary Dusky and/or dusky Dusky and/or dusky Poorly delineated
lesions red lesions, flat red lesions, flat erythematous plaques,
atypical targets atypical targets epidermal detachment
(spontaneous or by
friction), Dusky and/or
dusky red lesions, flat
atypical targets.

Distribution Isolated lesions Isolated lesions Isolated lesions (rare)


Confluence (+) on Confluence (++) on Confluence (+++) on
face and trunk face and trunk face and trunk and
elsewhere

Mucosal Yes Yes Yes


involvement

8
Systemic Usually Always Always
symptoms

Detachment <10 10-30 >30


(%BSA)

Seiring dengan progresi menuju full thickness necrosis, lesi makula eritem
kehitaman akan berubah warna menjadi keabuan yang khas. Proses ini dapat terjadi
sangat cepat (dalam hitungan jam) atau dalam beberapa hari. Epidermis yang nekrosis
kemudian akan terlepas dari lapisan dermis dibawahnya dan cairan akan mengisi rongga
di antara kedua lapisan tersebut, mengakibatkan terbentuknya bula. Bula yang terjadi
memiliki ciri khas: mudah pecah, dapat meluas ke lateral dengan penekanan ringan oleh
ibu jari seiring dengan meluasnya pelepasan epidermis (Asboe-Hansen sign). Keadaan
kulit menyerupai gambaran kertas rokok yang basah (wet cigarette paper), yang dapat
lepas dengan adanya trauma, memperlihatkan dermis kemerahan dan berdarah, yang
disebut sebagai “scalding”. Pasien-pasien seperti ini harus ditangani dengan sangat hati-
hati. Bula yang tegang biasanya terlihat hanya pada permukaan palmoplantar dimana
epidermis lebih luas sehinggga lebih tahan terhadap trauma ringan1.

Gambar 2.3 Pasien Toxic Epidermal Necrolysis dengan skin detachment yang
luas

9
Gambar 2.4 Lesi berupa bula pada pasien dengan TEN

Saat merawat pasien dengan kondisi seperti ini, luas dari nekrolisis harus
dievaluasi secara tepat dan hati-hati karena merupakan salah satu faktor penentu
prognosis. Dalam hal ini aturan untuk mengukur total luas permukaan tubuh (Body
Surface Area) yang digunakan dalam luka bakar dapat dipakai. Pengalaman
menunjukkan bahwa sangat sering terjadi overestimasi dalam mengukur luas pelepasan
kulit (skin detachment). Pengukuran harus meliputi lesi kulit yang terlepas baik secara
spontan maupun tidak (Nikolsky sign +), dan tidak termasuk area yang hanya berupa
eritema saja (Nikolsky sign -). Berdasarkan luas lesi skin detachment, klasifikasi pasien
terbagi menjadi 3 grup2:

a. SJS : < 10% body surface area (BSA)


b. SJS-TEN overlap : 10-30% BSA
c. TEN : >30% BSA

10
Gambar 2.5 Spektrum penyakit berdasarkan luas permukan tubuh yang terkena1

Erosi mukosa didapatkan pada >90% pasien. Didapatkan pula keluhan fotofobia
dan nyeri berkemih. Penting juga untuk dapat membedakan antara SJS dan EM dimana
ciri histologik keduanya serupa sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan
keduanya. Perbedaan didasarkan pada ciri klinis, terutama gambaran lesi target dan

11
distribusinya. Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion,
sedangkan SJS dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya atipikal3. Belum
ada kriteria khusus yang dapat memprediksi pasien dengan SJS yang mungkin
berkembang menjadi TEN1.

Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses reepitelisasi


umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3 minggu pada sebagian besar
kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit dari area
“reservoir” seperti jaringan epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan folikel
rambut. Sehubungan dengan kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak diperlukan
pada SJS dan TEN1.

Identifikasi dari obat pencetus adalah tugas yang penting dan sangat sulit, namun
harus menjadi salah satu prioritas utama. Belum ada pemeriksaan in vitro yang dapat
diandalkan untuk indentifikasi secara cepat dari obat pencetus. Patch test menunjukkan
sensitivitas yang lemah terhadap SJS/TEN dan tidak cocok untuk tujuan identifikasi
karena paparan kembali terhadap obat pencetus sangat berbahaya dalam penanganan
pasien dengan reaksi akibat obat yang berat. Untuk itu, identifikasi sepenuhnya
didasarkan pada evident-based tentang obat yang berhubungan dengan SJS/TEN
sebelumnya sehingga dapat ditentukan probabilitasnya dalam mencetuskan SJS/TEN.
Faktor ekstrinsik seperti jarak dari onset pemberian obat dengan onset timbulnya
SJS/TEN juga harus ddiperhatikan. SJS dan TEN biasanya terjadi dalam 7-21 hari
setelah pemberian obat pertama kali, namun dapat pula terjadi dalam 2 hari dalam kasus
re-exposure obat yang sebelumnya pernah memicu SJS/TEN. Pada umumnya,
pengobatan untuk pasien dengan SJS atau TEN harus dibatasi hingga batas minimum,
penggunaan obat substitusi yang sesuai dan lebih dipilih obat-obatan dengan waktu
paruh singkat1.

12
2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari SJS dan TEN yaitu EM, SSSS, AGEP dan generalized
fixed drug eruption. Pemfigus paraneoplastik, drug-induced linear IgA bullous
dermatosis (LABD), penyakit Kawasaki, lupus eritematosus, dan eritema toksik akibat
kemoterapi juga dapat dipikirkan sebagai diagnosis banding tergantung dari keadaan
klinisnya1.

Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion, sedangkan SJS
dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya atipikal. Pada beberapa pasien lesi
macular dapat mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran
target-like appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang
mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang
papular pada EM1,3.

SSSS biasanya terjadi pada anak-anak dan neonates, namun dapat pula terjadi
pada dewasa yang menderita gagal ginjal dan pasien immunocompromised. SSSS
diakibatkan oleh adanya eksotoksin stafilokokal. Area eritem terasa nyeri dan tersebar
luas, namun tidak terdapat pada membrane mukosa, telapak tangan dan kaki. Nikolsky
sign dapat (+) seperti pada TEN, tapi dihasilkan oleh pemisahan subkorneal superficial
bukan pemisahan dermal-epidermal seperti pada TEN. Lesi berupa bula yang mudah
pecah, diikuti pengelupasan. Pengelupasan (eksfoliasi) yang terjadi lebih superfisial,
meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak dan bukan jaringan dermis yang
basah dan berwarna merah terang seperti pada TEN. Pada SSSS sering didapatkan
adanya nasal discharge yang purulen1.

AGEP, yang juga merupakan efek samping akibat obat, tampak sebagai area
eritema yang luas dengan pustul kecil (< 3mm) multipel di atasnya. Adanya neutrofilia
dan eosinofilia, ditambah dengan pustule akan membedakan dengan diagnosis TEN.
Nikolsky sign dapat positif sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis. Keterlibatan membran mukosa terjadi pada 20% kasus. Histologi adalah salah
satu pemeriksaan yang berguna, dimana pada AGEP ditemukan infiltrat neutrofil yang
padat dengan pustul intraepidermal dan subkorneal, namun tidak ada full thickness

13
epidermal necrosis. Lesi mukokutaneus multipel dari fixed drug eruption dapat
menyerupai SJS naik secara klinis maupun histologis, untuk itu perlu ditentukan jumlah
lesi yang timbul pertama kali1.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak khas. Bila terdapat leukositosis,


penyebabnya kemungkinan karena infeksi bacterial. Bila terdapat eosinofilia,
kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan
kultur darah5.

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan optimal dari SJS dan TEN memerlukan diagnosis secara dini,
penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan terapi
spesifik1.

Gambar 2.6 Algoritma penatalaksanaan pasien dengan SJS/TEN1

Perawatan suportif yang dilakukan serupa dengan perawatan suportif pada luka
bakar dan bertujuan untuk mencegah komplikasi, yang merupakan sebab utama
kematian. Komplikasi meliputi hipovolemia, ketidakseimbangan elektrolit, insufisiensi

14
qrenal, dan sepsis. Perawatan luka setiap hari, hidrasi dan nutritional support sangat
penting dan sebaiknya dilakukan dalam intensive care unit bila lesi meliputi 10-20%
(atau lebih) dari BSA. Penggunaan tempat tidur dengan pengatur suhu (thermoregulated
bed) dengan alas alumunium lebih disarankan daripada penggunaan tempat tidur dan
alas yang biasa. Semua tindakan atau manipulasi terhadap pasien harus dilakukan secara
steril dan kateter vena , bila memungkinkan, harus dipasang pada regio yang tidak ada
lesi1.

Perawatan luka paling baik dilakukan sekali sehari dengan bantuan atau
keberadaan seorang dermatologist. Pasien harus dirawat dengan meminimalisisr
pergerakan sesedikit mungkin karena setiap gerakan kecil sekalipun dapat menimbulkan
pelepasan epidermis. Perawatan kulit dipusatkan terutama pada wajah, mata, hidung,
mulut, telinga, regio anorektal, axilla dan interdigitalis. Area yang tidak mengelupas
harus dijaga agar tetap kering dan tidak dimanipulasi. Area yang mengelupas terutama
di punggung dan area yang terkena tekanan kasur harus ditutup dengan Vaseline gauze
sampai terjadi reepitelisasi. Untuk wajah, krusta serosa dapat dibersihkan tiap harinya
dengan menggunakan NaCl steril. Antibiotik topikal (co: mupirocin) diberikan di sekitar
orificium seperti telinga, hidung dan mulut. Penutup dari silicon dapat digunakan untuk
menutup area yang erosi. Silicone dressing tidak perlu diganti dan dapat dibiarkan
meenutup sampai terjadi reepitelisasi lesi, namun permukaannya tetap harus dibersihkan
setiap hari dengan NaCl steril. Pilihan lainnya adalah menempatkan penutup yang tidak
melekay (non-adherent dressing) misalnya Exu-Dry di atas kulit pasien dan di atas
tempat tidur1.

Untuk mata, disarankan untuk dilakukan pemeriksaan berkala oleh ophthalmolog.


Kelopak mata hdibersihkan setiap hari dengan NaCl steril serta pemakaian antibiotik
topikal khusus untuk mata pada kelopak mata pasien. Tetes mata antibiotic juga perlu
diberikan untuk mencegah kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya
jaringan parut. Lubang hidung juga harus diberihkan setiap hari dengan cotton bud steril
yang dibasahi NaCl steril dan setelahnya dibeikan antibiotik topikal. Mulut harus
dibersihkan juga beberapa kali sehari dengan spuit berisi NaCl steril. Pada regio
anogenital dan interdigital, perawatan kulit dilakukan setiap hari dengan mengoleskan

15
silver nitrate solution (0.5%) pada kasus dengan maserasi atau hanya NaCl steril bila
tidak ada maserasi1. Sumber lain menyatakan pengobatan topikal untuk daerah erosi dan
ekskoriasi dapat diperikan krim sulfodiazin-perak (Dermazin, Silvadene) yang berfungsi
sebagai astringen dan mencegah infeksi bakteri6.

Hingga kini, belum ada terapi spesifik yang benar-benar efektif baik untuk SJS
maupun TEN. Pada umumnya, terapi untuk pasien SJS berat sama dengan terapi untuk
TEN, sementara untuk pasien SJS dengan gejala ringan dan nonprogresif hanya
dibutuhkan terapi suportif. Akibat prevalensi SJS dan TEN yang rendah, penelitian
sangat sulit untuk dilakukan. Karenanya, literatur untuk penyakit ini terutama bersumber
dari laporan kasus . Pada beberapa penelitian, beberapa terapi, termasuk siklosporrin (3-
4 mg/kg/hari), siklofosfamid (100-300 mg/hari), plasmapheresis, N-acetilsistein (2 g/6
jam) dan TNF-α antagonis (etanercept, infliximab) telah menunjukan hasil yang
menjanjikan. Kortikosteroid sistemik telah menjadi terapi tetap selama beberapa decade,
namun penggunaannya masih dianggap kontroversial, meskipun suatu studi menyatakan
efektivitas kortikosteroid bila diberikan secara cepat dan dalam periode singkat sebagai
dosis denyut (pulse therapy). Kortikosteroid yang digunakan berupa dexamethasone IV
1.5 mg/kg selama 3 hari berturut-turut1. Sumber lain menyatakan pada SJS dengan lesi
baik dan tidak menyeluruh dapat digunakan prednisone 30-40 mg/hari, sedangkan pada
SJS berat atau TEN digunakan dexamethason IV 20-40 mg perhari selama 2-3 hari
kemudian dilakukan tapering off dengan menurunkan dosis secara cepat (5 mg perhari)
sampai mencapai dosis 5 mg sehari. Setelah itu diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednisone dengan dosis 20 mg/hari, kemudian diturunkan 10 mg/hari, baru
obat dihentikan, sehingga lama pengobatan kurang lebih 10 hari5.

Dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, maka imunitas pasien akan


menurun, karenanya perlu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi. Antibiotik yang
dipilih sebaiknya yang jarang mencetuskan SJS/TEN, spectrum luas, bersifat
bakterisidal dan tidak nefrotoksis. Antibiotik juga hendaknya tidak menggunakan yang
mempunyai rumus kimia sama atau segolongan dengan antibiotik pencetus. Obat pilihan
antara lain siprofloksasin 2 x 400 mg IV, klindamisin (tidak berspektrum luas namun
efektif untuk bakteri anaerob) 2 x 600 mg IV sehari, seftriakson 1x 2 g IV5.

16
Secara teori, terapi yang mampu memblok secara selektif dari apoptosis
keratinosit akan mempunyai potensial efek dalam mengobati SJS maupun TEN. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa Fas-mediated cell death (yang diinduksi secara in-vitro
pada kulit yang berlesi pada pasien dengan TEN) dapat dihambat dengan antibody
monoclonal terhadap FasL atau Fas, mengindikasikan bahwa antibody ini dapat berguna
dalam pengobtan TEN. Bila digunakan dalam dosis tinggi (0.75 g/kg/hari selama 4 hari)
untuk mengobati pasien dengan TEN, IVIg secara konsisten dan cepat dapat
menghambat progresivitas penyakit dan pelepasan epidermis (epidermal detachment)
pada 10 dari 10 pasien dalam studi1,2. Penelitian lainnya juga menunjukkan efektivitas
yang kurang lebih sama, bila digabungkan, 8 dari 11 studi menunjukkan bahwa IVIg
(pada dosis total >2g/kg diberikan dalam 3-4 hari) dapat mengurangi angka kematian
akibat TEN1.

2.9 Komplikasi

Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses reepitelisasi


umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3 minggu pada sebagian besar
kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit dari area
“reservoir” seperti jaringan epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan folikel
rambut. Sehubungan dengan kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak diperlukan
pada SJS dan TEN. Namun sayangnya penyembuhan dapat berlangsung tidak sempurna,
dan pasien yang selamat dapat terjadi sekuele berupa simblefaron, sinekia konjungtiva,
entropion, scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari membrane mukosa,
phimosis, sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan rambut difus. Pada TEN
kelainan pada mata bervariasi mulai dari sindrom sicca hingga kebutaan terjadi pada
35% pasien yang selamat1,2.

17
Gambar 2.7 Sekuele pasca TEN

Kompllikasi sistemik yang sering terjadi di Indonesia yaitu bronkopneumonia


(16% kasus), lainnya dapat berupa hipovolemia, ketidakseimbangan elektrolit,
insufisiensi renal, dan sepsis 1,5.

2.10 Prognosis

Pada TEN ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan prognosis buruk,
termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi. Selain itu, jumlah obat, peningkatan serum
urea, kreatinin dan glukosa, neutropenia, limfopenia dan trombositopenia secara statistic
berhubungan dengan prognosis buruk. Penghentian obat penyebab yang terlambat juga
berhubungan menurunnya prognosis. Penghentian obat penyebab dengan segera dapat
menurunkan risiko kematian sebesar 30%. Skor derajat berat penyakit untuk TEN telah
dibuat (SCORTEN) dimana ada tujuh parameter signifikan dalam menentukan prognosis
dari penyakit1.

18
SCORTEN: A Prognostic Scoring System For Patients with Epidermal Necrolisis4

Prognostic Factors Points


Age > 40 year 1
Heart rate > 120 beats/min 1
Cancer or hematologic malignancy 1
BSA involved (on day 1) > 10 percent 1
Serum urea level > 10 mmol/L 1
Serum bicarbonate level < 20 mmol/L 1
Serum glucose level > 14 mmol/L 1

SCORTEN Mortality Rate (%)


0-1 3.2
2 12.1
3 35.8
4 58.3
>5 90

Angka kematian terjadi pada 1 dari 3 pasien dengan TEN dan paling sering
disebabkan oleh infeksi (S. aureus dan Pseudomonas aeruginosa). Kehilangan cairan
transepidermal yang berat dikaitkan dengan ketidakseimbangan elektrolit, inhibisi dari
sekresi insulin, dan resistensi insulin juga dapat menjadi faktor yang memperberat.
Penatalaksanaan dari semua komplikasi dari TEN ini (dapat pula terjadi pada SJS)
paling baik dilakukan dalam intensive care unit. Komplikasi tersebut di atas data
berujung pada adult respiratory distress syndrome dan multiple organ failure meskipun
dengan terapi suportif yang adekuat1.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of Dermatology. Edisi Ketiga. 2012.


Elsevier. Halaman 324-332
2. James W, Berger T, Elston D. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology.
Edisi Kesepuluh. 2006. Elsevier. Halaman 129-131
3. Barnhill R, Crowson A. Textbook of Dermatopathology. Edisi Kedua. 2001. McGraw-
Hill. Halaman 178-179
4. Wolff K, Goldsmith L, Steven K, Barbara A. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Edisi Ketujuh. 2008. McGraw Hill. Halaman 349-355.
5. Adhi D, Mochtar H. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI.
Edisi Keenam, 2013. Editor: Adhi Juanda, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Halaman 163-165.
6. Adhi D, Mochtar H. Nekrolisis Epidermal Toksik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI. Edisi Keenam, 2013. Editor: Adhi Juanda, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Halaman 166-168.

20

Anda mungkin juga menyukai