Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

1. Chronic Kidney Disease (CKD)


1.1 Definisi Chonic Kidney Disease (CKD)
Cronical Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel, dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Hal ini terjadi
karena terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min (Smeltzer & Bare, 2000;
Price, Wilson, 2002; Suyono, et al, 2001).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai berikut:
1) Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
2) Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal (Capernito, 2009).

1.2 Klasifikasi Chonic Kidney Disease (CKD)

Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui


penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR dokter akan
memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat kadar kreatinin dalam
darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring
dari dalam darah oleh ginjal yang sehat. Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis
sebagai berikut :
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
digunakan dengan rumus berikut ini:
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( Kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

Stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :


1) Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap
berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100%, sehingga
banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.

2) Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)


Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik.

3) Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)


Pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah
yang disebut uremia. Gejala-gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
a. Fatique, rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
b. Kelebihan cairan, hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak
nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
c. Perubahan pada urin, urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi
coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa
bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air
kecil di tengah malam.
d. Rasa sakit pada ginjal, rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami
oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan
infeksi.
e. Sulit tidur, sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
4) Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu
dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia
biasanya muncul pada stadium ini. Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4
adalah Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur,
Nausea (muntah atau rasa ingin muntah), perubahan cita rasa makanan (dapat terjadi
bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya), dan bau mulut uremic
(ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak
enak).

5) Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)


Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang dapat timbul pada stadium
5 antara lain kehilangan nafsu makan, nausea, sakit kepala, merasa lelah, tidak mampu
berkonsentrasi, gatal-gatal, urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali, bengkak (terutama
di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki), kram otot, dan perubahan warna kulit.

1.3 Etiologi Chonic Kidney Disease (CKD)


Penyebab GGK menurut Price & Wilson (2006), penyebab GGK dibagi menjadi
delapan kelas, antara lain:
Infeksi misalnya pielonefritis kronik
1) Infeksi misalnya pielonefritits
2) Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul pasca infeksi
streptococcus. Untuk glomerulus akut, gangguan fisiologis utamanya dapat
mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen berkurang sehingga timbul
edema dan azotemia, penigkatan aldoeteron menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk
glomerulonefritis kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat,
akan nampak ginjal mengkerut, berat lebig kurang dengan permukaan bergranula. Ini
disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia, karena tubulus mengalami atropi,
fibrosis intestisial dan penebalan dinding arteri.
3) Penyakit vaskuler hipertensif
Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya
CKD dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan H2O, pengaruh
vasopresor dari system renin, angiotensin dan defisiensi prostaclandin, keadaan ini
merupakan salah satu penyebab utama GGK, terutama pada populasi bukan orang kulit
putih. Misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis.
4) Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif.
5) Gangguan kongenital dan herediter
Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple, bilateral yang
mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal
normal akibat penekanan. Asidosis tubulus ginjal merupakan gangguan ekskresi H+ dari
tubulus ginjal/kehilangan HCO3 dalam kemih walaupun GFR yang mamadai tetap
dipertahankan, akibatnya timbul asidosis metabolic. Misalnya penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal.
6) Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7) Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
8) Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

1.4 Faktor Resiko Chonic Kidney Disease (CKD)


Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan obesitas atau perokok,
berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

1.5 Manifestasi Klinis Chonic Kidney Disease (CKD)


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
1) Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila
ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
2) Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga
terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3) Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4) Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5) Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Kelainan selaput serosa merupakan salah
satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
6) Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.Kelainan mental berat seperti konfusi,
dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien
GGK.Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau
tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
7) Kelainan kardiovaskuler
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem
vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal
dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

1.6 Patofisiologi Chonic Kidney Disease (CKD)

1.7 Pemeriksaan Penunjang Chonic Kidney Disease (CKD)


1) Urine

Volume Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
(anuria)
Warna Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri,
lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan
menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.
Berat Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
Jens berat).
Osmolitas Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
Clerance Mungkin agak menurun
Creatinin
Natrium Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium
Protein Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.

2) Darah

BUN / Kreatin Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar


kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu
5)
Hitung darah Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari 78
lengkap g/dL
SDM Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti
pada azotemia.
GDA pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi
hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein.
Bikarbonat menurun, PCO2 menurun
Natrium Serum Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
Kalium Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada
tahap akhir, perubahan
Magnesium / Fosfat Meningkat
Kalsium Menurun
Protein (khususnya Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein
Albumin) melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan,
atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial
Osmolalitas Serum Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

3) Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
- Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular
massa.
4) Sistouretrogram Berkemih
Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
5) Ultrasono Ginjal
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan
bagian atas.
6) Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histoligis.
7) Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor selektif.
8) EKG
Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

1.8 Penatalaksanaan Chonic Kidney Disease (CKD)


a. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2006).
 Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan
memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja
ginjal.2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi
(uremia).3)Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.4)Mencegah atau
mengurangi progresifitas gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya laju filtrasi
glomerulus (Almatsier, 2006). Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan
untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. Protein rendah,
yaitu 0,6 – 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus bernilai biologik tinggi.Lemak cukup,
yaitu 20-30% dari kebutuhan total energi, diutamakan lemak tidak jenuh ganda.
Karbohidrat cukup, yaitu : kebutuhan energi total dikurangi yang berasal dari
protein dan lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria,
atau anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium dibatasi (60-70
mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5 mEq), oliguria, atau anuria.

 Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi. Energi cukup yaitu 35 kkal/kg BB.
 Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan dibatasi yaitu
sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan pengeluaran cairan melalui keringat
dan pernapasan (±500 ml).
 Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
 Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat, vitamin C,
vitamin D.
b. Terapi Simtomatik
 Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
 Anemia: Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
 Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan
keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah
ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
 Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
 Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
 Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
 Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal .
1. Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas
biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara
bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan, dan membantu penyembuhan
luka. Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui
suatu membran berpori dari suatu kompartemen cair menuju kompartemen cair
lainnya. Terdapat dua teknik yang digunakan dalam dialisis, yaitu :
 Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan
atau produk limbah karena dalam tubuh penderita gagal ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Brunner&Suddarth, 2002). Menurut corwin
(2000), hemodialisis adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama
hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk
kedalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran
semipermeable (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan
darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi.
Setelah darah dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam
tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). Tindakan terapi dialisis tidak
boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi
terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir
akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi
absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin
> 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat.
 Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisa pada penanganan gagal
ginjal akut dan kronis. Pengobatan ini jarang dipakai untuk jangka panjang.
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan
di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

2. Transplantasi Ginjal: Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK,


maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal baru. Pertimbangan program
transplantasi ginjal :
 Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi dan faal ginjal
 Kualitas hidup normal kembali
 Survival rate meningkat
 Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
 Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan meletakkan pada fosa
iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian lebih mudah beranastomosis atau
berimplantasi kedalam kemih resipien. Arteri renalis berimplantasi pada arteri
iliaca interna dan vena renalis beranastomosis dengan vena iliaca komunis atau
eksterna.

.9 Komplikasi Chonic Kidney Disease (CKD)


a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan masukan
diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron. Tekanan Darah Tinggi. Karena salah satu fungsi ginjal adalah mengatur
tekanan darah,maka anda bisa mengalami tekanan darah tinggi ketika terjadi
gangguan kronis dari fungsi ginjal. Selanjutnya kondisi demikian akan mempercepat
peningkatan risiko penyakit jantung.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid dan Hiperfosfatemia.
j. Anemia
k. Perdarahan
l. Neuropati perifer
m. Esofagitis, Pankreatitis, Infeksi
n. Hipertrofi ventrikel kiri
o. Kardiomiopati dilatasi, Oateodistrofi
p. Penyakit Jantung. Ketika anda mengalami GGK, maka anda sangat berisiko terkena
penyakit jantung. Dan dilaporkan lebih dari separuhkematian pada orang dengan
GGK berasal dari adanya penyakit jantung ini. Serangan Jantung dan Stroke. Penyakit
jantung dan pembuluh darah merupakan penyebab utama kematian lebih dr 20 juta
org di Amerika Serikat yang menderita GGK. Penderita dg GGK memiliki risiko
lebih tinggi utk mengalami serangan jantung atau stroke, bahkan pada penderita yg
masih pada stadium awal atau ringan sekalipun.
q. Perubahan Kulit. Ketika fungsi ginjal anda terganggu, akan tjd endapan garam
kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan rasa gatal. Rasa gatal ini secara
alamiah anda akan menggaruknya, hingga kadang2 sampai terluka dan terinfeksi.
Proses ini tidak kunjung membaik hingga keindahan kulit menjadi rusak, bahkan
terkesan kotor & berubah seperti kulit jagung (kasar & kering)
r. Kematian. Risiko kematian pada penderita GGK cukup tinggi. Dalam kejadian di
lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas, atau kejang otot jantung, atau
tidak sadarkan diri, atau infeksi berat sebelumnya.

1.10 Pencegahan Chonic Kidney Disease (CKD)


 Pencegahan Primer : Pengaturan diet protein, menghindari obat netrotoksik,
menghindari kontak radiologik yang tidak amat perlu, mencegah kehamilan pada
penderita yang berisiko tinggi, konsumsi garam sedikit. makin tinggi konsumsi garam,
makin tinggi pula kemungkinan ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat
mempermudah terbentuknya kristalisasi ikatan kalsium urat oleh sodium.
 Pencegahan Sekunder : berupa penatalaksanaan konservatif yang terdiri atas
pengobatan penyakit-penyakit co morbid (penyakit penyerta) untuk menghambat
progresifitas dan persiapan pengobatan pengganti yang terdiri dari dialisis dan
transplantasi ginjal.
 Pencegahan Tersier : upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat atau
kematian, tidak hanya ditujukan kepada rehabilitasi medik tetapi juga menyangkut
rehabilitasi jiwa. Pencegahan tersier bagi penderita GG dapat berupa: mengurangi
stress, menguatkan sistem pendukung sosial atau keluarga untuk mengurangi
pengaruh tekanan psikis pada penyakit GGK, meningkatkan aktivitas sesuai toleransi,
hindari imobilisasi karena hal tersebut dapat meningkatkan demineralisasi tulang,
meningkatkan kepatuhan terhadap program terapeutik, mematuhi program diet yang
dianjurkan untuk mempertahankan keadaan gizi yang optimal agar kualitas hidup dan
rehabilitasi dapat dicapai.
LAPORAN PENDAHULUAN
CAPD (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALISYS)
A. Pengertian

CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian darah


dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut).
Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari
darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan
dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga
perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran
darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang,
dan diganti dengan cairan yang baru (Surya Husada, 2008).

Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum yang luasnya sekitar 22.000 cm2
berfungsi sebagai permukaan difusi. Cairan dialisat yang tepat dan steril dimasukkan ke
dalam cavum peritoneal menggunakan kateter abdomen dengan interval. Ureum dan creatinin
yang keduanya merupakan produk akhir metabolism yang diekskresikan oleh ginjal
dikeluarkan (dibersihkan) dari darah melalui difusi dan osmosis ketika produk limbah
mengalir dari daerah dengan konsentrasi tinggi (suplai darah peritoneum) ke daerah dengan
konsentrasi rendah (cavum peritoneal) melalui membrane semipermeable (membrane
peritoneum). Ureum dibersihkan dengan kecepatan 15 hingga 20 ml/menit, sedangkan
creatinin dikeluarkan lebih lambat.

B. Tujuan
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah
metabolic, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan cairan
yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.

C. Indikasi
 Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
 Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
 Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
 Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
 Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
 Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive
terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

D. Kontraindikasi
 Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
 Adhesi abdominal
 Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada discus
intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis dalam
abdomen yang kontinyu
 Pasien dengan imunosupresi

E. Cara kerja CAPD


a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat keluar
masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut
(peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam rongga perut dengan
pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana sebagian kateter
muncul dari dalam perut disebut “exit site”.
Sebelum pemasangan kateter peritoneal, dokter mencuci dan mendesinfeksi abdomen.
Anastesi lokal diberikan di daerah tengah abdomen sekitar 5 cm di bawah umbilicus.
Dokter membuat insisi kecil dan kateter multinilon dimasukkan ke dalam rongga
peritoneum. Kemudian, daerah tersebut ditutup dengan balutan.
Proses pemasangan
Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter “dineal”R61L”
yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong cairan dialysis 1 L. Dari
pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa tambahan yang menuju ke belakang, ini
untuk meng“syphon off” cairan dari peritoneum. Seluruh pipa harus terisi dengan cairan
yang dipakai. Sebuah kantong pengumpulan steril yang besar (paling sedikit volume 2 L)
diikatkan pada pipa keluar.
Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara pusar atau
umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari pubis. Bekas luka pada
dinding abdominal harus dihindari dan kateter dapat dimasukkan sebelah lateral dari
selaput otot rectus abdominus. Anastesi local yang diberikan cukup banyak (10-15 ml)
dan yang paling penting untuk meraba peritoneum dan mengetahui bahwa telah
diinfiltrasi, bila penderita gemuk, sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau
pungsi lumbal) diperlukan untuk menganastesi peritoneum.
Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di kulit
dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke ruang
peritoneal dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau ditarik
1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang dinding atau selaput peritoneum
terasa sebagai dua lapis yang dapat dibedakan, keduanya harus ditembus sebelum
menarik pisau dan mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau
dialirkan 2 L cairan dan diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman.
Segera setelah cairan ini masuk, harus di “syphon off” untuk melihat bahwa system
tersebut mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran cukup
baik. Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat dirapikan bila
perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol dari dinding perut. Hal ini
kemudian dikuatkan ditempat dengan elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa
penyambung yang pendek yang menghubungkan kateter ke alat perangkat.

b. Pemasukan cairan dialisat


Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk
dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam.
Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan
dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.
Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian disambungkan
dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril dibiarkan mengalir secepat
mungkin kedalam rongga peritoneum. Dialisat steril 2 L dihabiskan dalam waktu 10
menit. Kemudian klem selang ditutup. Osmosis cairan yang maksimal dan difusi –
solut/butiran ke dalam dialisat mungkin terjadi dalam 20-30 menit. Pada akhir dwell-time
(waktu yang diperlukan dialisat menetap di dalam peritoneum), klem selang dibuka dan
cairan dibiarkan mengalir karena gravitasi dari rongga peritoneum ke luar (ada kantong
khusus). Cairan ini harus mengalir dengan lancar. Waktu drainase (waktu yang
diperlukan untuk mengeluarkan semua dialisat dari rongga peritoneum) adalah 10-15
menit.
Drainase yang pertama mungkin berwarna merah muda karena trauma yang terjadi
waktu memasang kateter peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3, drainase sudah jernih dan
tidak boleh ada lagi drainase yang bercampur dengan darah. Setelah cairan dikeluarkan
dari rongga peritoneum, siklus yang selanjutnya harus segera dimulai. Pada pasien yang
sudah dipasang kateter peritoneal, sebelum memasukkan dialisat kulit diberi obat
bakterisida. Setelah dialisis selesai, kateter dicuci lagi dan ujungnya ditutup dengan
penutup yang steril.
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat
melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat
penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.

Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk


menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut
Ultrafiltrasi.

c. Proses Penggantian Cairan Dialisis


Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat (± 30
menit). Terdiri dari 3 langkah:
1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.
2. Memasukkan cairan

2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan
waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut
melalui kateter.

3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6
jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang peritoneum
untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk pengeluaran.
Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau
lebih lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang
mengalir ke dalam dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu
kateter “Tenchoff” yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara
permanen untuk CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap akhir.
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali
sehari), 7 hari dalam seminggu.

F. Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan
kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada
CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten
karena proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada
dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.
Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan
CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti
ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran
sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai
dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml
sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh
dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan
cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara
kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari (misalnya,
pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan dapat tidur
pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau
lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh
dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan
cairan dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi
selama 10 menit, 30 menit atau lebih.

G. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian

Efektifitas
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa
dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara
penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga
peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran.

Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut
melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan
selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika cairan dialisis
berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air
akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh
pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang
tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau
dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).

Keuntungan CAPD dibandingkan HD


Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya saat
mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-
fungsi tersebut.
b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis pada
tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai usia
juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis peritoneal
menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).

Keuntungan tambahan yang lain yaitu :


a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.

Kelemahan CAPD
a) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi
infeksi paru karena goncangan diafragma
b) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di tempat
tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
c) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi
(pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat terjadi.
d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).

Komplikasi CAPD

1. Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory
Continous adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul
seperti cairan menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis
merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini
terjadi pada 60% hingga 80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian
besar kejadian peritonitis disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis
yang bersifat aksidental. Kejadian ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya
baik. Meskipun demikian, peritonitis akibat staphylococcus aureus menghasilkan
angka morbiditas yang lebih tinggi, mempunyai prognosis yang lebih serius dan
berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram negative dapat berasal dari dalam usus,
khususnya bila terdapat lebih dari satu macam mikroorganisme dalam cairan
peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat anaerob. Manifestasi peritonitis
mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang
difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika staphylococcus
merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan drainase
dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan kultur
untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah
komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:
1. Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh kateter.
2. Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
3. Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama proses
penukaran cairan)
4. Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran
cairan dialisat tersebut
5. Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-
sentra dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan untuk
menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri
oleh pasien.

2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat
segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti
spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk menyembuhkan luka
insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-faktor yang dapat
memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak semestinya
atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran melalui tempat
pemasangan kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi spontan beberapa
bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut.
3. Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat
terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering dijumpai
selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat prosedur
tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya
perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai
dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase dialisat yang
berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan.
Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan
intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu
ini mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
4. Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang terus
menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal, diafragmatik
dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat juga akan
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.

5. Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis
6. Nyeri punggung bawah dan anoreksia
Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam rongga
abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera pengecap serta
berkaitan dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi CAPD

7. Gangguan citra rubuh dan seksualitas


Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk mengontrol
sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal, namun bentuk terapi
ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami gangguan citra tubuh dengan
adanya kateter abdomen dan kantong penampung serta selang dibadannya
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC

Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology: Clinical
concept of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of Medical
Surgical Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;

Anda mungkin juga menyukai