Anda di halaman 1dari 11

Menggugat Kearifan Lokal

Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis tentang hal ini. Terus terang,
kearifan lokal (local wisdom), walau bukan sesuatu yang sangat
kontroversial, seringkali disalahpahami sebagai sesuatu yang absolut.

Menurut beberapa definisi, kearifan lokal adalah "gagasan-gagasan setempat


(lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya." (Kamus Inggris-Indonesia
Shadily-Echols). Pandangan lain mengatakan "nilai yang dianggap baik dan
benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh
masyarakat yang bersangkutan sebagai akibat dari adanya interaksi antara
manusia dengan lingkungannya” (Keraf, 2002; Gobyah, 2009).

Yang menarik, Prof. Haryati Soebadio menganggap kearifan lokal memiliki


ciri “mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan
kemampuan sendiri”. Senada dengan itu, Moendardjito juga mengatakan
kearifan lokal mampu “bertahan..., mengakomodasi unsur-unsur budaya
luar..., mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli...,
mengendalikan... dan memberi arah pada perkembangan budaya.”
(Ayatrohaedi, 1986:18-19)

Dengan kata lain, kearifan lokal adalah sesuatu yang relatif fleksibel dan
tidak (melulu) “anti” terhadap perubahan atau pengaruh dari luar, tetapi
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi. Soebadio bahkan menggunakan
istilah local “genius” alih-alih “wisdom”, merujuk pada sifat adaptif dan
inovatif dari kearifan lokal tersebut.

Maka, jika merujuk beberapa definisi di atas, kearifan lokal – walaupun bisa
diwariskan turun-temurun – bukanlah suatu nilai yang bersifat primer. Ia
bukan akar dari budaya atau fondasi yang menyokong seluruh aspek
kehidupan suatu kelompok masyarakat. Ia adalah produk turunan (sekunder,
mungkin malah tertier) dari suatu budaya, atau campuran budaya, dan
bahkan mampu mengubah budaya.

Tetapi dalam konteks masa kini, kearifan lokal seringkali dibenturkan


dengan (post-)modernisme. Kearifan lokal dianggap sebagai nilai primer
yang terancam oleh pengaruh kemajuan teknologi dan budaya asing post-
modern. Kearifan lokal dianggap nilai luhur yang absolut, tetapi (anehnya)
sulit – kalau bukan tidak mampu – bertahan melawan arus globalisasi.

Dengan menggunakan sudut pandang tersebut, tak heran banyak orang yang
melihat benturan kepentingan di masyarakat dalam konteks globalisasi
versus kearifan lokal. Mereka membangun tembok pemisah dengan
menggunakan kacamata modern vs tradisional, penjajah vs
pribumi, Conquistador vs Indian.

Ambil contoh ojek dan taksi online yang masih menjadi kontroversi sampai
saat ini. Ketika ojek online semakin marak, ojek pangkalan merasa terancam
dengan kehadiran mereka. Sama halnya dengan taksi online, taksi resmi
dengan argometer juga merasa terancam. Penghasilan menurun karena
penumpang beralih ke yang lebih canggih, praktis dan ekonomis.

Lalu apa yang mereka lakukan? Mereka mengklaim bahwa mereka adalah
kelompok yang resmi dan “asli”, dan kini diserbu kekuatan “kapitalis” asing
yang bersenjatakan teknologi canggih. Mereka membentuk paguyuban
pengemudi (bentuk organisasi yang dianggap sebagai “kearifan lokal” alih-
alih korporasi yang ”global”) untuk melawan transportasi online. Dan
mereka melawan dengan kekerasan.

Tidak sedikit yang membela tindak kekerasan mereka dengan dalih kearifan
lokal. Ojek pangkalan, misalnya, dipuja sebagai suatu sistem sosial yang
teratur, santun dan penuh keakraban antara pengojek dan penumpangnya.
Sekarang mereka diserbu ojek online yang tidak mau mengantri di
pangkalan dan mengganti “kearifan” tawar-menawar dengan kepastian
harga di layar sentuh yang dingin. Kata mereka, tidak ada cara lain untuk
bertahan selain melawan, bak semut yang menggigit kalau mau diinjak.
Tetapi coba pikir, ojek itu kan memakai sepeda motor. Bukankah hampir
semua sepeda motor itu buatan pabrik asal negara kapitalis Asia Timur Raya
yang pernah menjajah bangsa ini dengan kejam? Bukankah pada awalnya
mereka juga menggusur becak? Lalu taksi, bukankah mereka jelas-jelas
milik korporasi? Apa anda yang pernah tinggal di Bandung ingat kalau taksi
dengan argometer resmi pernah dibakar oleh supir taksi argo “kuda” ketika
pertama kali beroperasi di sana?

Itulah yang sering tidak (mau) disadari oleh para penggiat kearifan lokal
maupun pendukungnya. Mereka berpura-pura lupa bahwa mereka dulu juga
menggusur bentuk budaya yang lebih tua. Mereka mengasosiasikan diri
dengan suku Anak Dalam atau Dayak, padahal mereka lebih tepat
disamakan dengan petani pembakar hutan yang merusak tanah penduduk
asli, tetapi merasa terancam oleh regulasi global yang mewajibkan produk
pertanian yang ramah lingkungan.

Kemiskinan juga sering dipakai sebagai dasar pembenaran untuk


mengasosiasikan seseorang atau kelompok masyarakat dengan kearifan
lokal dan menolak perubahan. Prinsipnya: semurni-murninya rakyat adalah
mereka yang paling miskin. Benarkah demikian? Atau kalau mau lebih
kritis lagi, apakah yang menolak perubahan itu benar-benar miskin atau
hanya mengasosiasikan diri dengan kemiskinan?

Ibu saya membantu seorang janda yang mempunyai empat anak, dua
diantaranya masih kecil, yang tinggal di kampung belakang rumah orang tua
saya. Selain memberinya pekerjaan, ibu juga membantunya menghemat
pengeluaran, khususnya listrik. Ibu menyarankan janda itu memakai lampu
yang lebih hemat, mengurangi pemakaian TV dan menggunakan listrik
dengan token.

Anda tahu? Susahnya luar biasa, sampai ibu saya uring-uringan. Asal tahu
saja, orang-orang kampung urban seperti mereka memang menginginkan
kemewahan, tetapi tidak mengerti cara mengaturnya. Alat listrik dan
elektronik bisa menyala 24 jam sehari (termasuk TV). Akibatnya tagihan
listrik membengkak dan bahkan ia sampai berhutang dari rentenir untuk
melunasinya. Singkat kata, gali lubang tutup lubang.

Dengan token, tentu saja ada batas pemakaian yang membuat anda mau tak
mau berhemat. Ternyata salah satu anaknya yang sudah dewasa menghasut
si janda untuk tidak menuruti ibu saya. Pakai token nyusahin, katanya. Ibu
saya dipandang sebagai orang kaya yang mau menyusahkan orang miskin
dengan memaksa mereka mengubah gaya hidupnya, atau budayanya.

Beralih ke soal penggusuran, misalnya warga bantaran sungai. Anda


mungkin tahu argumen yang membela mereka: hidup selaras dengan alam.
Maksudnya selaras di sini adalah tidak keberatan mengkonsumsi air yang
mereka kotori dengan sampah dan hajat mereka sendiri, dan pasrah saat
sampah mereka sendiri menyebabkan mereka kebanjiran. Sungguh, para
pembela itu benar-benar menganggap hal itu sebagai kebaikan dibanding
hidup terkotak-kotak di rumah susun.

Selain itu kearifan lokal juga dipakai sebagai alasan untuk membenarkan
pelanggaran hukum. Contoh yang paling sederhana: lalu lintas. Anda pernah
merasa sebal ketika ada sepeda motor yang melawan arus atau naik trotoar?
Coba anda tegur mereka. Saya jamin anda akan mendapat teguran yang
lebih keras lagi. Teman istri saya pernah melakukannya, dan ia dibentak “Ini
Jakarta, anjing!!!”

Kalau anda suka menonton acara “86” di NET.TV, tentu anda sering
melihat bagaimana para pengendara motor berkelit ketika polisi
menangkapnya karena berkendara tanpa helm, lebih dari dua orang,
melawan arus atau bahkan di bawah umur. Jargon yang sering mereka pakai
adalah “Cuma dekat kok!”, “Sebentar aja!” atau “Ini juga biasanya nggak
apa-apa!”. Mereka menuduh polisi tidak paham dengan adat
kebiasaan berkendara masyarakat di daerah itu.

Itu baru tindak pidana ringan. Anda yang masih suka menyalahkan VOC
atas budaya korupsi di negeri ini, coba pikir lagi. Apakah anda terbiasa
memberikan “upeti” kepada orang yang dituakan atau ditokohkan, atau
membelikan hadiah atau oleh-oleh yang berlebihan untuk istri dan sanak
famili atas dasar “kekeluargaan”? Tidakkah terpikirkan oleh anda bahwa
budaya yang santun itu mengakibatkan korupsi berjamaah yang tidak habis-
habisnya di berbagai institusi negeri ini?

Yang juga sering dibela adalah premanisme. Premanisme dianggap warisan


budaya nenek moyang, pernah berjuang melawan penjajah, menjaga adat
istiadat atau akidah agama tertentu. Mereka sering dianggap sebagai
kekuatan “pribumi lokal” melawan hegemoni “pengusaha keturunan”.
(Dalam bahasa Belanda, “Vrijman” berarti “orang bebas”. Artinya mereka
tidak mungkin ada jika tanpa kehadiran penjajah.)

Tetapi masyarakat tutup mata ketika mereka juga menerima bayaran dari
“pengusaha keturunan” untuk menghabisi rival bisnisnya. Saya bingung,
jika mereka digadang-gadang sebagai pejuang kemerdekaan dan pelestari
budaya, mengapa kita tidak memberikan penghargaan yang sama atau
bahkan lebih kepada para veteran yang kini sebatang kara, atau seni budaya
yang terancam punah? Mengapa kita malah melindungi para begal yang
bengal ini?

Yah, mungkin hal itu tepat untuk menyimpulkan pertanyaan saya: mengapa
kita membela kearifan lokal yang buruk, sementara yang sungguh arif malah
dilupakan, dipinggirkan, atau hanya dipakai sebagai lip service untuk
membenarkan keburukan-keburukan budaya kita?

***

Saya membaca sebuah artikel tentang hubungan antara ketertiban lalu lintas
dengan tingkat korupsi di suatu negara. Kesimpulan penulisnya jelas:
semakin korup suatu negara, semakin kacau lalu lintasnya. Tetapi ada satu
hal yang menarik dari penelitian tersebut:

“Beberapa nilai budaya, seperti kebebasan intelektual, dipandang (dapat)


mengurangi kecelakaan lalu lintas. Lainnya, misalnya struktur sosial yang
hierarkis, membuat kecelakaan bertambah. Pemerintahan yang baik
ternyata dapat menjadi moderator yang efektif untuk nilai-nilai (budaya)
yang berdampak pada naiknya angka kecelakaan. Di negara dengan
pemerintahan (baca: hukum) yang tidak berjalan baik, dampak budaya
yang negatif cenderung semakin menonjol.”

Jika merujuk pada definisi Moendardjito di awal tulisan, budaya lokal yang
berbaur dengan modernisme bernama kendaraan bermotor dan jalan raya
menghasilkan ‘kearifan lokal’ bernama sikap berkendara. Dalam struktur
sosial yang hierarkis, kendaraan pribadi dianggap sebagai ‘simbol status’
sehingga jalanan menjadi ajang ‘aktualisasi diri’. Akibatnya mudah ditebak:
respek terhadap sesama pemakai jalan menjadi rendah.

Masalahnya, jalan raya adalah ruang publik. Untuk menciptakan harmoni


antar nilai yang berbeda di ruang publik, dibutuhkan peraturan yang netral
dan mengikat. Tetapi karena begitu mengakarnya hierarki sosial dalam
budaya kita, peraturan lalu lintas yang egaliter dan dibuat semata untuk
keselamatan, dianggap tidak berguna. Bahkan bagi sebagian orang dianggap
sebagai ancaman dari penguasa, pemodal atau pihak asing.

Pengendara sepeda motor di bawah umur adalah contoh paling jelas.


Mengapa mereka boleh naik motor? Karena orang tua mereka mengijinkan.
Mengapa diijinkan? Karena itu menunjukkan mereka punya uang untuk
membeli motor dan anak mereka mandiri. Mengeapa mereka tidak pakai
helm tetapi berbusana religius dan bahkan mengendarai motornya untuk
pergi beribadah? Karena mereka diajari untuk patuh pada orang tua dan
agama, kasta tertinggi dalam kehidupan sosial mereka.

Peraturan lalu lintas yang egaliter dan menuntut sikap hormat antar pemakai
jalan yang tidak saling mengenal adalah konsep yang asing bagi mereka.
Peraturan itu menakutkan dan berbenturan dengan konsep kekeluargaan
mereka, karenanya harus ditelikung atau dilawan sekalian.

Hal inilah yang terjadi dengan bentuk-bentuk kearifan lokal di masyarakat


modern atau kosmopolitan. Mereka datang ke kota membawa pola pikir dan
budaya mereka. Ketika mereka berbaur dengan bentuk budaya lainnya,
entah mereka bentrok atau menyesuaikan diri. Bentuk penyesuaian diri ini
(kearifan lokal) bisa jadi baik, bisa juga buruk. Yang buruk ini, tentu saja
harus dinetralisir dengan peraturan dari pihak yang berwenang.

Tetapi ketika diatur, mereka malah melawan dengan alasan “budaya asli”.
Sudah bertahun-tahun mereka tinggal di sini dengan membayar preman atau
oknum pejabat, mengapa sekarang digusur? Sudah lama mereka tinggal di
pinggir sungai dan hidup saling mengotori dengan sang air, mengapa
sekarang dipindahkan ke rumah petak yang kaku? Di kampung mereka
biasa naik motor tanpa helm dan membawa muatan berlebihan, kenapa
sekarang ditilang?

Artikel tentang lalu lintas dan korupsi tadi sudah memberikan jawabannya:
kebebasan intelektual mengurangi angka kecelakaan. Artinya, orang yang
cerdas akan memilih untuk menaati peraturan demi keselamatan berasama.
Orang yang terdidik akan bersikap arifuntuk (sedikit) mengerem nilai
kearifan lokalnya demi menghargai pemakai jalan lain. Jadi kata kuncinya
adalah pendidikan.

Pendidikan yang bagaimana? Ya itu tadi, pendidikan yang menghasilkan


kebebasan intelektual. Tetapi mengapa kebebasan intelektual malah
membuat orang taat peraturan? Itulah pertanyaan orang yang pola pikirnya
tidak cerdas. Orang yang bebas berpikir menaati peraturan bukan karena
takut, tetapi karena melihat kepentingan bersama yang lebih besar:
keselamatan berkendara, pelestarian lingkungan dan masa depan anak cucu
bangsa.

Sebaliknya orang yang tidak cerdas selalu terbelenggu oleh nilai. Mereka
tidak pernah melihat mengapa atau untuk apa suatu nilai diberlakukan,
dipertahankan, disesuaikan atau dihilangkan. Mereka cenderung memilih
yang nyaman dan aman bagi mereka. (Jangan salah, walaupun mengekang,
agama atau budaya bisa saja nyaman bagi mereka karena alternatifnya
dibuat menakutkan.) Akibatnya mereka tidak mau berubah, atau setidaknya
jika itu mengusik kenyamanan mereka.
Seharusnya kita yang masih berpikir demikian malu pada suku-suku di
pedalaman Nusantara. Anak-anak mereka dengan bersemangat mengenyam
pendidikan tanpa melupakan tradisi. Bahkan tetua adat mereka yang kolot
pun bisa dan mau menerima pendidikan. Mereka menjadi lebih bijak
mengelola alam dengan menyatukan kearifan lokal dan ilmu pengetahuan.
Mereka dapat memperjuangkan hak-hak mereka melalui cara yang beradab
dan cerdas. Mereka diakui oleh dunia sebagai local genius.

Sementara kita yang sok tertindas dan mengasosiasikan diri dengan mereka,
malah tidak mau belajar dan merendahkan pendidikan sebagai semata alat
untuk mencapai status sosial. Kita menganggap kearifan kita itu sebagai
penjaga kenyamanan hidup. Kita dengan bangga mencampuradukkan nilai
budaya kita dengan modernitas dan hasilnya adalah chaos, tetapi ketika
dinasehati orang asing, kita menertawakan dan melawan mereka.

Kalau sudah demikian, maka kita tidak pantas lagi disebut local genius,
tetapi evil genius.

Analisis:

Dari tulisan ini, kesalahan berfikir yang dilakukan oleh si penulis yaitu, ia
ingin menyampaikan bahwa masyrakat indonesia khususnya di -kota-kota
besar sudah banyak yang tidak lagi mengikuti budaya yang ada di kota
tersebut, karena orang-orang kota yang ada di indonesia sudah terpengaruh
oleh kebudayaan dari orang asing. Selain itu juga melalui tulisan ini penulis
mengatakan bahwa, masyarakat sangat mudah di pengaruhi oleh
kebudayaan-kebudayaan asing, dan juga melalui tulisannya ia memiliki
maksud bahwa masyarakat indonesia tidak bisa menghadapi globalisasi,
karena setiap kebudayaan asing yang masuk ke indonesia, masyarakatnya
khusunya anak muda langsung mengamini dan mengikuti kebudayaan asing
tersebut. Si penulis mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat kita
sudah mulai melupakan tradisi-tradisi yang telah di ajakan dari dahulu,
sekarang banyak masyarakat yang sudah terpengaruh oleh budaya-budaya
asing.

Macam kesalahan berfikir:

Dari kesalahan berfikir penulis, kesalahan berfikir yang dilakukan oleh si


penulis termasuk pada macam kesalahan berfikir Kesesatan non causa pro
causa (post hoc ergo propter hoc) adalah kesesatan yang dilakukan karena
penarikan penyimpulan sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelumnya
adalah penyebab sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa
yang terjadi secara berurutan. Dalam macam kesalahan berfikir yang satu ini
dalam penarikan sebuah kesumpilan dari kejadian yang terjadi di sekitarnya,
itu berdasarkan sebuah sebab akibat dari peristiwa yang terjadi.
UJIAN TENGAH SEMESTER

DASAR-DASAR LOGIKA

Diajukan untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah Dasar-Dasar


Logika

Tahun Akademik 2016/2017

Disusun oleh :

Ahmad Putra Tama Lubis (10080016473)

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2017

Anda mungkin juga menyukai