Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN
Anestesi dan reanimasi telah berhasil memungkinkan sesorang dilakukan
pembedahan tanpa siksaan dan rasa nyeri. Dewasa ini, anestesi dan reanimasi
telah jauh berkembang semenjak ditemukan pertama kali oleh Morton pada tahun
1
1846.
Mulai dari zat-zat yang dipakai, alat-alat dan mesin anestesi, hingga teknik
anestesi yang memungkinkannya jenis dan lama pembedahan yang lebih maju.
Anestesi dan reanimasi juga berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
kelompok umur pediatrik.2
Anestesi dan reanimasi pediatrik sendiri dapat dibagi menjadi empat
kelompok umur yaitu neonatus, bayi, anak pra sekolah dan anak usia
2
sekolah.
Kelompok umur ini mempunyai kebutuhan dan karakteristik yang sangat
berbeda dengan orang dewasa. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan anatomi,
3
fisiologi, psikologi, dan biokimia yang berbeda. Dari segi anatomi, jalan nafas
anak-anak terlebih neonatus dan bayi jauh lebih kecil daripada orang dewasa.
Mukosa jalan nafas juga lebih mudah teriritasi sehingga dapat membahayakan
jalan nafas. Permasalahan juga ditambah dengan lidah yang besar sehingga
cenderung menutup jalan nafas saat dalam pengaruh anestesi. Belum matangnya
organ-organ seperti hati, jantung, otak dan ginjal pada neonatus dan bayi
juga merupakan masalah tersendiri yang dapat menyebabkan tingginya
mortalitas dan morbiditas pediatri dalam pengaruh anestesi. Respon psikologi
seperti menangis, agitasi, retensi urine, nafas dalam, dan respon lain yang sering
dikeluarkan oleh pasien pediatrik sering kali mengganggu proses anestesi dan
3,4,5
reanimasi.
Anestesi dan reanimasi pada pasien pediatrik bukan hanya penyesuaian
dosis dan ukuran alat-alat yang akan dipakai, melainkan juga
pendekatan- pendekatan yang sesuai dengan anatomi, fisiologi, psikologi, dan
biokimia pasien pediatrik sendiri.5
1
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.
Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga
disebut tonsillitis kronis hipertrofi. Mengingat dampak yang ditimbulkan
maka tonsillitis kronis hipertrofi yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas
harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif tonsilektomi??.
Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal
dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan
sepatu serta dari bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik
tonsilektomi terus berkembang mulai dari abad 21 diantaranya diseksi
tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan bipolar, skapel harmonik,
diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi dengan
coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal
menggunakan elektrokauter.6
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia
pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta
keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di
Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik
anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan
tujuan untuk pendidikan.7
Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan
dengan anestesi umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya
merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi
terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi.
Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun
komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi,
mual, muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia,
hipersensitif terhadap obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait
induksi intravena dengan pentotal.7

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tonsilitis Kronik
2.1.1 Definisi
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih
dari 3 bulan setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau
infeksi subklinis. Mikroabses pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil
dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ lain seperti sendi, ginjal,
jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber bakteri/kuman di
dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar
jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit.8
Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada
gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi
pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat
membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior
dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.8
2.1.2 Etiologi
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh
karena sering menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis
akut yang tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis
kronik disebabkan oleh bakteri yang sama terdapat pada tonsilitis akut,
dan yang paling sering adalah bakteri gram positif. Staphylococcus alfa
merupakan penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus,
Streptococcus beta hemolyticus group A.9
2.1.3 Faktor Predisposisi
Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :9
-Rangsangan kronis (rokok, makanan)
-Hygiene mulut yang buruk
-Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
-Alergi (iritasi kronis dari alergen)
-Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik)

3
-Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
2.1.4 Patofisiologi
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke
tubuh kita baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu
akan dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel
polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari
penjagaan hygiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-
faktor lain,maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh
semua kuman kumannya, akibatnya kuman yang yang bersarang di
tonsil akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik.pada keadaan
inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi
atau fokal infeksi.10
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena
proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti
oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan
melebar.10
Secara klinis kripte ini akan diisi oleh detritus (akumulasi sel yang
mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa
eksudat bewarna putih kekuningan). Proses ini meluas sehingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan
sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke
seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.10
2.1.5 Manifestasi Klinis
Gejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang
bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai
sakit menelan;2) gejala sistemis, berupa rasa tidak enak badan atau
malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian;3)
gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis
kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil

4
fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior
hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.9
2.1.6 Terapi
a.Medikamentosa
Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang
baik, obat kumur,dan obat.8
Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral
perlu diberikan selama sekurangnya 10 hari. Antibiotik yang dapat
diberikan adalah golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila
terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisis atau klindamisin.8
b.Operatif
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam
sejarah operasi. Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda,
namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi
tonsilektomi pada saat ini. Dulu, tonsilektomi diindikasikan untuk terapi
tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi utama adalah obstruksi
saluran nafas dan hipertrofi tonsil.8
2.2 Perbedaan Fisiologi pada Pasien Pediatrik
Masa neonatus dan bayi adalah masa dimana terjadi perubahan yang
sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa
ini terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Sistem respirasi,
sirkulasi, dan ekskresi penting untuk anestesi pada kelompok umur ini.
Begitu pula dengan kelompok anak pra sekolah dan anak usia sekolah
dimana secara anatomi, fisiologi, psikologi, dan biokimia yang berbeda dari
orang dewasa. Kelompok ini cenderung memerlukan pendekartan-pendekatan
psikologis yang berbeda sekali dengan orang dewasa. Maka dari itu sangatlah
diperlukan penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan suatu
tindakan anestesi terhadap pasien pediatrik.3,4,5
2.2.1 Sistem Respirasi
Secara anatomi jalur nafas neonatus dan bayi lebih rentan
tersumbat daripada orang dewasa.3,4 Diameter dari lubang hidung,

5
orofaring, dan trakea relatif lebih kecil pada anak-anak daripada orang
dewasa. Diameter tersempit terdapat didaerah cricoid, berbeda dengan
orang dewasa dimana tersempit pada daerah epiglottis. Perbedaan ini
membuat pernfasan lebih mudah tersumbat oleh edema mukosa yang dapat
disebabkan oleh inflamasi ataupun iritasi dan dapat bersifat fatal. 4,5
Produksi mukosa pada neonatus dan bayi juga lebih banyak daripada orang
dewasa, sehingga membuat jalur pernafasan lebih mudah tersumbat.5 Lidah
pada neonatus dan bayi juga relatif lebih besar dan cenderung jatuh saat
dalam pengaruh anestesi. Pada neonatus dan bayi ukuran epiglottis lebih
besar, berbentuk U, dan lebih terkulai.3,4 Hal ini membuat terkadang
pengangkatan epiglottis diperlukan untuk visualisasi pada proses
intubasi. Ukuran tonsil dan adenoid juga harus diperhatikan karena
dapat mempersulit proses intubasi. Karakteristik anatomis neonatus
membuat neonatus hanya dapat bernafas melalui hidung sampai berumur 5
bulan, sehingga pemasangan pipa naso-gastrik dapat membahayakan
pernafasan.5
Hampir sama dengan neonatus dan bayi, pada kelompok
anak-anak juga mempunyai lidah yang lebih besar, laring yang letaknya
lebih anterior, epiglottis yang lebih panjang, serta leher dan trakea yang
lebih pendek daripada dewasa membuat membuat seorang anestesi lebih
berhati-hati.5

6
Gambar 1. Anatomi jalan napas pada pasien pediatrik
Jenis pernafasan neonatus adalah pernafasan diafragma. Hal ini
disebabkan oleh thoraks pada neonatus berukuran kecil dan iga horizontal,
otot-otot pernafasan pada neonatus belum berkembang dengan baik,
diafragma terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian
kemampuan dalam memelihara tekanan negatif intratorakal dan volume
paru rendah sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta
3,4,5
menyebabkan neonatus bernafas secara diafragmatis. Kadang- kadang
tekanan negatif dapat timbul dalam lambung pada waktu proses inspirasi,
sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam lambung. Pada
bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya kembung
dipertimbangkan pemasan pipa orogastrik.Pada neonatus juga ditemukan
pola nafas periodik dimana ada - periode dimana nafas berhenti sebentar
5
selama kurang dari 10 detik. Hal ini harus dibedakan dengan apneu,
dimana apneu berhubungan dengan desaturasi dan bradikardi. Pada anak
yang lebih besar, pola pernafasan sudah hampir sama dengan orang dewasa
namum frekuensi lebih cepat karena berhubungan dengan tingkat
metabolisme yang lebih tinggi daripada orang dewasa (Tabel 1).
Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung
mendorong diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan

7
paru akibat sedikitnya elemen elastis paru atau surfaktan, maka akan
menurunkan FRC (Functional Residual Capacity) sementara volume
tidalnya relatif tetap (7 mL/kgBB).3,4 Untuk meningkatkan ventilasi
alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas (40-60
kali/menit), karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas.11
Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme
pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga
tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi alveolar pun
relatif lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya.4,5 Tingginya konsumsi
oksigen dapat menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih
mudah atau cepat, terlebih pada neonatus prematur, karena adanya stress
dingin maupun sumbatan jalan nafas.11
2.2.2 Sistem Sirkulasi
Estimasi volume darah pada neonatus dan bayi adalah sekitar 85 mL/kg
dan lebih tinggi pada bayi prematur (95 mL/kg) dengan nilai hematokrit
neonatus dan bayi berisar antara 45-65 %. Komposisi cairan pada neonatus
dan bayi adalah 75-80% dari berat badan dimana sebanyak 30% berada
di ekstraselular, 40% di intraselular, dan sekitar 5% di plasma.
Semakin bertambah umur, komposisi semakin menyerupai orang dewasa
4,5,11
dimana komposisi cairan sekitar 60% dari berat badan. Hemoglobin
yang terdapat pada bayi terlebih neonatus kebanyakan adalah
hemoglobin fetal (HbF) yang mempunyai afinitas oksigen yang lebih tinggi
daripada hemoglobin dewasa (HbA). Hal ini membuat oksigen lebih susah
untuk ditransfer ke jaringan dalam tubuh.4 Seiring berjalannya waktu,
jumlah HbF akan berkurang dan HbA akan meningkat dimana kadar
hemoglobin terendah pada saat usia 3 bulan dan HbA menggantikan HbF
seluruhnya pada usia sekitar 6 bulan.4,5
Pada neonatus dan bayi reaksi pembuluh darah masih sangat
kurang, sehingga keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan
volume juga sangat kurang ditoleransi.11 Manajemen cairan pada
neonatus dan bayi harus dilakukan dengan cermat dan teliti. Tekanan

8
sistolik merupakan indikator yang baik untuk menilai sirkulasi volume
darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap
penggantian volume.5 Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir
tetap terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg.
Frekuensi nadi neonatus dan bayi antara 80-160 dengan rata-rata 120
kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.4,5 Sedangkan
tekanan darah dan frekuensi nadi pada anak-anak bervariasi menurut umur
dan semakin lama semakin sama dengan orang dewasa seiring dengan
bertambahya usia (Tabel 1)
Frekuensi Frekuensi Tekanan darah (mmHg)
Umur Napas Jantung
Sistolik Diastolik
(kali/menit) (kali/menit)
Neonatus 40-60 120-160 60-80 40-60
Bayi 30-40 100-140 70-90 50-70
2-5 tahun 25-30 80-120 80-100 60-75
>6 tahun 18-25 70-110 90-110 70-80
Tabel 1. Parameter Tanda Vital pada Pasien Pediatrik.
Aktivasi dari sistem saraf parasimpaik, overdosis anestesi, ataupun
hypoxia dapat memicu bradikardi secara cepat meskipun denyut nadi pada
bayi lebih cepat dan mengurangi cardiac output yang dapat menyebabkan
hipotensi, asistol, hingga kematian intraoperative. Sesitivitas jantung
terhadap rangsangan parasimpatis, obat anestesi seperti opioid dan volatile
neonatus dan bayi dapat disebabkan oleh belum matangnya jantung, sistem
saraf simpatik, dan reflek baroreseptor.4,5,11 Untuk itu monitor
kardiovaskular harus dilakukan secara hati-hati.
2.2.3 Sistem Ekskresi dan Elektrolit
Filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% dibanding orang dewasa akibat
belum matangnya ginjal neonatus. Fungsi tubulus juga belum matang
sehingga resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amino
dan bikarbonat juga rendah. Fungsi ginjal akan berangsur matang pada
puncaknya sekitar umur 8 tahun. Karena rendahnya filtrasi flomerulus,

9
kemampuan mengekskresi obat-obatan juga menjadi diperpanjang. Oleh
karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan air dan garam, penguapan
air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa sodium dapat dengan
cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit
terutama hiponatremia. Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan atau
derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih dibanding pada orang
dewasa. Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang biasa
disertakan pada setiap pemberian cairan.11
Perhitungan kebutuhan cairan per jam pada pasien pediari menggunakan
aturan “4-2-1” , dimana 4 ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama, ditambah 2
ml/kgBB/jam untuk 10 kg kedua, dan ditambah 1 ml/kgBB/jam untuk sisa
berat badan.5,11
2.2.4 Sistem Saraf
Myelinisasi pada neonatus belum sempurna dan akan matang dan
lengkap pada usia 3-4 tahun. Jadi saat neonatus, otak sangat sensitive
terhadap keadaan- keadaan hipoksia. Perkembangan yang belum
sempurna pada neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan
sensitifitas dan lama kerja dari obat pelumpuh otot non depolarizing.11
Saraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga
aktivitas parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan kecenderungan
terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110 kali/menit)
terutama pada saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada stimulasi
daerah nasofaring.4,5 Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48
jam. Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood
brain barrier akan menyebabkan akumulasi obat- obatan seperti barbiturat
dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang lama dan depresi pada
periode pasca anestesi. Sisa dari blok obat relaksasi otot
dikombinasikan dengan zat anestesi intravena dapat menyebabkan
kelelahan otot- otot pernafasan, depresi pernafasan dan apnoe pada periode
pasca anestesi.11

10
Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan
hipoksia dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian
oksigen tidak menolong baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropin.11
2.2.5 Fungsi Hati
Fungsi hati belum matang pada bayi terlebih neonatus. 3,4
Fungsi detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat
yang rendah pula yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia
dan asidosis metabolik.11
Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada
bayi baru lahir adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30
mg/dL) sukar diketahui tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada
serangan apnoe atau terjadi kejang. Sintesis vitamin K juga belum
sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan konsentrasi
dextrose lebih tinggi (10%).3,11
2.2.6 Regulasi Suhu
Pusat pengaturan suhu di hipothalamus belum berkembang,
walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, luas
permukaan besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeabel
terhadap air membuat mudah kehilangan panas tubuh, sehingga neonatus
sulit mengatur suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan.
Produksi panas mengandalkan pada proses non- shivering thermogenesis
yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak diantara scapula,
axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah produksi
panas dari lemak coklat.11
Hipertermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas,
selimut atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan keringat
(misal: atropin, skopolamin). Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh
suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh terbuka, pemberian
cairan infus atau tranfusi darah dingin, irigasi oleh cairan dingin,
pengaruh obat anestesi umum yang menekan pusat regulasi suhu,
maupun obat vasodilator.11,12

11
Temperatur lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus
adalah 270C.4,5 Pemantauan suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar
optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu penghangat, incubator,
cairan intra vena hangat, gas anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic
yang hangat dapat dilakukan untuk mencegah hipotermia.5,11 Untuk anak
yang lebih besar, penanganan suhu sama dengan orang dewasa.11
2.2.7 Respon Psikologis
Respon psikologis pada pasien pediatrik terutama pada kelompok
umur anak pra sekolah dan usia sekolah sangat berbeda dengan orang
dewasa. Pada kelompok ini diperlukan pendekatan-pendekatan
khusus.11 Respon psikologis kelompok ini terhadap rasa takut, tidak
nyaman, dan stress emosional seringkali membuat masalah pada proses pre
operatif, durante, maupun post operatif. Rasa takut bisa datang dari nyeri
fisik seperti jarum suntik, luka pasca bedah, dan penggantian bebat.
Rasa tidak nyaman yang seringkali dirasakan pasien pediatrik adalah
pusing, mual, infus, kateter, drain, dll. Sedangkan stress emosional
yang paling sering dirasakan adalah pisah dari orangtua, bau-bauan, alat-
alat dan suara di rumah sakit atau kamar bedah, ataupun ketakutan akan
operasi yang akan pasien jalani.5,12 Menangis, agitasi, retensi urine, nafas
dalam, tak mau bicara, dan pernafasan dalam merupakan respon yang
biasa dilakukan anak-anak. Untuk itu mungkin diperlukan pendekatan
terhadap anak-anak seperti menggunakan mainan atau permainan
tertentu, selalu tersenyum dan menggunakan intonasi yang
meyakinkan anak, anak didampingi orangtua, dll.12
2.2.8 Respon Psikologis
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan
pada neonatus dan bayi berbeda dibandingkan dengan dewasa karena11:
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan
ekstravaskuler berbeda dengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi

12
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses
biotransformasi obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung,
liver dan ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system
pernafasan: ventilasi alveolar tinggi, minute volume, FRC rendah,
lebih rendahnya MAC dan koefisien partisi darah/gas akan
meningkatkan potensi obat, mempercepat induksi dan mempersingkat
pulih sadarnya.
2.3 Tatalaksana Anestesi pada Pasien Pediatrik
2.3.1 Evaluasi dan Persiapan Pra Anestesi
Evaluasi dan Persiapan
Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi,
elektrolit, asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau mendekati
normal. Heteroanamnesis dari orang tua, penilaian keadaan umum dan fisik,
serta menilai masalah anestesi yang akan dialami juga harus dilakukan.11,12
Pemeriksaan tambahan yang rutin dilakukan adalah darah lengkap dan
faal hemostatis, sdangkan pemeriksaan lain sesuai dengan
kebutuhan,11. Transportasi neonatus dari ruang perawatan ke kamar
bedah sedapat mungkin menggunakan incubator yang telah
dihangatkan. Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan
terhadap aliran gas harus rendah, anti obstruksi, ringan dan mudah
dipindahkan. Biasanya digunakan system anestesi semi-open modifikasi
system pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari Jackson-Rees.11,12 Untuk
anestesi yang lama, gas-gas anestetik dihangatkan, dilembabkan dengan
pelembab listrik.12 Pada kelompok anak pra sekolah dan usia sekolah,
kunjungan anestesi dilakukan selain untuk menilai keadaan umum,
keadaan fisik, mental, dan menilai masalah yang akan dihadapi
penderita, juga merupakan kesempatan untuk mendapatkan
kepercayaan anak tersebut sehingga mengurangi kecemasan anak.12

13
Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa
yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan pemberian air gula 2 jam
sebelum anestesi untuk umur < 6 bulan. Stop susu 6 jam dan pemberian air
gula 3 jam sebelum anestesi untuk umur 6-36 bulan. Untuk >36
bulan dengan cara stop susu 8 jam dan pemberian air gula 3 jam
sebelum anestesi.3,6 Untuk anak yang sudah lebih besar, puasa seperti
orang dewasa yaitu 6-8 jam.12
Infus
Infus dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa,
mengganti cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat perdarahan, dll.
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam,
jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%. Kecukupan hidrasi
dapat dipantau melalui produksi urin (> 0,5ml/kgBB/jam).1,3,7
Untuk pemeliharaan digunakan preparat D5% dalam NaCl 0,225% untuk
anak < 2 tahun dan preparat D5% dalam NaCl 0,45 % untuk anak > 2
tahun.1
Persiapan Kamar Operasi
Persiapan kamar operasi merupakan hal yang esensial, dan
tergantung pada ukuran tubuh dan status fisik pasien, metode induksi, dan
rencana airway manajemen. Mesin anestesi harus diperiksa terlebih dahulu
dan ventilator diatur sesuai tubuh pasien, ukuran face mask yang sesuai, dan
juga oral airway. Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan baik,
dan ukuran blade yang sesuai harus dipersiapkan. Obat obatan, tube trakea,
stylet yang sesuai juga merupakan hal yang esensial dalam persiapan.
Peralatan untuk resusitasi, obat-obat emergensi juga harus
dipersiapkan. Karena permukaan tubuh anak lebih besar daripada
dewasa, sehingga cenderung untuk terjadi hipotermi, suhu di ruangan
operasi tentu harus disesuaikan, dan alat pemanas dapat disediakan untuk
dapat menjaga suhu pasien.3,12

14
Keberadaan Orang Tua
Keberadaan orang tua di sisi pasien, merupakan salah satu cara
untuk menghilangkan kecemasan pada pasien, selain dengan menggunakan
obat-obatan. Banyak rumah sakit yang telah menyediakan video
tentang petunjuk baik bagi sang pasien ataupun orang tuanya, tentang
apa dan bagaimana persiapan preoperative yang sebenar dan sebaiknya.
Hal ini dapat membantu terutama pada pasien usia pra sekolah. Anak yang
berusia lebih dari 4 tahun dengan orang tua yang memiliki tingkat
kecemasan lebih rendah mendapatkan keuntungan untuk mengurangi
kecemasan pada sang pasien sendiri. Namun jika orang tua pasien
memiliki kecemasan yang berlebih tentu hal ini tak akan membantu, atau
bahkan menjadi lebih sulit. Jika pasien telah ter sedasi, keberadaan
orang tua tak lagi diperlukan, dimana hal ini tidak akan
berpengaruh terhadap kecemasan pasien. Keberadaan orang tua saat
induksi sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut, instruksi yang
diberikan, pasien dan sang ahli anestesi sendiri.3,11,12
Pre Medikasi
1.Sulfas Atropin
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan,
Enfluran, Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02
mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara
intravena dengan pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan
keadaan umumnya jelek.3,11
2.Penenang
Tidak dianjurkan pada neonatus dan bayi, karena susunan saraf pusat
belum berkembang, mudah terjadi depresi. Untuk anak pra sekolah
dan usia sekolah yang tidak bisa tenang dan cemas, pemberian penenang
dapat dilakukan dengan pemberian midazolam. Dosis yang dianjurkan
adalah 0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10
menit setelah pemberian. 3,11

15
2.3.2 Induksi pada Pasien Pediatrik
Cara induksi pada pasien pediatrik tergantung pada umur, status fisik,
dan tipe operasi yang akan dilakukan. Ahli anestesi tentu memiliki
cara dan taktik tersendiri dalam menginduksi pasien pediatrik dan harus
memiliki informasi yang adekuat dari pasien yang akan diinduksi, minimal
umur dan berat badan pasien, jenis pembedahan, apakah emergensi
atau elektif, status fisik dan mental (kooperatif/tidak) pasien. Hal ini
dilakukan untuk persiapan keperluan-keperluan seperti pipa ETT,
pemanjangan anestesi, manajemen nyeri post operatif, ventilasi, dan
perawatan intensif yang memadai.3,4,5
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang
membantu.Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang
sekecil mungkin. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau seintravena.3
1.Induksi Inhalasi
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada yang
takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N2O
dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 0,5 vol%
kemudian dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur.
Sungkup muka mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan
hidung, kalau sudah tidur barn dirapatkan ke muka penderita.3,4
2.Induksi Intravena
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada
mereka yang sudah terpasang infus. Induksi dapat dilakukan dengan
menggunakan propofol 2-3 mg/kg diikuti dengan pemberian pelumpuh otot
non depolarizing seperti atrakurium 0,3 -0,6 mg/kg.3,4 Seringkali
pada praktik pediatri, intubasi bisa dilakukan dengan kombinasi
propofol, lidokain, dan opiate dengan atau tanpa agen inhalasi
sehingga tidak diperlukan pelumpuh otot. Pelumpuh otot juga tidak
diperlukan saat pemasangan LMA.3

16
2.3.3 Intubasi pada Pasien Pediatrik
Intubasi neonatus dan bayi lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-
tebal, epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Karena occiput menonjol dan
membuat posisi fleksi pada kepala, maka dapat dikoreksi dengan cara
sedikit mengangkat bahu dengan meletakan handuk dan menaruh
kepala pada bantal berbentuk donat.3,4,6 Sebaiknya menggunakan
laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya. Hati-hati bahwa
bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid. Intubasi biasanya
dikerjakan dalam keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan
gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis
menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14
hari atau pada bayi prematur.3,11 Yang berpendapat dilakukan intubasi
tidur atas pertimbangan dapat ditekannya trauma, yang dapat dilakukan
dengan menggunakan ataupun tanpa pelumpuh otot. Pipa trachea yang
dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa cuff.
Untuk premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada
bayi aterm 2,5-3,5 mm. Pipa yang digunakan juga jenis pipa non kinking
atau yang tidak mudah tertekuk.12
Pada anak-anak, digunakan blade laringkoskop yang lebih kecil dan
lurus, jenisnya tergantung pada piliban ahli anestesi dan adanya
gangguan saluran pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip
babwa pipa yang dapat dibengkokkan tidak digunakan di bawah nomor 7,
dan dua nomor lebih rendah harus disiapkan bila diperlukan.3,12
Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa
cuff. Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-kasus
laparotomi atau jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran
besarnya pipa trakea sama dengan besarnya jari kelingking atau besarnya
lubang hidung. Untuk menghitung perkiraan diameter dan panjang pipa
dapat menggunakan formula:

17
4+ umur/4 = diameter pipa (mm)
dan
12 + umur/2 = panjang pipa (cm)
Pada pasien pediatrik, intubasi hidung tidak dianjurkan, karena
dapat menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi. Peralatan
harus dengan ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-
Jackson Rees.11
2.3.4 Pemeliharaan Anestesi pada Pasien Pediatrik
Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas
kendali. Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pada bayi
hanya untuk tindakan ringan yang tidak lama.6 Gas anestetika yang umum
digunakan adalah N2O dicampur dengan 02 perbandingan 50:50 untuk
neonatus, 60:40 untuk bayi, dan 70:30 untuk anak-anak. Walapun N2O
mempunyai sifat analgesia kuat, tetapi sifat anestetikanya sangat lemah.
Karena itu sering dicampur dengan halotan, enfluran atau isofluran. 1,3
Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun atau pacta berat diatas
10 kg. Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau per dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh
otot non depolarisasi sangat sensitif, karena itu haus diencerkan
dan diberikan secara sedikit demi sedikit.11
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan
dengan banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan dimaksudkan untuk
mengganti cairan yang hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan,
adanya perdarahan dan oleh sebab-sebab lain, cairan fistula dan lain-
lainnya. Cairan yang seharusnya masuk, karena puasa harus diganti
dengan pedoman1,3,4 :
Pada jam I diberikan 50% defisit + cairan pemeliharaan/jam
Pada jam II diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam
Pada jam III diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam

18
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti
dengan cairan kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5%
dalam Ringer-Iaktat sedangkan diatas 10% dilakukan transfusi.6
Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan11,12:
1. Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum
dan sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter.
Jumlahkan keduanya kemudian tambahkan 25% untuk darah yang
sulit dihitung misalnya yang menempel di tangan pembedah, yang
melengket di kain penutup dan lain-lain.
2. Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada
neonatus harus diganti dengan darah.
2.3.5 Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatrik
Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan
pemberiannya. Berikan oksigen murni 5-15 menit. Bersihkan rongga
hidung dan mulut dari lendir kalau perlu. Jika menggunakan pelumpuh
otot, dapat dinetralkan dengan prostigmin (0,04 mg/kg) atau
neostigmine (0,05 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg). Depresi nafas oleh
narkotika-analgetika netralkan dengan nalokson 0,2-0,4 mg secara
titrasi.3,4,11
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar,
anggota badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat.
Ekstubasi dalam keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-
batuk, spasme laring atau bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia
dalam digemari karena kurang traumatis. Dikerjakan kalau nafas
spontannya adekuat, keadaan umumnya baik dan diperkirakan tidak akan
menimbulkan kesulitan pasca intubasi.3,11
2.3.6 Komplikasi Anestesi pada Pasien Pediatrik
Semua pasien anestesi pediatri, terutama yang diintubasi, lebih
memiliki resiko untuk mengalami komplikasi. Mual dan munatah
adalah hal yang paling sering terjadi, terutama pada pasien berumur 2
tahun ke atas. Terjadi karena pipa ETT dipasang terlalu erat, sehingga
19
mukosa trachea menjadi bengkak. Laringospasme adalah salah satu
komplikasi yang mungkin terjadi. Biasanya terjadi pada anestesi stadium
II. Jika terjadi, suksinilkolin dapat digunakan, bersama dengan atropine
untuk mencegah brakikardi.11,12
2.3.7 Pasca Anestesi pada Pasien Pediatrik
Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita
dipindahkan ke ruang pemulihan. Disini diawasi seperti di kamar
bedah, walaupun kurang intensif dibandingkan dengan pengawasan
sebelumnya. Hal yang perlu diawasi adalah kesadaran, pernafasan yang
spontan dan adekuat serta bebas dari pengaruh efek sisa obat pelumpuh
otot, denyut nadi dan tekanan darah, warna kulit, dan suhu tubuh.11,12
Pada anak-anak menggunakan Steward Score yang terdiri dari:2
Tabel 2. Steward Score
No Parameter yang dinilai Skor
1 Kesadaran
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
2 Pernapasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan 0
3 Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap ransangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, pasien dapat dipindahkan ke ruangan.2
2.3.8 Sistem Mapleson F
Sistem ini merupakan modifikasi dari Mapleson E yang dilakukan oleh
Jackson Rees dan dikenal sebagai modifikasi Jackson Rees. Alat ini
memiliki kantung dengan volume 500 ml. Kantung ini membantu dalam
20
pemantauan pernapasan atau membantu pernapasan dan juga membantu
dalam mengeluarkan gas berlebih. Ini digunakan pada neonatus, bayi, dan
pasien anak kurang dari 20 kg atau kurang dari 5 tahun.2
2.3.9 Teknik penggunaan
Untuk respirasi spontan, mekanisme bantuan ini dibiarkan terbuka
penuh. Untuk respirasi terkontrol, lubang di kantung bisa ditutup oleh
pengguna selama inspirasi dan ventilasi dilakukan dengan meremas
kantung.2
2.3.10 Keunggulan dan Kekurangan Mapleson E dan F
Keunggulan
 Perakitan mudah.
 Murah.
 Sistem resistansi rendah karena tidak adanya katup.2
Kekurangan
 Barotrauma dapat terjadi selama terkontrol ventilasi di Mapleson E,
karena inflasi berlebihan. Ini karena ahli anestesi tidak punya nuansa tas
selama inflasi. Tekanan tidak ada efek buffering tas. Ini masalah tidak
terlihat dengan Mapleson F seperti yang ada tas dalam sistem.
 Diperlukan aliran gas segar yang tinggi.
 Humidifikasi gas tidak terjadi seperti pada sirkuit koaksial.
 Polusi atmosfer.2

21
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : An. ID
Umur : 10 tahun
Alamat : Pasangkayu
BB : 25 kg
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Suku Bangsa : Bugis
Ruangan : Aster
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 15 Juli 2019
Tanggal Operasi : 16 Juli 2019
3.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara heteroanamnesis (ibu pasien)
Keluhan Utama :
Nyeri Menelan
Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri menelan sejak 3
hari. Nyeri menelan dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah.
Menurut orangtuanya, keluhan nyeri menelan dirasakan setelah beberapa
hari, sebelumnya sempat mengalami demam dan pilek. Nyeri menelan
tidak disertai dengan ngorok maupun napas tersengal-sengal saat tidur.
Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek yang kumat-kumatan
hampir tiap bulan. Saat ini pasien tidak mengeluhkan pilek, hidung
tersumbat, nyeri di kedua telinga, kurang pendengaran, maupun sakit
kepala. 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke
dokter umum dengan keluhan yang sama dan dikatakan mengalami
radang amandel. Dalam 1 bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien
merasakan nyeri menelan, susah menelan, disertai demam dan batuk
22
pilek. Keluhan terasa setelah mengkonsumsi minuman dingin, jajan
sembarangan dan berminyak. Saat ini pasien tidak mengalami batuk dan
pilek. Pasien juga tidak mengeluhkan demam.
Riwayat penyaki dahulu
Penyakit jantung (-), Riwayat operasi (-),Riwayat Alergi (-), Riwayat Asma
(-).
Riwayat penyakit keluarga
Penyakit jantung (-), Riwayat operasi (-),Riwayat Alergi (-), Riwayat Asma
(-).
3.3 Pemeriksaan Fisik
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign:
Tekanan Darah : 108/67 mmHg
Nadi : 102x/menit
Suhu : 36,8oC
Pernapasan : 22x/menit
Status Generalisata.
a..Kulit :Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak
sianosis, turgor kulit cukup,capilary refillkurang dari 2
detik dan teraba hangat.
b.Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma,
distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
c.Mata:Tidak terdapat konjungtiva anemisdansklera ikterik
d.Pemeriksaan Leher
1)Inspeksi :Tidak terdapat jejas
2)Palpasi :Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid. Teraba pembesaran limfonodi
submandibular

23
e.PemeriksaanThorax
1) Jantung
a)Inspeksi:Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra
b)Palpasi:Ictus cordis teraba kuat
c)Perkusi:
i.Batas atas kiri :ICSII garis parasternalsinsitra
ii.Batas atas kanan :ICSII garis parasternal dextra
iii.Batas bawah kiri :ICSV garis midclavikulasinistra
iv.Batas bawah kanan :ICSIV garis parasterna dextra
d)Auskultasi :S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
2) Paru
a)Inspeksi:Dinding dada simetris pada saat statis dandinamis serta
tidak ditemukan retraksi danketertinggalan gerak.
b)Palpasi:Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiridan tidak
terdapat ketertinggalan gerak.
c)Perkusi:Sonor kedua lapang paru
d)Auskultasi:Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak
terdengar suara wheezing
f.Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi: Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
b) Auskultasi: Terdengar suara bising usus
c) Perkusi: Timpani
d) Palpasi: Supel, tidak terdapat nyeri tekan.Hepar dan lien tidak
teraba.
g.Pemeriksaan Ekstremitas :
-Tidak terdapat jejas, bekas trauma,massa, dan sianosis
-Turgor kulit cukup, akral hangat
B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing:-/-/-,RR: 22 x/menit, Mallampati: 2,
Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-) leher pendek (-), pergerakan

24
leher bebas, tonsil (T4-T3),faring hiperemis(-),pernapasan bronkovesikular
(+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-),wheezing (-/-)
B2 (Blood)
Akral hangat, HR : 102x/menit irama reguler, CRT < 2 detik. masalah pada
sistem cardiovaskuler (-).
B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6, Pupil: isokor Ø 3 mm/3mm,
RefleksCahaya +/+
B4 (Bladder)
BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih, frekuensi 5-6 kali
sehari , Masalah pada sistem renal/endokrin (-)
B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen: Inspeksi tampak datar, kesan
normal, Auskultasi: peristaltik (+), kesan normal, Palpasi: Supel, tidak
terdapat nyeri tekan.Hepar dan lien tidak teraba:, Perkusi: tympani (+)
pada seluruh lapang abdomen.
B6 Back & Bone
Nyeri tulang belakang(-),krepitasi(-),morbilitas(-),ekstremitas deformitas (-)
3.4 Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah Rutin
WBC : 9,40 103μL (3,8 – 10,6 x 103μL)
RBC : 4,71 x 106μL (4,4 – 5,9 mg/dL)
Hb : 12,2 g/dl (13,2 – 17,3 g/dl)
PLT : 409 x 103 μL (150 – 440 x 103 μL)
HCT : 34,7% (40 – 52 %)
Clotting time : 7 menit 30 detik (4 – 10 menit)
Bleeding time : 3 menit 30 detik (1 –5 menit)
2. Pemeriksaan laboratorium lain
HbsAG : non reaktif (non reaktif)
Glukosa sewaktu : 80,7 mg/dl (70 – 100 mg/dL)

25
3.5 Asessesment
Diagnosis Pre Operatif : Tonsilitis Kronis
Status Fisik ASA : ASA II
Mallampati :2
Jenis Anestesi : GETA
Jenis Pembedahan : Tonsilektomi
Dokter Spesialis Bedah : dr.Olvi Nancy,Sp.THT
Dokter Spesialis Anestesi : dr.Ferry Lumintang, Sp.An
3.6 Laporan Anestesi
3.6.1 Pre Operatif
a. Di Ruangan
 Informed Consent (+) : Surat persetujuan operasi (+), surat
persetujuan tindakan anestesi (+)
 Persiapan darah : PRC (+) 1 bag
 Puasa (+) selama 8 jam pre operasi
 IV line terpasang pada tangan kanan dengan abocath 22 dengan
infus RL 500 cc 20 tpm
 Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda vital
 Tekanan Darah : 108/67 mmHg
 Nadi : 102 x/menit
 RR : 22 x/menit
 Suhu : 36,8oC
b. Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b.Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d.Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium

26
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g.Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h.Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter”
i. Kartu catatan medis anestesia.
Persiapan alat (STATICS)
a. Scope :Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.LaringoScope: pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
b.Tube :Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
c. Airway :Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidahsaat pasien tidak sadar
untuk mengelakkan sumbatan jalan napas
d.Tape :Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer :stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
g.Suction :Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya
3.6.2 Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, pasien diberikan Midazolam 2,5
mg dan Fentanyl 40 mcg secara bolus IV pada pukul 09.05 wita
3.6.3 Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu
reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi
pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit dan tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien dan saturasi
oksigen
Cairan : Monitoring input cairan

27
3.6.4 Monitoring Tindakan Operasi
Tekanan
Nadi Saturasi
Jam Tindakan Darah
(x/menit) O2 (%)
(mmHg)
-Pasien masuk ke kamar operasi
dan dipindahkan ke meja
operasi
-Pemasangan monitoring
09.00 tekanan darah, nadi, saturasi O2, 108/67 102 100
elektroda EKG
-Infus RL sebanyak 500 ml
terpasang pada tangan kanan
dengan abocath 22
Premedikasi : Midazolam 2,5
09.05 102/65 99 100
mg dan fentanyl 40mcg
-Obat induksi dimasukkan
secara iv :
 Propofol 50 mg
-Obat pelumpuh otot dimasukkan
secara iv :
 Atracurium Besylate 10 mg
-Kemudian mengecek apakah
09.10 100/66 87 100
refleks bulu mata masih ada atau
sudah hilang.
-Jika tidak ada, lalu dilakukan
tindakan pre-oksigenasi dengan
sungkup dan diberikan:
 O2 : 5 lpm
 Sevoflurance : 2 vol%
09.15 -Dilakukan tindakan 103/67 92 100
28
pemasangan endotracheal tube
No.4,5 ID kingking dengan
bantuan laringoskop mac no.2
kemudian fiksasi.
-Memasang goedel (oral
airway)
-Kedua mata pasien ditutup
dengan plester
-Pernafasan spontan dengan
mantainance face mask
Isofluran 2 vol%
-Operasi dimulai
09.20 105/69 95 99
-Kodisi terkontrol
-Operasi sementara berlangsung
09.25 112/68 102 99
-Kondisi terkontrol
-Operasi sementara berlangsung
09.30 117/71 102 99
-Kondisi terkontrol
-Operasi sementara berlangsug
-Kondisi terkontrol
09.35 120/74 98 99
-Memasukkan fentanyl 30mcg
iv
-Operasi sementara berlangsung
09.40 113/66 92 99
-Kondisi terkontrol
-Operasi sementara berlangsung
09.45 110/72 93 99
-Kondisi terkontrol
-Operasi sementara berlangsung
-Kondisi terkontrol
09.50 115/76 100 99
-Mengganti cairan infus Ringer
Laktat 500 ml

29
-Operasi sementara berlangsung
09.55 113/72 102 100
-Kondisi terkontrol
-Operasi sementara berlangsung
10.00 116/71 99 100
-Kondisi terkontrol
-Operasi sementara berlangsung
10.05 112/69 101 99
-Kondisi terkontrol
-Operasi sementara berlangsung
-Kondisi terkontrol
10.10 114/72 100 99
-Memasukkan ketorolac 15mg
iv
-Operasi selesai
10.15 117/71 98 99
-Kondisi terkontrol
--Melakukan ekstubasi
-Dilakukan suction , dan
pelepasan endotracheal tube
-Gas Isoflurane dimatikan, dan
dilakukan oksigenisasi
sebanyak 5 lpm dengan
menggunakan face mask.
10.20 -Gas O2 dihentikan 113/69 102 99
-Melepaskan alat monitoring
(saturasi dan
tensimeter,elektroda EKG).
-Pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan. Selanjutnya
dilakukan pemasangan O2 3 lpm
di ruang pemulihan
3.6.5 Intraoperatif (16 Juli 2019)
 Tindakan Operasi : Tonsilektomi
 Tindakan Anestesi: GETA
30
 Lama Operasi : 55 menit (09.20– 10.15)
 Lama Anestesi : 70 menit (09.10 – 10.20)
 Jenis Anestesi : General anestesi dengan teknik “Semi Close Circuit
System dengan ETT No.4,5 ID kingking ” menggunakan O2 5lpm, ,
Sevoflurance 2 Vol %.
 Posisi : Supine
 Pernapasan : Spontan
 Infus : Terpasang infus pada tangan kanan dengan abocath 22G
dengan cairan Ringer Laktat 500 ml
 Premedikasi : Midazolam 2,5 mg i.v, Fentanyl 40 mcg i.v
 Induksi : Propofol 50 mg i.v
 Rumatan : O2 5 lpm, dan Isoflurance 2 Vol %
 Medikasi : MIdazolam 2,5 mg i.v, Fentanyl 40 μg iv, Atracurium
Besylate 10 mg iv, Ketorolac 15 mg iv,
 Intubasi : Laringoskop mac no 2 Endotracheal Tube No 4,5 ID
kingking
 Cairan : Cairan Masuk: RL 500 cc, cairan keluar tidak dapat
dimonitoring karena tidak dilakukan pemasangan kateter.
3.6.6 Post Operatif
Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke bangsal Aster
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/60 mmHg
Nadi : 103x/min
Saturasi : 100%
Skor pemulihan pasca anestesi
Alderete skor :
 Gerakan : Menggerakkan 4 ekstremitas sendiri atau dengan perintah = 2
 Pernapasan : Bernapas dalam dan kuat serta batuk = 2
 Tekanan darah : Sama dengan nilai awal +20% = 2

31
 Warna kulit : Merah = 2
 Kesadaran : Sadar penuh : 2
Total Alderete skor : 10, pasien dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
3.6.7 Terapi Cairan
1.Berat badan : 25 kg
2.Jumlah cairan yang masuk : 900 cc
-Preoperatif (RL 500 cc)
-Durante operatif (RL 400cc)
3.Jumlah cairan keluar
a.Darah = ± 135
-Perdarahan dari kasa ukuran 4 x 4 = 9 buah (15 x 9 = 135 cc)
4.Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB pasien 25 kg
BB (kg) x 75 cc
= 25 kg x 75 cc
= 1875 cc
5.Presentase (%) Perdarahan
= jumlah perdarahan / EBV x 100%
=135/1875 x 100
= 0,072 x 100
= 7,2
6.Perhitungan cairan
Input yang diperlukan selama operasi
1.Cairan maintenance
(M) = (4 x 10 kg pertama) + (2 x 10 kg kedua) + (1 x sisa berat bedan)
= (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 5)
= (40) + (20) + (5)
=40 + 20 + 5
= 65 ml/jam

32
2.Stress operasi (operasi sedang) :
= 6 cc x BB
= 6 x 25
= 150 ml/jam
3.Total kebutuhan cairan selama 55 menit operasi :
= (cairan maintenance x jam) + defisit pengganti puasa + stress operasi +
perdarahan
= (65 x 0,916) + 0 + 150 + 135
= 344,54 ml
Keseimbangan kebutuhan
= cairan masuk – cairan keluar

33
BAB IV
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk
menentukan status fisik ASA serta ditentukan rencana jenis anastesi yang
dilakukan, yaitu general anastesi dengan steal induction.
Berdasarkan hasil pre operatif tersebut, maka dapat disimpilkan status fisik pasien
pra anastesi American Society of Anestesiology (ASA) membuat klasifikasi status
fisik pra anastesi menjadi 6 kelas yaitu:
•ASA 1 : Pasien sehat normal
•ASA 2 : Pasien dengan penyakit sistemik ringan (tanpa keterbatasan
fungsional)
•ASA 3 : Pasien dengan penyakit sistemik yang parah (beberapa
keterbatasan fungsional)
•ASA 4 : Pasien dengan penyakit sistemik parah itu adalah ancaman
konstan terhadap kehidupan (fungsionalitas lumpuh)
•ASA 5 : Pasien yang hampir mati yang tidak diharapkan bertahan hidup
tanpa operasi
•ASA 6 : Pasien mati otak yang organnya sedang dihapus untuk tujuan
donor
•E : Jika prosedurnya darurat, fisik status diikuti oleh "E" (misalnya,
"2E")
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien digolongkan
pada PS ASA II karena pada pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan
jumlah hematokrit (HCT). Setelah penentuan ASA, kemudian menentukan jenis
anestesi yang akan digunakan. Pada kasus ini diputuskan untuk melakukan
general anestesi dengan teknik “Semi Close Circuit System dengan ETT No.4,5
ID kingking ” menggunakan O2 5L, , Sevoflurance 2 Vol %.. Pilihan anestesi
yang dilakukan adalah jenis general anestesi dikarenakan pada kasus ini,
penderita merupakan pasien anak-anak (pediatrik) yang tidak kooperatif, memiliki
34
stress psikis, stress fisik, juga untuk menjamin kenyamanan selama operasi dan
akan dilakukan tindakan bedah pada daerah mulut (tonsilektomi) sehingga
anestesi umum merupakan pilihan yang tepat. Dimana pasien dibuat tidak sadar
dengan anestesi umum agar operator (ahli bedah) mudah melakukan tindakan.
Posisi Pasien untuk tindakan intubasi adalah leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi, ini disebut sebagai Sniffing possition.
Pada persiapan periopeatif, dilakukan juga puasa sebelum operasi. Puasa
preoperatif pada pasien pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi volume
lambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Puasa preoperatif yang
disarankan menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan ringan, 8 jam untuk
makanan berat dan 2 jam untuk air putih. Puasa preoperatif yang lebih lama akan
berdampak pada kondisi pasien preoperatif serta pascaoperatif. Pada pasien ini
diminta untuk berpuasa selama 8 jam sebelum operasi. Hal ini sudah sesuai teori
dimana anjuran puasa perioperative adalah selama 8 jam sebelum operasi.
Pada saat sebelum operasi, pasien diberikan premedikasi terlebih dahulu. Pada
pasien ini diberikan Midazolam (golongan benzodiazepine) 2,5 mg/iv (dosis 0,05
– 0,1mg/KgBB) dan fentanyl 40 mcg/iv (dosis 1 -2 mcg/KgBB). Pasien diberikan
premedikasi berupa sedacum 2,5 mg/iv yang berisi midazolam termasuk golongan
benzodiazepine. Telah diketahui bahwa tujuan pemberian premedikasi ialah untuk
menurunkan serta menghilangkan kecemasan pada anak karena sekitar 70%
pasien pediatrik diperkirakan mengalami stres dan juga kecemasan prabedah.
Berdasarkan panduan nasional pelayanan kedokteran anastesiologi dan terap
intensif menyatakan bahwa midazolam 2,5 mg/ iv digunakan untuk premedikasi
dalam intubasi endotrakeal.15 Pemberian fentanyl yang merupakan obat opioid
yang bersifat analgesik dan bisa bersifat induksi. Penggunaan premedikasi pada
pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan
pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa
khawatir. Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin.
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan termasuk
dalam opioid potensi tinggi. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi

35
dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat
mengganggu ventilasi secara akut.
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi. Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anestesi intravena yaitu
Propofol 50 mg I.V (dosis induksi 1-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi
yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol
dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA
Pemberian Injeksi atracurium besylate 10 mg (dosis 0,5 – 0,6 mg/kgBB)
sebagai pelemas otot untuk mempermudah pemasangan Endotracheal Tube.
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin. Pada umumnya mulai kerja atracurium
pada dosis intubasi adalah 2,5-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan
dosis relaksasi 30-45 menit.2
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop
blade lengkung (mac 2) yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien dengan
metode head tilt, chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan
nafas antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus
barulah dimasukkan pipa endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan 4,5
ID kingking. Pemasangan ETT pada pasien ini 1 kali dilakukan.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka
dialirkan sevofluran 2 vol%, penggunaan sevofluran disini dipilih karena
sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding
dengan gas lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas
sehingga digemari untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek
terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Aliran oksigen sekitar 5 lpm sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan
dengan bagging dengan laju napas 22 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas
anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
36
spontan menjelang operasi hampir selesai. Kemudian dilakukan ekstubasi
endotrakeal secara cepat dan pasien dalam keadaan sadar untuk menghindari
penurunan saturasi lebih lanjut.
Penambahan obat medikasi tambahan berupa pemberian ketorolac sebagai
analgetik (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine) sebanyak 10 mg (0,5-0,75
mg/kgBB) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS)
yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan
rasa nyeri/analgetik efek.2 Operasi berjalan lancar tanpa timbulnya komplikasi,
dengan lama anestesi 09.10 – 10.20 (70 menit) dan lama operasi 09.20 – 10.15
(70 menit). Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Skor
alderate 10, maka dapat dipindah ke bangsal aster
Dalam terapi cairan, jumlah cairan yang masuk adalah 1200 cc dari
preoperatif (RL 500 cc) dan durante operatif (RL 400) dan jumlah cairan keluar
adalah 135 cc berupa perdarahan yaitu dari kasa 4x4 9 buah (15 x 9 = 135 cc).
Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB pasien 25 kg : 75 cc/kg BB x 25 kg =
1875 cc, sehingga di didapatkan %perdarahan : 135/1875 x 100% = 7,2 %.
Terapi cairan intra-operatif dijabarkan sebagai berikut :
1).Kebutuhan Cairan Basal (M) :
-Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) ialah :
4ml/kgBB/jam tambahkan untuk berat badan 10 kg pertama
2ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg kedua
1ml/kgBB/jam tambahkan untuk sisa berat badan
Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan basalnya adalah sebagai berikut (BB
25 Kg) :
(4x 10 kg) + (2x10 kg) + (1x 5 kg) = 65 ml/jam
2)Kebutuhan cairan operasi (O) :
Untuk menggantinya tergantung pada besar kecilnya pembedahan, 6-8 ml/kg
untuk operasi besar, 4-6 ml/kg untuk operasisedang, dan 2-4 ml/kg untuk operasi
kecil.

37
Pada pasien ini diperoleh kebutuhan cairan operasinya adalah sebagai berikut
:Operasi sedang x Berat badan : 6 x 25 kg = 150 cc
Total kebutuhan cairan selama 55 menit operasi :
= (Cairan maintenance x jam) + Defisit cairan pengganti puasa + Stres operasi +
perdarahan
= (65 x 0,916) + 0 + 150 + 135
= 344,54 ml

38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55

Anda mungkin juga menyukai