Anda di halaman 1dari 5

Sejarah

Penyakit kusta telah menyerang manusia sepanjang sejarah. Banyak para ahli percaya
bahwa tulisan pertama tentang kusta muncul dalam sebuah dokumen Papirus Mesir ditulis sekitar
tahun 1550 SM. Sekitar tahun 600 SM, ditemukan sebuah tulisan berbahasa India
menggambarkan penyakit yang menyerupai kusta. Di Eropa, kusta pertama kali muncul dalam
catatan Yunani Kuno setelah tentara Alexander Agung kembali dari India. Kemudian di Roma
pada 62 SM bertepatan dengan kembalinya pasukan Pompei dari Asia Kecil.
Sepanjang sejarahnya, kusta telah ditakuti dan disalah pahami. Untuk waktu yang lama
kusta dianggap sebagai penyakit keturunan, kutukan, atau hukuman dari Tuhan. Sebelum dan
bahkan setelah penemuan bakteri penyebab kusta, orang yang pernah mengalami kusta
menghadapi stigma dan dijauhi oleh masyarakat.
Pada tahun 1873, Dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia adalah orang
pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit kusta di bawah mikroskop.
Hansen penemuan Mycobacterium leprae membuktikan bahwa kusta disebabkan oleh kuman,
dan dengan demikian tidak turun-temurun, dari kutukan, atau dari dosa.
Pada tahun 1941, Promin, sebuah sulfon obat, diperkenalkan sebagai obat untuk kusta.
Pertama kali diidentifikasi dan digunakan di Carville. Promin berhasil merawat kusta tapi
sayangnya Promin menimbulkan efek yang menyakitkan ketika disuntikkan pada pasien.
Pada tahun 1950, Pil Dapson, ditemukan oleh Dr R.G. Cochrane di Carville, menjadi
pilihan untuk pengobatan kusta. Dapson bekerja luar biasa pada awalnya, tetapi sayangnya,
Micobacterium leprae pada akhirnya mulai mengembangkan perlawanan terhadap dapson.
Sukses pertama multi-obat perawatan (MDT) rejimen untuk kusta dikembangkan melalui uji
coba obat di pulau Malta. Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan MDT mulai,
kombinasi dari tiga obat: dapson, rifampisin, dan clofazimine.
Etiologi
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobactorium Leprae dimana untuk pertama kali
ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun 1973. Mycobactorium Leprae hidup
intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari system
retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia
(dalam kondisi tropis) kuman kusta dari secret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977,
Hasting, 1985). Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus adalah pada suhu 27-30° C
Manifestasi Penyakit Kusta
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau Cardinal Sign,yaitu :
1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-
merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2) Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis peritis).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.
3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama
di atas. Pada dasarnya sebagian besar kasus dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis.
Namun demikian pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan Cardinal Sign ke-2 perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika
masih ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek)
1) Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh
b. Bercak yang tidak gatal dan Kulit mengkilap
c. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
d. Lepuh tidak nyeri
2) Tanda-tanda pada saraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
c. Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh

Derajat Cacat Kusta


Menurut Djuanda, A, 2011 membagi cacat kusta menjadi 2 tingkat kecacatan, yaitu:
a. Cacat pada tangan dan kaki
1) Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.
2) Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
3) Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
b. Cacat pada mata
1) Tingkat 0 : tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan.
2) Tingkat 1 : ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat pada
penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).
3) Tingkat 2 : gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat menghitung jari
pada jarak 6 meter).

Jenis – Jenis Cacat kusta


jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :
a. Cacat primer
Adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan
akibat respon jaringan terhadap mycobacterium leprae. Termasuk kedalam cacat primer adalah :
1) Cacat pada fungsi saraf
a) Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi
b) Fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wist drop, fot drop, clow tes, lagoptalmus
c) Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan elastisitas kulit berkurang,
serta gangguan reflek vasodilatasi.
2) Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-
lipat.
3) Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligamen,
tulang rawan, testis, dan bola mata.
b. Cacat sekunder
1) Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf sensorik, motorik, dan
otonom.
2) Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan berjalan dan mudah
terjadinya luka.
3) Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan terjadinya kreatitis.
4) Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya elastisitas akibat kulit
mudah retak dan terjadi infeksi skunder.
Klasifikasi Penyakit Kusta
a. Tujuan klasifikasi
1) Untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosis, dan komplikasi.
2) Untuk merencanakan operasional, misalnya menemukan pasien-pasien yang menular yang
mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai target utama pengobatan.
3) Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
b. Jenis klasifikasi yang umum
Klasifikasi untuk kepentingan program kusta WHO :

1) Pausibasilar (PB)
Penderita kusta yang mempunyai kelainan dengan jumlah lesi 1-5, penebalan syaraf hanya 1
disertai dengan gangguan fungsi dan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) negatif.
2) Multibasilar (MB)
Kelainan kulit dengan jumlah lesi lebih dari 5, penebalan syaraf lebih dari 2 disertai gangguan
fungsi dan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) positif.
Stigma terhadap Kusta
Stigma adalah ciri negatif atau label yang diberikan pada seseorang atau kelompok
tertentu. Stigma dapat pula diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan yang salah dan lebih
sering merupakan kabar angin yang dihembuskan berdasarkan reaksi emosi untuk mengucilkan
dan menghukum mereka yang sebenarnya memerlukan pertolongan.
Kusta adalah salah satu dari penyakit yang mempunyai stigma social yang tinggi. Stigma
social pada kusta dihubungkan dengan mitos dan kepercayaan terhadap penyakit kusta. Penderita
kusta tidak hanya mengalami kerusakan secara fisik namun juga menderita secara psikososial
karena perilaku lingkungan. Pembatasan secara fisik dan psikososial secara jangka panjang
lambat laun akan menyingkirkan penderita dari masyarakat. Penderita dengan cacat mengalami
ketidakmampuan untuk berperan secara normal dalam masyarakat, yang disebut sebagai
pembatasan partisipasi. Hal ini secara jangka panjang akan menimbulkan pengangguran,
kemiskinan, kehilangan status sosial, dan harga diri penderita kusta. Kurangnya dukungan soSial
dan kepercayaan diri, beberapa penderita yang tidak menjalani rehabilitasi bahkan ada yang
menjadi pengemis.

Aspek Sosial pada Penyakit kusta


Dari segala jenis penyakit di dunia ini, tidak ada satu pun yang mengungguli penyakit
kusta dalam hal aspek sosialnya. Dampak sosial akibat penyakit kusta sedemikian besarnya,
sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam, tidak hanya pada penderita itu sendiri,
tetapi juga pada keluarga, masyarakat dan negara. Beberapa akibat yang dialami oleh penderita
kusta karena anggapan masyarakat yang takut akan penularan kusta sehingga diperlakukan tidak
manusiawi antara lain:
a. Ditolak atau ditinggalkan oleh keluarganya.
b. Dipaksa bersembunyi.
c. Dikucilkan atau dipasung oleh keluarganya.
d. Dibuang secara paksa.
e. Dikejar-kejar atau diusir dari desa.
f. Dikeluarkan dari sekolah atau tempat kerjanya.
g. Ditolak bekerja dalam suatu lingkukngan pekerjaan dengan berbagai macam alasan.
h. Sukar menjual barang-barang dagangan atau hasil produksi mereka.
i. Mendapat perlakuan kasar, bahkan kadang-kadang dihina.

Dampak Psikososial Penyakit Sosial


Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalah yang
kompleks. Masalah yang dihadapi penderita bukan hanya masalah medis tetapi juga menyangkut
masalah psikososial. Dampak psikososial yang disebabkan oleh penyakit kusta sangat luas
sehingga menimbulkan keresahan bukan hanya oleh penderita sendiri tetapi juga bagi keluarga,
masyarakat dan Negara. Hal yang mendasari konsep perilaku penerimaan masyarakat adalah
anggapan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit keturunan, bahkan menganggap penyakit
tersebut merupakan kutukan dari Tuhan. Hal ini menjadikan suatu ketakutan yang berlebihan
terhadap penyakit kusta yang disebut sebagai leprophobia.

Pengobatan Penyakit Kusta


Tujuan Pengobatan
Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat membunuh kuman kusta, dengan
demikian pengobatan akan:
a. Memutuskan mata rantai penularan
b. Menyembuhkan penyakit penderita
c. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak
berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya
hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke
orang lain terputus. Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan, hanya
dapat mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka
kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf
yang dapat memperburuk keadaan. Di sinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur.
Selama dalam pengobatan penderita-penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa.

Anda mungkin juga menyukai