Anda di halaman 1dari 4

“Jatayu”

Dan ketika temaram sinar mulai dipadamkan, aku segera melarikan diri.
Tanpa alas kaki, aku berlari. Tak ada rasa sakit dan perih, meski kerikil-kerikil di
jalan-jalan yang berlubang ada di sana-sini, tak jarang melekat di kaki. Aku berlari
dengan ritme yang telah kuatur rapi. Pelan, semakin kencang, kencang, lebih
kencang dan sangat kencang. Akhirnya aku berlari sekencang-kencangnya aku
mampu berlari, hingga rasanya kakiku ini tak menapaki bumi lagi, melayang-
layang, semakin lama semakin tinggi. Tinggi hingga aku hampir dapat merengkuh
nyiur. Semakin tinggi dan tinggi, hingga aku melampaui nyiur. Dan aku merasa
aku semakin ringan. Tanganku merekah, dua tulang berbalut daging itu telah
berubah, tumbuh bulu-bulu menjadi sepasang sayap, perpaduan hitam dan coklat.
Aku dapat merasakan air mata menetes di pipi ini. Bukan karena sekujur tubuh
yang menahan sakit karena memar, tapi hati yang tertempa dukacita.

Semakin membumbung ke atas, angin sepoi-sepoi semakin membelai.


Membuat kepakan sayap yang tadi kaku sisa-sisa pertempuran semalam, kini mulai
terasa gemulai. Kurasakan dingin, mulai merasuk ke dalam seluruh pori-poriku.
Membekukan air mata yang belum sempat kuseka. Tapi gerakan sayap ini
membuat aku kembali merasa hangat. Di saat-saat tertentu, aku merasa sedikit
kelelahan harus terus mengepak-ngepakkan sayap ini. Aku terdiam sejenak.
Kucoba pejamkan mata, kuhirup udara, kurasakan aroma air di udara yang mulai
mengembun, kubiarkan angin di ketinggian ini menggerakkan aku dan mengatur
lajuku, sayap ini hanya kurentangkan, serasa aku sedang memeluk udara dan
merasakan hawa. Sungguh nikmat, bisa merasakan menjadi segumpal awan yang
terbang terbawa angin. Tak merasakan lelah, hanya pasrah. Tak menanggung
banyak beban dan kerjaan selain mengangkut titipan tetes-tetes air dan lalu dengan
penuh sukacita mengguyurkannya ke bumi.

Astaga. Tiba-tiba aku tersentak. Sungguh tak ada guna berandai-andai, tak
ada guna menyimpan rasa iri dengan makhluk yang lain, tak ada faedahnya tak
bangga menjadi diri sendiri. Takdirku tidak menjadi awan. Takdirku tidak untuk
pasrah dan berdiam diri. Aku harus bergerak. Aku dapat ke mana saja asal aku
suka. Tapi aku harus tetap menjadi aku. Aku yang memikul tanggung jawab, yang
hidupnya harus selalu kuat dan penuh semangat.

Tiba-tiba aku tersenyum. Kekalahan tak kan mengalahkan menakjubkannya


menjadi aku. Sungguh indah menjadi aku. Burung-burung yang berpapasan
denganku menundukkan kepala mereka, memberi hormat, dan tersenyum
kepadaku. Sedang burung-burung yang ada di depanku, yang tahu bahwa aku akan
melintasi mereka, berhenti sejenak. Mempersilakan lintasan mereka untukku,
menundukkan kepala mereka, memberi hormat dan tersenyum kepadaku.
Makhluk-makhluk yang menitipkan hidup mereka pada gemawan dan udara, tak
satupun yang mau dan berani menantang aku.

Biasanya, sinar matahari yang tak basa-basi menyapa bumi dari balik
pegunungan timur itu, membuat aku merasa harus terbang semakin tinggi. Dan
kemudian mencari tempat untuk sembunyi hingga pekatnya malam menyapa lagi.
Namun rasanya hari ini hasratku mengatakan bahwa aku belum mau kembali ke
tempat biasanya aku kembali di pagi hari. Aku belum mau menyendiri siang ini.
Aku masih terbawa emosi.

Sekali-kali aku ingin menikmati siang bukan dari pondokanku yang berada
di bawah tudung-tudung pohon raksasa di tengah hutan belantara, sekali-kali aku
ingin menikmati percikan cahaya matahari langsung dari tempat yang terbuka,
bukan hanya tertegun melihat berkas-berkasnya. Aku sedang ingin merasakan
kehangatan, kehangatan yang akan mencairkan kembali bekunya hati ini oleh
karena pilu dan sesal karena kekalahan semalam.

Aku mengambil resiko yang sangat besar. Ketika cahaya matahari yang
hangat itu dapat menunjukkan kepada semua manusia setiap makhluk yang pernah
dan masih ada di bumi mereka dan di langit di atas mereka seperti hari ini,
sebetulnya tak aman bagiku berkeliaran pada siang hari seperti ini. Oleh sebab itu,
aku harus terbang dengan ketinggian yang harus kujaga, menghindari
kemungkinan manusia-manusia itu melihatku. Atau kalau ingin beristirahat atau
berteduh, aku harus mencari pohon yang lebat dan tinggi, yang sekarang baru
kusadari, makin lama makin jarang dapat kutemui.

Semalam hujan tak ada henti. Kini ketika matahari tiba-tiba berhasrat ingin
memberi kehangatan pada bayi-bayi, ingin agar gabah petani kering dan dapat
segera digiling, ingin kuncup-kuncup bunga segera merekah mewangi, anggunnya
paduan warna-warni, melengkung di langit di atasku ini. Kebetulan sekali pikirku.
Lama tak kujumpai pelangi. Melihat perpaduan warna-warna yang sempurna,
membuat aku semakin bersemangat, terbang meliuk-liuk, meninggi, menukik, ke
kanan, balik ke kiri. Berteriak-teriak, mengeluarkan suara, yang entah apakah
bahananya sampai ke bawah sana. Terbang menembus awan, mengintip pelangi,
dan terjun bebas ke arah lengkungan tertinggi.
Lelah berulah, aku terbang datar sambil mengawasi anak-anak di muka
bumi. Anak-anak berlari-lari, sejauh mungkin mereka dapat berlari, berkejaran
mengejar pelangi. Mereka tak tau pelangi itu bukan benda, mereka tak mengerti,
hanya memaklumi bahwa pelangi ada nun jauh di ujung bumi, jika sudah dewasa
nanti, sudah bisa kaya dan mampu naik pesawat nanti, mereka yakin mereka akan
bisa menyentuh pelangi. Melihat anak-anak itu, tiba-tiba aku berhenti sejenak. Aku
mencoba mengingat-ingat masa kanak-kanakku, namun tak bisa. Entahlah, apa
mungkin karena aku sudah terlalu tua, sudah ratusan tahun usia hingga aku tak
ingat lagi masa kanak-kanakku. Atau aku tak pernah diciptakan sebagai kanak-
kanak. Terkadang banyak hal yang tak kumengerti, tapi hidup harus tetap kujalani.
Berkali-kali aku menyaksikan bayi lahir dan orang mati. Di dunia, dan terutama
bagi manusia, tak pernah ada yang abadi. Dan aku, masih ada di masa penantian
itu, yang tak pernah tau kapan Dia akan kembali menjemputku. Menunggu
kepastian bahwa aku akan menjadi insan yang tak abadi.

Matahari sudah tak lagi tepat berada di sebelah timur. Telah bergerak pasti
menuju langit tepat di atas kepala manusia. Hari sudah mulai terik, namun aku
tetap saja belum berhasrat untuk cepat-cepat pulang, buru-buru merebahkan badan
dan melemaskan otot-otot. Aku ingin menjelajahi cakrawala lebih lama dari
biasanya. Mega-mega tak lagi menghalangi pandangan. Berkas-berkas sinar
matahari, leluasa menerobos, menyilaukan mata ketika terpantul danau di belakang
desa. Aku masih belum bisa merasakan kehangatan sinar, mungkin karena aku
terbang terlalu tinggi. Aku coba merendah, hati-hati merendah, tetap
memperhitungkan jarak agar manusia-manusia yang di bawah sana tak melihatku.

Aku harus berhati-hati. Ketika matahari bersinar penuh dan tak ada pertanda
bahwa titik-titik hujan akan tercurah lagi setelah semalaman tumpah ruah
mengguyur tanah di bawah, besar kemungkinan manusia-manusia di bawah sana
akan mendongak kembali ke atas. Mencari-cari makhluk-makhluk yang layak
menjadi sasaran bidikan panah atau senapan angin mereka. Aku harus waspada
dengan segala kemungkinan ketika mereka melihat aku berkelabat. Mungkin
mereka akan menjadikan aku sasaran, mengejarku dalam intaian.

Aku tak pernah jenuh dengan tugas sepanjang hayat ini. Sebab aku mecintai
bayi-bayi. Tapi aku sering tak sehebat yang kubayangkan. Malam tadi, aku
mendengar jeritan makhluk kecil itu. Jeritannya memilukan. Dia seperti sangat
ketakutan. Aku segera menuju ke arahnya. Aku melihat sesosok itu. Musuhku dari
dulu. Dia yang mengicar semua yang kulindungi. Tinggi besar dan berwarna hijau
agak kehitaman. Aku berusaha untuk menariknya dari dekat sosok itu. Tapi tak
bisa. Dia kuat, sangat kuat. Dia mencengkeram bayi itu, hingga bayi itu menangis
menjerit ketakutan. Mendekapnya dengan sangat erat, hingga bayi meronta-ronta
sampai tak mengeluarkan suara. Entah kelalaian macam apa yang telah diperbuat
orang tuanya, hingga si hijau hitam ini mendekati buah hati mereka yang belum
genap berumur sepasaran.

Aku tak rela. Tak rela si jangkung hijau kehitaman itu merengkuh tubuh
makhluk kecil tak berdosa itu. Kupukul-pukul punggungnya. Kuremas-remas
lengannya. Kucakar-cakar tubuhnya, tapi dia masih saja kuat. Dengan sekuat
tenaga dia menendangku dengan kaki kanannya, hingga aku terjungkal. Aku
bangun hendak melawan lagi, taringnya menyeringai dan mengeluarkan bola api.
Untung saja aku dapat mengeluarkan angin dari mulutku ini, hingga bola api itu
keluar dari jendela dan meledak di udara jauh di sana.

Sesaat setelah tengah malam lewat, jauh menjelang subuh, aku telah tak
berdaya. Aku kalah lagi. Aku terpuruk, tak mampu menyelamatkan satu nyawa
pewaris kehidupan manusia. Memang, ini jarang terjadi, namun aku tetap saja
mengutuki diri.

Menjelang subuh, aku berlari. Menangis, tak ingin sendiri, meratapi nasih di
pondokan tua di tengah hutan belantara.

Aku memutuskan untuk melihat cakrawala. Siapa tahu, hari ini aku akan
menjumpai pelipur lara, mungkin tetesan embun pagi, mungkin juga pelangi. Dan
yang pasti, aku ingin memastikan jasad bayi mungil itu telah dikembalikan ke
asalnya, ke tanah merah di belakang desa. Yang tak lama akan semerbak mewangi,
entah karena bunga melati atau jasad sang bayi.

Anda mungkin juga menyukai