3.1 Rasional
Dewasa ini air merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian yang
seksama dan cermat. Karena untuk mendapatkan air yang bersih yanng sesuai dengan
standar tertentu, saat ini masih menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak
tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik berupa
limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah dari kegiatan industri maupun limbah
yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan lainnya. Sehingga memicu adanya
ketergantungan manusia terhadap air pun semakin besar sejalan dengan
perkembangan penduduk yang semakin meningkat (Mulyana, 2016).
Limbah cair perkotaan yang bersumber dari rumah tangga atau gedung-
gedung lainnya merupakan air hasil buangan yang berasal dari penggunaan untuk
kebersihan yaitu gabungan limbah dapur, kamar mandi, toilet, cucian, dan sebagainya.
Komposisi limbah cair rata-rata mengandung bahan organik dan senyawa mineral
yang berasal dari sisa makanan, urin, dan sabun. Pada sebagian limbah rumah tangga
ada yang berbentuk suspensi, lainnya dalam bentuk bahan terlarut.
Para penduduk yang bermukim di wilayah kota jayapura hampir belum
memiliki bangunan pengolahan air limbah baik yang individu maupun komunal,
terutama untuk limbah yang berasal dari non-toilet atau limbah dapur (grey water).
Dimana limbah dapur yang mereka keluarkan sebagian besar langsung dibuang ke
badan air atau tanah tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Sehingga apabila
jumlah air limbah yang dibuang berlebihan, melebihi dari kemampuan alam untuk
menerimanya, maka akan terjadi kerusakan lingkungan (Wulandari, 2016).
Untuk menghindari dampak merugikan yang ditimbulkan dari pembuangan air
limbah perkotaan tersebut, maka diperlukan desain instalasi pengolahan air limbah
yang berfungsi menurunkan konsentrasi zat-zat pencemar sebelum air limbah tersebut
dialirkan ke badan air penerima. Sebab lingkungan yang rusak akan berakibat
menurunnya tingkat kesehatan manusia yang tinggal pada lingkungan tersebut. Makan
perlu dilakukan penanganan air limbah yang seksama dan terpadu baik itu dalam
penyaluran maupun pengolahannya (Wulandari, 2016).
3.2 Tekhnologi Pengolahan
Teknologi pengolahan limbah telah berkembang dan bevariasi berdasarkan
jenis dan kriteria desainnya, namun yang menjadi kendala utama yaitu investasi dan
biaya operasionalnya. Sistem pengolahan air limbah yang murah ditinjau berdasarkan
segi desain maupun operasionalnya diperlukan di negara berkembang (Pungut, 2016).
Salah satu teknologi pengolahan air limbah yang murah dari segi desain dan
aplikasinya tetapi memiliki kemampuan removal polutan yang cukup bagus adalah
dengan menggunakan sistem Lahan Basah Buatan attau Constructed Wetland System
(CWs). Dimana Constructed Wetland System (CWs) ini merupakan tekhnologi
pengolahan limbah yang memenuhi kriteria, dimana CWs ini berbiaya relatif rendah
dan berwawasan lingkungan berdasarkan konsep lahan basah alami. pemanfaatan
tanaman air untuk mengolah limbah (Qomariah, 2017).
Mengingat dalam prraktek peembuangan limbah, mayoritas masyarakat sudah
memisahkan antara blackwater dan greywater, maka untuk limbah greywater yang
berasal dari rumah-rumah tinggal, apartemen, maupun kawasan bisnis/perkotaan yang
berpotensi dapat dimanfaatkan kembali dengan menerapkan CWs ini sebagai bagian
dari konsep ekologi sanitasii (ecosan). Konsep ini masih merupakan konsep baru,
akan tetapi hal tersebut sudah diterapkaan di negara-negara maju (Qomariah, 2017).
Di Indonesia sendiri untuk penerapan CWs tersebut belum banyak dilakukan,
sehingga konsep ini akan diterapkan di kota Jayapura dalam pengolahan limbah
perkotaan.
1. Lahan Basah Buatan (constructed wetlands System = CWs)
CWs merupakan sistim enjinering pengolahan limbah cair yang menirukan
proses alam dalam memperbaiki kualitas air dengan menyisihkan polutan yang
terkandung di dalam air limbah melalui proses fisik (penyaringan dan
sedimentasi), proses biologi (pertumbuhan mikroba dan tanaman air), dan proses
mekanik. Sistim CWs ini pertama kali dikembangkan oleh ilmuwan Jerman yaitu
Dr. K. Seidel pada dekade 1960. Sampai saat ini sistim CWs telah diterapkan di
beberapa negara maju antara lain Denmark, Jerman, dan beberapa negara maju
lainnya. Sistem CWs ini belum diterapkan secara persuasif di negara-negara
berkembang (khususnya di negara beriklim tropis dan sub-tropis) dimana
pengendalian polusi dan pelestarian lingkungan hidup belum banyak mendapat
perhatian. Akan tetapi di negara- negara berkembang seperti Mesir, Mexico, dan
China. beberapa penelitian dan penerapan CWs sudah mulai dipublikasikan. Di
Indonesia, penerapan sistim CWs untuk pengolahan greywater belum banyak
diketahui (Qomariah, 2017).
2. Komponen CWs
Komponen CWs terdiri dari air, media lolos air (substrate), tanaman air, dan
mikroorganisme yang tumbuh di dalam lahan basah. Komponen air
menghubungkan semua fungsi di dalam lahan basah tersebut, dan efisiensi
pengolahan limbah di CWs tergantung pada sifat-sifat air (limbah cair) yang
bersangkutan. Komponen media lolos air yang digunakan biasanya substrate alami
seperti pasir, kerikil, atau pecahan batu. Substrate tersebut harus memenuhi syarat
bersih, keras, dan tidak berubah bentuk untuk menjaga permeabilitas tanah dalam
jangka panjang (Qomariah, 2017). Fungsi substrate antara lain sebagai media
tumbuh bagi tanaman air, mensuport transformasi biologi dan kimia,
memfasilitasi pergerakan aliran limbah, menjadi media pertumbuhan
microorganisme dengan membentuk biofilm di permukaan substrate, membantu
menyisihkan partikel halus melalui sedimentasi, adsorbsi, dan menyokong
tumbuhan air, membantu proses filtrasi (terutama pada rawa buatan beraliran
dibawah permukaan (subsurface flow), dan menampung sedimen.
Lapisan media bertindak sebagai filter mekanik dan filter biologi. Filter
mekanik menyaring polutan suspended dan microbial solid, sedangkan polutan
organik diserap oleh biofilm. Melalui proses biologi, semua kandungan organik
dihancurkan oleh mikroorganisme yang tumbuh pada permukaan partikel
tanah/pasir dan akar-akar tanaman air. Mikroorganisme berperan penting dalam
sistem rawa buatan karena mikroorganisme melaksanakan penguraian bahan-
bahan organik baik secara aerobik maupun anaerobik (Pungut, 2016). Komponen
tanaman air merupakan komponen utama dalam ekosistem lahan basah di alam,
termasuk lahan basah buatan. Karena keberadaan tanaman air tersebut, sistim
lahan basah (CWs) disebut dengan green technology. Dimana tanaman air pada
rawa buatan berperan sebagai 1). Penyedia oksigen bagi proses penguraian zat
pencemar, 2) Media tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme, 3) Penahan
laju aliran sehingga memudahkan proses sedimentasi padatan, membantu proses
filtrasi (terutama bagian perakaran tanaman)(Pungut, 2016).
Tanaman yang digunakan dalam CWs adalah tanaman yang hidup di air,
terdapat di perairan atau lahan basah seperti di bantaran sungai atau rawa.
tanaman air yang bisa digunakan di daerah beriklim hangat seperti Asia, Afrika,
Amerika Selatan antara lain jenis Papyrus (Cyperus papyrus), dan jenis Keladi Air
(Caladium).
3. Tipe Lahan Basa Buatan
Terdapat dua macam tipe lahan basah, yaitu: Free Water Surface (FWS) atau
Surface Flow (SF), dan SubSurface Flow (SSF). Pada sistim SF, aliran air berada
di atas permukaan tanah. Pada sistim SSF, permukaan air berada di bawah muka
tanah. Berdasarkan arah aliran limbah, terdapat dua tipe SSF, yaitu arah horizontal
dan arah vertikal.
Air limbah yang digunakan merupakan air limbah yang masih segar yang
diambil dan dikeluarkan setiap hari, Media terdiri dari material pasir dan kerikil
dengan kedalaman media ± 50cm, dengan cara menyaring pasir dengan dua
saringan, yaitu saringan dengan diameter 2 mm dan saringan diameter 5 mm.
Sebelum digunakan media dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kadar TSS
dan bahan organik yang mungkin terdapat pada media, Tanaman air yang
digunakan adalah jenis Cyperus papyrus dan Keladi Air (Caladium) dengan alasan
kedua tanaman ini dapat hidup dengan baik di lingkungan basah dan mendapat
sinar matahari. Proses pertumbuhan tanaman dan penyesuain di lingkungan baru
(di dalam CWs) dilakukan hingga tanaman tumbuh ± 60cm. Proses aklimatisasi
tanaman terhadap greywater di dalam bak CWs dilakukan dengan mengalirkan
greywater dengan konsentrasi yang bertahap, dari 25% hingga 100% selama empat
minggu. Sebelum dialirkan ke dalam bak CWs, greywater yang berasal dari rumah
tunggal secara mekanik dimasukkan ke dalam tanki sedimentasi. Dengan masa
tinggal limbah di dalam bak CWs (hydraulic retention time) selama satu hari, dua
hari, dan tiga hari. pengolahan limbah pada Lahan Basah Buatan Aliran Bawah
Permukaan (SSF-Wetlands) dapat terjadi secara fisik, kimia maupun biologi.
Proses secara tidak langsung yang terjadi adalah proses sedimentasi,
filtrasi,adsorpsi oleh media tanah yang ada.
2.Adsorpsi dan absorpsi, merupakan proses kimiawi yang berkaitan erat dengan
waktu retensi air limbah,