Anda di halaman 1dari 14

PATOFISIOLOGI PENYAKIT TERMINAL END-STAGE RENAL DISEASE

(PALLIATIVE CARE)

DISUSUN OLEH :
Kelompok II B :

1. Kristin Febriani Ginting (032017060)


2. Winda Feri Wiranata Haloho (032017089)
3. Yeyen Indriani Sihite (032017089)
4. Eka Darma Putra Bohalima (032017096)

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKES SANTA ELISABETH MEDAN
TA.2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua
limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
mencakup Patofisiologi Penyakit Terminal End-Stage Renal Disease.
Yang tersusun ini adalah hasil maksimal yang dapat kami sajikan. Kami yakin makalah
ini masih jauh dari sempurna, Untuk menyempurnakan makalah ini kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca kepada kami agar dalam penulisan makalah
selanjutnya bisa lebih baik.
Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah
satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman,
sehingga nantinya kami dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik
lagi.

Medan, 07 Agustus 2019

Kelompok 2

ii
Daftar Isi

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................................ 1
1.2.1 Tujuan Umum ................................................................................................ 1
1.2.2 Tujuan Khusus ............................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN TEORI .......................................................................................... 2
2.1 Defenisi ....................................................................................................................... 2
2.2 Faktor Resiko .............................................................................................................. 2
2.3 Etiologi ........................................................................................................................ 4
2.4 Proses .......................................................................................................................... 5
2.5 Manifestasi Klinis ....................................................................................................... 5
2.6 Peran Perawat Dalam Paliative Care .......................................................................... 6
BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 10
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik (GGK) juga dikenal sebagai penyakit gagal ginjal tahap akhir,
merupakan sindroma yang ditandai dengan kehilangan fungsi ginjal secara progresif dan
ireversibel, saat ini angka kejadian gagal ginjal kronik meningkat secara pesat (Kizilcik et al.
2012). Meningkatnya jumlah pasien dengan gagal ginjal kronik menyebabkan kenaikan jumlah
pasien yang menjalani hemodialisis. Berdasarkan Data Laporan Tahunan United States Renal
Data System (2013) disebutkan bahwa lebih dari 615.000 orang Amerika sedang dirawat
karena gagal ginjal. Dari jumlah tersebut, lebih dari 430.000 adalah pasien dialisis dan lebih
dari 185.000 melakukan transplantasi ginjal.
Di Indonesia, prevalensi penyakit ginjal terus meningkat setiap tahunnya dari hasil
survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), ada sekitar 12,5% atau 18 juta orang
dewasa di Indonesia yang menderita penyakit ginjal kronik dan pasien yang mengalami atau
menderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) mencapai 100 ribu pasien dan diperkirakan akan
terus bertambah. Sehingga penyait ginjal kronik (PGK) saat ini telah diakui oleh badan PBB
bidang kesehatan WHO, sebagai masalah kesehatan serius dunia. Baru kira-kira 30/1.000.000
penduduk masuk dalam penyakit ginjal tahap akhir. Di Indonesia, menurut data Asuransi
Kesehatan (ASKES) sebanyak 80.000-90.000 orang memerlukan terapi pengganti ginjal
(Tjempakasari, A., 2012 dalam Panjaitan, 2014).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mempelajari dan memberikan pemahaman tentang patofisiologi end-stage
renal disease
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa/i mampu mengetahui faktor resiko end-stage renal disease
b. Mahasiswa/i mampu mengetahui etiologi end-stage renal disease
c. Mahasiswa/i mampu mengetahui proses end-stage renal disease
d. Mahasiswa/i mampu mengetahui manifestasi klinis end-stage renal disease

1
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Defenisi
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah
(Muttaqin, 2011 dalam Panjaitan, 2014).
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius)
dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009).

2.2 Faktor Resiko


Beberapa Faktor resiko yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronis yaitu :
A. Usia
Secara klinik pasien usia >60 tahun mempuyai risiko lebih besar mengalami
gagal ginjal kronik dibandingkan dengan pasien usia <60 tahun. Hal ini disebabkan
karena semakin bertambah usia, semakin berkurang fungsi ginjal dan berhubungan
dengan penurunan kecepatan ekskresi glomerulus dan memburuknya fungsi tubulus.
Penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi setiap
manusia seiring bertambahnya usia, namun tidak menyebabkan kelainan atau
menimbulkan gejala karena masih dalam batas-batas wajar yang dapat ditoleransi ginjal
dan tubuh. Namun, akibat ada beberapa faktor risiko dapat menyebabkan kelainan
dimana penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat atau progresif sehingga
menimbulkan berbagai keluhan dari ringan sampai berat, kondisi ini disebut gagal
ginjal kronik (GGK) atau chronic renal failure (CRF). Mcclellan dan Flanders (2003)
membuktikan bahwa faktor risiko gagal ginjal salah satunya adalah umur yang lebih
tua.
B. Jenis Kelamin
Ada hubungan antara jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan
dengan kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis. Secara klinik lakilaki
mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik 2 kali lebih besar daripada

2
perempuan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan
dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah
terkena gagal ginjal kronik dibandingkan perempuan. Perempuan lebih patuh
dibandingkan laki-laki dalam menggunakan obat karena perempuan lebih dapat
menjaga diri mereka sendiri serta bisa mengatur tentang pemakaian obat (Morningstar
et al., 2002).
C. Riwayat Penyakit Hipertensi
Secara klinik pasien dengan riwayat penyakit faktor risiko hipertensi
mempunyai risiko mengalami gagal ginjal kronik lebih besar daripada pasien tanpa
riwayat penyakit faktor risiko hipertensi. Peningkatan tekanan darah berhubungan
dengan kejadian penyakit ginjal kronik (Hsu et al., 2005). Hipertensi dapat
memperberat kerusakan ginjal telah disepakati yaitu melalui peningkatan tekanan
intraglomeruler yang menimbulkan gangguan struktural dan gangguan fungsional pada
glomerulus. Tekanan intravaskular yang tinggi dialirkan melalui arteri aferen ke dalam
glomerulus, dimana arteri aferen mengalami konstriksi akibat hipertensi (Susalit,
2003).
D. Riwayat Penyakit Diabetes Melitus
Diabetes melitus mempunyai risiko terhadap kejadian gagal ginjal lebih besar
dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat penyakit faktor risiko diabetes melitus.
Salah satu akibat dari komplikasi diabetes melitus adalah penyakit mikrovaskuler, di
antaranya nefropati diabetika yang merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal.
Berbagai teori tentang patogenesis nefropati seperti peningkatan produk glikosilasi
dengan proses non-enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glucosylation End
Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas, dan protein
kinase C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus
disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia, dan
hipertensi intraglomerulus. Kelainan atau perubahan terjadi pada membran basalis
glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan
glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-
perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan
timbulnya albuminuria (Sue et al., 2000).
E. Riwayat Penggunaan Obat Analgetika Dan OAINS
Beberapa bukti epidemiologi menunjukkan bahwa ada hubungan antara
penggunaan obat analgetik dan OAINS secara berlebihan dengan kejadian kerusakan

3
ginjal atau nefropati. Nefropati analgetik merupakan kerusakan nefron akibat
penggunaan analgetik. Penggunaan obat analgetik dan OAINS untuk menghilangkan
rasa nyeri dan menekan radang (bengkak) dengan mekanisme kerja menekan sintesis
prostaglandin. Akibat penghambatan sintesis prostaglandin menyebabkan
vasokonstriksi renal, menurunkan aliran darah ke ginjal, dan potensial menimbulkan
iskemia glomerular. Obat analgetik dan OAINS juga menginduksi kejadian nefritis
interstisial yang selalu diikuti dengan kerusakan ringan glomerulus dan nefropati yang
akan mempercepat progresifitas kerusakan ginjal, nekrosis papilla, dan penyakit gagal
ginjal kronik. Obat analgetika dan OAINS menyebabkan nefrosklerosis yang berakibat
iskemia glomerular sehingga menurunkan GFR kompensata dan GFR nonkompensata
atau gagal ginjal kronik yang dalam waktu lama dapat menyebabkan gagal ginjal
terminal (Fored et al., 2003).
F. Riwayat Merokok
Pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis yang mempunyai riwayat
merokok mempunyai risiko dengan kejadian gagal ginjal kronik lebih besar 2 kali
dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat merokok. Efek merokok fase akut yaitu
meningkatkan pacuan simpatis yang akan berakibat pada peningkatan tekanan darah,
takikardi, dan penumpukan katekolamin dalam sirkulasi. Pada fase akut beberapa
pembuluh darah juga sering mengalami vasokonstriksi misalnya pada pembuluh darah
koroner, sehingga pada perokok akut sering diikuti dengan peningkatan tahanan
pembuluh darah ginjal sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan fraksi
filter (Grassi et al., 1994 ; Orth et al., 2000) merupakan sekelompok kelainan heterogen
yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Pada
diabetes melitus kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun atau
pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin ( Brunner & Suddarth,2001

2.3 Etiologi
a. Diabetus mellitus
b. Glumerulonefritis kronis
c. Pielonefritis
d. Hipertensi tak terkontrol
e. Obstruksi saluran kemih
f. Penyakit ginjal polikistik
g. Gangguan vaskuler

4
h. Lesi herediter
i. Agen toksik (timah, kadmium, dan merkuri)
( SmeltzerC, Suzanne, 2002 hal 1448).

2.4 Proses
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium
gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR (Glomerular Filtration Rate) yang tersisa
dan mencakup :
a. Penurunan cadangan ginjal
Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi
tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron
yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin,
menyebabkan nocturia dan poliuri.
b. Insufisiensi ginjal
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang
tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang
diterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolik dalam darah karena nefron yang
sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic,
menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang
dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis.
c. Gagal ginjal yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
d. Penyakit gagal ginjal stadium akhir. Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari
normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan
jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak
seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian
ginjal. (Corwin, 2001).

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik menurut Suyono (2011) adalah sebagai berikut :
a. Gangguan kardiovaskuler. Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat
perikarditis, efusi perikardiak dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,
gangguan irama jantung dan edema.
b. Gangguan pulmoner. Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan spuntum kental.

5
c. Gangguan gastrointestinal. Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan
dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan saluran gastrointestinal,
ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau amonia.
d. Gangguan muskuloskeletal. Resiles leg syndrom (pegal pada kaki sehingga selalu
digerakan), burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama di telapak
kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas)
e. Gangguan integumen. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning –
kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan
rapuh.
f. Gangguan endokrin. Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolik glukosa, gangguan
metabolik lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Biasanya terjadi retensi
garam dan air, tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis,
hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. Sistem hematologi. Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositipenia.

2.6 Peran Perawat Pada Paliative Care


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup
pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat
mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian
yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual
(Kepmenkes RI Nomor: 812, 2007).
World Health Organization (WHO) menyatakan “perawatan paliatif meningkatkan
kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam
nyawa,dengan memberikan penghilang rasa sakit dan gejala, dukungan spiritual dan
psikososial, sejak tegaknya diagnosis hingga akhir kehidupan serta periode kehilangan
anggota keluarga yang sakit”.
Dan menekankan bahwa dalam memberikan pelayanan paliatif harus berpijak pada
pola sebagai berikut:
a. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang
normal. Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh individu itu sendiri, karena sifatnya

6
sangat spesifik, dan bersifat abstrak, sulit diukur. Walaupun demikian, seorang tenaga
medis, bersama penderita yang dibantu oleh keluarga harus mampu menyingkap,
bagaimana kualitas hidup yang di inginkan oleh penderita dan bagaimana cara meraih
dan mencapainya. Sebagai pedoman, Jennifer J Clinch dan Harvey Schipper
memberikan 10 dimensi kualitas hidup yang mendekati parameter untuk pengukuran
objektif :
1) Kondisi fisik (gejala dan nyeri)
2) Kemampuan fungsional (aktifitas)
3) Kesejahteraan keluarga
4) Kesejahteraan emosi
5) Spiritual
6) Fungsi sosial
7) Kepuasan pada layanan terapi (termasuk pendanaan)
8) Orientasi masa depan (rencana dan harapan)
9) Seksualitas (termasuk “body image”)
10) Fungsi okupasi
(Doyle, 2003)
b. tidak mempercepat atau menunda kematian.
c. menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.
d. menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
e. mengusahakan agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
f. mengusahakan dan membantu mengatasi suasana duka cita pada keluarga
(Djauzi et al, 2003 dalam Ningsih 2011 ).
Peran perawat pada aspek perawatan paliatif sangat penting untuk diperhatikan
mengingat kualitas pelayanan yang diberikan haruslah berkualitas untuk memenuhi setiap
kebutuhan pasien dalam aspek tersebut. Peran- peran tersebut meliputi:
a. Penanganan nyeri
Kehadiran perawat dalam melakukan penanganan nyeri yaitu untuk
mengidentifikasi, mengobati penyebab nyeri dan memberikan obat-obatan untuk
menghilangkan nyeri. Perawat tidak hanya berkolaborasi dengan tenaga
professional kesehatan lain tetapi juga memberikan intervensi pereda nyeri,
mengevaluasi efektivitas intervensi dan bertindak sebagai advokat pasien saat
intervensi tidak efektif (Smetlzer dan Bare, 2002).

7
b. Penanganan masalah fisik
Petugas kesehatan harus memberikan kesempatan pengobatan yang sesuai
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, terapi lain meliputi pendidikan,
kehilangan dan penyuluhan pada keluarga, dukungan teman sebaya, terapi musik
dan lain sebagainya (Commitee on Bioethic and Committee on Hospital Care, 2000
dalam Ningsih, 2011).
Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama dalam tim
perawatan paliatif, dan adapun tindakan yang dapat dilakukan perawat dalam
menangani masalah fisik pasien untuk menunjang kerjasama antar tim yaitu
melakukan pemeriksaan fisik, mengkaji dan memonitor tanda-tanda vital, mengkaji
dan memenuhi kebutuhan dasar pasie, pemberian posisi, ambulasi dan lain
sebagainya yang dapat mengurangi masalah fisik klien (Tarwoto & Wartonah,
2011).
c. Penanganan masalah psikologi
Dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan pengobatan dan fungsi
psikososial umum, awalnya tim paliatif melakukan assessment terlebih dahulu
terhadap pasien dan keluarga pasien yang akan menjalani perawatan paliatif. Dari
hasil assessment yang dilakukan, tim paliatif dapat mengetahui kondisi fisik,
psikologis, dan sosial pasien dan keluarga pasien sehingga tim paliatif dapat
mengetahui mengenai perawatan fisik, pendampingan pikologis dan sosial yang
dibutuhkan pasien dan keluarga pasien.
Pemberian perawatan paliatif, baik fisik, psikologis dan sosial, dilakukan secara
berkala sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Dengan adanya perawatan dan
pendampingan psikologis yang dibutuhkan kepada pasien dan keluarga pasien,
berupa konseling, pemberian dukungan dan nasehat, maka akan dapat membantu
pasien dan keluarga pasien dalam menghadapi dan melewati masalah-masalah
psikologi yang dialaminya dalam menghadapi penyakitnya. Kondisi psikologi yang
normal dan stabil, secara langsung ataupun tidak langsung, akan dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien menjadi lebih baik (Damayanti.,dkk, 2008).
d. Penanganan masalah spiritual
Perawat melakukan kegiatan spiritual care, jenis dan frekuensi dari intervensi
tidak diketahui karena spiritual care jarang bahkan tidak pernah didokumentasikan,
Kegiatan perawat dalam memberikan spiritual care dikategorikan menjadi 10

8
kategori yaitu: fasilitasi kegiatan spiritual, dukungan spiritual, kehadiran,
mendengarkan dengan aktif, humor, sentuhan, terapi sentuhan, peningkatan
kesadaran diri, rujukan, dan terapi musik (Balldacchino, 2006 dalam sianturi, 2014).

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah.
Perawatan paliatif meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam nyawa,dengan memberikan penghilang rasa sakit dan
gejala, dukungan spiritual dan psikososial, sejak tegaknya diagnosis hingga akhir kehidupan
serta periode kehilangan anggota keluarga yang sakit”.

10
DAFTAR PUSTAKA

Campbell,M.L.2013.Nurse to Nurse Perawatan paliatif.Jakarta:Salemba Medika

Ilmi Nur.2016. Analisis Perilaku Perawat Dalam Perawatan Paliatif Pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik Di Rsi Faisal Makassar Dan Rsud Labuang Baji Makassar.Makassar:
Universitas Islam Negeri (Uin) Alauddin Makassar

Pranandari Restu, Woro Supadmi. 2015. Risk Factors Cronic Renal Failure On Hemodialysis
Unit In Rsud Wates Kulon Progo.Vol. 11 No.2. Universitas Ahmad Dahlan.

11

Anda mungkin juga menyukai