Anda di halaman 1dari 51

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan

stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai

dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus

regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. Jaringan

penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi

jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati (Nurdjanah,

2014).

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan

stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progesif yang ditandai

dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus

regenerative (Sudoyo, dkk 2015).

Sirosis Hepatis adalah penyakit kronis pada hepar dengan

inflamasi dan fibrosis hepar yang mengakibatkan distorsi struktur hepar

dan hilangnya sebagian besar fungsi hepar (Baradero et al, 2012).

Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang

difus, ditandai dengan adanya pembentukan jaringan disertai nodul.

Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas,

pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul (Inayah, 2004).

7
8

2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan

Gambar 2.1 Anatomi sistem pencernaan (Snell, 2012).

Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut

sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk

menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat dan energi, menyerap zat-

zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak

dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran

pencernaan terdiri dari mulut, faring, kerongkongan, lambung, usus halus,

usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ
9

yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung

empedu.

1) Mulut

Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam

dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ

perasa yang terdapat dipermukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana,

terdiri dari manis, asam, asin, dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf

olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau.

Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan dikunyah oleh

gigi belakang (molar, graham) menjadi bagian-bagian kecil yang lebih

mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-

bagian dari makanan tersebut dengan enzim –enzim pencernaan dan mulai

mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim.

2) Faring

Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Skema

melintang mulut, hidung, faring, dan laring. Didalam lengkung faring

terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung

kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini

terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya

dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang

belakang.

Keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan

perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan

rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium.


10

Tekak terdiri dari :

a) Bagian superior

Bagian yang sangat tinggi dengan hidung. Bagian superior disebut

nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak

dengan ruang gendang telinga.

b) Bagian media

Bagian yang sama tinggi dengan mulut. Bagian media disebut

orofaring, bagian ini berbatas kedepan sampai diakar lidah.

c) Bagian inferior

Bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian inferior disebut laring

gofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring.

3) Kerongkongan (Esofagus)

Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui

sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung.

Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses

peristaltik. Sering juga disebut esofagus .

Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut

histologi,esofagus dibagi menjadi tiga bagian :

a) Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)

b) Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)

c) Bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus)


11

4) Lambung

Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang

keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu :

a) Kardia

b) Fundus

c) Antrum

Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot

berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam

keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke

dalam kerongkongan. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang

berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-

enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :

a) Lendir

Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung.

Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan

yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.

b) Asam klorida (HCl)

Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan

oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi

juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara

membunuh berbagai bakteri.

c) Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)


12

5) Usus halus

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang

terletak diantara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan

pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui

vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan

air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna).

Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna

protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan mukosa (sebelah

dalam), lapisan otot melingkar (Muskulus Sirkuler), lapisan otot

memanjang (Muskulus Longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).

Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (doudenum),

usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).

a) Usus dua belas jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang

terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong

(jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari

usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum

Treitz.

Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak

terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum, pH usus dua belas jari

yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari

terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.

Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari

(duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus.


13

Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam

jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan

mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan

makanan.

b) Usus kosong (Jejunum)

Usus kosong atau Jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah

bagian kedua dari usus halus, di antara duodenum dan ileum. Pada

manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2

meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan

digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.

Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan

terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus.

Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni

berkurangnya kelenjar Brunner. Secara histologis pula dapat dibedakan

dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri.

Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan

secara makroskopis.

c) Usus penyerapan (Ileum)

Usus penyerapan atau Ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.

Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4

meter dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan

oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit

basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.


14

6) Usus besar (Kolon)

Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.

Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri

dari :

a) Kolon asendens (kanan)

b) Kolon transversum

c) Kolon desendens (kiri)

d) Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)

Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi

mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri

di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti

vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa

penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri

didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan

dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.

Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah

anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta

bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada

mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora

memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki

sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai

cacing.
15

7) Rektum dan Anus

Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah

ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan

berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan

sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di

tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon

desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul

keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum

karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf

yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi

tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di

mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi

untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.

Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini,

tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam

pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan

lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari

tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian

lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot

sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air

besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.


16

8) Pankreas

Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi

utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon

penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan

berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari).

Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :

1. Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan

2. Pulau pankreas, menghasilkan hormon

Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan

melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas

akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik

memecah protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan

dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah

mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar

sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan cara

menetralkan asam lambung.


17

9) Hati

Gambar 2.2 Anatomi Hati (Snell, 2012).

Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam tubuh manusia

dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang

dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan

merupakan pusat metabolisme tubuh dan memiliki berbagai fungsi,

beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.

Hati terletak di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi 2 lobus

utama yaitu lobus kanan dan lobus kiri. Hati dihubungkan oleh rangkaian

duktus. Bermula dari duktus hepatikus kanan dan kiri, lalu bergabung

menjadi satu pada duktus hepatikus utama. Duktus hepatikus utama

bergabung dengan duktus kistikus dari kandung empedu, keduanya

membentuk duktus empedu. Duktus empedu menuju duodenum dan


18

bermuara di ampula hepatopankreatikus bersama-sama dengan duktus

pankreatikus.

Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan

batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri.

Permukaan posterior hati berbentuk hati cekung dan terdapat celah

transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hapatis. Omentum minor

terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri hepatika, vena

porta dan duktus koledokus. Sistem porta terletak didepan vena kava dan

di balik kandung empedu.

Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh

adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan

yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum

falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat

ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus

kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum

venosum pada permukaan posterior.

Hati memiliki beberapa fungsi pokok yaitu :

a) Menghasilkan garam empedu yang digunakan oleh usus halus untuk

mengemulsikan dan menyerap lipid

b) Menghasilkan anti koagulan heparin dan protein plasma seperti

protrombin, fibrinogen dan albumin

c) Sel-sel retikuloendotelial hati, memfagosit (memangsa) sel-sel darah

yang telah rusak, juga bakteri


19

d) Menghasilkan enzim yang memecah racun atau mengubahnya menjadi

struktur yang tak berbahaya. Sebagai contoh, ketika asam amino hasil

pemecahan protein dipecah lagi menjadi energi, dihasilkan sampah-

sampah nitrogen beracun (misalnya ammonia) yang akan diubah

menjadi urea. Selanjutnya urea dibuang melalui ginjal dan kelenjar

keringat.

e) Nutrien yang baru diserap akan dikumpulkan di hati. Tergantung

kebutuhan tubuh, kelebihan glukosa akan diubah menjadi glikogen

atau lipid untuk disimpan. Sebaliknya hati juga dapat mengubah

glikogen dan lipid menjadi glukosa kembali jika dibutuhkan.

f) Hati menyimpan glikogen, tembaga, besi, vitamin A, B12, D, E, dan

K. Juga menyimpan racun yang tak dapat dipecah dan dibuang

(misalnya DDT)

g) Hati dan ginjal berperan dalam aktivasi vitamin D.

10) Kandung Empedu

Kandung empedu (Gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang

dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk

proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar

7-10 cm dan berwarna hijau gelap – bukan karena warna jaringannya,

melainkan karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini

terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu.

Bagian-bagian dari kandung empedu adalah :

a) Fundus vesika felea merupakan bagian kandung empedu yang paling

akhir setelah korpus vesika felea


20

b) Korpus vesika felea merupakan bagian dari kandung yang di dalamnya

berisi getah empedu

c) Leher kandung kemih merupakan leher dari kendung empedu yaitu

saluran pertama masuknya getah empedu ke kandung empedu.

d) Duktus sistikus memiliki panjang sekitar 33/4 cm berjalan dari leher

kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus,

membentuk saluran empedu ke duodenum.

e) Duktus hepatikus merupakan saluran yang keluar dari leher

f) Duktus koledokus merupakan saluran yang membawa empedu ke

duodenum

Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu :

a) Membantu pencernaan dan penyerapan lemak

b) Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama

haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan

kelebihan kolesterol.

3. Etiologi

Menurut Baradero Mary et al. (2012) etiologi dari sirosis hepatis

berdasarkan tipe-tipe sirosis adalah :

a. Sirosis Laennec. Sirosis ini disebabkan oleh alkoholisme dan

malnutrisi. Pada tahap awal sirosis ini, hepar membesar dan

mengeras. Namun, pada tahap akhir hepar mengecil dan nodular.

Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun


21

peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada

kerusakan parenkim hati.

b. Sirosis pascanekrotik. Terjadi nekrosis yang berat pada sirosis ini

karena hepatotoksin biasanya berasal dari hepatitis virus. Hepar

mengecil dengan banyak nodul dan jaringan fibrosa.

c. Sirosis bilier. Penyebabnya adalah obstruksi empedu dalam hepar dan

duktus koledukus komunis (duktus sistikus).

4. Patofisiologi dan Clinical Pathway

a. Patofisiologi

Patofisiologi menurut Sudoyo Aru, dkk. (2015) infeksi hepatitis virus

tipe B/C menimbulkan peradangan sel pada hati. Peradangan ini

menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler),

sehingga terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya

jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel

hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati

sama atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum

penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini

dapat menghubungkan daerah porta dengan sentral. Beberapa sel

tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai macam

ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik

dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal.

Hal demikian dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya

lebih lama. Tahap berikutnya terjadi peradangan pada nekrosis pada


22

sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrinogenesis dan

septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi

ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada

daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung pada

etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi

mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada sirosis alkoholik

timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag

menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator

timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan

nekrosis aktif. Septa aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke

parenkim hati.
23

b. Clinical Pathway

Sirosis Hepatis

Hepatitis virus Alkoholisme

Peradangan sel hati Kerusakan hati akut

Nekrosis

Pembentukan jaringan ikat


Nyeri

Inflamasi akut Hipertensi portal Asites Ensefalopati

Gg metabolisme zat Varises esofagus Penekanan Penurunan


besi diafragma kesadaran

Gg asam folat Perdarahan Ruang paru Resiko cidera


Gastrointestinal : menyempit
Hematemesis, melena
Penurunan produksi sel
darah merah/anemia
Hipokalemia, Ekspansi paru
anemia terganggu Fungsi hati
Kelemahan terganggu

Ketidakefektifan Ketidakefektifan
perfusi pola napas Gg pembentukan
Intoleransi aktivitas Jaringan perifer empedu

Kekurangan nutrisi Lemak tdk dpt


Kurang dari diemulsikan
kebutuhan tubuh Dan diserap oleh
usus halus

Gambar 2.2 Clinical Pathway Sirosis Hepatis (Sudoyo Aru, dkk. 2015)
24

5. Tanda dan Gejala

Menurut Hernomo K. (2012 : 346), tanda dan gejala dari Sirosis Hepatis

adalah :

a. Tanda Klinis

Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:

1) Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.

Timbulnya ikterus (penguningan) pada seseorang merupakan

tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Ikterus terjadi

karena kegagalan fungsi hati dan pengobatan terhadap komplikasi

biasanya mengecewakan, kecuali pasien mendapat transplantasi.

Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati,

dimana terjadi sedikitnya pada 60% penderita selama perjalanan

penyakit.

2) Timbulnya asites dan edema

Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein

albumin, cairan menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen

(ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan tekanan

hidrostatik pada kapiler usus. Edema umumnya timbul setelah

timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan

resistensi garam dan air.

3) Atrofi testis hipogonadisme

Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan

infertil. Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan

hemokromatosis.
25

4) Fetor hepatikum

Penderita akan mengeluarkan bau apek saat bernapas atau

bahkan waktu masuk kedalam kamarnya. Bau napas yang

khas ini pada pasien sirosis disebabkan peningkatan

konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan porto sistemik

yang berat.

b. Gejala klinis

Klien dengan sirosis dapat dengan sedikit keluhan, dapat juga

tanpa keluhan sama sekali, atau dengan keluhan penyakit lain.

Keluhan dengan penyakit lain ini dapat timbul tidak khas sehingga

kita menduga bukan penyakit hati yang jadi penyebabnya. Gejala awal

sirosis (kompensata) meliputi nyeri perut kanan atas, perasaan mudah

lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,

mual, berat badan menurun.

Pasien sirosis juga dapat mengalami keluhan dan gejala akibat

komplikasi sirosis hati. Pada beberapa klien, komplikasi ini dapat

menjadi gejala pertama yang membawa klien pergi kedokter. Klien

sirosis kompensata dapat berjalan selama bertahun-tahun, sebelum

berubah menjadi dekompensata. Sirosis dekompensata dapat dikenal

dari timbulnya bermacam komplikasi seperti perdarahan varises,

asites, atau ensefalopati.


26

6. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Hernomo K. (2012 : 349-350) mengemukakan

pemeriksaan penunjang Sirosis Hepatis meliputi :

a. Pemeriksaan Laboratorium

Peningkatan enzim-enzim serum ( ALT, AST, dan alkali fosfatase)

pada pemeriksaan rutin dapat menjadi salah satu tanda peradangan

atau kerusakan hati akibat berbagai penyebab, termasuk sirosis.

Dimana ALT atau SGPT dan AST atau SGOT meningkat tapi

tidak begitu tinggi, AST lebih meningkat daripada ALT.

Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas

normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien

kolangitis sklerosis dan sirosis bilier primer.

Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati

kompensata, tapi bisa meningkat pada sirosis yang lanjut.

Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya

menurun sesuai dengan perburukan sirosis.

Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat

sekunder dari pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan

limfoid, selanjutnya menginduksi produksi imunoglobulin.

Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi

sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang


27

b. Pemeriksaan endoskopi

Varises esofagus dapat ditemukan secara kebetulan pada

pemeriksaaan endoskopi. Bila pada pemeriksaan endoskopi pasien

sirosis tidak ditemukan varises, dianjurkan pemeriksaan endoskopi

ulang dalam dua tahun. Bila ditemukan varises kecil, endoskopi ulang

dilakukan dalam satu tahun. Sebaliknya bila ditemukan varises besar,

harus secepatnya dilakukan terapi untuk mencegah perdarahan

pertama.

c. Pemeriksaan CT-Scan atau MRI dan USG

Dapat dipakai untuk evaluasi kemungkinan penyakit hati. Pada

pemeriksaan ini dapat ditemukan hepatomegali, nodul dalam hati,

splenomegali, dan cairan dalam abdomen, yang dapat menunjukkan

sirosis hepatis. Kanker hati dapat ditemukan dengan pemeriksaan CT-

scan, MRI, maupun USG abdomen karena kanker hati sering timbul

pada pasien sirosis.

d. Biopsi pada organ hati

Biopsi pada organ hati adalah metode pemeriksaan yang dapat

langsung memahami perubahan yang terjadi pada organ, serta

diagnosa yang lebih objektif dan jelas. Sirosis hati pada tahap awal,

sulit dideteksi jika menggunakan pemeriksaan darah ataupun USG,

tetapi melalui biopsi hati dapat mendiagnosa dengan tepat fibrosis,

stadium awal, kelanjutan, atau dekompensasi yang terjadi pada hati

serta dapat membedakan jenis sirosis hati secara klinis. Sehingga

penting untuk dilakukan dokter dalam pendiagnosaan yang tepat.


28

7. Penatalaksanaan

Menurut Nurdjanah (2014). Pengobatan sirosis hepatis pada

prinsipnya berupa:

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi

ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan

yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan

komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang

mengandung protein 1g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.

Tatalaksana klien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk

mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi klien ditujukan untuk

menghilangkan etiologi, di antaranya : alkohol dan bahan-bahan lain

yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya.

Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat

kolagenik.

Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau

imunosupresif. Sedangkan pada hemokromatosis flebotomi setiap

minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai

kebutuhan.

Pada penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan

mencegah terjadinya sirosis.

Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog

nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi pertama

diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun

pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD


29

sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan

subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata

juga banyak yang kambuh.

Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin

merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan

dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-

1000 mg/hari selama 6 bulan.

Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik pada saat

ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di

masa datang, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan

mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk

mengurangi aktifasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan.

Interferon mempunyai aktifitas antifibrotik yang dihubungkan dengan

pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan

dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam

penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A

juga dicobakan sebagai anti fibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga

sedang dalam penelitian.

Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi

komplikasi seperti :

a. Asites

Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam

sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi

dengan obat-obatan diuretik, yaitu obat-obatan untuk mengubah


30

keseimbangan cairan sehingga volume cairan ekstrasel kembali

menjadi normal seperti hydrochlorothiazide, furosemid,

spironolactone, dll. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan

dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor

dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki

atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian

spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid

dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah

dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari.

Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa

hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.

b. Ensefalopati Hepatik

Laktulosa membantu klien untuk mengeluarkan amonia. Neomisin

bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia, diet

protein dikurangi sampai 0,5 gr/kgBB per hari, terutama diberikan

yang kaya asam amino rantai cabang.

c. Varises Esofagus

Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan preparat

somatostatin atau aktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi

atau ligasi endoskopi.

Peritonitis bakterial spontan, diberikan antibiotika seperti

cefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.

Sindrom hepatorenal, mengatasi perubahan sirkulasi darah di

hati, mengatur keseimbangan garam dan air.


31

Transplantasi hati, terapi definitif pada pasien sirosis

dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa

kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.

8. Komplikasi

Menurut Hernomo K. (2012 : 350) komplikasi dari Sirosis Hepatis adalah :

Edema dan asites, spontaneous bacterial peritonitis, perdarahan saluran

cerna, ensefalopati hepatik, sindroma hepatorenal, sindroma

hepatopulmoner, hipersplenisme, dan kanker hati.

a. Edema dan asites

Dengan makin beratnya sirosis, terjadi pengiriman sinyal ke ginjal

untuk melakukan retensi garam dan air dalam tubuh. Garam dan air

yang berlebihan, pada awalnya akan mengumpul dalam jaringan

dibawah kulit disekitar tumit dan kaki karena efek gravitasi pada waktu

berdiri atau duduk. Penumpukan cairan ini disebut edema.

Pembengkakan ini menjadi lebih berat pada sore hari setelah berdiri

atau duduk dan berkurang pada malam hari sebagai hasil

menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur. Dengan makin beratnya

sirosis dan semakin banyak garam dan air yang diretensi, air akhirnya

akan mengumpul pada rongga abdomen antara dinding perut dan organ

dalam perut. Penimbunan cairan ini disebut asites yang berakibat

pembesaran perut, keluhan rasa tak enak dalam perut, dan peningkatan

berat badan. Untuk membedakan penyebab asites, dilakukan

pemeriksaan (serum-ascites albumin gradient, SAAG), bila nilainya


32

>1,1 gram%, penyebabnya adalah penyakit non-peritoneal (hipertensi

portal, hipoalbuminemia, asites chyllous, tumor ovarium). Sebaliknya

bila nilainya <1,1 gram%, penyebabnya adalah penyakit peritoneum

atau eksudat (keganasan, peritonitis karena TBC, jamur, amuba, atau

benda asing dalam peritoneum). Asites dibagi dalam 4 tingkatan asites

yaitu :

Tingkat 1 : hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan seksama

Tingkat 2 : deteksi lebih mudah, tapi biasanya jumlahnya sedikit

Tingkat 3 : tampak jelas tetapi tidak terasa keras

Tingkat 4 : asites mulai terasa keras

b. Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)

Cairan dalam perut merupakan tempat ideal untuk pertumbuhan kuman.

Dalam keadaan normal, rongga perut hanya mengandung sedikit cairan

sehingga mampu menghambat infeksi dan memusnahkan bakteri yang

masuk ke dalam rongga perut (biasanya dari usus), atau mengarahkan

bakteri ke vena porta atau hati, untuk dibunuh di sana. Pada sirosis,

cairan yang mengumpul dalam perut tidak mampu lagi untuk

menghambat invasi bakteri secara normal. Selain itu, lebih banyak

bakteri yang mampu mendapatkan jalannya sendiri dari usus ke asites.

Oleh karena itu, infeksi dalam perut dan asites ini disebut sebagai

peritonitis bakteri spontan (Spontaneous bacterial peritonitis, SBP).

SBP merupakan komplikasi yang mengancam jiwa pasien. Beberapa

pasien SBP tidak mempunyai keluhan sama sekali, namun sebagian lain
33

mengeluh demam, menggigil, nyeri abdomen, rasa tak enak di perut,

diare, dan asites yang memburuk.

c. Perdarahan varises esofagus

Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah

dari usus yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan

tekanan dalam vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil peningkatan

aliran darah dan peningkatan tekanan vena porta ini, vena-vena di

bagian bawah esofagus dan bagian atas lambungakan melebar sehingga

timbul varises esofagus dan lambung. Makin tinggi tekanan portalnya,

makin besar varisesnya, dan makin besar kemungkinannya pasien

mengalami perdarahan varises. Perdarahan varises biasanya hebat dan

tanpa pengobatan yang cepat dapat berakibat fatal. Keluhan perdarahan

varises bisa berupa muntah darah atau hematemesis. Bahan muntahan

dapat berwarna merah bercampur bekuan darah atau seperti kopi (coffe

grounds appearance) akibat efek asam lambung terhadap darah. Buang

air besar berwarna hitam lembek (melena), dan keluhan lemah dan

pusing pada saat posisi berubah yang disebabkan penurunan tekanan

darah mendadak saat melakukan perubahan posisi berdiri dari

berbaring. Perdarahan juga dapat timbul dari varises mana pun dalam

usus, misalnya dalam kolon, meskipun ini jarang terjadi. Walaupun

belum jelas mekanismenya, pasien yang masuk rumah sakit dengan

perdarahan aktif varises esofagus, berisiko tinggi untuk mengalami

PBS.
34

d. Ensefalopati hepatik

Beberapa protein mekanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan

oleh bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses perencanaan ini

beberapa bahan akan terbentuk dalam usus. Bahan-bahan ini sebagian

akan terserap kembali ke dalam tubuh. Beberapa diantaranya, misalnya

amonia, berbahaya terhadap otak. Dalam keadaan normal, bahan-bahan

toksik dibawa dari usus lewat vena porta masuk ke dalam hati untuk di

detoksifikasi. Pada sirosis, sel-sel hati tidak berfungsi normal, baik

akibat kerusakan maupun akibat hilangnya hubungan normal sel-sel ini

dengan darah. Sebagai tambahan beberapa bagian darah dalam vena

porta tidak dapat masuk ke dalam hati, tetapi langsung masuk ke vena

yang lain (bypass). Akibatnya, bahan-bahan toksik dalam darah tidak

dapat masuk sel hati sehingga terjadi akumulasi bahan ini dalam darah.

Bila bahan-bahan toksik ini terkumpul lebih banyak, fungsi otak akan

terganggu. Kondisi ini disebut ensefalopati hepatik. Tidur lebih banyak

pada siang dibanding malam (perubahan pola tidur) merupakan tanda

awal ensefalopati hepatik. Keluhan lain dapat berupa mudah

tersinggung, tidak mampu konsentrasi atau menghitung, kehilangan

memori, bingung, dan penurunan kesadaran secara bertahap. Akhirnya

ensefalopati hepatik yang berat dapat menimbulkan koma dan

kematian. Bahan toksik ini juga menyebabkan otak pasien sangat

sensitif terhadap obat-obat yang normalnya disaring dan didetoksifikasi

dalam hati. Dosis beberapa obat tersebut harus dikurangi untuk

menghindari efek toksik yang meningkat pada sirosis, terutama obat


35

golongan sedatif dan obat tidur. Sebagai alternatif, dapat dipilih obat-

obat lain yang tidak didetoksifikasi atau dieliminasi lewat hati, namun

lewat ginjal.

Ada tiga tipe ensefalopati hepatik berdasar penyakit yang

mendasari ;

1. Tipe A : Akibat gagal hati akut

2. Tipe B : Akibat pintasan porto-sistemik tanpa sirosis

3. Tipe C : Akibat penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa

pintas porto-sistemik

e. Sindrom hepatorenal

Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi

sindrom hepatorenal. Sindrom ini merupakan komplikasi serius karena

terdapat penurunan fungsi ginjal, namun ginjal secara fisik sebenarnya

tidak mengalami kerusakan sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini

disebabkan perubahan aliran darah ke dalam ginjal. Batasan sindrom

hepatorenal adalah kegagalan ginjal secara progresif untuk

membersihkan bahan-bahan toksik dari darah dan kegagalan

memproduksi urine dalam jumlah adekuat meskipun fungsi lain ginjal

yang penting, misalnya retensi garam, tidak terganggu. Bila fungsi hati

membaik atau dilakukan transplantasi hati pada pasien sindrom

hepatorenal, ginjal akan bekerja normal lagi. Hal ini menimbulkan

dugaan bahwa penurunan fungsi ginjal disebabkan akumulasi bahan-

bahan toksik dalam darah akibat hati yang tidak berfungsi.


36

Ada dua tipe sindrom hepatorenal :

1. Tipe I : Penurunan fungsi terjadi dalam beberapa bulan.

2. Tipe 2 : Penurunan fungsi ginjal terjadi sangat cepat dalam waktu

satu sampai dua minggu.

f. Sindrom hepatopulmoner

Meskipun jarang, pasien sirosis lanjut dapat berkembang menjadi

sindrom hepatopulmoner. Pasien-pasien ini mengalami kesulitan

bernapas akibat sejumlah hormon tertentu terlepas pada sirosis yang

lanjut karena fungsi paru abnormal. Masalah dasar paru adalah tidak

tersedianya aliran darah yang cukup dari pembuluh darah kecil dalam

paru yang mengadakan kontak dengan alveolus paru. Aliran darah lewat

paru mengalami pintas sekitar alveolus dan tidak dapat mengambil

cukup oksigen dari udara dalam alveolus. Akibatnya, pasien mengalami

perasaan sesak napas atau napas pendek, terutama pada saat latihan.

g. Hipersplenisme

Limpa dalam keadaan normal berfungsi menyaring sel-sel darah merah,

leukosit, dan trombosit yang sudah tua. Darah dari limpa akan

bergabung dengan aliran darah dari usus dan selanjutnya masuk ke

dalam vena porta. Akibat peningkatan tekanan vena porta karena

sirosis, terjadi peningkatan blokade aliran darah dari limpa. Akibatnya,

terjadi aliran darah kembali ke dalam limpa dan limpa membesar.

Terjadilah splenomegali. Kadang-kadang limpa dapat membengkak

hebat hingga menimbulkan nyeri perut. Dengan pembesaran limpa ini,

fungsi filtrasi terhadap sel-sel darah dan trombosit ikut meningkat


37

sehingga jumlahnya akan menurun. Hipersplenisme merupakan istilah

yang dipakai untuk menunjukkan kondisi sebagai berikut : penurunan

jumlah sel darah merah (anemia), penurunan sel darah putih

(leukopenia), dan atau trombosit yang rendah (trombositopenia).

Anemia menyebabkan perasaan lemah, leukopenia menyebabkan

kerentanan terhadap infeksi, dan trombositopenia mengganggu

pembekuan darah dan menimbulkan perdarahan yang memanjang.

h. Kanker hati (hepatocellular carcinoma)

Sirosis, apa pun penyebabnya meningkatkan risiko kanker hati primer.

Istilah primer menunjukkan tumor berasal dari hati. Kanker hati

sekunder merupakan kanker hati yang berasal dari penyebaran kanker

dari tempat lain dalam tubuh (metastasis). Keluhan tersering kanker hati

primer adalah nyeri perut, pembengkakan, pembesaran hati, penurunan

berat badan, dan demam. Sebagai tambahan, kanker hati dapat

memproduksi dan melepaskan sejumlah bahan yang menimbulkan

berbagai kelainan seperti peningkatan jumlah sel darah merah

(eritositosis), gula darah yang rendah (hipoglikemia), dan kalsium darah

yang tinggi (hiperkalsemia).


38

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Sirosis Hepatis

Proses keperawatan adalah metode perencanaan dan pemberian

asuhan keperawatan yang rasional dan sistematis. Tujuannya adalah

mengidentifikasi status perawatan kesehatan klien dan masalah kesehatan

yang aktual atau potensial, membuat rencana untuk memenuhi kebutuhan

yang diidentifikasi dan memberikan intervensi keperawatan yang spesifik

untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Barbara et al, 2011).

Proses keperawatan meliputi 5 tahap yaitu pengkajian, diagnosa

keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dalam proses keperawatan dan

merupakan suatu yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai

sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan

klien (Barbara et al, 2011).

Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan

asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu

pengkajian yang akurat, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat

penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatn dan memberikan

pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu, sebagaiman yang

telah ditentukan dalam standar praktek keperawatan. Komponen tahap

pengkajian adalah pengumpulan data, validitasi data dan identifikasi pola

atau divisi ( Brunner & Suddarth, 2013).


39

Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi :

a. Pengumpulan Data

1) Identitas

a) Identitas klien

Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status perkawinan,

pendidikan, bahasa yang digunakan, pekerjaan, alamat.

b) Identitas penangggung jawab

Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status perkawinan,

pendidikan,pekerjaan, hubungan dengan klien.

2) Keluhan Utama

Mula-mula klien mengeleuh nyeri pada perut kanan atas, merasa

lemah, rasa cepat lelah, nafsu makan menurun, penurunan berat

badan, badan menguning (ikterus), demam ringan, dan perut terasa

kembung.

3) Riwayat Kesehatan Saat Ini

Data yang perlu dikaji meliputi : kapan mulai sakit, bagaimana

proses/pengalaman terjadinya sakit/timbulnya (secara berangsur-

angsur/tiba-tiba). Faktor pencetus dengan menyebutkan peristiwa

atau hal yang menyebabkan timbulnya penyakit sekarang, upaya

yang dilakukan untuk menanggulanginya seperti apakah klien ke

tempat-tempat pelayanan kesehatan terdekat atau usaha klien sendiri

seperti minum obat-obatan yang dapat mempercepat proses

penyembuhan. Selanjutnya tentang cara masuknya ke rumah sakit,


40

apakah melalui unit gawat darurat atau poli klinik sampai klien

dibawa untuk menjalani rawat inap di ruang perawatan.

4) Riwayat Kesehatan Terdahulu

Riwayat penyakit dahulu merupakan penilaian kesehatan klien

secara keseluruhan sebelum penyakitnya sekarang. Penting juga

dikaji penyakit yang pernah diderita sebelumnya, apakah terdapat

penyakit kronis, obat-obatan yang biasa dikonsumsi dan kebiasaan

berobat kemana serta ada tidak riwayat alergi.

5) Riwayat Kesehatan Keluarga

Meliputi susunan anggota dengan membuat genogram, penyakit

yang pernah diderita oleh anggota keluarga khususnya yang

kemungkinan besar sangat berpengaruh pada kesehatan anggota

keluarga yang lain serta penyakit yang sedang diderita oleh anggota

keluarga yang lain.

6) Pola Kebiasaan Sehari-hari

a) Pola Aktivitas/istirahat

Posisi pasien di tempat tidur perlu diatur untuk mencapai status

pernapasan yang efisien dan maksimal yang sangat penting

terutama bila gejala asites sangat nyata sehingga mengganggu

gerakan ekskursi thoraks yang memadai. Istirahat akan

mengurangi kebutuhan dalam hati dan meningkatkan suplai darah

hati.

b) Pola Nutrisi Metabolik


41

Makan sedikit tetapi sering akan lebih dapat ditolerir oleh pasien

daripada makan tiga kali sehari dalam porsi yang besar karena

adanya tekanan abdominal yang ditimbulkan oleh asites.

Makanan kesukaan pasien perlu dipertimbangkan. Pasien dengan

anoreksia yang lama atau berat, atau pasien yang muntah atau

tidak dapat makan dengan alasan apapun dapat memperoleh

makanan melalui NGT (Naso Gastric Tube).

c) Pola Eliminasi

Klien dengan sirosis memiliki urin gelap dan pekat.

d) Pola Kebersihan Diri

Perawatan kulit yang teliti perlu dilakukan sehubungan dengan

adanya edema subkutan, imobilitas pasien, ikterus, dan

peningkatan kerentanan terhadap infeksi serta luka pada kulit.

Perubahan posisi diperlukan untuk mencegah dekubitus.

Penggunaan sabun yang iritatif dan plester harus dihindarkan

untuk mencegah trauma kulit.

7) Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan Umum

Keadaan umum klien yang mengalami gangguan hati seperti

sirosis biasanya lemah.

b) Kesadaran

Perlu dikaji tingkat kesadaran klien dari sadar – tidak sadar

(composmentis - coma) untuk mengetahui berat ringannya

prognosis penyakit klien, kekacauan fungsi dari hepar salah


42

satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap

penurunan kesadaran.

c) Tanda-tanda vital

Tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, respirasi, nadi, dan

suhu yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum klien /

kondisi klien.

d) Pemeriksaan Head to Toe

1) Kepala dan Leher

(a) Kepala

Mengkaji rambut klien apakah bersih, beruban.

Melakukan inspeksi berupa kepala simetris atau tidak,

tidak ada benjolan maupun lesi dan tidak ada kelainan

dikepala.

(b) Mata

Mengkaji bentuk kedua bola mata, kelopak mata,

konjungtiva apakah pucat atau tidak, memgkaji refleks

pupil, pergerakan bola mata klien normal atau ada

kelainan dan mengkaji ketajaman penglihatan klien.

(c) Hidung

Mengkaji adanya bentuk tulang hidung simetris atau

tidak, ada atau tidak adanya pembengkakan, perdarahan

maupun sekret/kotoran, ada atau tidak adanya massa


43

nyeri di daerah hidung, penciuman klien normal atau

kelainan.

(d) Mulut dan Tenggorokan

Mengkaji bibir simetris atau tidak, warna bibir, ada atau

tidak adanya lesi, mulut kotor atau bersih, mengkaji

warna gigi, adanya karies, keadaan gigi kotor atau bersih,

ada atau tidak adanya lesi di daerah gusi, apakah ada

pembengkakan dan nyeri di daerah gusi.

(e) Telinga

Melakukan inspeksi apakah telinga simetris atau tidak,

telinga ada sekret/kotoran, periksa adanya lesi maupun

massa, adanya peradangan, apakah pendengaran klien

terganggu atau tidak.

(f) Leher

Mengkaji bentuk leher, ada atau tidak adanya massa dan

pembengkakan, apakah reflek menelan klien dan saraf

cranial asesori klien baik.

2) Dada, payudara, dan ketiak

Mengkaji ada atau tidak adanya kelainan di daerah dada,

bentuk dada simetris atau tidak, ekspansi dada seimbang atau

tidak. Mengkaji traktil fremitus dan suara tambahan pasien.


44

Apakah ada tonjolan di daerah payudara, bentuk

payudara simetris atau tidak. Apakah ada tonjolan, massa

maupun lesi di daerah ketiak serta adanya kelainan lain, di

daerah ketiak seperti nyeri tekan.

3) Abdomen

Mengkaji bentuk perut simetris atau tidak, ada kelainan dan

nyeri tekan di daerah perut karna hepar membesar, tidak

terdengar bising usus klien, adanya asites.

4) Genetalia

Mengkaji apakah terdapat Atrofi testis hipogonadisme,

menstruasi menghilang, nyeri tekan, massa atau benjolan di

daerah genetalia.

5) Kulit dan Kuku

Mengkaji warna kulit, apakah ada lesi, mengkaji bentuk kuku,

apakah normal, kuku tebal, tekstur kuku, kaji kelembaban

kulit klien, apakah turgor kulit normal atau tidak.

6) Ekstremitas

Atas : Mengkaji bentuk dua tangan apakah simetris atau tidak.

Kaji reflek bisep dan trisep klien dan kaji adanya edema.

Bawah : Mengkaji bentuk kedua kaki apakah simetris atau

tidak. Kaji reflek bisep dan trisep klien dan kaji adanya

edema.
45

b. Pengelompokan Data

Menurut Baradero, et al. 2012 : 47 pengelompokan data di bagi menjadi

dua yaitu :

1) Data Subyektif

Data subyektif adalah data yang didapatkan dari klien langsung.

a) Keluhan : anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen.

b) Kulit, selaput lendir, sklera : kekuning-kuningan, gatal, urine

berwarna kuning tua dan berbuih.

c) Kebiasaan : merokok, minum alkohol, obat-obat terlarang, dan

sebagainya.

d) Seksualitas : impoten, libido menurun, menstruasi menghilang.

2) Data Obyektif

Data Obyektif adalah data yang didapatkan dari observasi dan

diukur.

a) Tanda vital tekanan darah menunjukkan tekanan darah

ortostatik.

b) Kulit dan sklera : ikterik, petekie, hematoma, luka bekas

garukan, spider angioma, eritema palmar, dilatasi pembuluh

darah bagian atas dan bawah tubuh, edema, ginekomastia.

c) Abdomen : gerakan peristaltik (auskultasi), distensi abdomen,

nyeri tekan, pembesaran hepar dan limpa, asites, dilatasi vena

pada abdomen (kaput medusae).

d) Neuromuskular : pengecilan otot-otot, koordinasi berkurang,

tremor, perubahan orientasi.


46

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu

atau kelompok dimana perawat secara kontabilitas dapat mengidentifikasi

dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,

menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah. (Barbara et al, 2011)

Klasifikasi diagnosa keperawatan menurut Wilkinson & Ahern

(2013), meliputi :

a. Diagnosa aktual

Menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang

ditemukan.

b. Diagnosa resiko

Menjelaskan masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak

dilakukan intervensi.

c. Diagnosa Potensial Wellness

Keputusan klinik tentang keadaan individu, keluarga, masyarakat dalam

transisi dari tingkat sejahtera tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih

tinggi.

d. Diagnosa kemungkinan

Menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan

masalah keperawatan kemungkinan.


47

e. Diagnosa syndrom

Diagnosa yang terdiri dari kelompok diagnosa keperawatan aktual dan

resiko tinggi yang diperkirakan akan muncul atau timbul karena suatu

terjadi atau situasi tertentu.

Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan

diagnosa medis sirosis hepatis adalah :

a. Kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Definisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

metabolik

Batasan karakteristik :

1) Kram abdomen

2) Nyeri abdomen

3) Menghindari makanan

4) Kurang minat pada makanan

Faktor-faktor yang berhubungan :

1) Ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrien

2) Ketidakmampuan untuk mencerna makanan

3) Intake makanan yang tidak adekuat

b. Nyeri akut

Definisi : pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual

atau potensial .
48

Batasan karakteristik :

1) Melaporkan nyeri secara verbal

2) Mengeskpresikan perilaku (misal; gelisah, merengek, menangis)

3) Diaforesis

4) Gangguan tidur

Faktor yang berhubungan :

1) Agen cedera (misal; biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

c. Ketidakefektifan pola napas

Definisi : inspirasi dan/ atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi

Batasan karakteristik :

1) Perubahan kedalaman pernapasan

2) Perubahan ekskursi dada

3) Bradipneu

4) Penurunan tekanan ekspirasi

5) Penurunan kapasitas vital

6) Dispneu

7) Takipneu

Faktor yang berhubungan :

1) Ansietas

2) Keletihan

3) Obesitas

4) Nyeri

5) Hiperventilasi
49

d. Intoleransi aktivitas

Definisi : ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk

melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang

harus atau yang ingin dilakukan.

Batasan karakteristik :

1) Ketidaknyamanan setelah beraktivitas

2) Dispneu setelah beraktivitas

3) Menyatakan merasa letih

4) Menyatakan merasa lemah

Faktor yang berhubungan :

1) Tirah baring

2) Kelemahan

3) Ketidakseimbangan antara suplei dan kebutuhan oksigen

4) Imobilitas

e. Resiko cedera (hemoragi)

Definisi : Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi

lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber

defensif individu.

Faktor resiko :

1) Eksternal

a) Biologis (misal : mikroorganisme)

b) Zat kimia (misal : racun, obat, alkohol)

c) Manusia (misal : agen nasokomial)

d) Nutrisi
50

2) Internal

a) Profil darah yang abnormal (misal : leukositosis/leukopenia,

gangguan faktor koagulasi, penurunan Hb)

b) Malnutrisi

c) Fisik (misal : gangguan mobilitas)

d) Psikologis (orientasi afektif)

f. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

Definisi : penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat

mengganggu kesehatan

Batasan karakteristik :

1) Perubahan karakteristik kulit (warna, kuku, sensasi, suhu)

2) Edema

3) Penurunan nadi

4) Nyeri ekstremitas

5) Warna kulit pucat saat elevasi

Faktor yang berhubungan :

1) Kurang pengetahuan tentang faktor pemberat (misal : obesitas,

asupan garam, imobilitas)

2) Kurang pengetahuan tentang proses penyakit

3) Gaya hidup monoton


51

3. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan adalah semua tindakan yang dilakukan oleh

perawat untuk membantu klien beralih dari status kesehatan saat ini ke

status kesehatan yang diuraikan dalam hasil yang diharapkan (Barbara et

al, 2011).

Langkah-langkah dalam rencana keperawatan menurut Wilkinson

& Ahern, 2013 meliputi :

a. Menentukan prioritas masalah

Melalui pengkajian, perawat akan mampu mengidentifikasi respon

klien yang aktual atau potensial yang memerlukan suatu tindakan.

Dalam menentukan perencanaan perlu menyusun suatu sistem untuk

menentukan diagnosa yang akan diambil tindakan pertama kali.

b. Menentukan tujuan dan kriteria hasil

Tujuan klien merupakan pernyataan yang menjelaskan suatu prilaku

klien, keluarga atau kelompok yang dapat diukur setelah intervensi

keperawatan diberikan.

Penulisan kriteria hasil didasari oleh “SMART” yaitu :

S : Spesifik

Tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda

M : Measurable

Tujuan keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang prilaku

klien : dapat dilihat, didengar, diraba, dirasakan dan dibau.

A : Achievable

Tujuan harus dapat dicapai.


52

R : Reasonable

Tujuan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

T : Time

Harus dapat diukur berapa lama waktu yang akan dicapai.

c. Menentukan intervensi

Rencana tindakan adalah rencana yang disusun oleh perawat untuk

kepentingan tindakan keperawatan bagi perawat yang menulis dan

perawat lainnya.

d. Dokumentasi

Format rencana keperawatan membantu perawat untuk memproses

informasi yang didapatkan selama tahap pengkajian dan diagnosa

keperawatan.

Tabel 2.1 Rencana Keperawatan


Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
No
Keperawatan (NOC) (NIC)
(1) (2) (3) (4)
1. Kekurangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi
kurang dari keperawatan diharapkan klien
kebutuhan tubuh dapat meningkatkan status 1. Kaji adanya alergi makanan
nutrisi dengan kriteria hasil : 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan nutrisi
1. Adanya peningkatan berat yang dibutuhkan klien
badan sesuai dengan tujuan 3. Anjurkan klien untuk
2. Tidak ada tanda-tanda meningkatkan intake Fe
malnutrisi 4. Berikan informasi tentang
3. menunjukkan peningkatan nutrisi
fungsi pengecapan dari
makanan Manajemen Nutrisi
1.
1. BB klien dalam batas normal
2. Monitor adanya penurunan
berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang bisa dilakukan
4. Monitor lingkungan
senyaman mungkin
53

(1) (2) (3) (4)


2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri
keperawatan diharapkan nyeri
teratasi/terkontrol dengan 1. Kaji nyeri secara
kriteria hasil : komprehensif termasuk
lokasi karakteristik, durasi,
1. Mampu mengontrol nyeri frekuensi, dan kualitas
2. Melaporkan bahwa nyeri 2. Ajarkan penggunaan teknik
berkurang dengan nonfarmakologi seperti
menggunakan manajemen teknik relaksasi napas dalam
nyeri 3. Kendalikan faktor lingkungan
3. Mampu mengenali nyeri yang dapat mempengaruhi
(skala, intensitas, frekuensi respon klien terhadap
dan tanda nyeri) ketidaknyamanan (misalnya
4. Menyatakan rasa nyaman suhu ruangan, cahaya, dan
setelah nyeri berkurang kegaduhan).
4. Monitoring vital sign
5. Kolaborasi dalam pemberian
analgetik

3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas


pola nafas keperawatan diharapkan 1. Buka jalan napas, gunakan
ketidakefektifan pola napas teknik chin lift atau jaw thrust
dapat teratasi dengan kriteria bila perlu
hasil : 2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
1. Mendemonstrasikan batuk 3. Identifikasi pasien perlunya
efektif dan suara napas yang pemasangan alat jalan napas
bersih, tidak ada sianosis buatan
dan dyspneu (mampu 4. Keluarkan sekret dengan
mengeluarkan sputum, batuk efektif atau suction
mampu bernapas dengan 5. Auskultasi suara napas, catat
mudah, tidak ada pursed adanya suara tambahan
lips) 6. Monitor respirasi dan status
1. Menunjukkan jalan napas O2
yang paten (klien tidak Terapi oksigen
merasa tercekik, irama
napas, frekuensi pernapasan 7. Bersihkan mulut dan hidung
dalam rentang normal, tidak 8. Pertahankan jalan napas yang
ada suara napas abnormal) paten
2. Tanda-tanda vital dalam 9. Atur peralatan oksigenasi
rentang normal (tekanan 10. Pertahankan posisi pasien
darah, nadi, pernapasan, dan 11. Observasi adanya kecemasan
suhu) pasien terhadap oksigenasi

Vital Sign Monitoring


12. Observasi TD, nadi, suhu,
dan RR
13. Observasi suara napas
14. Observasi adanya sianosis
perifer
15. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
54

(1) (2) (3) (4)

4. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Activity Therapy


keperawatan diharapkan klien 1. Bantu klien untuk
dapat menunjukkan toleransi mengidentifikasi aktivitas
terhadap aktivitas dengan yang mampu dilakukan
kriteria hasil : 2. Bantu untuk memilih
aktivitas yang sesuai dengan
1. Mampu melakukan aktivitas fisik
aktivitas sehari-hari secara 3. Bantu untuk mengidentifikasi
mandiri aktivitas yang disukai
2. Tanda-tanda vital normal 4. Motivasi klien untuk melatih
3. Mampu berpindah dengan gerakan fisik
atau tanpa bantuan alat 5. Observasi respon fisik klien
Kolaborasikan dengan tenaga
rehabilitasi medik dalam
merencanakan program terapi
yang tepat

5. Resiko cidera Setelah dilakukan tindakan Environment Management


keperawatan diharapkan klien (Manajemen Lingkungan)
mendapatkan keamanan
terhadap cedera dengan kriteria 1. Sediakan lingkungan yang
hasil : aman untuk pasien
1. Klien terbebas dari cedera 2. Hindarkan benda yang
2. Klien mampu menjelaskan berbahaya (misalnya
cara / motode untuk memindahkan perabotan)
mencegah injury / cedera 3. Sediakan tempat tidur yang
3. Klien mampu menjelaskan nyaman dan bersih
faktor resiko dari 4. Batasi pengunjung
lingkungan / prilaku 5. Anjurkan keluarga untuk
personal menemani pasien
4. Mampu memodifikasi gaya 6. Kontrol lingkungan dari
hidup untuk mencegah kebisingan
injury 7. Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status kesehatan

6. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Peripheral Sensation


perfusi jaringan keperawatan diharapkan klien Management (manajemen
perifer dapat menunjukkan perfusi sensasi perifer)
jaringan perifer adekuat
Kriteria hasil : 1. Monitor adanya daerah
tertentu yang hanya peka
Mendemonstrasikan status terhadap panas / dingin /
sirkulasi yang ditandai tajam / tumpul
dengan : 2. Instruksikan keluarga untuk
1. Tekanan systole dan mengobservasi kulit jika ada
diastole dalam rentang isi atau laserasi
yang diharapkan 3. Gunakan sarung tangan untuk
2. Tidak ada ortostatik proteksi
hipertensi 4. Batasi gerakan pada kepala,
3. Tidak ada tanda-tanda leher, dan punggung
peningkatan tekanan 5. Monitor kemampuan BAB
intrakranial (tidak lebih 6. Kolaborasi pemberian
dari 15 mmHg) analgetik
55

(1) (2) (3) (4)


Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif yang
ditandai dengan :
1. Berkomunikasi dengan
jelas dan sesuai dengan
kemampuan
2. Menunjukkan perhatian,
konsentrasi, dan orientasi
3. Memproses informasi
4. Membuat keputusan
dengan benar

(Sumber : Aplikasi Nanda Nic-Noc, 2015)

4. Tindakan Keperawatan

Pelaksanaan/tindakan keperawatan adalah tindakan yang

dilakukan perawat berdasarkan rencana keperawatan. Tindakan

keperawatan mencakup : mengkaji klien, mencatat respon klien terhadap

tindakan, melaporkan status klien kepada petugas jaga berikutnya dan

mencatat respon klien terhadap asuhan keperawatan. Tujuan tindakan

keperawatan adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,

pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Barbara et al, 2011).

5. Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah tindakan intelektual untuk

melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa

keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.

Dengan mengukur perkembangan klien dalam mencapai suatu tujuan,

maka perawat bisa menentukan efektifitas tindakan keperawatan (Barbara

et al, 2011).
56

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam

mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan hubungan

dengan klien berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan

yang diberikan sehingga perawat dapat mengambil keputusan :

a. Sasaran Evaluasi

1) Proses asuhan keperawatan berdasarkan kriteria / rencana yang telah

disusun.

2) Hasil tindakan keperawatan berdasarkan kriteria keberhasilan yang

telah dirumuskan dalam rencana evaluasi.

b. Hasil Evaluasi

1) Tujuan tercapai apabila klien telah menunjukkan perbaikan /

kemajuan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

2) Tujuan tercapai sebagian apabila tujuan itu tidak tercapai secara

maksimal sehingga perlu dicari penyebab dan cara mengatasinya.

3) Tujuan tidak tercapai apabila klien tidak menunjukkan

perubahan/kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah baru.

c. Catatan Perkembangan

Menurut Barbara et al, (2011) catatan perkembangan merupakan

catatan tentang perkembangan keadaan Pasien yang didasarkan pada

setiap masalah yang ditemui pada pasien. Memodifikasi rencana dan

tindakan mengikuti perubahan keadaan pasien. Adapun metode yang

digunakan dalam catatan perkembangan adalah sebagai berikut :


57

S : Data Subjektif

Perkembangan keadaan didasarkan pada apa yang dirasakan,

dilakukan, dan di kemukakan pasien.

O : Data Objektif

Perkembangan yang bisa diamati dan diukur oleh perawat atau

tim kesehatan lain.

A : Analisis

Kedua jenis data tersebut, baik subjektif maupun objektif dinilai

dan dianalisis, apakah perkembangan kearah perbaikan atau

kemunduran. Hasil analisis dapat menguraikan sampai dimana

masalah yang ada dapat diatasi atau adakah perkembangan

masalah baru yang menimbulkan diagnosa keperawatan baru.

P : Perencanaan

Rencana penanganan klien dalam hal ini didasarkan pada hasil

analisa di atas yang berisi melanjutkan rencana sebelumnya

apabila keadaan atau masalah belum teratasi dan membuat

rencana baru bila rencana awal tidak efektif.

Anda mungkin juga menyukai