Anda di halaman 1dari 38

Case Presentation

FRAKTUR TIBIAL PLATEAU

Oleh: dr. Andini Senja Andira

Narasumber: dr. Realita Malik, Sp.OT

Pendamping :

1. dr. H. HamdanAgus Hakim, MM


2. Dr. Hj. Lien Sumarlina

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSHIP


RS MUHAMMADIYAH
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul “Fraktur Tibial

Plateau”.

Presentasi kasus ini disusun sebagai sarana untuk memahami Fraktur

Tibial Plateau, meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di bidang kedokteran

khususnya di Instalasi Gawat Darurat dan memenuhi salah satu persyaratan

kelulusan Program Internship di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Realita

Malik, dr., Sp.OT selaku dokter penanggung jawab pasien dan sebagai pihak yang

telah membantu penulis dalam mengumpulkan bahan sumber tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini jauh dari sempurna, dan

masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu, kritik dan saran

sangat diharapkan penulis dari dokter pembimbing serta rekan-rekan dokter

Internship demi kesempurnaan presentasi kasus ini. Semoga presentasi kasus ini

membawa manfaat bagi kita semua.

Bandung, 2 April 2018

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan sendi, tulang

rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Tendensi untuk

terjadinya fraktur tibia terdapat pada pasien-pasien usia lanjut yang terjatuh,

Pada pasien-pasien usia muda, mekanisme trauma yang paling sering adalah

kecelakaan kendaraan bermotor (Apley, 2006)

World Health Organization mencatat pada tahun 2005 terdapat lebih dari

7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta

orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang cukup

tinggi yakni insiden terjadinya fraktur ekstremitas bawah, yaitu sekitar

46,2% dari insiden kecelakaan yang terjadi (Solomon, 2010).

Fraktur tibia merupakan fraktur tulang panjang yang paling sering

terjadi. Insiden yang terjadi pertahun pada fraktur terbuka tulang panjang

diperkirakan 11,5 per 100.000 orang, dengan 40% terjadi pada ekstremitas

bawah. Fraktur ekstremitas bawah yang paling umum terjadi pada diafisis

tibia (Courth-Brown, 1998).

Fraktur tibial plateau merupakan fraktur yang cukup sering dijumpai di

bidang orthopaedi. Kira-kira 1,3 % dari semua jenis fraktur, paling banyak

dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Fraktur ini merupakan jenis yang

complex karena melibatkan tulang dan jaringan lunak di sekitar lutut,

3
sehingga dapat berisiko terhadap fungsi integritas sendi lutut (Watson,

2003)

Kehilangan anggota tubuh dapat terjadi akibat trauma dari jaringan

lunak yang parah, keterlibatan neurovaskular, cedera arteri poplitea,

sindroma kompartemen, atau infeksi seperti gangren atau osteomielitis.

Cedera arteri poplitea merupakan cedera yang sangat serius sehingga

mengancam ekstremitas namun biasanya diabaikan. Delayed union,

nonunion, dan arthritis dapat terjadi pada fraktur tibia. Di antara tulang-

tulang panjang, tibia adalah lokasi yang paling sering dari fraktur nonunion.

Berdasarkan latar belakang diatas dan melihat besarnya komplikasi yang

ditimbulkan fraktur tibia , maka penulis tertarik untuk membuat suatu

literatur khusus yang membahas mengenai Fraktur Tibia Plateau ini.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. B.P

JenisKelamin : Laki-laki

Usia : 64 tahun

Alamat : Saluyu

Suku : Batak

PendidikanTerakhir : S1

Tanggal Pemeriksaan : 14 Maret 2019

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Nyeri di kaki sebelah kiri

Primary Survey

Airway : Clear, stridor (-), gurgling (-)

Breathing : Spontan, gerakan dada simetris kiri dan kanan, RR 22x/menit

Circulation : Akral hangat, tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 78x/menit

Disability : GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor, diameter isokor, reflek

cahaya +/+

5
Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSMB dengan keluhan nyeri di kaki sebelah kiri

setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengatakan terdapat bengkak

dan nyeri di daerah lutut kiri sehingga sulit digerakkan.

Keluhan disertai dengan adanya luka lecet di daerah lutut kanan dan

memar pada tangan kiri. Pada saat kecelakaan os terjatuh dengan posisi lutut kiri

membentur aspal. Pasien menggunakan helm pada saat mengemudikan

kendaraannya.

Pasien menyangkal adanya pingsan atau penurunan kesadaran setelah

kecelakaan. Pasien juga menyangkal adanya muntah, sesak, maupun kejang

setelah kecelakaan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat patah tulang sebelumnya tidak ada

Riwayat Osteoartritis (+)

Riwayat Hiperkolesterolemia (+)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

6
Kesadaran : Compos Mentis

Tekanandarah : 130/80 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Pernapasan : 22 x/menit

Suhu : 36,6°C

Saturasi : 98%

Status Internus

Rambut : Hitam, tidak mudah rontok

Kulit : Turgor kulit baik, warana putih

Kepala : Inspeksi: hematom (-), VL (-)

Palpasi: fraktur depress (-)

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : Tidak ada perdarahan, tidak ditemukan kelainan

Hidung : Tidak ada perdarahan, Tidak ditemukan kelainan

Tenggorokan : Tidak hiperemis

Gigi dan mulut : Tidak ditemukan kelainan

Leher : Tidak ditemukan kelainan

Dinding dada : Tidak ditemukan kelainan

Paru :

 Inspeksi : Simetris, kiri = kanan, jejas (-)

 Palpasi : Fremitus kiri = kanan

 Perkusi : Sonor

7
 Auskultasi : VBS kiri = kanan, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung :

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari LMCS sinistra RIC V

 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

 Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, murmur (-), Gallop (-)

Regio Abdomen :

 Inspeksi : Distensi (-), DC (-), DS (-) Jejas (-)

 Palpasi : Muscle rigid (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas(-)

 Perkusi : Timpani

 Auskultasi : Bising usus (+) N

Status Lokalis (Cruris Sinistra)

Look :

 Deformitas (-)

 Angulasi (-)

 Swelling (+)

 Vulnus Ekskoriasi (+)

Feel :

 Nyeri tekan (+), Krepitasi (-),NVD (sensorik dan motorik baik, CRT< 2”,

pulsasi a.dorsalis pedis (+), a. poplitea (+))Sensibilitas baik

Movement :

 Pergerakan terbatas pada kaki yang sakit.

8
 Pergerakan jari- jari kaki (+)

3.4 Diagnosis Kerja

Closed fracture a/r 1/3 proximal os tibia sinistra

3.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (14/03/2019)

Hb : 13,9 gr%

Leukosit : 20.800/mm3

Trombosit : 348.000/mm3

Hematokrit : 41%

GDS : 109 mg/dl

BT : 1 menit 45 detik

CT : 6 menit 00 detik

Pemeriksaan Radiologi

• Pemeriksaan radiologi Thorax + Genu sinistra

Kesan: tidak tampak cardiomegaly

Tidak tampak kelainan pulmo

9
Kesan: tampak fraktur pada 1/3 proximal os tibia kiri

Osteoartrosis os patella kiri

Pemeriksaan EKG

Diagnosis Akhir

Closed fracture a/r tibial plateau sinistra

3.6 Tatalaksana

- Wound Toilet

- Injeksi ketorolac iv

- Konsul spesialis ortopedi

10
Jawaban konsul:

• Tramadol drip 2x1 dalam RL 500 cc

• Ceftriaxon 2x1 gr iv

• Gentamycin 3x1 amp iv

• Ketorolac 2x1 amp iv

• Ranitidin 2x1 amp iv

• Ativan 1x0,5 mg

• Persiapan op: konsul IPD, konsul Anestesi

• Lab: Hb, Ht, L, Tr, BT, CT, Ur/Cr, GDS

• Rencana operasi besok jam 15.00

Rencana terapi

- ORIF Tibial plateau

11
Prognosis

- Quo ad vitam : ad bonam

- Quo ad functionam : dubia ad bonam

- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Tibia

Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari

tungkai bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis. Tibia

adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung. Tibia memiliki

ujung atas yang melebar dan ujung bawah yang lebih kecil serta sebuah

corpus (Frassica, 2007).

Tibia terdiri dari : ujung proksimal disebut sebagai plateau (terbagi

menjadi medial yang berbentuk konkaf dan lateral yang berbentuk

konvex), tubercle, eminence (medial dan lateral), batang/shaft, dan ujung

distal disebut sebagai pilon (sendi dan medial maleolus). Tibial plateau

merupakan penopang massa tubuh bagian proksimal dari tibia dan

melakukan artikulasi dengan condylus femoralis untuk membentuk sendi

lutut (Frassica, 2007).

13
Gambar III.1: Tibia Plateau

Tibial Plateau merupakan ujung proksimal tibia termasuk metafisis,

daerah epifisis sebagai permukaan artikular. OA/OTA mendefinisikan

tibial plateau termasuk di dalamnya metafisis dengan jarak yang sama

terhadap lebar tibia pada permukaan sendi. Pada bagian proximal dibagi

menjadi lateral plateau dan medial plateau (Browner, 2015) .

Plateu tibia normal mempunyai bagian lembah sebesar 10 derajat. Dua

plateu dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh ligamen interkondilar,

dimana tidak mempunyai artikulasi dan merupakan perlekatan dari

ligamentum cruciatum tibia.Terdapat tiga penonjolan tulang sepanjang 2

hingga 3 cm di bagian distal dari tibia plateu. Di bagian anterior, tuberkel

tibia yang merupakan insersi dari ligamen patela. Di medial, terdapat pes

anserinus yang merupakan dari ligamen medial. Di bagian lateral, terdapat

tuberkulum Gerdy yang merupakan insersi dari iliotibial (Browner, 2015).

14
Permukaan sendi medial dan kondilus medial lebih kuat dibandingkan

bagian lateralnya. Sebagai hasilnya, fraktur di bagian lateral plateu lebih

sering terjadi. Fraktur medial plateu berhubungan dengan trauma karena

energi yang tinggi dan sebagian besar berhubungan dengan kerusakan

jaringan lunak seperti rusaknya ligamentum kolateral yang komplek. Lesi

pada nervus peroneal dan kerusakan pada pembuluh popliteal (Browner,

2015).

Sebuah os longum, mempunyai corpus, ujung proximal dan ujung

distal, berada di sisi medial dan anterior dari crus. Pada posisi berdiri, tibia

meneruskan gaya berat badan menuju ke pedis. Ujung proximal lebar,

mengadakan persendian dengan os femur membentuk articulatio genu,

membentuk condylus medialis dan condylus lateralis tibiae, facies

proximalis membentuk facies articularis superior, bentuk besar, oval,

permukaan licin. (Luhulima, 2002).

Facies articularis ini dibagi menjadi dua bagian, dari anterior ke

posterior, oleh fossa intercondyloidea anterior, eminentia intercondyloidea

dan fossa intercondyloidea posterior. Fossa intercondyloidea anterior

mempunyai bentuk yang lebih besar daripada fossa intercondyloidea

posterior. Tepi eminentia intercondyloidea membentuk tuberculum

intercondylare mediale dan tuberculum intercondylare laterale. Eminentia

epicondylaris bervariasi dalam bentuk dan sering juga absen (Luhulima,

2002).

15
Facies articularis dari condylus medialis berbentuk oval, sedangkan

facies articularis condylus lateralis hampir bundar. Condylus lateralis lebih

menonjol daripada condylus medialis. Pada facies inferior dari permukaan

dorsalnya terdapat facies articularis, berbentuk lingkaran, dinamakan

facies articularis fibularis, mengadakan persendian dengan capitulum

fibulae. Di sebelah inferior dari condylus tibiae terdapat tonjolan ke arah

anterior, disebut tuberositas tibiae. Di bagian distalnya melekat

ligamentum patellae (Luhulima, 2002).

Corpus tibiae mempunyai tiga buah permukaan, yaitu (1) facies

medialis, (2) facies lateralis dan (3) facies posterior. Mempunyai tiga buah

tepi, yaitu (1) margo anterior, (2) margo medialis dan (3) margo

interosseus. Facies medialis datar, agak konveks, ditutupi langsung kulit

dan dapat dipalpasi secara keseluruhan. Facies lateralis konkaf, ditempati

oleh banyak otot. Bagian distalnya menjadi konveks, berputar ke arah

ventral, melanjutkan diri menjadi bagian ventral ujung distal tibia. Facies

posterior berada di antara margo medialis dan margo interosseus. Pada

sepertiga bagian proximal terdapat linea poplitea, suatu garis yang oblique

dari facies articularis menuju ke margo medialis(Luhulima, 2002).

Margo anterior disebut crista anterior, sangat menonjol, di bagian

proximal mulai dari tepi lateral tuberositas tibiae, dan di bagian distal

menjadi tepi anterior dari malleolus medialis. Margo medialis, mulai dari

bagian dorsal condylus medialis sampai ke bagian posterior malleolus

medialis. Margo interosseus mempunyai bentuk yang lebih tegas daripada

16
margo medialis, tempat melekat membrana interossea. Di bagian proximal

mulai pada condylus lateralis sampai di apex incisura fibularis tibiae

membentuk bifurcatio(Luhulima, 2002).

Gambar III.2: Facies Tibia Dilihat dari Depan dan Belakang

Ujung distal tibia membentuk malleolus medialis. Malleolus medialis

mempunyai facies superior, anterior, posterior, medial, lateral dan

inferior. Pada facies posterior terdapat sulcus malleolaris, dilalui oleh

tendo m.tibialis posterior dan m.flexor digitorum longus. Pada permukaan

lateral terdapat incisura fibularis yang membentuk persendian dengan

ujung distal fibula. Facies articularis inferior pada ujung distal tibia

membentuk persendian dengan facies anterior corpus tali (Luhulima,

2002).

17
3.2.Definisi Fraktur

Fraktur merupakan suatu patahan pada struktur jaringan tulang atau

tulang rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung

ataupun tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2005)

Fraktur tibial plateau adalah fraktur yang melibatkan lesi sendi lutut

sehingga berisiko terhadap integritas fungsional lutut. Fraktur ini

dihasilkan dari adanya gaya tekan axial atau dikombinasikan dengan

tekanan varus atau vagus sendi lutut (Mauricio, 2009)

3.3.Epidemiologi

Predisposisi fraktur tibia plateu sebesar 1% dari keseluruhan fraktur

dan 8% dari keseluruhan fraktur yang biasa terjadi pada usia tua. Trauma

yang terbatas pada bagian lateral plateu mencapai 55% hingga 70% dari

fraktur tibia plateu, dibandingkan dengan fraktur yang terjadi di medial

hanya sebesar 10% hingga 25%, sedangkan 10% hingga 30% fraktur tibia

adalaha bikondilar. 1% hingga 3% dari fraktur ini merupakan fraktur

terbuka (Rasjad, 2003).

3.4.Mekanisme Trauma

Fraktur tibial plateau biasanya terjadi sebagai akibat dari kecelakaan

pejalan kaki yang rendah energy mengenai bumper mobil. Sebagian besar

kejadian fraktur tibial plateau ini juga dilaporkan terjadi akibat dari

kecelakaan sepeda motor dengan kecepatan tinggi dan jatuh dari

ketinggian. Fraktur tibial plateau terjadi akibat kompresi langsung secara

axial, biasanya dengan posisi valgus (paling sering) atau varus (jarang)

18
atau trauma tidak langsung yang besar. Aspek anterior dari kondilus

femoralis berbentuk baji, dengan terjadinya hiperekstensi dari lutut maka

kekuatan ditimbulkan oleh gerakan kondilus ke tibial plateau. Arah, besar,

dan lokasi dari kekuatan yang ditimbulkan, serta posisi lutut pada saat

trauma akan menyebabkan perbedaan dari pola fraktur, lokasi, dan tingkat

pergeseran. Factor lain seperti usia dan kualitas tulang juga berpengaruh

pada konfigurasi fraktur. Pasien yang lebih tua dengan tulang yang

osteopeni akan lebih cenderung menjadi tipe fraktur depresi karena tulang

subkondral nya lebih kaku untuk mengikuti beban (Chapman, 2001).


Gambar III.3: Mechanism of Injury Fracture Tibia Plateau

Sumber : http://www.physio-pedia.com/

19
Usia muda dengan tulang yang kaku memiliki angka kejadian lebih

tinggi untuk terjadinya robekan ligament sedangkan usia tua dengan

kekuatan tulang yang menurun memiliki angka kejadian lebih rendah

untuk robekan ligament (Koval, 2006).

3.5.Faktor Resiko

Faktor resiko untuk terjadinya fraktur tibial plateau adalah (Frassica,

2007):

 Pasien-pasien memiliki resiko untuk cedera ini adalah trauma dengan

kecepatan tinggi (usia muda, laki-laki, alcohol dan pecandu obat).

 Usia lebih tua dengan kualitas tulang yang jelek memiki resiko

fraktur.

3.6.Derajat Fraktur

Jika kerusakan yang terjadi tertutup, maka digunakan klasifikasi

Tscherne dan Gotzen. Jika fraktur terbuka maka digunakan klasifikasi

Gustilo-Anderson. Fraktur tibial plateau dapat diklasifikasikan dengan

Schatzker yaitu berdasarkan lokasi dan konfigurasi fraktur (Kingsley,

2008).

Klasifikasi fraktur tertutup (Tscheme and Gotzen) yaitu :

Grade 0 : Kerusakan jaringan lunak minimal

Grade 1 : Abrasi superficial/ kontusio

Grade 2 : Dalam, abrasi dengan kontusio kulit ataupun otot. Tanda-

tanda impending kompartemen sindrom

20
Grade 3 : Kontusio kulit yang luar, avulse subkutan, dan kerusakan

otot

Klasifikasi fraktur terbuka(Gustilo-Anderson) yaitu:

Grade 1 : Luka kecil kurang dan 1 cm, terdapat sedikit kerusakan

jaringan, tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada

jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat

simpel, tranversal, oblik pendek atau komunitif.

Grade 2 : Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat

kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat

kerusakan yang sedang dan jaringan

Grade 3 : Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak

termasuk otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan

kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe:

a) grade IIIA: Jaringan lunak cukup menutup tulang yang

patah

b) grade IIIB : Disertai kerusakan dan kehilangan jaringan

lunak, soft tissue cover (-)

c) grade IIIC : Disertai cedera arteri yang memerlukan

repair segera

3.7.Klasifikasi Fraktur Tibia Plateau

Klasifikasi fraktur tibial plateau (Schatzker classification)(Zeltser, 2012) :

Tipe I : Fraktur biasa pada kondilus tibia lateral. Pada pasien yang

lebih muda yang tidak menderita osteoporosis berat,

21
mungkin terdapat retakan vertikan dengan pemisahan

fragmen tunggal. Fraktur ini mungkin sebenarnya tidak

bergeser, atau jelas sekali tertekan dan miring, kalau

retakannya lebar, fragmen yang lepas atau meniscus lateral

dapat terjebak dalam celah.

Tipe II : Peremukan kominutif pada kondilus lateral dengan depresi

pada fragmen. Tipe fraktur ini paling sering ditemukan dan

biasanya terjadi pada orang tua dengan osteoporosis.

Tipe III : Peremukan komunitif dengan fragmen luar yang utuh.

Fraktur ini mirip dengan tipe 2, tetapi segmen tulang

sebelah luar memberikan selembar permukaan sendi yang

utuh.

Tipe IV : Fraktur pada kondilus tibia medial. Ini kadang-kadang akibat

cedera berat, dengan perobekan ligament kolateral lateral

Tipe V : Fraktur pada kedua kondilus dengan batang tibia yang

melesak diantara keduanya

Tipe VI : Kombinasi fraktur kondilus dan subkondilus, biasanya akibat

daya aksial yang hebat.

22
Gambar III.4: Klasifikasi Schtzker

3.8.Gejala Klinis

Tanda yang menunjukan adanya fraktur tibia plateu tidak jauh berbeda

dengan tanda fraktur secara umum yaitu adanya nyeri, odema, deformitas

dan gangguan fungsi, namun pada fraktur tibia plateu ini mempunyai ciri-

ciri yang khas adanya pembegkakan pada lutut dan sedikit deformitas,

memar biasanya luas dan jaringan terasa adonan karena hemathrosis. Pada

pemeriksaan secara hati-hati (dibawah anesthesia) dapat menunjukan

ketidakstabilan kearah medial maupun lateral. Kaki dan ujung kaki harus

diperiksa dengan cermat untuk mencari ada tidaknya tanda tanda cidera

pembuluh darah dan neurulogi, dan tanda sindroma kompartemen, yaitu:

pain, paralisis, pallor, parestesia, dan pulseness (Browner, 2015).

23
3.9.Diagnosis

3.9.1 Anamnesis

Anamnesis merupakan langkah pertama yang dilakukan

untuk mengevaluasi pasien dengan fraktur. Pada anamnesis

didapatkan adanya keluhan nyeri, bengkak, ataupun deformitas.

Keluhan lain yang dipaparkan oleh pasien adalah tidak mampu

untuk menggerakkan lutut secara seluruhan ataupun sebagian.

Anmnesis penting untuk mengetahui apakah pasien mengalami

trauma dengan energy besar atau tidak. Kecelakan motor, jatuh

dari ketinggian lebih dari 10 kaki, dan ditabrak dengan

kendaraan sementara berjalan merupakan contoh mekanisme

trauma dengan energi tinggi. Anamnesis lainnya yang pertu

ditanyakan adalah factor-faktor komorbid dari pasien yang akan

berpengaruh pada terapi ataupun prognosis. Pasien dengan

penyakit penyerta seperti penyakit arteri koroner, emfisema,

perokok, ataupun diabetes tidak terkontrol memiliki resiko besar

untuk timbulnya komplikasi dari cedera yang terjadi (Dirchsl,

2007).

3.9.2 Pemeriksaan Fisik (Rasjad, 2003)

a. Look (Inspeksi)

 Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau

anterior), diskrepensi (rotasi, perpendekan atau

perpanjangan).

24
 Bengkak atau kebiruan.

 Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak)

b. Feel (Palpasi)

- Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.

- Krepitasi.

- Nyeri sumbu.

c. Move (Gerakan)

- Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.

- Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi

tidak pada sendinya.

3.9.3 Pemeriksan trauma di tempat lain seperti kepala, thorak,

abdomen, tractus urinarius dan pelvis.

3.9.4 Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskular bagian

distal fraktur yang berupa pulsus arteri, warna kulit, temperatur

kulit, pengembalian darah ke kapiler (Capillary refil test),

sensasi motorik dan sensorik. Pada fraktur tibial plateau, perlu

dilakukan pemeriksaan terhadap arteri popliteal yaitu diantara

proksimal dari adductor hiatus dan distal dari soleus serta

pemeriksaan nervus peroneal.

3.9.5 Pada fraktur tibial plateau, hemarthrosis sering terjadi yaitu

berupa edem, nyeri pada lutut dimana pasien tidak dapat

memikul berat tubuh.

25
3.10. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan standar untuk trauma pada lutut adalah foto Xray

dengan posisi anteroposterior (AP), lateral, dan dua oblik. Foto X-ray

digunakan untuk mengidentifikasi garis fraktur dan pergeseran yang

terjadi tetapi tingkat kominusi atau depresi plateau mungkin tidak terlihat

jelas (Browner, 2015).

Gambar III.5. Oblique View X-Ray. A. Internally rotated oblique radiograph B.

Externally rotated oblique radiograph

CT-scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya pergeseran dari

fraktur tibial plateau. CT-scan potongan sagital meningkatkan akurasi

diagnosis dari fraktur tibial plateau dan diindikasikan pada kasus dengan

depresi artikular. Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk

mengevaluasi trauma ataupun sebagai alternative dari CT-scan atau

arthroscopy. MRI dapat mengevaluasi tulang serta komponen jaringan

lunak dari lokasi trauma. Namun, tidak ada indikasi yang jelas untuk

penggunaan MRI pada fraktur tibial plateau (Chapman, 2001).

26
3.11. Terapi

Terapi pada fraktur tibial plateau dibagi menjadi non-operative dan

operative.

Non-operative

Fraktur yang non-displaced dan stabil baik untuk diterapi non-

operative. Pemakaian hinged cast-brace untuk melindungi pergerakan

lutut dan beban tubuh merupakan salah satu metode pilihan. Latihan

isometric untuk quadriceps, pasif, aktif,dan pergerakan aktif dari lutut

sebagai stabilitas dapat dilakukan. Dibolehkan untuk memikul beban

tubuh secara partial selama 8-12 minggu, dan progressif hingga memikul

beban tubuh secara keseluruhan. Terapi dengan long leg cast juga dapat

digunakan (Browner, 2015).

Fraktur yang tidak bergeser atau sedikit bergeser biasanya

menimbulkan hemathrosis. Hemathrosis diaspirasi dan pembalut

kompresi dipasang. Tungkai diistirahatkan pada mesin gerakan pasif

kontinyu dan gerakan lutut dimulai. Segera setelah nyeri dan

pembengkakan akut telah mereda, gips penyangga berengsel dipasang

dan pasien diperbolehkan menahan beban sebagian dengan kruk

penopang (Browner, 2015).

Operative

Indikasi operasi pada fraktur tibial plateau adalah (Browner, 2015):

• Indikasi Absolut:

27
1. Fraktur Tibial Plateu dengan komplikasi sindroma

kompartemen

2. Fraktur disertai cedera vaskular

3. Fraktur terbuka

• Indikasi relatif

1. Displaced bicondylar fracture

2. Displaced medial condylar fracture

3. Lateral plateau fracture that result in joint instability

4. Plateau fracture in the context of multiply injured

patient

Terapi pembedahan berdasarkan tipe fraktur nya (Schatzker

classification) yaitu (Solomon, 2010):

Schatzker tipe 1. Fraktur yang bergeser. Fragmen kondilus yang

besar harus benar-benar direduksi dan difiksasi pada posisinya. Ini

terbaik dilakukan dengan operasi terbuka.

Schatzker tipe 2. Fraktur komunitif. Pada dasarnya ini adalah

fraktur kompresi, mirip dengan fraktur kompresi vertebra. Kalau

depresi ringan (kurang dari 5 mm) dan lutut stabil atau jika pasien

telah tua dan lemah serta mengalami osteoporosis, fraktur diterapi

secara tertutup dengan tujuan memperoleh kembali mobilitas dan

fungsi bukannya restitusi anatomis. Setelah aspirasi dan pembalutan

28
kompresi, traksi rangka dipasang lewat pen berulir melalui tibia, 7 cm

di bawah fraktur. Kondilus mulai dibentuk, lutut kemudian difleksikan

dan diekstensikan beberapa kali untuk membentuk tibia bagian atas

pada kondilus femur yang berlawanan. Kaki diletakkan pada bantal

dan dengan 5 kg traksi, latihan aktif harus dilakuakn tiap hari. Selain

itu, lutut dapat diterapi sejak permulaan dengan mesin CPM, untuk

semakin meningkatkan rentang gerakan ; seminggu setelah terapi ini

penggunaan mesin itu dihentikan dan latihan aktif dimulai. Segera

setelah fraktur menyatu (biasanya setelah 3-4 minggu), pen traksi

dilepas, gips penyangga berengsel dipasang dan pasien diperbolehkan

bangun dengan kruk penopang. Pembebanan penuh ditunda selama 6

minggu lagi. Pada pasien muda dengan fraktur tipe 2, terapi ini

mungkin dianggap terlalu konservatif dan reduksi terbuka dengan

peninggian plateau dan fiksasi internal sering menjadi pilihan. Pasca

operasi lutut diterapi dengan mesin CPM ; setelah beberapa hari,

latihan aktif dimulai dan setelah 2 minggu pasien dibiarkan dengan

gips penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu.

Pasca operasi lutut diterapi dengan mesin CPM setelah beberapa hari.

Schatzker tipe 3. Kominusi dengan fragmen lateral yang utuh.

Prinsip terapinya mirip dengan prinsip yang berlaku untuk fraktur tipe

2. Tetapi, fragmen lateral dengan kartilago artikular yang utuh

merupakan permukaan yang berpotensi mendapat pembebanan, maka

reduksi yang sempurna lebih penting. Cara ini kadang-kadang dapat

29
dilakukan secara tertutup dengan traksi yang kuat dan kompresi lateral,

jika ini berhasil, fraktur diterapi dengan traksi atau CPM. Kalau

reduksi tertutup gagal, reduksi terbuka dan fiksasi dapat dicoba. Pasca

operasi, latihan dimulai secepat mungkin dan 2 minggu kemudian

pasien dibiarkan bangun dalam gips-penyangga yang dipertahankan

hingga fraktur telah menyatu.

Pasien dengan fraktur terbuka pada tibial plateau dengan kominusi

yang ekstensif. Eksternal fiksasi dipasang selama 10 hari sampai

jaringan lunak memungkinkan untuk dilakukan definitif fiksasi.

Schatzker tipe 4. Fraktur pada kondilus medial. Fraktur yang

sedikit bergeser dapat diterapi dalam gips penyangga. Kalau fragmen

nyata sekali bergeser atau miring, reduksi terbuka dan fiksasi

diindikasikan. Kalau ligament lateral juga robek, ini harus diperbaiki

sekaligus.

Schatzker tipe 5 dan 6. Merupakan cedera berat yang menambah

resiko sindrom kompartemen. Fraktur bikondilus sering dapat

direduksi dengan traksi dan pasien kemudian diterapi seperti pada

cedera tipe 2. Fraktur yang lebih kompleks dengan kominusi berat

juga lebih baik ditangani secara tertutup, meskipun traksi dan latihan

mungkin harus dilanjutkan selama 4-6 minggu hingga fraktur cukup

menyatu untuk memungkinkan penggunaan gips penyangga. Jika

terdapat beberapa fragmen yang bergeser, fiksasi internal dapat

dilakukan.

30
Gambar III.6. Raft-screw. (a-c) ukuran kortikal screw sebesar 3,5 mm

dimasukkan dibawah subkondral dan dari raft diatas fragmen plateau.

Pada kasus tipe 2,5, atau 6, diperlukan juga buttress plat

Reduksi Terbuka dan Fiksasi (Solomon, 2010)

Fraktur plateau sulit direduksi dan difiksasi. Terapi operasi hanya

dilakukan kalau tersedia seluruh jenis implant. Melalui insisi

parapatela longitudinal, kapsul sendi dibuka. Tujuannya untuk

mempertahankan meniskusi sambil sepenuhnya membuka plateau

yang mengalami fraktur. Ini terbaik dilakuakan dengan memasuki

sendi melalui insisi kapsul melintang di bawah meniscus. Fragmen

besar tunggal dapat direposisi dan dipertahankan dengan sekrup

kanselosa dan ring tanpa banyak kesulitan. Fraktur kompresi yang

31
komunitif harus ditinggikan dengan mendorong massa yang

terpotong-potong ke atas ; permukaan osteoartikular kemudian

disokong dengan membungkus daerah subkondral dengan cangkokan

kanselosa (diperoleh dari kondilus femur atau Krista iliaka) dan

dipertahankan di tempatnya dengan memasang plat penunjang yang

sesuai dengan kontur dan sekrup pada sisi tulang itu. Kecuali kalau

terobek, meniscus harus dipertahankan dan dijahit lagi di tempatnya

ketika kapsul diperbaiki.

Fraktur kompleks pada tibia proksimal sulit difiksasi dan banyak

ahli bedah lebih suka memberi terapi dengan traksi dan mobilisasi.

Kalau dipilih terapi operasi, pemaparan luka secara memadai sangat

diperlukan. Schatzker menganjurkan membelah ligament patella dan

membalik patella ke atas. Pasca operasi, tungkai ditinggikan dan

dibebat hingga pembengkakan mereda, gerakan dimulai secepat

mungkin dan dianjurkan melakukan latihan aktif. Pada akhir minggu

keempat pasien biasanya diperbolehkan dalam gips penyangga,

menahan beban sebagian dengan penopang ; penahanan beban penuh

dilanjutkan bila penyembuhan telah lengkap.

32
Gambar III.7. Fraktur tibial plateau- fiksasi. (a) sekrup tunggal

mungkin sudah mencukupi untuk retakan sederhana, meskipun (b)

plat penopang dan sekrup lebih aman. (c) depresi yang lebih dari 1 cm

dapat diterapi dengan peninggian dari bawah dan (d) disokong dengan

pencangkokan tulang. (e) fraktur kompleks dapat diterapi dengan

operasi.

3.12. Prognosis

Prognosis pada fraktur tibial plateau adalah (Frassica, 2004):

1. Fraktur tibial plateau dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

2. Insidensi arthritis post trauma dihubungkan dengan usia pasien,

lokasi dari pergeseran, dan reduksi.

3. Fraktur karena energi tinggi yang diterapi dengan fiksasi

eksternal hanya memiliki insidensi sebesar 5% mengenai

masalah luka.

33
3.13. Komplikasi

Komplikasi pada fraktur tibial plateau dapat dibagi menjadi dua

yaitu dini dan lanjut (Manidakis, 2010).

1. Komplikasi dini

 Sindroma kompartemen. Pada fraktur bikondilus tertutup terdapat

banyak perdarahan dan resiko munculnya sindrom kompartemen.

Kaki dan ujung kaki harus diperiksa secara terpisah untuk mencari

tanda-tanda iskemia.

 Kerusakan dari nervus peroneal. Hal ini umum terjadi pada trauma

di aspek lateral dimana nervus peroneal berjalan dari proksimal ke

bagian atas dari fibula dan lateral dari tibial plateau

 Laserasi arteri popliteal

2. Komplikasi lanjut

 Kekakuan sendi. Pada fraktur komunitif berat dan setelah operasi

yang kompleks, terdapat banyak resiko timbulnya kekakuan lutut.

Resiko ini dicegah dengan (1) menghindari imobilisasi gips yang

lama dan (2) mendorong dilakukannya gerakan secepat mungkin.

 Deformitas. Deformitas varus atau valgus yang tersisa amat sering

ditemukan baik karena reduksi fraktur tak sempurna ataupun

karena meskipun telah direduksi dengan memadai, fraktur

mengalami pergeseran ulang selama terapi. Untungnya, deformitas

yang moderat dapat member fungsi yang baik, meskipun

pembebanan berlebihan pada satu kompartemen secara terus

34
menerus dapat menyebabkan predisposisi untuk osteoarthritis di

kemudian hari.

 Osteoartritis. Bertentangan dengan kepercayaan umum,

osteoarthritis bukanlah akibat jangka panjang yang lazim dari terapi

konservatif. Lansinger, dkk (1986) dalam tindak lanjut pada

serangkaian kasus besar yang dipantau selama 20 tahun,

melaporkan hasil yang sangat baik atau baik apda 90% pasien bila

tidak ada ketidakstabilan ligamentum atau depresi nyata. Sekalipun

penampilan sinar-X menunjukkan osteoarthritis, lutut mungkin

tidak terasa nyeri. Tetapi, jika timbul osteoarthritis yang nyeri dan

kondilus lateral terdepresi, operasi rekonstruktif dapat

dipertimbangkan.

 Malunion atau non-union. Hal in sering terjadi pada Schatzker VI

dimana terjadi fraktur diantara metafisis-diafisis, kominusi, fiksasi

tidak stabil, kegagalan implant, atau infeksi.

35
BAB IV
KESIMPULAN

1. Fraktur merupakan suatu patahan pada struktur jaringan tulang atau tulang

rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik trauma langsung ataupun

tidak langsung.

2. Fraktur tibial plateau terjadi akibat kompresi langsung secara axial,


biasanya dengan posisi valgus (paling sering) atau varus (jarang) atau
trauma tidak langsung yang besar.
3. Usia lebih tua dengan kualitas tulang yang jelek memiki resiko fraktur.

4. Fraktur tibial plateau dapat diklasifikasikan dengan Schatzker yaitu


berdasarkan lokasi dan konfigurasi fraktur
5. Anamnesis mengenai mekanisme trauma, pemeriksaan fisik di regio yang
dicurigai terdapat fraktur, serta pemeriksaan radiologis diperlukan untuk
menegakkan diagnosis fraktur.
6. Terapi pada fraktur tibial plateau dibagi menjadi non-operative dan
operative..
7. Prognosis pada fraktur tibial pateau dapat meningkatkan insidensi arthritis

post trauma dihubungkan dengan usia pasien, lokasi dari pergeseran, dan

reduksi.

8. Komplikasi pada fraktur tibia plateau dapat terjadi secara dini, yaitu:

sindroma kompartemen, kerusakan dari nervus peroneal, dan laserasi arteri

popliteal. Sedangkan, komplikasi lanjut yang dapat terjadi, yaitu;

kekakuan sendi, deformitas, osteoarthritis, dan malunion atau non-union..

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley AG, Solomon Louis. 2006. Apley’s System of Orthopaedics and


fracture 7thEdition. Jakarta: Widya Medika.
2. Solomon L, Warwick D, and Nayagam S. 2010. Appley’s System of
Orthopedics and Fracture 9th edition. London: Butterworths Medical
Publications.
3. Browner BD, Jupiter JB, Krettek C, and Anderson PA. 2015. Skeletal
Trauma. Saunders: Philadelphia.
4. Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Bintang:
Makasar
5. Chapman, Michael W. 2001 Chapman’s Orthopaedic Surgery 3rd edition.
Lippincolt William & Wilkins: Philadelphia.
6. Court-Brown CM, Rimmer S, Prakash U, McQueen MM. 1998. Injury.
The Epidemiology of Open Long Bone Fractures. 29 (7), p 529-534
7. Dirchsl D, dkk. 2007.American Journal of Orthopaedic. Staged
Management of Tibial Plateau. 36 (4), p 12-17
8. Frassica, Frank dkk. 2007. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition.
New York: Lippuncolt William & Wilkins.
9. Kingsley Chin, dkk. 2008. Orthopaedic Key Review Concept, 1st edition.
Philadelphia: Lippincolt William & Wilkins.
10. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. 2006. Philadelphia:
Lippincolt William & Wilkins.
11. Luhulima JW. 2002. Musculoskeletal. Makassar: Bagian Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin..
12. Manidakis N, Dosani A, Dimitriou R, etc. 2010. International
Orthophaedics. Tibial plateau fractures: functional outcome and incidence
of osteoarthritis in 125 cases. 34(4): 565–570
13. Mauricio KJ, Fogagnolo F, and Paccola AJ. 2009. Brazillian Society of
Orthopedics and Traumatology. Tibial Plateau Fractures. 44(6): 468–474.

37
14. Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
15. Zerltser DW and Leopold SS. 2012. Clinical Orthopaedics and Related
Research. Classifications in Brief: Schatzker Classification of Tibial
Plateau Fractures. 471(2): 371–374.

38

Anda mungkin juga menyukai