Anda di halaman 1dari 25

Dinamika Perubahan Hukum Islam

(M.Sayuti, S.Ag, MH)

A. Pendahuluan.
Islam sebagai agama rahmat yang memiliki karaktristik dinamis, tentu
tidak mengabaikan kehidupan masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada
dan menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada
umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber
dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “Hukum merupakan refleksi dari
solidaritas yang ada dalam masyarakat”. Senada dengan Marx Weber dan
Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial,
dalam hubungannya dengan perubahan hukum. Menurutnya, perubahan hukum itu
akan dipengaruhi oleh tiga faktor; pertama, adanya komulasi progresif dari
penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik
antar kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social
movement).1
Menurut teori- teori di atas, jelaslah bahwa hukum lebih merupakan
akibat dari pada faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial. Pengaruh-
pengaruh tersebut dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem
pemikiran, termasuk di dalamnya pembaharuan hukum Islam. Pada dasarnya
pembaharuan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan
temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian
hukum Islam itu sendiri. Dan juga tanpa adanya upaya pembaharuan hukum,
Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukumnya.
Untuk mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan adaptabilitas
yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan
menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat islam. Pada posisi
ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal
cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wa
makan. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum
1
Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif
Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), h. 45.

1
normatif-tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di
bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab
Bidayat al-Mujtahid menyatakan bahwa “Persoalan-persoalan kehidupan
masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al-Qur’an dan
al-Hadis), jumlahnya terbatas, oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas
jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas”.2
Semangat atau pesan moral yang bisa kita pahami dari pernyataan Ibnu
Rusyd di atas adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus
hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya dalam nash.
Dengan demikian, Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir
ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai
kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.
Mengingat hukum Islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang penting,
maka perlu ditegaskan aspek mana yang mengalami perubahan (wilayah
ijtihadiyah). Menurut hasil seminar yang diselenggarakan oleh IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada awal Desember 1994 disebutkan; “Agama dalam
pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak berubah, tetapi pemikiran manusia
tentang ajarannya, terutama dalam hubungannya dengan penerapan di dalam dan
di tengah-tengah masyarakat, mungkin berubah”. Berdasarkan hal tersebut di atas,
maka perubahan dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual, tetapi secara
kontekstual.3
Lahirnya ahl al-ra’y dan ahl al-Hadis, menunjukkan bahwa prinsip-prinsip
dasar hukum Islam dan ide dasar para Imam mujtahid yang memahami dan
menjabarkan prinsip-prinsip dasar tersebut mempunyai kearifan lokal yang sangat
tinggi. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menjawab bagaimana konsep
kearifan atau perhatian hukum Islam dalam memahami dan memperhatikan
tradisi, kondisi suatu masyarakat serta aspek-aspek lainnya, terhadap perubahan
hukum.

2
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia : Daar al-Kutub
al-Arabiyyah, tt), h. 2.
3
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 58
B. Tradisi Masyarakat
Nilai-nilai hukum Islam tidak terlepas dari prinsip penerapan yang
dianutnya, serta tujuan hukum Islam itu sendiri. Dari prinsip-prinsip yang dianut
dapat dilihat bahwa hukum Islam dalam prosesnya sangat memperhatikan adat
(‘urf) setempat. Adat atau ‘urf merupakan kebiasaan dalam masyarakat dan
menjadi salah satu kebutuhan sosial yang sulit untuk ditinggalkan dan berat untuk
dilepaskan. Peluang adat (‘urf) untuk bisa dijadikan pertimbangan dalam
menetapkan hukum secara implisit di isyaratkan oleh beberapa ayat hukum dalam
al-Qur’an, antara lain, Surat Al-Baqarah : 233)
         
         
           
           
         
         
        
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi
makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan.
Selanjutnya dalam surat yang sama ayat 241 :
       
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut'ah4 menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-
4
Mut'ah (pemberian) ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada isteri yang
orang yang bertakwa.
Dalam ayat tersebut tidak dijelaskan mengenai macam, jenis atau bentuk,
dan batasan banyak sedikitnya nafkah yang harus diberikan oleh orang tua kepada
anaknya dan oleh suami kepada istrinya yang diceraikan. Hal ini karena Islam
memahami bahwa tingkat kehidupan, kemampuan, dan adat (‘urf) masyarakat
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Syari’at Islam memberikan kesempatan
untuk menetapkan ketentuan hukumnya sesuai adat (‘urf) setempat. Oleh karena
itu, ketentuan hukum mengenai kewajiban memberi nafkah bagi suami atau orang
tua yang ada dalam berbagai kitab fiqh (dari berbagai macam madzhab) berbeda-
beda karena antara lain disebabkan perbedaan tradisi di mana ulama tersebut
berada. Berkaitan dengan itu, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan: “Adat
kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”.5 Sedangkan dalam
Qaidah yang lain disebutkan bahwa : “Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar
(‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash”6. Dengan kaidah tersebut,
hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat)
yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan
prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana
contoh ayat di atas) dapat dijabarkan dengan melihat kondisi lokal masing-masing
daerah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang untuk menetapkan
ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan
hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar
pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu
keharusan.7 akan tetapi, tidak semua adat (‘urf) manusia dapat dijadikan dasar
hukum. Yang dapat dijadikan dasar hukum adalah adat (‘urf) yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan hukum Islam itu

diceraikannya sebagai penghibur, selain nafkah sesuai dengan kemampuannya.


5
Ahmad bin Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Cet. Viii (Beirut : al-
Qalam, 1988), h. 219. lihat juga Zainal Abidin bin Ibrahim bin Nujaim (Ibnu Nujaim), al-Asybah
wa al-Naqza’ir (Beirut : Dar al Kutb al-Alamiah, 1985), h. 93. lihat juga Al-Suyuthi, dalam al-
Asybahnya, h. 63.
6
Ahmad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah. h. 241.
7
Syaihabuddin Ahmad ibd Idris al-Qarrafi, al-Furuq fi Anwa’il Buruq (Beirut : ‘Alam al-
Kutb. t.t.), h. 49.
sendiri. Itulah sebabnya para ulama mengklasifikasikan adat (‘urf) ini menjadi dua
macam, Pertama, al-‘urf al-shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-
tengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam
yang ada dalam nash (al-Qur’an dan al-Sunnah), Kedua al-‘urf al-fasid, yaitu
kebiasaan yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat, tetapi kebiasaan
tersebut bertentangan dengan nash atau ajaran-ajaran syari’ah secara umum.8 Adat
(‘urf) yang dapat dijadikan hukum adalah al’urf al-shahih. Oleh karena itu, selama
kebiasaan masyarakat tidak bertentangan dengan asas syari’at Islam, maka
kebiasaan tersebut dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi penetapan hukum.
Dengan demikian, sifat akomodatif hukum Islam terhadap tradisi masyarakat
dapat terealisir tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
Masyarakat adalah suatu komunitas dengan ragam kepentingan dan
perubahan yang selalu menghiasi kehidupannnya. Perubahan sesuatu tentu
berdasarkan kebutuhan masyarakat, dan hukum merupakan kebutuhan mutlak
yang harus dimiliki oleh masyarakat, sehingga masyarakat akan tersusun dengan
rapi dalam pengelolaan dan penertibannya. Masyarakat sebagai objek sekaligus
sebagai subjek akan mengalami pergeseran baik budaya maupun nilai-nilai yang
mereka miliki dalam aktifitas kehidupannya. Perubahan tersebut tentu harus
diiringi dengan perubahan aturan-aturannya. Oleh karena itu para ahli lmu sosial
menggambarkan perubahan masyarakat yang akan berkembang dimasa sekarang
maupun masa yang akan datang adalah ditandai dengan beberapa trend dominan
dan objektif antara lain :
Pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya
revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat teknologis ditandai dengan
adanya pembakuan kerja dan perubahan nilai, yaitu makin dominannya
pertimbangan efisiensi dan produktifitas. Faktor efisiensi dan produktifitas
merupakan aspek paling dominan dalam pergerakan masyarakat teknologi.
Hubungan kerja dan kekerabatan akan bergeser ke arah efisiensi dan produktifitas
tersebut. Budaya ini bergerak cepat atau lambat sangat bergantung pada tingkat
kesadaran masyarakat atas urgensi dan manfaat dari budaya modern ini.

8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II. Cet. I (Jakarta : Logos, 1990), h. 368
Kedua, kecenderungan prilaku masyarakat yang semakin fungsional.
Masyarakat seperti ini, ditandai dengan pola hubungan sosial hanya dilihat dari
sudut kegunaan dan kepentingan, sehingga keberadaan seseorang sangat
ditentukan oleh seberapa jauh ia bermanfaat buat orang lain.
Ketiga, masyarakat padat informasi. Masyarakat seperti ini pasti
keberadaan seseorang sangat ditentukan oleh seberapa besar ia menguasai
informasi. Proses penguasaan informasi sangat ditentukan oleh sistem nilai yang
dibangun secara objektif dan terbuka di tengah masyarakat. Masayarakat yang
padat informasi, akan semakin bergerak ke depan apabila dia diatur secara baik
oleh sebuah sistem yang terbuka dan dijalankan secara efektif oleh
masyarakatnya. Seiring dengan perubahan tersebut, maka pilihan terhadap budaya
cenderung bergeser pada “budaya tertutup’ ke “budaya terbuka” karenanya
budaya yang tidak menghargai pluralitas sosial sembari bersikap otoriter, absolut
dan tiranik adalah budaya ekslusif. Sedangkan budaya yang gemar menghargai
pluralitas sosial, seraya bersikap demokratis, kosmopolit dan egaliter adalah
budaya inklusif.9
Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan
tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum
Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus
dijalankan oleh Nabi Muhammad. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan
dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan
beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat. 10 Persentuhan antara
prinsip-prinsip universal hukum Islam dengan tuntutan pranata sosial dan realita
masyarakat di berbagai wilayah dalam sejarah perkembangan hukum Islam
melahirkan antara lain fiqh Hijaz (fiqh yang terbentuk atas dasar tradisi atau
sosiokultural di Hijaz) dan fiqh Irak (fiqh yang terbentuk atas dasar tradisi atau
sosiokultural masyarakat Irak). Dalam perkembangan selanjutnya, fenomena
tersebut memunculkan istilah dalam wacana pemikiran hukum Islam.

9
Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, (Jakarta :
Penamadani, 2004). h. 85
10
S. Waqar Ahmad Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Terje : Taqiyuddin
dkk, Cet. I, (Bandung : Pustaka, 1983), h. 73 – 74.
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah Ibn
Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi
Allah juga baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami dan
dijadikannya sebagai dasar, bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam
menetapkan hukum Islam (fiqh). Konsep ini menunjukkan bahwa Islam sebagai
agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus
diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat
tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa
ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi
masyarakat pra Islam.

C. Kondisi Masyarakat
Memperhatikan keadaan suatu masyarakat merupakan hal yang mendasar
dalam syari’at Islam. Oleh karena itu, syari’at Islam dalam menetapkan hukum-
hukumnya selalu disertai penjelasan tentang ‘illat (‘illah), yaitu alasan yang
melatarbelakangi suatu ketetapan hukum, sekalipun tidak semua ketentuan hukum
dijelaskan ‘illat-nya. Hal ini dimaksudkan agar dalam setiap ketetapan hukum
berpijak dari alasan-alasan yang logis. Berkaitan dengan masalah ‘illat ini,
sebagian pakar dalam Islam mengatakan bahwa “Jika Al-Qur’an bertentangan
dengan kemashlahatan, maka yang di utamakan adalah kemashlahatan”
Sebagaimana kaidah yang berkembang bahwa Islam itu relevan dengan
perkembangan masa dan tempat (Al-Islamu Shalihatun Likulli Zaman Wa Makan),
ungkapan ini menjadi paradigma dasar bagi penataan hukum Islam, sekaligus
menjadi keyakinan dikalangan umat islam sepanjang masa. Sehingga Umar Ibnu
khathab dalam beberapa persoalan pernah memberi argumen sebagai berikut : jika
dahulu di masa Nabi Muhammad, kita semua yang ikut berperang memperoleh
bagian sebagaimana diatur secara tekstual di dalam Al-qur’an adalah sepenuhnya
benar, sebab waktu itu kita berperang dengan membawa modal dari diri kita
sendiri. Mulai dari bekal, pakaian, dan peralatan perang, semuanya kita bawa dari
rumah, maka masuk akal kalau para prajurit memperoleh bagian yang pantas dari
harta ghanimah sebagai imbalan atas jerih payahnya membantu negara. Justru
tidak adil jika hal itu bukan menjadi pilihan Rasulullah. Tetapi sekarang, kata
Umar, seluruh keperluan peperangan, termasuk pakaian yang dipakai oleh prajurit
telah disediakan oleh Negara, bahkan setiap bulan para prajurit digaji oleh negara
secara rutin yang justru diambilkan dari Baitul Mal, jika demikian kondisinya
apakah masih layak para pejuang itu meminta bagian dari harta ghanimah?
Takkala argumen umar ini dibalik oleh kawan-kawannya sesama sahabat
senior Madinah dengan menggunakan “logika teks”, dimana dikatakan bahwa
lafazh ayat itu adalah qath’iy, sehingga tidak mungkin ditafsirkan dalam
perspektif lain dan juga mengatakan bahwa umar telah keluar dari al-qur’an,
namun saat menangkis serangan tersebut umar Ibnu Al-Khatab mengatakan bahwa
“Saya memang keluar dari Al-Qur’an tetapi untuk kembali kepada Al-qur’an”.
Dalam argumen Umar yang lain, ketika terjadi kasus pencurian di musim
paceklik, Umar Ibn Al-Khaththab dengan tegas memutuskan untuk menunda
hukuman “potong tangan” lantas berhamburan protes dan kritik atas keputusan
tersebut. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Umar telah melakukan kesalahan
besar dan fatal dengan tidak memenuhi teks al-qur’an yang memerintahkan untuk
memotong tangan bagi siapa pun yang melakukan tindakan pencurian
sebagaimana tersebut dalam al-qur’an surat al-maidah ayat 38 yang bunyinya
sebagai berikut :
     
        
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam hal ini umar dengan kekayaan logikanya berargumen secara filsafat
hukum, ia mengatakan “Tidak ada gunanya berbicara tentang kebenaran kalau
kebenaran itu sendiri tidak bisa dilaksanakan”11. Begitu juga terhadap hak
muallaf yang dihentikannya, dengan alasan bahwa Islam pada saat itu sudah kuat
11
Umar Shihab Konstekstualitas Al-Qur’an (Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum
Dalam Al-Qur’an (Jakarta : Penamadani, 2005) dalam catatan editornya
Senada dengan hal tersebut, argumen yang sama juga dikemukakan oleh
Nurcholish Madjid bahwa syarat-syarat terlaksananya sebuah kebenaran adalah
tingkat relevansinya dengan kenyataan sosial yang didatanginya, tanpa itu jangan
berharap sebuah kebenaran bisa terwujud12.
Syekh Abdul Fatah mengatakan bahwa semua tindakan kontroversial
khalifah Umar Ibn Al-Khathab, yang sepintas melanggar ketentuan nash, namun
yang sebenarnya tidak, karena Umar memandang bahwa hukum Islam itu
mengandung alasan-alasan tertantu (‘illah, rasio logis) yang harus diperhatikan.
Suatu ketentuan hukum dapat dipahami secara utuh dan sempurna adalah terkait
dengan kemampuan menggali dan menganalisis ‘illat.13
“Ketetapan suatu hukum itu didasarkan atas ada atau tidak adanya
‘illat”14 “Pada dasarnya suatu ketetapan hukum dapat dihapus (berubah) dengan
hilangnya ‘illat”. “Apabila suatu hukum ditetapkan berdasarkan ‘illat, maka
hukum tersebut juga dapat diganti (diubah) dengan hilangnya ‘illat tersebut”15.
Kaidah-kaidah tersebut memberikan prinsip dasar bahwa dalam
menerapkan atau menetapkan kebijakan hukum tidak boleh hanya berpegang
kepada makna lahiriah atau bunyi lafadh dari suatu teks nash. Akan tetapi, harus
dengan sungguh-sungguh menggunakan pemikiran dan penalaran intelektual,
yaitu dengan menggali dan mencermati ‘illat yang terkandung dalam suatu
ketentuan hukum sehingga benar-benar rasional dan relevan. Oleh karena itu,
suatu ketentuan hukum yang berbeda dan perubahan-perubahan hukum yang
terjadi dari waktu ke waktu, tidak selalu dianggap sebagai tindakan yang
menyimpang dari syari’at, akan tetapi, sebaliknya hal itu harus dipandang sebagai
dinamika dan nilai kontekstualitas hukum Islam itu sendiri.
Penetapan hukum yang didasarkan atas analisis ‘illat sebagaimana
dilakukan oleh khalifah Umar Bin Khattab, yang terformulasikan dalam 3 (tiga)
kaidah di atas merupakan tahapan yang penting dalam pengembangan analisis

12
Ibid h. 6
13
Syekh Abdul Fatah, Tarikh al-Tasyri al-Islam (Kairo : Dar al-Ittihad al’Arabi, 1990), h..
175.
14
Ali Ahmad Al-Nadawi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Cet. I (Damaskus : Dar al-Qalam,
1986), h. 227.
15
Ibid, h. 338
sosiologi hukum. Perbedaan di seputar aspek normatif hukum Islam dan aspek
sosiologis (masyarakat) akan selalu dijumpai dalam realitas keseharian. Di saat
terjadi tarik menarik antara pendekatan normatif dan sosiologis, khalifah Umar
menjatuhkan pilihannya pada faktor sosiologis dengan pertimbangan rasionalistik
kemaslahatan untuk memaknakan hukum Islam dalam realita kehidupan tanpa
meninggalkan semangat yang dipesankan dalam teks-teks al-Qur’an dan al-
Sunnah. Oleh karenanya, sangatlah penting untuk dipahami bahwa suatu sistem
kepercayaan (agama) dalam suatu komunitas sosial jangan sampai ajaran-
ajarannya, termasuk dalam bidang hukum, terjadi kehampaan nilai.
Masyarakat yang padat informasi, pasti masayarakat yang terbuka
menerima berbagai jenis dan sumber informasi. Masyarakat seperti ini akan
berprinsip seperti diteorikan hukum islam bahwa ambillah kebenaran itu tanpa
peduli darimana kebenaran itu datang (‫)ﺨﺬ ﺍﻠﺤﮑﻤﺔ ﻮﻠﻮ ﻴﺪﺮﻙ ﻤﻦ ﺍﻴﻦ ﻮﻋﻴﻦ ﺨﺮﺠﺔ‬.16
Tujuan fundamental kehadiran agama adalah untuk menciptakan keadilan sosial
dengan menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan, karenanya barangsiapa
menghendaki pencapaian suatu tujuan, hendaklah bersedia melakukan cara-cara
terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Dan mengurusi masalah-masalah manusia
merupakan salah satu syarat diantara syarat-syarat terpenting dari kehadiran
sebuah agama. Bahkan tanpa mengurusi masalah-masalah manusia, agama tidak
akan bertahan, karena tugas agama adalah memberikan proteksi moralnya untuk
tegaknya suatu masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis.
Mencari kehendak Allah melalui hukum yang berwajah manusia adalah
tugas utama kaum intelektual islam. Dan lagi semua pemikiran manusia,
betapapun geniusnya, tetap akan selalu dikritisi oleh ruang dan waktu. Ruang dan
waktu merupakan sebuah parameter di dalam proses pemberdayaan hukum islam
dan kita harus memahami secara terus menerus agar kita mampu menangkap
kemauan zaman, setimbang dengan posisi ruang manusia, sebab tidak ada
konsensus (ijma’) masyarakat islam bahwa setiap pemikir dapat menyatakan diri
mereka bebas dari kesalahan atau bebas dari keterbatasan ruang dan waktu. Dan
diakui sepenuhnya bahwa setiap kajian hukum amat dipengaruhi oleh pengalaman
16
Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial (Jakarta :
Penamadani, 2004) h. 201
keilmuan seseorang, serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakatnya. Sejalan
dengan argumen Abu Hanifah bahwa “Pendapat kita memang benar, tetapi ia juga
masih memiliki kemungkinan untuk salah. Pendapat orang lain memang salah,
tetapi ia juga masih memiliki kemungkinan untuk benar”.17 Gagasan ini sejalan
dengan qaidah ushul bahwa ( ‫ﻭﺍﺍﻌﻭﻋﺩﻩ ﻭﺍﻵﺤﻭﺍﻝ ﺘﻐﻴﺭ ﺍﻻﺤﮑﻡ ﺒﺘﻐﻴﺭ ﺍﻻﺯﻤﺎﻥ ﻭﺍﻷﻤﮑﻨﺔ‬
)“Perubahan suatu hukum bergantung pada perubahan zaman, tempat, keadaan,
dan tradisi”. Ini artinya penyempurnaan konsep hukum, selalu melibatkan dimensi
ruang dan waktu yang memagari masyarakat.
Pergumulan dan perbenturan dengan nilai-nilai sosial selalu terjadi dan
dapat mempengaruhi intensitas pengamalan keagamaan. Dalam keadaan yang
demikian, tentunya Islam harus arif terhadap kondisi suatu masyarakat agar
kehadirannya dapat bermakna dan diterima. Mempertimbangkan faktor sosiologis
sangat penting bila melihat hukum Islam dengan segala dinamikanya, antara lain
bukanlah semata-mata sebagai lembaga hukum yang menekankan aspek spiritual,
tetapi juga merupakan sistem sosial yang utuh bagi masyarakat yang didatanginya.
Oleh karena itu, hukum Islam harus tetap eksis dalam masyarakat sesuai dengan
kondisi sosial, budaya, dan ekonomi dalam waktu dan ruang tertentu. Dari sudut
pandang inilah nilai prinsip ‘illat (penalaran ta’lili) sangat penting untuk dijadikan
dasar dalam menetapkan hukum Islam sesuai dengan kondisi masyarakat tertentu.
Ketidakterlepasan perhatian hukum Islam terhadap kondisi sosial masyarakat,
sebenarnya telah tampak sejak awal proses pembentukan hukum Islam itu sendiri.
Adanya asbab al-nuzul dari suatu ayat hukum dan asbab al-wurud dari suatu
Hadis hukum merupakan contoh kongkrit bahwa ketetapan hukum dalam Islam
merupakan refleksi sosial masyarakat yang mengelilinginya. Dalam
perkembangan hukum Islam selanjutnya, para imam mujtahid atau para imam
madzhab dalam menetapkan suatu hukum selalu memperhatikan kondisi sosial
masyarakat. Perbedaan ketetapan hukum yang dikeluarkan oleh imam Syafi’i
yang memunculkan qaul qadim (pada waktu berada di Bagdad, Irak) dan qaul
jadid (pada waktu ia berada di Kairo, Mesir) adalah contoh konkret bahwa
ketentuan hukum yang dihasilkan melalui ijtihad, faktor kondisi lingkungan

17
Said Agil Husin Al-Munawwar, “Hukum Islam & Pluralitas Sosial” Op.Cit. Hlm 4
masyarakat sangat mempengaruhi terhadap keputusan-keputusan hukum.
Berbicara islam dan perubahan sosial adalah dua hal yang tidak
terpisahkan, karena islam itu sendiri berfungsi untuk menaungi masyarakat dari
nilai-nilai negatif menuju nilai-nilai yang positif. Dan membicarakan ajaran islam
dalam konteks perubahan sosial, pada hakikatnya kita diajak berbicara tentang
berbagai bidang kajian yang sangat luas, baik secara hukum, budaya, ekonomi,
politik, teknologi-informasi dan sebagainya. Jika prinsip utama islam diletakkan
sebagai bagian dari kerangka makro yakni institusi sosial sebagai proses
kebudayaan, maka pertama-tama yang perlu disadari adalah institusi sosial tidak
mungkin mengisolasikan diri dari perkembangan dan transformasi sosial, kultural
maupun struktural, karena itu cara pandang terhadap noktah-noktah ajaran islam
pun dituntut secara terus-menerus melakukan penyesuaian dengan perkembangan
masyarakat. Lebih dari itu institusi islam juga harus selalu memainkan peran
strategis, terarah dan sejalan dengan karakteristik islam selaku ajaran universal.
Berdasarkan fakta perkembangan tersebut, Ahmad Mustafa al-Maraghi
menyatakan bahwa suatu kebijakan hukum dapat saja berubah sesuai dengan
kondisi sosial masyarakat, apabila suatu ketentuan hukum dirasakan sudah tidak
maslahat dikarenakan terjadi perubahan kondisi sosial, maka dapat diganti dengan
ketetapan baru yang lebih sesuai dengan kemaslahatan dan kondisi sosial yang
ada.18 Hal yang sama juga dikatakan oleh Muhammad Rasyid Ridha, bahwa suatu
ketetapan hukum dapat berubah-ubah karena perubahan tempat, waktu, kondisi,
dan situasi sosial masyarakat. Jika suatu ketentuan hukum itu tidak dibutuhkan
lagi, dapat digantikan dengan ketentuan hukum baru yang sesuai dengan waktu
dan situasi terakhir.19
Perubahan kondisi sosial adalah suatu perubahan di sekitar institusi
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya.
Masyarakat muslim adalah sekelompok masyarakat yang hidup dalam sistem
dengan memegang al-Qur’an sebagai sumber ajarannya yang diyakini benar dan
18
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr), hal. 187
19
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, Juz I (Bairut: Dar al-Fikr), hal. 414.
Bandingkan dengan Rafiq al-A’jam, Ushul Islamiyah Manhajuha wa Ab’aduha, Cet. I (Beirut: Dar
al-Ilmi, 1983), Hlm. 47.
kekal. Oleh karena kekekalannya itulah, al-Qur’an justru harus dipahami sesuai
perkembangan dan perubahan manusia di berbagai bidang; sosial, budaya, sains,
dan teknologi. Dengan berpegang pada prinsip yang demikian, hukum Islam tidak
hanya sebagai aturan normatif, tetapi juga operatif sehingga hukum Islam benar-
benar dirasakan sebagai rahmat, bukan sebagai ancaman. Dengan demikian,
kaidah di atas sangat berperan dalam mewujudkan konsep perubahan sosial yang
selalu terkait dengan perubahan hukum. Perbedaan pendapat tentang wali mujbir
di kalangan ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah adalah contoh bahwa suatu
ketetapan hukum (yang dihasilkan melalui ijtihad) tidak lepas dari kondisi sosial
masyarakat. Lingkungan masyarakat Hanafiah wanita-wanitanya sudah terbiasa
ikut serta dalam pergaulan kemasyarakatan dalam berbagai bidang sehingga ia
dianggap mengetahui terhadap laki-laki yang cocok bagi dirinya. Sebaliknya,
lingkungan masyarakat Syafi’iyah kaum wanitanya tidak terbiasa keluar rumah
sehingga dalam menentukan calon suami, orangtua (wali) lebih mengetahui laki-
laki yang baik dan maslahat bagi anaknya.

D. Tempat Dan Waktu


Keharusan untuk memperhatikan tempat dan waktu dalam menetapkan
hukum karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut: “Suatu ketetapan
hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu dan tempat”.20
Perubahan tersebut terlihat dalam nash bahwa seseorang ketika
berpergian dapat melakukan shalat qashar dan berbuka pada bulan ramadhan,
begitu juga dengan makan daging babi yang di telah qath’i sifatnya, namun ketika
seseorang berada dalam tempat dan waktu yang dharurat, maka hal tersebut
dibolehkan. Perubahan waktu sangat menentukan terjadinya perubahan hukum
seperti ketika Rasulullah, melegalkan nikah mut’ah, dimana pada waktu itu
hukum tentang perkawinan telah ada dalam Al-Qur’an, namun di waktu
peperangan dilaksanakan, para shahabat tidak membawa isteri mereka, lalu
mereka mendatangi Rasulullah dan menceritakan mengenai hal biologis yang

20
Abdullah bin Abdul Muhsin, Ushul Al-Madzahib Al-Imam Ahmad, Hal. 164. 4
Shared.Com.id
mereka alami yang telah membuat mereka susah hingga ada yang ingin mengibiri
kemaluannya demi menghindari dosa, lalu berdasarkan hal tersebut, Rasulullah
memberi solusi untuk mereka dengan menghalalkan nikah mut’ah (nikah
kontrak). Ini suatu perubahan yang luar biasa, karena telah melanggar hukum
yang telah jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan menghalalkan sesuatu yang
Allah telah melarangnya demi kepentingan dan kemaslahatan para pasukan pada
waktu itu, dan ini menunjukkan bahwa kemaslahatan lebih utama, sebagaimana
pendapat At-Thufi bahwa Jika Al-Qur’an bertentangan dengan kemashlahatan,
maka yang di utamakan adalah kemashlahatan.
Prinsip ini mengharuskan seseorang mempunyai kemampuan dalam
melihat fenomena sosial yang mungkin berubah dan berbeda karena perubahan
jaman (waktu) dan perbedaan tempat. Hal ini berarti juga menuntut kemampuan
membuat generalisasi atau abstraksi dari ketentuan hukum yang ada menjadi
prinsip umum yang berlaku untuk setiap zaman (waktu) dan tempat. Berlakunya
suatu prinsip untuk segala zaman (waktu) dan tempat berarti keharusan memberi
peluang pada prinsip itu untuk dilaksanakan secara teknis dan konkret menurut
tuntutan ruang dan waktu. Oleh karena ruang dan waktu berubah, tentu
spesifikasinya pun berubah dan ini membawa pada perubahan hukum.21 Dengan
demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban
hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah ushul
bahwa “Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu”.22
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan
perubahan sesuai dengan perubahan waktu. Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa
suatu ketentuan hukum yang di tetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja
mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.23 Oleh
karena itu, ketentuan hukum sangat mungkin berubah karena pertimbangan
lingkungan, yaitu lingkungan tempat (dharf al-makan) dan lingkungan waktu

21
Nurcholish Madjid, “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadis: Implikasinya dalam
Pengembangan Syari’ah”, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 1995), hal. 221.
22
Ali Haidar, Darru al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam (Beirut: Maktabah al-
Nahdhah, TT), hal. 43.
23
Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqi’in, jilid III (Beirut: Dal al-Jil, TT), Hal. 3.
(dahrf al-zaman). Keleluasaan yang diberikan Islam untuk mengembangkan dan
menerapkan berbagai kebijakan hukum dengan segala teknisnya sesuai dengan
konteks yang ada juga terdapat dalam prinsip: “Segala sesuatu (selain ibadah)
pada dasarnya adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya”.24
Dari prinsip tersebut dapat dipahami bahwa umat Islam dalam aktivitas
kultural (selain masalah ibadah) seperti politik, kenegaraan, perekonomian, di beri
kebebasan yang luas untuk melakukan kreativitas dan inovasi untuk mencari yang
paling relevan dengan kondisi yang ada. Berkaitan dengan prinsip ini, patut
diperhatikan ungkapan Ahmad Zaki Yamani, “Banyak orang keliru memahami
syari’ah, yaitu tidak dapat membedakan antara yang murni agama dan yang
merupakan prinsip-prinsip transaksi keduniaan. Meskipun keduanya diambil dari
sumber yang sama (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi prinsip-prinsip yang kedua
didasarkan kepada kepentingan dan manfaat umum dan karenanya dapat berubah-
ubah (sesuai dengan konteksnya) menuju yang terbaik dan ideal”.25
Ungkapan di atas memberikan pengertian tentang perlunya dibedakan
(tetapi tidak terpisahkan karena berasal dari sumber yang sama) antara yang
bersifat agama murni dan yang bersifat keduniaan. Urusan mu’amalah boleh
melakukan kreativitas dengan tetap mempertimbangkan kepentingan umum
(maslahah ‘ammah). Sementara itu, dalam urusan ibadah tidak diperbolehkan ada
“kreativitas”. Sistem ibadah dan tata caranya adalah hak mutlak Tuhan dan para
Rasul. Sebagaimana melakukan kreativitas terhadap ibadah adalah dilarang maka
menghalangi melakukan kreativitas terhadap sesuatu yang dibolehkan (dalam
urusan mu’amalah) juga dilarang.

E. Stratifikasi Sosial

24
Abu Bakar al-Ahdal al-Yamani, Al-Fara’id Al-Bahiyyah (Semarang: al-Munawar, TT),
hal. 6. lihat juga M. Adib Bisri, Risalah Qawa’id Fiqh (Kudus: Menara Kudus, 1977), hal. 11.
25
Ahmad Zaki Yamanni, Islamic Law and Contemporary Issues, (Jeddah: The Saudi
Publishing House, 1388 H), hal. 13-14.
Kata stratifikasi sosial berasal dari bahasa inggris dari kata
“Stratification” asal katanya “Statum” jamaknya adalah “Strata” yang berarti
“lapisan”. Sedangkan dalam bahasa Arab disebut dengan ‫( ﺍﻹﺠﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻁﺒﻘﺔ‬Strata
sosial)26. Dan yang dimaksud dengan stratifikasi sosial atau Sosial Stratification
adalah perbedaan penduduk dalam kelas-kelas atau lapisan-lapisan sosial secara
vertikal.27 Muhammad Abduh mengutip pendapat Pitirim A. Sorokim mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan sistem berlapis-lapis itu merupakan ciri tetap dan
umum dalam setiap masyarakat yang hidup secara teratur dan inilah yang disebut
dengan startifikasi sosial.28
Dasar dan inti dari lapisan-lapisan yang terdapat dalam masyarakat itu
adalah ketidakseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban serta
tanggungjawab terhadap nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota
masayarakat. Masayarakat yang kebudayaannya masih sederhana, lapisan
masyarakat pada mulanya hanya berkisar pada perbedaan antara yang memimpin
dan yang dipimpin, kemudian ketika masyarakat sudah berkembang sedemikian
rupa, maka lapisan-lapisan dalam masyarakat itu memasuki ke sektor lain,
misalnya status seseorang karena ia kaya, mempunyai kepandaian tertentu,
sehingga ia ditokohkan dalam kelompoknya. Akibat dari stratifikasi sosial ini
adalah timbulnya kelas-kelas sosial tertentu dalam masyarakat yang dihargai oleh
masyarakat tersebut, sebaliknya ada juga masyarakat yang tidak menghargai
lapisan-lapisan tersebut karena mereka menganggap sesuatu yang dimiliki oleh
seseorang tidak mempunyai nilai berarti baginya.
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dapat dihargainya,
maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-
lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai itu mungkin juga
keturunan dari keluarga yang terhormat. Bagi masayarakat yang tidak memiliki
sesuatu yang berharga dari hal yang tersebut itu, ada kemungkinan masyarakat

26
A.W. Munawwir Muhammad Fairuz “Kamus Al-Munawwir Indonesia Arab” Pustaka
Progresif, Surabaya Cet I 2007. Hlm. 203
27
Soerjono Soekanto “Pokok-Pokok Sosiologi Hukum” Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999. Hlm. 203
28
Muhammad Abduh “Pengantar Sosiologi” fakultas hukum universitas Sumatera Utara,
1984. Hlm.5
lain memandang sebagai masyarakat yang berkedudukan rendah. Sesuatu yang
berharga atau tidak berharga ini akan membentuk lapisan masyarakat, yaitu
adanya masyarakat lapisan atas, lapisan bawah yang jumlahnya dtentukan oleh
masyarakat itu sendiri. Lapisan dalam masyarakat ini selalu ada yang jumlahnya
banyak sekali dan berbeda-beda, sekalipun dalam masyarakat kapitalis,
demokratis dan sebagainya. Lapisan masyarakat itu ada sejak manusia mengenal
adanya kehidupan bersama dalam organisasi sosial. Semakin kompleks dan
semakin majunya perkembangan teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks
pula sistem lapisan dalam masayarakat.
Terjadinya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat adakalanya terbentuk
dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat, seperti tingkat umur,
kepandaian dan kekayaan. Adapula yang sengaja disusun untuk mengejar suatu
tujuan bersama, hal ini biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan
wewenang secara resmi dalam oraganisasi-organisasi formal seperti
pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata atau perkumpulan.
Dari kelompok-kelompok sosial inilah dapat dimulainya perbuatan yang berasal
dari persamaan dan perbedaan dalam cara pandang terhadap suatu peristiwa,
keadaan, situasi dan lingkungan tempat mereka tinggal yang memengaruhi
kehidupan mereka dan keadaan ini pula yang dapat memengaruhi adanya
perubahan produk hukum.
Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk mengggolongkan anggota
masyarakat kedalam lapisan-lapisan adalah. Pertama, ukuran kekayaan atau
kebendaan, siapa yang memiliki kekayaan atau kebendaan yang paling banyak
mempunyai peluang untuk memasuki ke dalam lapisan yang paling atas, misalnya
dapat di lihat pada bentuk rumah, mobil, gaya hidup yang dimiliki oleh seseorang.
Kedua, ukuran kehormatan, biasanya ukuran ini terlepas dari ukuran kekayaan
atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati akan mendapat tempat
teratas dalam kelompoknya dan ukuran seperti ini dapat ditemukan pada
kelompok masyarakat tradisional. Ketiga, ukuran kekuasaan, barangsiapa yang
memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang yang besar, ia akan menempati
lapisan teratas. Keempat, ukuran ilmu pengetahuan, dalam kriteria ilmu
pengetahuan menjadi ukuran utama untuk menempatkan seseorang pada lapisan
yang tertinggi.29
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa dinamika dalam stratifikasi
sosial ditandai dengan adanya lapisan-lapisan dalam kehidupan masyarakat yang
tidak statis. Setiap kelompok masyarakat pasti mengalami perkembangan dan
perubahan, namun yang membedakannya adalah dalam cara perubahan itu, yaitu
ada yang perubahan itu terjadi dengan sangat lamban dan adapula yang sangat
cepat, ada yang direncanakan dan ada pula yang tidak direncanakan. Pada
umumnya perubahan itu terjadi sebagai akibat pengaruh reformasi dari pola-pola
yang ada dalam kelompok sosial yang sudah mapan.

E. Pengaruh Budaya Luar


Kata budaya dalam bahasa arab disebut ‫ ﺍﻠﺜﻘﺎﻔﺔ‬atau ‫ ﺍﻠﺤﻀﺎﺭﺓ‬atau sering
diungkapkan dalam kalimat seperti ‫( ﺍﻠﺸﺭﻘﻴﺔ ﺍﻠﺜﻘﺎﻔﺔ‬budaya timur) ‫( ﺍﻠﻐﺭﺒﻴﺔ ﺍﻠﺜﻘﺎﻔﺔ‬Budaya
barat) atau ‫( ﺍﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﺍﻠﺜﻘﺎﻔﺔ‬Budaya Islam)30 sedangkan dalam bahasa inggris disebut
“culture” yang berarti kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari kata Sansukerta
yang asal katanya adalah “Buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata
“Buddhi” yang berarti budi atau akal. Secara harfiah kebudayaan diartikan sebagai
hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal atau hasil karya, rasa dan cipta
manusia. Menurut Hasan Shadily, kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil karya
manusia dalam hidup bermasyarakat yang berisi aksi-aksi manusia yang berupa
kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral hukum, adat istiadat dan lain-lain
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.31
Kebudayaan sebagai hasil dari cipta karsa dan rasa manusia mempunyai
tingkatan yang berbeda-beda antara kebudayaan di tingkat tertentu dengan
kebudayaan ditempat lain, ditempat tertentu kemungkinan terdapat kebudayaan
yang lebih sempurna dibandingkan dengan kebudayaan di tempat lain. Hal ini
29
Soerjono Soekanto “Pokok-Pokok Sosiologi Hukum” Op. Cit. Hlm.216
30
A.W. Munawwir Muhammad Fairuz “Kamus Al-Munawwir Indonesia Arab” Op. Cit
Hlm. 153
31
Hasan Shadily “Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia” Rineka Cipta. Jakarta, 1993.
Hlm. 81
tergantung dari bagaimana reaksi kebudayaan setempat dalam menerima
pengaruh-pengaruh dari luar yang dapat mengubah sistem dan pandangan
kebudayaannya. Kebudayaan yang sudah maju sering juga disebut dengan
“peradaban” yang dalam bahasa inggris disebut dengan “civilization” yakni
istilah yang sering dipakai untuk menyebut kebudayaan yang mempunyai sistem
teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraan.
Istilah peradaban juga sering dipergunakan untuk menyebutkan bagian-bagian dan
unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, indah, cantik dan maju seperti kesenian,
ilmu pengetahuan, adat dan sopan santun, kepandaian menulis, susunan
oranginsasi pemerintahan yang baik, sistem kehidupan yang mapan dan
sebagainya.32
Unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat terdiri dari unsur yang besar
dan unsur yang kecil. Unsur-unsur ini merupakan bagian dari kesatuan yang bulat
yang bersifat utuh. Dalam hal ini Koentjaraningrat menyebutkan tujuh macam
unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, yaitu
bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian untuk kehidupan, sistem religi dan kesenian.
Sedangkan Bronislaw Malirowski menyebutkan empat macam unsur-unsur pokok
dari kebudayaan yaitu, pertama : sistem norma-norma yang memungkinkan kerja
sama antara para anggota masyarakat agar menguasai alam sekelilingnya, kedua :
terdapatnya organisasi ekonomi yang baik, ketiga ; mempunyai alat-alat, lembaga-
lembaga dan petugas-petugas untuk penyelenggaraan pendidikan, termasuk juga
lembaga pendidikan yang utama yaitu keluarga, keempat : organisasi kekuatan
dalam masyarakat.33
Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang masing-masing, berbeda
antara satu dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat dan
hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan yang ada di dunia ini.
Adapun sifat dan hakikat yang berlaku umum tersebut antara lain. Pertama,
kebudayaan itu terwujud dan tersalurkan dari prilaku manusia. Kedua,
32
Abdul Manan “Aspek-Aspek Pengubah Hukum” Kencana, Jakarta, 2006. Hlm.83
33
W.Friedman “Legal Theory” Terjemahan Muhammad Arifin dengan Judul “Teori Dan
Filsafat Hukum” Cet.II., PT raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. Hlm.165
kebudayaan itu sudah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi
tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi tertentu. Ketiga,
kebudayaan itu diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
Keempat, kebudayaan itu mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-
kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang
dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.34 Sehubungan dengan hal tersebut,
dapat dipahami bahwa sifat dan hakikat dari kebudayaan itu adalah sikap dan
tingkah laku manusia yang selalu dinamis, bergerak dan beraktifitas untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan hubungan-hubungan
dengan manusia lainnya atau dengan cara terjadinya hubungan antar kelompok
dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa setiap produk hukum
yang dibuat dalam rangka memberi ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan
masyarakat harus melihat dan mengikuti kebudayaan masyarakat dimana hukum
tersebut akan diterapkan. Agar hukum itu harus melihat kepada budaya dan
hukum-hukum yang telah ada dalam masyarakat tersebut. Hukum tidak akan
berlaku secara efektif apabila dipaksakan berlaku pada masyarakat, padahal
hukum tersebut bertentangan dengan budaya yang hidup dalam masyarakat
tersebut.
Dalam kaitannya dengan suatu masyarakat dimana hidup sebagai warga
negara, maka tidak dapat dielakkan bahwa kehidupannya akan tersentuh dengan
kehidupan bangsa lain, baik secara langsung maupun tidak secara tidak langsung.
Dengan demikian budaya suatu masyarakat akan bersentuhan dengan budaya
masyarakat luar wilayah negaranya. Apabila hubungan tersebut berlangsung lama
dan terus menerus, maka bukan suatu hal yang mustahil budaya bangsa luar itu
lambat laun akan diserap dalam budaya masyarakat yang bersangkutan dengan
tanpa dan atau dapat menyebabkan hilangnya kepribadian dari masyarakat itu
sendiri. Adanya kontak budaya suatu masyarakat dengan budaya di luar
masyarakat itu akan menimbulkan beberapa masalah antara lain, unsur-unsur
budaya asing manakah yang mudah diterima dan sulit diterima, individu-individu

34
Abdul Manan “Aspek-Aspek Pengubah Hukum” Op.Cit. Hlm.84
yang dapat menerima unsur-unsur yang baru dan masalah ketegangan-ketegangan
sebagai kontak budaya tersebut.
Pada umumnya masuknya teknologi asing sebagai unsur dari kebudayaan
luar merupakan hal paling dapat diterima oleh masyarakat, sedangkan unsur-unsur
yang menyangkut sistem kepercayaan seperti ideologi, filsafat hidup atau nilai-
nilai luhur merupakan hal yang sangat sulit bisa diterima oleh suatu masyarakat.
Kalau terpaksa harus diterima karena ada tekanan baik secara langsung maupun
tidak langsung, maka cara yang dipergunakan adalah dengan menerima
kebudayaan tersebut dan mengolahnya sedemikian rupa dan mengadaptasikannya
ke dalam produk-produk hukum yang dibuat oleh suatu negara, meskipun ada
ketidakpuasan terhadap produk-produk hukum tersebut. Hal ini dapat dilihat
dalam undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dimana
dalam penyelesaian sengketa perburuhan dapat dilaksanakan dengan cara protes
(demontrasi) sebagai akibat dari hak adanya serikat buruh, yang tidak lain adalah
salah satu prasyarat yang diajukan oleh suatu politik asing kepada indonesia.
Sebelumnya berdasarkan undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
ketenagakerjaan bahwa perselisihan perburuhan dilaksanakan melalui
musyawarah dan mufakat sebagai realisasi dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat diketahui bahwa adanya kontak budaya
suatu kelompok sosial dalam suatu negara, maka akan memengaruhi terjadinya
suatu pembentukan dan perubahan produk hukum di negara tersebut. Agar gerak
dan kontak budaya tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan
dapat menghasilkan integrasi antara unsur-unsur kebudayaan asing dengan
kebudayaan sendiri dari masyarakat penerima, maka masyarakat penerima harus
menyesuaikan pengaruh asing yang datang itu dengan kesadaran hukum dari
masyarakat itu sendiri.

F. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat di pahami bahwa perubahan hukum islam
terhadap kemajuan zaman dan tuntutan masyarakat yang semakin komplek
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena hukum islam sendiri
bertujuan rahmatan lil’alamin dan ia tidak bersifat memaksa sebagaimana terlihat
dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud
disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun
baik”. Ini menunjukkan hukum islam tidak statis tetapi elastis.
Adapun yang melatarbelakangi perubahan hukum islam tersebut dapat di
simpulkan sebagai berikut :
1. Tradisi atau ‘Uruf yaitu suatu kebiasaan dalam masyarakat yang di anggap
baik dan tidak bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat itu sendiri.
Sehingga tradisi atau ‘uruf tersebut dapat di jadikan sebagai ketentuan
hidup masyarakat setempat. Penetapan tradisi atau ‘uruf sebagai ketentuan
hukum merupakan sikap keterbukaan islam terhadap kearifan lokal.
2. Kondisi masyarakat dijadikan sebagai dasar perubahan hukum, karena ia
merupakan barometer, sehingga hukum yang ditetapkan akan sesuai
dengan kondisi dimana hukum tersebut ditetapkan. Penerapan hukum
sesuai dengan kondisi menjadi penting karena hal tersebut sesuai dasar
nash yang menyatakan bahwa Allah tidak membebankan kepada
hambanya, kecuali sesuai dengan kemampua hambanya.
3. Tempat dan waktu merupakan dasar perubahan hukum, karena ia selalu
terjadi pergeseran nilai dan sistem, sehingga hukum pun di tuntut untuk
mengikuti pergeseran nilai dan sistem tersebut, dan suatu ketentuan hukum
yang di tetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami
perubahan karena perubahan waktu dan tempat
4. Stratifikasi sosial merupakan sistem berlapis-lapis dalam masyarakat
adakalanya terbentuk dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan
masyarakat, seperti tingkat umur, kepandaian dan kekayaan. Hal tersebut
akan melahirkan persamaan dan perbedaan dalam cara pandang terhadap
suatu peristiwa, keadaan, situasi dan lingkungan yang memengaruhi
kehidupan mereka dan keadaan ini pula yang dapat memengaruhi adanya
perubahan produk hukum.
5. Budaya luar menjadi aspek perubahan hukum, karena kontak budaya suatu
kelompok sosial dalam suatu negara, akan memengaruhi terjadinya suatu
pembentukan dan perubahan produk hukum di negara tersebut, dan
masyarakat sebagai penerima harus dapat menyesuaikan diri dan
beradaptasi dengan perubahan hukum tersebut, selama perubahan tersebut
tidak melanggar norma-norma yang sifat qath’i.

Daftar Pustaka

Ahmad Bin Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Cet. Viii


(Beirut: al-Qalam, 1988)

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II. Cet. I (Jakarta: Logos, 1990)

Ali Ahmad Al-Nadawi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Cet. I (Damaskus: Dar al-


Qalam, 1986)

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr)


Ahmad Zaki Yamanni, Islamic Law and Contemporary Issues, (Jeddah: The
Saudi Publishing House, 1388 H

Abu Bakar al-Ahdal al-Yamani, Al-Fara’id Al-Bahiyyah (Semarang: al-Munawar,


TT)

A.W. Munawwir Muhammad Fairuz “Kamus Al-Munawwir Indonesia Arab”


Pustaka Progresif, Surabaya Cet I 2007

Abdullah bin Abdul Muhsin, Ushul Al-Madzahib Al-Imam Ahmad, Hal. 164. 4
Shared.Com.id

Abdul Manan “Aspek-Aspek Pengubah Hukum” Kencana, Jakarta, 2006

Ali Haidar, Darru al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam (Beirut: Maktabah al-
Nahdhah)

Abdul Manan “Reformasi hukum Islam Di Indonesia” Jakarta. Kencana, Jakarta,


2006

Fathurrahman Djamil “Filsafat Hukum Islam” Ciputat : Logos Wacana Ilmu


1987

Hasan Shadily “Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia” Rineka Cipta. Jakarta,


1993

Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqi’in, (Beirut: Dal al-Jil, TT)

M. Adib Bisri, Risalah Qawa’id Fiqh (Kudus: Menara Kudus, 1977

Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme


Islam Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi


Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana, Jakarta:
Rineka Cipta, 2000

Muhammad Arifin “Teori Dan Filsafat Hukum” Cet.II., PT raja Grafindo


Persada, Jakarta, 1994

Muhammad Abduh “Pengantar Sosiologi” fakultas hukum universitas Sumatera


Utara, 1984

Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, (Bairut: Dar al-Fikr)


Nurcholish Madjid, “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadis: Implikasinya
dalam Pengembangan Syari’ah”, dalam Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995)

Rafiq al-A’jam, Ushul Islamiyah Manhajuha wa Ab’aduha, Cet. I (Beirut: Dar


al-Ilmi, 1983)

Syaihabuddin Ahmad ibd Idris al-Qarrafi, al-Furuq fi Anwa’il Buruq (Beirut:


‘Alam al-Kutb. TT.)

Syekh Abdul Fatah, Tarikh al-Tasyri al-Islam (Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi,
1990)

S. Waqar Ahmad Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (Terj.) Cet. I,


(Bandung: Pustaka, 1983)

Said Agil Husin Al-Munawwar, “Hukum Islam & Pluralitas Sosial” Penamadani,
Jakarta 2004

Soerjono Soekanto “Pokok-Pokok Sosiologi Hukum” Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 1999

Zainal Abidin Bin Ibrahim Bin Nujaim (Ibnu Nujaim), al-Asybah wa al-Naqza’ir
(Beirut: Dar al Kutb al-Alamiah, 1985

Anda mungkin juga menyukai