Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karuia-Nya, sehingga penulisan makalah ini dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul’’ASUHAN KEPEREWATAN GAGAL GINJAL” Penulis menyadari, bahwa penulisan
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik karena bantuan, bimbingan serta arahan dari dosen
pembimbing Ibu Linda Tampubolon.
Dan penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman memberikan
dukungaan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kelemahan dan
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Medan, 13 Maret 2019

Kelompok 8 B
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang ...........................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................
1.3 Tujun ........................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Defnisi dari gagal ginjal ...........................................................................................
2.2 Etiologi gagal ginjal .................................................................................................
2.3 Patofisiologi gagal ginjal ..........................................................................................
2.4 Klasifikasi gagal ginjal .............................................................................................
2.5 Tanda dan gejala gagal ginjal ...................................................................................
2.6 Pemeriksaan diagnostic dari gagal ginjal .................................................................
2.7 Komplikasi dari gagal ginjal ....................................................................................
2.8 Penatalaksanaan dari gagal ginjal.............................................................................
2.9 Proses Keperatan gagal ginjal ..................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 kesimpulan................................................................................................................
3.2 saran..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Menurut Worl Healt Organization (WHO), secara global lebih dari 500 juta orang
mengalami penyakit gagal ginjal kronik (Ratnawati, 2014).
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)
memperlihatkan yang menderita gagal ginjal baik akut maupun kronik mencapai 50%
sedangkan yang diketahui dan mendapatkan pengobatan hanya 25% dan 12,5% yang terobati
dengan baik (Indrasari, 2015).
Di Amerika Serikat, kejadian dan prevelensi gagal ginjal meningkat di tahun 2014.
Data menunjukan setiap tahun 200.000 orang Amerika menjalani hemodialysis karena
gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam satu juta orang Amerika adalah pasien dialysis
lebih dari 500 juta orang dan yang harus menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah
1,5 juta orang.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi.
Hasil survei yang dilakukan oleh perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) diperkirakan
ada sekitar 12,5 % dari populasi atau sebesar 25 juta penduduk Indonesia mengalami
penurunan fungsi ginjal. Menurut Ismail, Hasanuddin & dan Bahar (2014) jumlah penderita
gagal ginjal di Indonesia sekitar 150 ribu orang dan yang menjalani hemodialysis 10 ribu
orang. Prevelensi gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%
dan Sulawesi Utara menempati urutan ke 4 dari 33 propinsi dengan prevalensi 0,4% pada
tahun 2013 (Riskesdas, 2015).
Berdasarkan Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis berdasar diagnosis
dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5 %,
diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masingmasing 0,4 %. Sementara Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa
Timur masing–masing 0,3 %. Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,2% (Riskesdas, 2013).
2. Rumusan masalah
a. Apa defenisi gagal ginjal?
b. Apa etiologi dari gagal ginjal?
c. Bagaimana patofisiologo gagal ginjal?
d. Apa klasifikasi gagal ginjal?
e. Apa tanda dan genjala gagagl ginjal?
f. Bagaimana pemeriksaan dignostik gagal ginjal?
g. Apa komplikasi gagal ginjal
h. Bagaimana penanganan dan prognosis gagal ginjal?
i. Bagaimana proses keperawatan gagal ginjal?
3. Tujuan
b. Untuk mengetahui defenisi gagal ginjal
c. Untuk mengetahui etiologi gagal ginjal
d. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi gagal ginjal
e. Untuk mengetahui klasifikasi gagal ginjal
f. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari hipertensi
g. Untuk mengetahui komplikasi gagal ginjal
h. Untuk menngetahui penatalaksanaan gagal ginjal
i. Untuk mengetahui bagaimana proses keperawatan gagal ginjal
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Defenisi Gagal Ginjal


Gagal ginjal adalah sebuah penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti
sodium dan kalium di dalam darah atau produksi urine (Colvy, 2010).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan fungsi ginjal yang progesif dan
tidak dapat pulih kembali, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia
berupa retensi ureum dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2014).
Gagal ginjal kronik merupakan suatu masalah kesehatan yang penting, mengingat
selain prevalensi dan angka kejadiannya semakin meningkat juga pengobatan pengganti
ginjal yang harus dialami oleh penderita gagal ginjal merupakan pengobatan yang mahal,
butuh waktu dan kesabaran yang harus ditanggung oleh penderita gagal ginjal dan
keluarganya (Harrison, 2013).
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan salah satu penyakit yang menyerang
organ ginjal dimana keadaan organ ginjal menurun secara progresif, kronik, maupun
metetap dan berlangsung. Kriteria yang terdapat pada penyakit ginjal kronik ini adalah
timbulnya kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dengan kata lain terjadinya kelainan
structural maupun fungsional (Faradilla, 2009).

2.2 Etiologi Gagal Ginjal


Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti glomerolunefritis
akut, gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik, obstruksi saluran kemih, pielonefritis,
nefrotoksin, dan penyakit sistemik, seperti diabetes melitus, hipertensi, lupus
eritematosus, poliartritis, penyakit sel sabit, serta amiloidosis (Bayhakki, 2013).
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber
terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabilila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik
glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari
pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus
memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005)
diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great
imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat
timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya
perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering
ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer,
2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar,
1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
Universitas Sumatera Utara lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal
polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).

2.3 Patofisiologo Gagal Ginjal


Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Ginjal mempunyai kemampuan untuk beradaptasi, pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang di perantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, kemudian terjadi proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-
angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming
growth factor β (TGF-β) Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulo interstitial (Suwira, 2013).
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, gejala klinis yang serius belum
muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal
LGF masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada penderita antara lain penderita merasakan
letih dan tidak bertenaga, susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan penurunan
berat badan, susah tidur, kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki dan pergelangan
kaki pada malam hari, kulit gatal dan kering, sering kencing terutama pada malam hari.
Pada LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Selain itu pasien juga mudah terkena infeksi
seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Sampai
pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal (Suwira, 2013).

2.4 Klasifikasi Gagal Ginjal


Menurut Anonim (2010), perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi
menjadi 3 stadium:
a. Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % – 75 %). Tahap inilah yang
paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum
merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam
masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood
Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi
ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat,
sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang
teliti.
b. Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita
dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL
menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan
cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan
yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya
dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap
ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda,
tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai
meningkat melebihi kadar normal.
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita
dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL
menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan
cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan
yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya
dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap
ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda,
tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai
meningkat melebihi kadar normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama
menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter /
hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % –
25 % . faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah,
tekanan darah akan naik, aktifitas penderita mulai terganggu.
c. Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala sudah jelas
dan penderita masuk dalam keadaan diman tak dapat melakukan tugas sehari hair
sebaimana mestinya. Gejal gejal yang timbul antara lain mual, munta, nafsu makan
berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur,
kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir
timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari
keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan
sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai
merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri
(pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena kegagalan glomerulus meskipun
proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal, Kompleks menyerang tubulus
gijal, kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang dinamakan sindrom
uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk
transplantasi ginjal atau dialisis.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari
tingkat penurunan LFG :
 Stadium 1 : kelainan ginjal ditandai yang ditandai dengan albuminaria persisten
dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
 Stadium 2 : kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
Ml/menit/1,73 m2
 Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/1,73 m2
 Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29ml/menit/1,73m2
 Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73m2 atau gagl ginjal
terminal.
2.5 Tanda dan gejala Gagal Ginjal
Tanda dan gejala gagal ginjal menurut Bararah & Jauhar (2013), sebagai berikiut:
a. Kardiovaskuler : Hipertensi, Pitting edema, Edema periorbital, Pembesaran vena
leher, Friction rub pericardial.
b. Pulmoner : Krekel, Napas dangkal, Kusmaul, Sputum kental dan liat.
c. Gastrointestinal : Anoreksia, mual dan muntah, Pendarahan saluran GI, Ulserasi dan
pendarahan pada mulut, Konstipasi/diare, Napas berbau ammonia.
d. Muskuloskeletal : Kram otot, Kehilangan kekuatan otot. Fraktur tulang, Foot drop
e. Integument : Warna kulit abu-abu mengkilat, Kulit kering (bersisik), Pruritus,
Ekimosis, Kuku tipis dan rapuh, Rambut tipis dan kasar.
f. Reproduksi : Amenore, Atrofi testis.

2.6 Pemeriksaan Dignostik Gagal Ginjal


Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
f. Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan
penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran
klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai
spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat
penurunan faal ginjal.
2) Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit
termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
 Pemeriksaan faal ginjal (LFG) Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat
serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
 Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia
darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
 Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit Progresivitas penurunan faal
ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan
indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).
3) Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:
 Diagnosis etiologi GGK Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto
polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde,
pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
 Diagnosis pemburuk faal ginjal Pemeriksaan radiologi dan radionuklida
(renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

2.7 Komplikasi Gagal Ginjal


a. Efek Cairan dan Elektrolit
Hilangnya jaringan ginjal fungsional merusak kemampuannya untuk mengatur
keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa. Pada tahap awal CKD, kerusakan
filtrasi dan reabsorpsi menyebabkan protinuria, hematuria, dan penurunan
kemampuan memekatakan urin. Garam dan air tidak dapat disimpan dengan baik dan
risiko dehidrasi meningkat. Poliuria, nokturia, dan berat jenis tetap 1, 008 – 1, 012
bisa terjadi. Ketika GFR turun dan fungsi ginjal menurun lebih lanjut, reteni natrium
dan air biasa terjadi, yang membutuhkan batasan air dan garam. Ekskresi fosfat juga
rusak, menyebabkan hipofosfatemia dan hipokalsemia. Penrunan absorbsi kalsium
akibat kerusakan aktifasi vitamin D juga menyebabkan hipokalsemia. Ketika gagal
hginjal terus berlanjut, ekskresi ion hidrogen dan produksi dapat rusak, menyebabkan
asidosis metabolik (Lemon, 2016).
b. Efek Kardiovaskular
Hipertensi sistemik adalah manifestasi umum CKD. Hipertensi terjadi akibat
kelebihan volume cairan, peningkatan aktifitas renin angiotensin, peningkatan
resistensi vaskular dan penurunan prostaglandin. Peningkatan volume cairan
ekstraselular juga dapat menyebabkan edema dan gagal jantung. Edema paru dapat
terjadi akibat gagal jantung dan peningkatan permeabelitas membrane kapiler
alveolus.
Toksin metabolik yang tertahan dapat mengiritasi kantong perikardium,
menyebabkan respon inflamasi dan tanda perikarditis.Tamponade jantung,
kemungkinan komplikasi perikarditis, terjadi bila cairan inflamasi dalam kantong
perikardium mengganggu pengisian ventrikel dan curah jantung. Ketika komplikasi
umum uremia, perikarditis jarang terjadi bila dialisis dilakukan dini. (Lemon, 2016)
c. Efek Hematologi
Anemia bisa muncul pada CKD, disebabkan oleh banyak faktor. Ginjal
memproduksi eritropoetin, hormon yang mengontrol produksi sel darah merah. Pada
gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun. Toksin metabolik yang tertahan lebih
lanjut menekan produksi sel darah merah dan meyebabkan pemendekan masa hidup
sel darah merah. Kekeruagan nutrisi (besi dan folat) dan peningkatan resiko
kehilangan darah dari saluran gastrointestinal juga menyebabkan anemia.
Gagal ginjal merusak fungsi trombosit, meningkatkan resiko gangguan
perdarahan seperti epsitaksis dan perdarahan gastrointestinal. Mekanisme kerusakan
fungsi trombosit terkait dengan gagal ginjal tidak di pahami dengan baik
(Lemon,2016).
d. Efek Sistem imun
Uremia meningkatkan resiko infeksi. Kadar tinggi urea dan sisa metabolik
tertahan merusak semua aspek inflamasi dan fungsi imun. Penurunan SDP, imunitas
lantaran sel dan humoral rusak, serta fungsi fagosit rusak. Baik respon inflamasi akut
maupun respon hipersensitivitas lambat terganggu (Porth& Matfin, 2009). Demam
ditekan, seringkali memperlambat diagnosa infeksi (Lemon, 2016).
e. Efek Gastrointestinal
Anoreksia, mual, muntah adalah gejala awal uremia. Cegukan biasa dialami.
Gastroenteritis sering muncul. Ulserasi juga memengaruhi tiap level saluran GI dan
menyebabkan peningkatan risiko perdarahan GI. Penyakit ulkus peptikum khususnya
umum pada pasien uremik. Fetor uremik, bau napas seperti urine seringkali dikaitkan
dengan rasa logam dalam mulut, dapat terjadi. Fetor uremik semakin dapat
menyebabkan anoreksia. (Lemon, 2016).
f. Efek Neurologis
Uremia menguah fungsi sistem syaraf pusat dan perifer. Manisfestasi’ SSP terjadi
lebih awal dan mencakup perubahan mental, kesulitan berkonsentrasi, keletihan,
insomnia. Gejala psikotik, kejang, dan koma dikaitkan dengan ensefalopati uremik
lanjut.
Neuropati perifer juga umum terjadi pada uremia lanjut. Jbaik jaras sensorik
maupun motorik terkena. Ekstremitas bawah terkena pada awalnya. “restless leg
syndrome” atau rasa merayap atau menjalar, seperti tertusuk, atau gatal pada tungkai
bawah dengan gerakan tungkai sering, meningkat selama istirahat. Parestesia dan
kehilangan sesorik biasanya terjadi pada pola “stocking glove”. Ketika uremia
memburuk, fungsi motorik juga rusak, menyebabkan kelemahan otot, penurunan
rekleks tendon dalam, dan gangguan berjalan. (Lemon, 2016).
g. Efek Muskuloskeletal
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia yang terkait dengan uremia mensimulasi
sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid menyebabkan peningkatan resorbsi
kalsium dari tulang. Selain itu, aktifitas sel osteoblast (pembentuk tulang) dan
osteoklast (penghancur tulang) terkena. Resorbsi dan remodeling tulang ini,
bersamaan dengan penurunan sintesis vitamin D dan penurunan absorbsi kalsium dari
saluran GI, menyebabkan osteodistrofi ginjal, yang disebut juga riketsia ginjal.
Osteodistrofi ditandai dengan osteomalasia, pelunakan tulang, dan osteoporosis,
penurunan masa tulang. Kista pada tulang dapat terjadi. Manifestasi osteodistrofi
mencakup nyeri tekan pada tulang, nyeri, dan kelemahan otot. Pasien beresiko tinggi
mengalami fraktur spontan.
h. Efek Endokrin dan metabolic
Akumulasi produksi sel metabolisme protein adalah faktor utama yang terlibat
pada efek dan manifestasi uremia. Kadar kreatinin serum dan BUN naik secara
signifikan. Kadar asam urat meningkat, menyebabkan peningkatan resiko gout.
Jaringan menjadi resisten terhadap efek insulin pada uremia, menyebabkan
intoleransi glukosa. Kadar trigliserida darah tinggi dan kadar lipoprotein densitas
tinggi (HDL) rendah dibanding normal menyebabkan percepatan proses atersklerosis.
Fungsi reproduksi terganggu. Kehamilan jarang sampai cukup bulan dan ketidak
aturan menstruasi umum terjadi. Penurunan kadar testosteron, hitung sperma rendah,
dan inpotensi mempengaruhin pasien pria yang menderita ESRD. (Lemon, 2016).
i. Efek Dermatologi
Anemia dan metabolik pigmentasi yang tertahan menyebabkan kulit pucat dan
berwarna kekuningan uremia. Kulit kering dnegan turgor buruk, akibat dehidrasi dan
atrofi kelenjar keringat, umum terjadi. Memar dan eksoriasi sering dijumpai. Sisa
metabolik yang tidak dieliminasi oleh ginjal dapat menumpuk dikulit, yang
menyebabkan gatal atau pluritus. Pada uremia lanjut, kadar urea tinggi keringat dapat
menyebabkan bekuan uremic, deposit kristal urea di kulit. (Lemon, 2016: 1065).

2.8 Penanganan dan Prognosis Gagal Ginjal


a. Manajemen terapi
Tujuan dari manajemen adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin.Semua faktor yang berkontribusi terhadap gagal ginjal
kronis dan semua faktor yang reversibel (misal obstruksi) diindentifikasi dan diobati.
Manajemen dicapai terutama dengan obat obatan dan terapi diet, meskipun dialisis
mungkin juga diperlukan untuk menurunkan tingkat produk limbah uremik dalam
darah (Brunner and Suddarth, 2014) a. Terapi farmakologis Komplikasi dapat dicegah
atau ditunda dengan pemberian resep antihipertensi, eritropoitin, suplemen Fe,
suplemen fosfat, dan kalsium (Brunner and Suddarth, 2014).
b. Antasida
Hyperphosphatemia dan hipokalsemia memerlukan antasid yang
merupakan zat senyawa alumunium yang mampu mengikat fosfor pada makanan
di dalam saluran pencernaan.Kekhawatiran jangka panjang tentang potensi
toksisitas alumunium dan asosiasi alumunium tingkat tinggi dengan gejala
neurologis dan osteomalasia telah menyebabkan beberapa dokter untuk
meresepkan kalsium karbonat di tempat dosis tinggi antasid berbasis
alumunium.Obat ini mengikat fosfor dalam saluran usus 16 dan memungkinkan
penggunaan dosis antasida yang lebih kecil.Kalsium karbonat dan fosforbinding,
keduanya harus di berikan dengan makanan yang efektif.Antasid berbasis
magnesium harus dihindari untuk mencegah keracunan magnesium (Brunner and
Suddarth, 2014).
c. Antihipertensi dan kardiovaskuler agen
Hipertensi dapat dikelola dengan mengontrol volume cairan intravaskular
dan berbagai obat antihipertensi.Gagal jantung dan edema paru mungkin juga
memerlukan pengobatan dengan pembatasan cairan, diet rendah natrium, agen
diuretik, agen inotropik seperti digitalis atau dobutamin, dan dialisis.Asidosis
metabolik yang disebabkan dari gagal ginjal kronis biasanya tidak menghasilkan
gejala dan tidak memerlukan pengobatan, namun suplemen natrium bikarbonat
atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika hal itu
menyebabkan gejala (Brunner and Suddarth, 2014).
d. Agen antisezure
Kelainan neurologis dapat terjadi, sehingga pasien harus diamati jika
terdapat kedutan untuk fase awalnya, sakit kepala, delirium, atau aktivitas
kejang.Jika kejang terjadi, onset kejang dicatat bersama dengan jenis, durasi, dan
efek umum pada pasien, dan segera beritahu dosen segera. Diazepam intravena
(valium) atau phenyto (dilantin) biasanya diberikan untuk mengendalikan kejang.
Tempat tidur pasien harus diberikan pengaman agar saat pasien kejang tidak
terjatuh dan mengalami cidera (Brunner and Suddarth, 2014).
e. Eritropoetin
Anemia berhubungan dengan gagal ginjal kronis diobati dengan
eritropoetin manusia rekombinan (epogen).Pasien pucat (hematokrit kurang dari
30%) terdapat gejala nonspesifik seperti malaise, fatigability umum, dan
intoleransi aktivitas.Terapi epogen dimulai sejak hematokrit 33% menjadi 38%,
umumnya meredakan gejala anemia.Epogen diberikan baik intravena atau
subkutan tiga kali seminggu.Diperlukan 2-6 minggu untuk meningkatkan
hematokrit, oleh karena itu epogen tidak diindikasikan untuk pasien yang perlu
koreksi anemia akut.Efek samping terlihat dengan terapi epogen termasuk
hipertensi (khususnya selama awal tahap pengobatan), penigkatan pembekuan
situs askes vaskular, kejang, dan kelebihan Fe (Brunner and Suddarth, 2014).
f. Terapi gizi
Intervensi diet pada pasien gagal ginjal kronis cukup kompleks, asupan
cairan dikurangi untuk mengurangi cairan yang tertimbun dalam tubuh. Asupan
natrium juga perlu diperhatikan untuk menyeimbangkan retensi natrium dalam
darah, natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/ hari (1-2 gr natrium), dan
pembatasan kalium. Pada saat yang sama, asupan kalori dan asupan vitamin harus
adekuat. Protein dibatasi karena urea, asam urat, dan asam organik hasil
pemecahan makanan dan protein menumpuk dalam darah ketika ada gangguan
pembersihan di ginjal. Pembatasan protein adalah dengan diet yang mengandung
0,25 gr protein yang tidak dibatasi kualitasnya per kilogram berat badan per hari.
Tambahan karbohidrat dapat diberikan juga untuk mencegah pecahan protein
tubuh. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan hingga 60-80 gr/ hari (1,0
kg per hari) apabila pendrita mendapatkan pengobatan hemodialisis teratur (Price
dan wilson, 2006). Asupan cairan sekitar 500 sampai 600 ml lebih banyak dari
output urin selama 24 jam. Asupan kalori harus adekuat untuk pencegahan
pengeluaran energi berlebih.Vitamin dan suplemen diperlukan kerena diet protein
yang dibatasi.Pasien dialisis juga kemungkinan kehilangan vitamin yang larut
dalam darah saat melakukan hemodialisa (Brunner and Suddarth, 2014).
g. Terapi dialisis
Hiperkalemi biasanya dicegah dengan memastikan dialisis yang memadai,
mengeluarkan kalium dan pemantauan seksama terhadap semua obat obatan baik
peroral maupun intravena. Pasien harus diet rendah kalium. Kayexalate, resin
kation terkadang diberikan peroral jika diperlukan.Pasien dengan peningkatan
gejala kronis gagal ginjal progresif. Dialisis biasanya dimulai ketika pasien tidak
dapat mempertahankan gaya 18 hidup yang wajar dengan pengobatan konservatif
(Brunner and Suddarth, 2014).
2.9 Proses keperawatan Gagal Ginjal
Focus pengkajian
Pengkajian focus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita gagal ginjal
kronik menurut Doeges (2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) ada berbagai macam,
meliputi:
a. Demografi
Lingkungan yang tercemar, sumber air tinggi kalsium beresiko untuk
gagal ginjal kronik, kebanyakan menyerang umur 20-50 tahun, jenis kelamin
lebih banyak perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
b. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler hipertensif,
gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit
metabolik, nefropati toksik dan neropati obstruktif.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat
menderita penyakit gagal ginjal kronik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Pemeliharaan kesehatan
Personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan tinggi
kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum suplemen, kontrol
tekanan darah dan gula darah tidak teratur pada penderita tekanan darah tinggi
dan diabetes mellitus.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat,
peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi),
nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia),
penggunanan diuretic, demam karena sepsis dan dehidrasi.
3) Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen
kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
5) Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen).
6) Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot,
perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri kaki
(memburuk pada malam hari), perilaku berhatihati/distraksi, gelisah,
penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki gelisah”, rasa kebas pada telapak
kaki, kelemahan khusussnya ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan
status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, menolak,
ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian, kesulitan
menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran.
8) Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi testikuler.

e. Pengkajian Fisik
1) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
2) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : beratbadan menurun, lingkar lengan atas (LILA)
menurun.
4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah, disritmia,
pernapasan kusmaul, tidak teratur.
5) Kepala
 Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur, edema
periorbital.
 Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
 Hidung : pernapasan cuping hidung
 Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,muntah
serta cegukan, peradangan gusi.
6) Leher : pembesaran vena leher.
7) Dada dab toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal dan
kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner, friction
rub pericardial.
8) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
9) Genital : atropi testikuler, amenore.
10) Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam serta tipis,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop, kekuatan
otot.
11) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura),
edema.
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges (2000)
adalah:
1) Urine
 Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada
(anuria).
 Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
 Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat)
 Klirens kreatinin, mungkin menurun
 Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu mereabsobsi
natrium.
 Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus.
2) Darah
 Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb biasanya kurang
dari 7-8 gr
 Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti azotemia.
 GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
 Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan)
 Magnesium fosfat meningkat
 Kalsium menurun
 Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan
atau sintesa karena kurang asam amino esensial.
 Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urin.
3) Pemeriksaan radiologic
 Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan bladder/KUB):
menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih, dan adanya obstruksi
(batu).
 Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa
 Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks
kedalam ureter dan retensi.
 Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas.
 Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk menentukan
seljaringan untuk diagnosis hostologis.
 Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelis ginjal
(keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif).
 Elektrokardiografi (EKG): mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
 Fotokaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan, dapat menunjukkan
demineralisasi, kalsifikasi.
 Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan posisi ginjal,
ukuran dan bentuk ginjal.
 CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal (seperti penyebararn
tumor).
 Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendeteksi struktur ginjal,
luasnya lesi invasif ginjal

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Doeges (2000),
dan Smeltzer dan Bare (2002) adalah :
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diet dan penurunan membrane
mukosa mulut.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi toksik, kalsifikasi
jaringan lunak.
d. Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis seperti
akumulasi toksin (urea, amonia)
e. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam
kulit dan gangguan turgor kulit, gangguan status metabolik.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
g. Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal ginjal
kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi informasi dan
kurangnya informasi.
Intervensi
Fokus Intervensi dan rasional Intervensi keperawatan pada penyakit gagal ginjal
kronik menurut Doenges (2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) adalah:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria hasil:
a) Menunjukkan perubahan-perubahan berat badan yang lambat.
b) Mempertahankan pembatasan diet dan cairan.
c) Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema.
d) Menunjukkan tanda-tanda vital normal.
e) Menunjukkan tidak adanya distensi vena leher
f) Melaporkan adanya kemudahan dalam bernafas atau tidak terjadi nafas pendek.
g) Melakukan hygiene oral dengan sering.
h) Melaporkan penurunan rasa haus.
i) Melaporkan berkurangnya kekeringan pada membrane mukosa mulut.

Intervensi:

a) kaji status cairan


 Timbang berat badan harian
 Keseimbangan masukan dan haluaran
 Turgor kulit dan adanya edema
 Distensi vena leher
 Tekanan darah, denyut dan irama nadi. Rasional: Pengkajian merupakan
dasar berkelanjutan untuk memantau perubahan dan mengevaluasi
intervensi.
b) Batasi masukan cairan Rasional : Pembatasan cairan akan menentukan berat
tubuh ideal, haluaran urine dan respons terhadap terapi.
c) Identifikasi sumber potensial cairan
 Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan, oral dan intravena.
 Makanan
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi
 Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan. Rasional :
Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan.
 Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan
cairan. Rasional : Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap
pembatasan diet.
 Tingkatkan dan dorong hygiene oral dengan sering. Rasional : Hygiene oral
mengurangi kekeringan membran mukosa mulut.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat,
mual, muntah, anoreksia, pembatasan diet dan penurunan membrane mukosa mulut.
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil :
a) Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis tinggi
b) Memilih makanan yang menimbulkan nafsu makan dalam pembatasan diet
c) Mematuhi medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia dan tidak
menimbulkan rasa kenyang.
d) Menjelaskan dengan kata-kata sendiri rasional pembatsan diet dan hubungannya
dengan kadar kreatinin dan urea
e) Mengkonsulkan daftar makanan yang dapat diterima
f) Melaporkan peningkatan nafsu makan
g) Menunjukkan tidak adanya perlambatan atau penurunan berat badan yang cepat
h) Menunjukkan turgor kulit yang normal tanpa edema, kadar albumin plasma dapat
diterima

Intervensi :

a) Kaji status nutrisi


 perubahan berat badan
 pengukuran antropometrik
 nilai laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein, transferin dan
kadar besi).
Rasional : Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi.
b) Kaji pola diet dan nutrisi pasien
 Riwayat diet
 Makanan kesukaan
 Hitung kalori.
Rasional : Pola diet sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan dalam
menyusun menu.
c) Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi:
 Anoreksia, mual dan muntah
 Diet yang tidak menyenangkan bagi pasien
 Depresi
 Kurang memahami diet
Rasional : Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah atau
dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
d) Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet. Rasional :
Mendorong peningkatan masukan diet.
e) Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi: telur, produk
susu, daging.
3. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan
frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia), akumulasi
toksik(urea), kalsifikasi jaringan lunak(deposit Ca+ fosfat).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat dipertahankan
Kriteria Hasil :
a) Tanda-tanda vital dalam batas normal: tekanan darah: 90/60-130/90 mmHg, nadi
60-80 x/menit, kuat, teratur.
b) Akral hangat
c) Capillary refill kurang dari 3 detik
d) Nilai laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L, urea 15-39 mg/dll
Intervensi :

a) Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau kongesti
vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah, perhatikan postural misalnya:
duduk, berbaring dan berdiri.
Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea, gemerisik, mengi dan
edema.
b) Evaluasi bunyi jantung akan terjadi friction rub, tekanan darah, nadi perifer,
pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
c) Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.
Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi jantung.
d) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.
Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.
4. Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis seperti akumulasi toksin
(urea, amonia).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat mempertahankan tingkat
mental atau terjadi peningkatan tingkat mentall
Kriteria hasil :
a) Tidak terjadi disorientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
b) Tidak mengalami gangguan kemampuan dalam mengambil keputusan.
c) Tidak terjadi perubahan perilaku misalnya peka, menarik diri, depresi ataupun
psikosis.
d) Tidak terjadi gangguan lapang perhatian misalnya, penurunan kemampuan untuk
mengemukakan pendapat.
e) Nilai laboratorium dalam batas normal (ureum) 15-39 mg/dl, kreatinin0,6-1,3
mg/dl)

Intervensi :

a) Kaji luasnya gangguan kemampuan berfikir, memori dan orientasi serta perhatikan
lapang pandang.
Rasional : Memberikan perbandingan untuk mengevaluasi perkembangan atau
perbaikan gangguan.
b) Pastikan dari orang terdekat tingkat mental klien biasa.
Rasional : Beberapa perbaikan dalam mental, mungkin diharapkan dengan
perbaikan kadar urea, kreatinin, elektrolit dan pH serum yang lebih normal.
c) Berikan orang terdekat informasi tentang status klien.
Rasional : Dapat membantu menurunkan kekacauan dan meningkatkan
kemungkinan komunikasi dapat dipahami.
d) Komunikasikan informasi dengan kalimat pendek dan sederhana.
Rasional : Perbaikan peningkatan atau keseimbangan dapat mempengaruhi kognitif
atau mental.
e) Tingkatkan istirahat adekuat dan tidak mengganggu periode tidur.
Rasional : Gangguan tidur dapat menganggu kemampuan kognitif lebih lanjut.
f) Awasi pemeriksaan labolatorium misalnya urea dan kreatinin.
Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.
g) Berikan tambahan O2 sesuai indikasi
Rasional : Perbaikan hipoksia dapat mempengaruhi kognitif.
5. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam kulit dan
gangguan turgor kulit(edema, dehidrasi), gangguan status metabolic, sirkulasi(anemia
dengan iskemia jaringan), neuropati perifer.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi integritas kulit
Kriteria Hasil :
a) Klien menunjukkan perilaku atau tehnik untuk mencegah kerusakan atau cidera
kulit.
b) Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
c) Tidak terjadi edema
d) Gejala neuropati perifer berkurang
Intervensi

a) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor dan perhatikan adanya kemerahan,
ekimosis, purpura.
Rasional : Mengetahui adanya sirkulasi atau kerusakan yang dapat menimbulkan
pembentukan dekubitus atau infeksi.
b) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa.
Rasional : Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
c) Inspeksi area tubuh terhadap edema.
Rasional : Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
d) Ubah posisi dengan sering menggerakkan klien dengan perlahan, beri bantalan pada
tonjolan tulang.
Rasional : Menurunkan tekanan pada edema, meningkatkan peninggian aliran balik
statis vena sebagai pembentukan edema.
e) Pertahankan linen kering, dan selidiki keluhan gatal.
Rasional : Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit.
f) Pertahankan kuku pendek
Rasional : Menurunkan resiko cedera dermal.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi
Kriteria Hasil :
a) Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.
b) Berpartisipasi dalam program pengobatan.
c) Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.

Intervensi :

a) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan :


 Anemia
 Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
 Retensi produk sampah
 Depresi
Rasional : Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan.
b) Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi, bantu
jika keletihan terjadi.
Rasional : Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki harga diri.
c) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
Rasional : Mendorong latitan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat ditoleransi
dan istirahat yang adekuat.
d) Anjurkan untuk beristirahat setelah dialysis.
Rasional : Dianjurkan setelah dialysis, yang bagi banyak pasien sangat melelahkan.
7. Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal ginjal kronik
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi informasi dan kurangnya
informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menyatakan pemahaman tentang
kondisi atau proses penyakit dan pengobatan.
Kriteria Hasil :
a) Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.
b) Berpartisipasi dalam program pengobatan.
c) Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.

Intervensi :

a) Diskusikan tentang manifestasi klinik yang mungkin muncul pada klien dan cara
perawatannya.
Rasional : Mengurangi kecemasan klien dan membeikan pemahaman dalam
perawatannya.
b) Kaji ulang tentang tindakan untuk mencegah perdarahan dan informasikan pada
klien misalnya penggunaan sikat gigi yang halus, memakai alas kaki atau sandal jika
berjalan-jalan, menghindari konstipasi, olah raga atau aktivitas yang berlebihan.
Rasional : Menurunkan resiko cedera sehubungan dengan perubahan faktor
pembekuan atau penurunan jumlah trombosit.
c) Kaji ulang pembatasan diet, termasuk fosfat (contoh : produk susu, unggas, jagung,
kacang) dan magnesium (contoh : produk gandum, polong-polongan).
Rasional : Pembatasan fosfat merangsang kelenjar paratiroid untuk pergeseran
kalsium dari tulang (osteodistrofi ginjal) dan akumulasi magnesium dapat
mengganggu fungsi neurologis dan mental.
d) Diskusikan tentang terapi pengobatan yang diberikan.
Rasional : Memberikan pemahaman tentang fungsi obat dan memotivasi klien untuk
menggunakannya.
e) Identifikasi keadaan yang memerlukan evaluasi medik segera.
Rasional : Memberi penanganan segera tentang kondisi-kondisi yang memerlukan
penanganan medik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Cai, Q., Venkata, K. M., & Ahmad, M. 2013. Coronary artery disease in patients with
chronic kidney disease. Curr Cardiol Rev. 9(4) : 331- 339.

Drake, R. L., Vogi, A. W., & Mitchell, A. W. M. 2012. Gray's Basic Anatomy.
Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone

Kring, D. L. & Crane, P. B. 2009. Factors affecting quality of life in persons on


hemodialysis. Nephrol Nurs J. 36(1): 15-25.

Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronis. Dalam: Alatas H,


Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta. 2009. 509-530

Brunner & Suddart. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai