Anda di halaman 1dari 22

BAB I

KEGIATAN PERTAMBANGAN

1.1. Peraturan Tentang Pertambangan

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2010 tentang


Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, yang telah diubah dengan
Peraturan pemerintah No. 26 tahun 2012 dikelompokkan atas pertambangan
mineral dan pertambangan batubara (antara lain bitumen padat, batuan aspal,
batubara dan gambut). Pertambangan mineral digolongkan atas :
a. Pertambangan mineral radioaktif
b. Pertambangan mineral logam
c. Pertambangan mineral bukan logam, dan
d. Pertambangan batuan
Pasal 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 mengatur bahwa Petambangan
Mineral dan Batu bara (Minerba) dikelola berasaskan :
a. Manfaat, keadilan dan keseimbangan
b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa
c. Partisipatif, transparansi dan akuntabilitas
d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Asas yang terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan dan
sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batu bara
untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.
Pada Pasal 3 Undang-Undang No.4 Tahun 2009 mengatur bahwa dalam
rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan
pengelolaan mineral dan batubara adalah :
a. Menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna dan berdaya saing;
b. Menjamin manfaat pertambangan minerba secara berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan hidup;

1
c. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau
sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d. Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih
mampu bersaing di tingkat nasional, regional dan internasional;
e. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah dan Negara serta
menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
rakyat.
f. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat
UUD 1945 ini merupakan landasan pembangunan pertambangan dan energi
untuk memanfaatkan potensi kekayaan sumber daya alam mineral dan energi
yang dimiliki secara optimal dalam mendukung pembangunan nasional yang
berkelanjutan.
Penyelenggaraan kegiatan pertambangan dan energi telah mengalami
perjalanan yang panjang sejak sebelum merdeka, dalam masa kemerdekaan,
dan hingga mencapai keadaan sekarang ini. Pada awal kemerdekaan, kegiatan
pengelolaan pertambangan dan energi menghadapi berbagai kesulitan dan tidak
banyak yang dapat diperbuat di bidang usaha ini. Di beberapa tempat,
fasilitas pertambangan dan energi dibumihanguskan agar tidak dapat dipakai
oleh kekuatan kolonial. Walaupun demikian, kegiatan di bidang ini tidak
dapat dikatakan lumpuh sama sekali. Pada masa itu bangsa Indonesia
telah mampu memproduksi minyak bumi sebanyak 6.000 barel per hari,
batubara 37.000 ton per tahun, timah 1.050 ton per tahun, serta memproduksi
tenaga listrik yang berasal dari pembangkit tenaga listrik perusahaan swasta
yang dinasionalisasi dan milik pemerintah sebesar 504.000 MWh. Penyediaan
listrik ini dilakukan oleh perusahaan listrik dan gas yang diambil alih dari
pemerintah pendudukan Jepang dan selanjutnya diberi nama Jawatan Listrik
dan Gas. Kemudian dengan Penetapan Pemerintah Nomor 1/S.D. Tahun 1945,

2
jawatan ini dimasukkan ke dalam struktur Departemen Pekerjaan Umum.
Penting untuk dicatat pula adalah berhasilnya upaya penyelamatan dokumen
dan peta kekayaan tambang dan mineral Indonesia, yang kemudian menjadi
modal utama dalam pencarian kekayaan mineral serta membangun sektor
pertambangan dan energi.
Setelah pengakuan kedaulatan pada bulan Desember 1949, semua saham
perusahaan minyak milik pemerintah kolonial Belanda dialihkan ke
Pemerintah Indonesia. Kegiatan di sektor pertambangan dan energi mulai
dilakukan kembali dengan merehabilitasi dan mengelola instalasi -instalasi
yang dibangun di jaman penjajahan. Namun kegiatan eksplorasi dan produksi
masih sangat terbatas. Kegiatan penyelidikan geologi, eksplorasi dan hasil
pertambangan dalam periode ini belum menunjukkan perkembangan yang
berarti. Sementara itu kapasitas penyediaan tenaga listrik menunjukkan
peningkatan dengan dilakukannya perbaikan dan pembangunan beberapa
pembangkit tenaga listrik. Sesuai dengan perkembangan pada saat itu,
Jawatan Listrik dan Gas diganti namanya menjadi Jawatan Tenaga pada tahun
1950 dengan tugas mengelola perusahaan listrik dan gas bekas milik pemerintah
Belanda; sedangkan perusahaan listrik dan gas swasta dikembalikan kepada
pemiliknya semula, sesuai hasil persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Selanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 163 Tahun 1953
tentang nasionalisasi perusahaan listrik milik bangsa asing di Indonesia jika
waktu konsesinya habis. Beberapa perusahaan listrik dan gas swasta Belanda
yang dinasionalisasikan pada saat itu dimasukkan ke dalam Jawatan Tenaga.
Sementara itu, di bidang. pertambangan minyak pada tahun 1950 telah
diselesaikan pengeboran 6 sumur pengembangan atau sumur produksi di
Minas, yang di kemudian hari ternyata merupakan lapangan minyak terbesar
yang pernah ditemukan di Indonesia; bahkan merupakan salah satu lapangan
minyak raksasa di dunia.
Di bidang pertambangan umum, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan pertambangan milik Belanda
merupakan peristiwa penting bagi pembangunan pertambangan selanjutnya.

3
Pada tahun 1959 semua perusahaan Belanda antara lain perusahaan tambang
batubara, timah, emas, dan bauksit ditetapkan pengelolaannya oleh Biro
Urusan Perusahaanperusahaan Tambang Negara (BUPTAN). Konsesi-konsesi
pertambangan sejak perang kemerdekaan yang tidak diusahakan lagi atau baru
diusahakan dalam tahap permulaan dikenakan pembatalan hak-hak
pertambangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1959. Daerah-daerah bekas konsesi yang dibatalkan hanya dapat diusahakan
oleh perusahaan negara atau perusahaan milik daerah Swatantra.
Di bidang ketenagalistrikan, Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan listrik dan
gas milik Belanda. Untuk kelancaran proses nasionalisasi dibentuk Penguasa
Perusahaan-Perusahaan Listrik dan Gas (P3LG) yang berada di bawah
Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Pada tahun 1960 Pemerintah mencanangkan Pola Pembangunan
Nasional Semesta Berencana yang disusun oleh Dewan Perancang Nasional.
Pembangunan ini dimulai dengan membangun industri berat, meliputi proyek
besi. baja, semen, superfosfat, dan industri dasar lainnya. Untuk mendukung
upaya pembangunan tersebut, telah dilakukan berbagai kegiatan penyelidikan
geologi di beberapa daerahdalam upaya menemukan bahan baku mineral logam
untuk memenuhi kebutuhan berbagai industri tersebut. Selain itu, giat
dilakukan eksplorasi batubara, dolomit, batu gamping, kwarsa serta bahan
galian untuk keperluan bahan bangunan, industri keramik, dan industri
kimia dengan pengelolaan dibawah Departemen Perindustrian Dasar dan
Pertambangan.
Pembangunan di bidang migas mulai berkembang ke arah baru dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960, yang menetapkan
bahwa kekuasaan mengusahakan pertambangan minyak dan gas bumi
diselenggarakan oleh Pemerintah. Wewenang pengusahaan pertambangan
migas tersebut diberikan kepada Perusahaan Negara dalam bentuk kuasa
pertambangan. Sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut, pada tahun 1961
dibentuk tiga perusahaan negara yang ditugaskan melaksanakan usaha

4
pertambangan minyak dan gas bumi. Ketiga perusahaan tersebut adalah
Perusahaan Negara (PN) Pertambangan Minyak Nasional (Permina) yang
beroperasi di Sumatera bagian Utara; PN Pertambangan Minyak Indonesia (PN
Permindo) di Jambi dan Pulau Bunyu Kalimantan Timur; dan PN
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN Permigan) di Nglobo,
Ledok, dan Semanggi, Jawa Tengah, yang kemudian dalam tahun 1968
digabung menjadi PN Pertamina. Sementara itu perusahaan minyak asing
bekas pemegang hak konsesi dapat meneruskan operasinya sampai
berakhirnya tenggang waktu peralihan yang akan ditetapkan Pemerintah.
Kepada perusahaan asing tersebut diberikan prioritas untuk mengalihkan
operasinya menjadi kontraktor perusahaan negara dalam suatu Perjanjian
Karya dengan perbandingan pembagian hasil bersih 60 persen untuk Indonesia
dan 40 persen untuk asing. Selanjutnya dalam tahun 1964 Perjanjian Karya ini
disempurnakan menjadi Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing (KPS) yang
pada dasarnya menetapkan pembagian keuntungan tidak lagi dihitung atas hasil
penjualan minyak, tetapi atas produksi minyak dengan perbandingan pada
awalnya 65 persen untuk Indonesia dan 35 persen untuk kontraktor. Di
samping itu manajemen operasi berada dalam tangan perusahaan negara.
Di bidang kelistrikan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Prp
Tahun 1960 dibentuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tahun 1961.
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1961 dibentuk
Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) yang
menempatkan perusahaan listrik dan gas berada dalam satu wadah.
Selanjutnya, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
1965, PLN dan Perusahaan Gas Negara (PGN) masing-masing berdiri sendiri.
Perkembangan penting lainnya di bidang perminyakan adalah
diterimanya Indonesia sebagai anggota OPEC (Organization of Petroleum
Exporting Countries) pada tahun 1962. Ketika terjadi krisisenergi, organisasi ini
terbukti berperan sangat kuat dan penting dalam mengatur tataniaga penjualan
minyak bumi di pasaran internasional, antara lain dengan menetapkan kuota

5
produksi minyak kepada para anggotanya dalam upaya menghadapi resesi
dunia dan mencegah merosotnya harga minyak di pasaran dunia.
Walaupun mengalami masa-masa sulit sejak permulaan kemerdekaan,
pada awal Orde Baru, tahun 1968, minyak bumi mampu diproduksi sebesar
602.465 barel per hari, dan gas bumi 317 juta kaki kubik per hari. Penerimaan
negara dari sektor migas memberikan sumbangan sebesar 53 persen dari
devisa yang dihasilkan, atau 22 persen terhadap penerimaan negara.
Memasuki PJP I, hasil produksi minyak bumi makin meningkat lagi.
Pada akhir PJP I produksi minyak bumi dan kondensat
telah meningkat menjadi 1,6 juta bare] per hari atau naik 2,5 kali lipat
dibandingkan produksi awal PJP I. Produksi tersebut dihasilkan antara lain
oleh KPS - KPS baru dengan persyaratan yang lebih menguntungkan yaitu
dengan perbandingan bagi hasil 85 persen untuk Indonesia dan 15 persen
untuk kontraktor di daerah produksi 50 - 150 MBOPD (ribu barrel minyak per
hari) dan 90 persen berbanding 10 persen untuk produksi di atas 150
MBOPD. Bahkan LNG yang baru mulai diproduksi pada Repelita III, sejak
tahun 1977 sudah mampu diekspor dan menempatkan Indonesia sebagai negara
pengekspor LNG terbesar di dunia.
Seiring dengan meningkatnya ekspor minyak bumi selama PJP
I, Indonesia telah mampu mengembangkan usaha pemurnian dan pengolahan
minyak bumi, termasuk di bidang distribusi dan pelayanannya. Secara
bertahap dan terencana telah diterapkan pula teknologi maju dalam perluasan
kilang minyak, antara lain dengan pembangunan kilang hydrocracker dan
penyempurnaan unit-unit pengolahan lainnya. Pengembangan minyak bumi
juga dilakukan dengan upaya rehabilitasi dan pembangunan sarana
penimbunan, pengangkutan melalui pipa laut, pipa penyalur, depot,
pelabuhan/ dermaga khusus dan fasilitas lainnya di seluruh Indonesia. Upaya
peningkatan produktivitas dilengkapi dengan pengaturan
dan penyempurnaan organisasi penyaluran dan distribusi bahan bakar
minyak serta gas bumi dengan sebaik-baiknya. Dengan melakukan upaya
tersebut, maka minyak bumi yang diolah telah meningkat dari 211,2 ribu barel

6
per hari pada awal PJP I menjadi 854,5 ribu barel per hari, atau meningkat 4
kali lipat pada akhir PJP I. Bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan
meningkat dari 52,2 juta barel pada awal PJP I menjadi 232,2 juta barel pada
tahun terakhir PJP I. Sarana angkutan laut minyak bumi dapat ditingkatkan dari
672,7 ribu ton pada awal PJP I menjadi 4,4 juta ton pada akhir PJP I. Sampai
akhir PJP I untuk pelayanan distribusi BBM telah dibangun 92 depot laut, 18
depot darat, dan 43 depot pengisian pesawat udara (DPPU), dengan jumlah
kapasitas timbun sebesar 2,4 juta kiloliter.
Dari segi penerimaan devisa, sektor migas telah memberikan
sumbangan besar terhadap pembangunan nasional selama PJP I, dan mencapai
puncaknya pada Repelita III yaitu sebesar 75 persen dari devisa yang
dihasilkan, atau 67 persen terhadap penerimaan negara. Walaupun kemudian
penerimaan pemerintah dan perolehan devisa dari sektor migas cenderung
menurun karena peranan non migas yangmeningkat, namun peranan sektor ini
masih cukup besar sebagai sumber penerimaan negara dan penghasil devisa.
Di samping migas, bidang-bidang pertambangan lainnya juga
berkembang. Antara lain dengan dieksploitasikan dan dikembangkannya
tambang tembaga dan emas secara besar-besaran di Irian Jaya dan dibangunnya
pabrik peleburan nikel di Soroako, Sulawesi Selatan dan di Pomalaa, Sulawesi
Tenggara. Produksi timah juga dapat ditingkatkan, sehingga Indonesia
merupakan salah satu pengekspor timah terbesar di dunia. Beberapa produksi
bahan tambang lainnya seperti perak, bauksit, fosfat, dan bahan galian industri
lainnya yang semula hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
sudah mulai diekspor.
Produksi batubara makin berkembang sebagai energi pengganti minyak
bumi, dengan ditetapkannya kebijaksanaan energi nasional tahun 1980.
Produksi batubara meningkat pesat dari hanya 159,9 ribu ton pada awal PJP I
menjadi 28,5 juta ton pada akhir PJP I. Ekspor batubara yang dimulai pada
akhir Repelita II dengan jumlah 27,3 ribu ton telah meningkat menjadi 19 juta
ton pada akhir PJP I dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu
pengekspor batubara terkemuka di dunia. Menjelang akhir PJP I, penggunaan

7
briket batubara untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil sudah
mulaidimasyarakatkan, untuk menggantikan minyak tanah dan BBM lainnya.
Di bidang energi ketenagalistrikan mengalami perkembangan pesat
terutama pada Repelita IV dan V, sejalan dengan percepatan pertumbuhan
ekonomi terutama industri, dan peningkatan pendapatanmasyarakat. Pada akhir
PJP I diproduksi listrik sebesar 46.718,7 GWh; dibandingkan dengan awal
PJP I, meningkat 26 kali lipat. Produksi tenaga listrik juga sudah dapat
dinikmati oleh 31.689 desa melalui program pengembangan listrik perdesaan
atau 48,7 persen dari jumlah seluruh desa. Selain itu, dengan dibangunnya
sistem interkoneksi Jawa-Bali, maka sistem kelistrikan di Jawa dan Bali
bertambah andal.
Peningkatan pembangunan di sektor pertambangan dan energi tidak
terlepas dari dikembangkan dan diselesaikannya sejumlah peta dan informasi
geologi mengenai keberadaan sumber mineral dan energi Indonesia.
Pemetaan dan penyelidikan geologi juga telah berhasil meningkatkan
kesiapsiagaan dalam rangka mitigasi dan penanggulangan bencana alam
geologi, serta menjadi bahan bagi penataan ruang. Untuk itu selama PJP I
antara lain telah diselesaikan 90 persen peta geologi bersistem; 83 persen peta
daerah bahaya gunung api; 46 persen pemetaan batubara dan gambut; serta
mulai dilakukannya pemetaan geologi dasar laut dan pemboran pengujian panas
bumi.
Dengan berlandaskan hasil pembangunan yang telah dicapai dalam PJP I,
maka pembangunan pertambangan dan energi akan dilanjutkan dan
ditingkatkan dalam PJP II, diawali dengan Repelita VI.
Dasar kebijakan publik dibidang pertambangan adalah Undang-Undang Dasar
tahun 1945 (UUD 1945) pada Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Peraturan pelaksana
dalam kegiatan pertambangan khususnya antara lain Undang-Undang No.11 tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang No. 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang No. 32

8
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 32 tahun 2009
tetang Pengelolaaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

1.2 Sejarah Pertambangan

Sejarah pertambangan dimulai sejak zaman kolonial Belanda tahun 1919


dengan menggunakan metode penambangan terbuka (open pit mining) di wilayah
operasi pertama, yaitu di Tambang Air Laya. Selanjutnya mulai1923 beroperasi
dengan metode penambangan bawah tanah (underground mining) hingga 1940,
sedangkan produksi untuk kepentingan komersial dimulai pada 1938. Seiring
dengan berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di tanah air, para karyawan
Indonesia kemudian berjuang menuntut perubahan status tambang menjadi
pertambangan nasional. Pada 1950, Pemerintah RI kemudian mengesahkan
pembentukan Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA). Pada
1981, PN TABA kemudian berubah status menjadi Perseroan Terbatas dengan
nama PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk, yang selanjutnya disebut
Perseroan.
Dalam rangka meningkatkan pengembangan industri batubara di
Indonesia, pada 1990 Pemerintah menetapkan penggabungan Perum Tambang
Batubara dengan Perseroan. PT Bukit Asam (Persero) Tbk Unit Pelabuhan
Tarahan atau di sebut juga dengan PTBA merupakan salah satu perusahaan
BUMN yang bergerak dalam bidang distribusi batubara yang berpusat di Tanjung
enim, Sumatera Selatan. PT Bukit Asam (Persero) Tbk. adalah perusahaan milik
negara yang bertujuan mengembangkan usaha pertambangan nasional khususnya
batubara. PTBA yang berdiri sejak 1981 termasuk dalam daftar lima besar
produsen batubara di Indonesia. Bahkan penjualan PTBA di dalam negeri
termasuk terbesar kedua. Dunia pembangunan mengalami perkembangan yang
cukup pesat baik perkembanganya migas maupun non migas. Pada PTBA
melakukan penjualan baik dalam negri maupun luar negri dan melalui syarat dan
ketentuan yang telah di tetapkan. Dalam mengekspor penjualan harus memenuhi
syarat-syarat dan ketentuan administrasi yang telah di tetapkan oleh KSOP dan

9
PTBA. Setelah melakuan administrasi maka pihak eksportir atau kapal eksportir
mendapatkan izin sandar di pelabuhan tarahan dan di pemandu pihak assis yaitu
dari pihak PELINDO, untuk melakukan pemuatan barang yang akan dieksport ke
luar negri, negara negara tersebut adalah Jepang, Cina, Korea, Vietnam, Fhilipina,
Malaysia, Myanmar, Taiwan, Hongkong Dan India. Untuk mencapai kenaikan
atau peningkatan penjualan ekspor perusahaan harus memaksimalkan bauran
pemasaran agar dapat mencapai mangsa pasar ekspor yang di inginkan.

1.3. Data Bahan Galian Bukan Logam Indonesia

Keterdapatan Mineral (Mineral Occirence) adalah suatu indikasi


pemineralan (mineralization) yang dinilai untuk dieksplorasi lebih jauh. Istilah
keterdapatan mineral tidak ada hubungannya dengan ukuran volume/tonase atau
kadar/kualitas, dengan demikian bukan bagian dari suatu sumber daya mineral

Endapan Mineral (Mineral Deposit) adalah longgokan (akumulasi) bahan


tambang berupa mineral atau batuan yang terdapat di kerak bumi yang terbentuk
oleh proses geologi tertentu, dan dapat bernilai ekonomi.
Sumber Daya Mineral (Mineral Resources) adalah endapan mineral yang
diharapkan dapat dimanfaatkan secara nyata. Sumber daya mineral dengan
keyakinan geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan setelah dilakukan
pengkajian kelayakan tambang dan memenuhi kriteria layak tambang.
Cadangan (Reserve) adalah endapan mineral yang telah diketahui ukuran,
bentuk, sebaran, kuantitas dan kualitasnya dan yang secara ekonomis, teknis,
hukum, lingkungan dan sosial dapat ditambang pada saat perhitungan dilakukan.
Nilai angka neraca didapat dari nilai sumber daya dan cadangan serta data
produksi atau eksplorasi yang didapat dari perusahaan atau instansi terkait yang
menanganinya dalam kurun waktu tertentu. Neraca sumber daya mineral adalah
alat evaluasi sumber daya mineral, yang menyajikan cadangan awal, perubahan
atau pemanfaatan.
Klasifikasi sumber daya mineral dan cadangan Merupakan suatu proses
pengumpulan, penyaringan serta pengolahan data dan informasi dari suatu

10
endapan mineral untuk memperoleh gambaran yang ringkas mengenai endapan
tersebut. Klasifikasi sumber daya dan cadangan didapat berdasarkan dua kriteria,
yaitu tingkat keyakinan geologi dan pengkajian layak tambang.
Rekapitulasi basis data mineral bukan logam dan batuan yang telah
dilakukan mulai tahun 2000 hingga sekarang, laporan penyelidikan mineral bukan
logam dan batuan yang telah masuk ke dalam basis data mineral Pusat Sumber
Daya Geologi adalah sebanyak 525 laporan dengan jumlah titik keterdapatan
komoditi sebanyak 5755 titik. Berikut rincian jumlah laporan dan titik
keterdapatan mineral bukan logam dan batuan dapat dilihat pada Tabel 1.1

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Laporan dan Titik Komoditi Database Sumber Daya
Mineral Bukan Logam Tahun 2000 – 2015
JUMLAH
NO TAHUN JUMLAH TITIK
LAPORAN
1 Tahun 2000 107 764
2 Tahun 2001 50 251
3 Tahun 2002 50 496
4 Tahun 2003 50 341
5 Tahun 2004 50 418
6 Tahun 2005 50 413
7 Tahun 2006 53 363
8 Tahun 2007 25 954
9 Tahun 2008 25 863
10 Tahun 2009 15 93
11 Tahun 2010 15 114
12 Tahun 2011 7 125
13 Tahun 2012 7 130
14 Tahun 2013 9 199
15 Tahun 2014 5 98
16 Tahun 2015 7 133
JUMLAH 525 laporan 5755 titik

Mineral bukan logam atau bahan galian industri adalah bahan galian diluar
mineral logam, radioaktif, minyak, gas bumi dan batubara yang umumnya
mempunyai kegunaan langsung untuk berbagai industri tanpa banyak memerlukan

11
proses pengolahan yang rumit. Dalam PP No. 27/1980 mengenai penggolongan
bahan galian maka mineral bukan logam ini termasuk bahan galian golongan C.
Pengusahaan bahan galian industri mempunyai beberapa ciri yang sangat berbeda
dengan pengusahaan bahan galian lainnya, umumnya dapat dilaksanakan dengan
modal relatif kecil, teknologi sederhana serta derajat resiko yang relatif rendah.
Berkembangnya berbagai industri dan meningkatnya pembangunan fisik
diberbagai sektor menyebabkan kebutuhan bahan galian industri terus meningkat
baik sebagai bahan baku utama maupun penunjang terutama pengembangan
infrastruktur.
Secara garis besar bahan galian bukan logam dapat dikelompokkan
menurut penggunaannya yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok Mineral Industri, yang terdiri dari barit, batuan kalium, batu
apung, batugamping, belerang, bentonit, diatomea, dolomit, fosfat,
gipsum, kalsit, kuarsit, oker, pasir kuarsa, pasir zirkon, serpertin, talk,
travertin, ultrabasa, yodium dan zeolit.
2. Kelompok Bahan Keramik, yang terdiri dari ball/bond clay, felspar,
kaolin, lempung, obsidion, perlit, pirofilit, toseki dan trakhit
3. Kelompok Bahan Bangunan, yang terdiri dari andesit, basal, batu asbak,
dasit, granit, granodiorit, marmer, peridotit, sirtu dan tras
4. Kelompok Batu Mulia, yang terdiri dari ametis, batu hias, intan, jasper,
kalsedon, oniks, opal dan rijang.
Pemuktahiran neraca sumber daya mineral bukan logam dan batuan
dilakukan berdasarkan data dari berbagai sumber, yaitu Neraca mineral bukan
logam dan batuan tahun 2014, laporan pelaksanaan kegiatan penyelidikan,
inventarisasi, evaluasi dan kajian bahan galian bukan logam dan batuan yang
dilakukan oleh Pusat Sumber Daya Geologi selama tahun 2015, maka diperoleh
129 (seratus dua puluh sembilan) titik lokasi baru untuk komoditi Andesit,
Basal, Batuan Kalium, Batugamping, Batuhias, Batusabak, Bentonit, Dolomit,
Felspar, Granit, Kuarsit, Lempung, Marmer, Sirtu, Pasirkuarsa, Sirtu, Talk,
Ultrabasa. Sehingga untuk tahun 2015 pemutakhiran neraca mineral bukan logam

12
didapat jumlah lokasi sebanyak terdapat 3.423 titik komoditi yang tersebar di
seluruh Indonesia dengan jumlah komoditi 50 jenis.

Gambar 1.1 Statistik komoditi zeolit,kaolin,bentonit dan dolomit


tahun 2006-2015

Gambar 1.2 statistik komoditi pasir kuarsa,


lempung,feldspar,marmer,batugamping dan granit tahun 2006-2015

13
Tabel 1.2 Tabel Produksi Bahan Galian Non Logam Indonesia Tahun 1997-2015

TOTAL
KOMODITI s/d 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
PRODUKSI
Zeolit 268.919 35.978 0 0 0 0 0 0 304.897
Pasir kuarsa 29.111.302 2.853.100 0 0 0 0 0 0 31.964.402
Kaolin 2.267.327 274.686 0 0 0 0 0 0 2.542.013
Bentonit 1.636.942 168.860 0 0 0 0 0 0 1.805.802
Lempung 194.770.509 6.133.400 6.133.400 6.133.400 6.133.400 6.133.400 7.728.000 7.728.000 240.893.509
Felspar 944.384 20.619 0 0 0 0 0 0 965.003
Marmer 779.066 71.676 0 0 0 0 0 0 850.742
Batugamping 418.498.288 30.667.000 30.667.000 30.667.000 30.667.000 30.667.000 38.640.000 38.640.000 649.113.288
Granit 91.343.258 8.233.000 0 0 0 0 0 0 99.576.258
Dolomit 2.569.130 145.091 0 0 0 0 0 0 2.714.221

14
1.4. Perusahaan Tambang Besar Di Indonesia

1. PT Bukit Asam Tbk


Sejarah pertambangan batubara di Tanjung Enim dimulai sejak zaman
kolonial Belanda tahun 1919 dengan menggunakan metode penambangan terbuka
(open pit mining) di wilayah operasi pertama, yaitu di Tambang Air Laya
selanjutnya mulai 1923 beroperasi dengan metode penambangan bawah tanah
(underground mining) hingga 1940, sedangkan produksi untuk kepentingan
komersial dimulai pada 1938.
Seiring dengan berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di tanah air, para
karyawan Indonesia kemudian berjuang menuntut perubahan status tambang
menjadi pertambangan nasional. Pada 1950, Pemerintah RI kemudian
mengesahkan pembentukan Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN
TABA).
Pada 1981, PN TABA kemudian berubah status menjadi Perseroan
Terbatas dengan nama PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk, yang
selanjutnya disebut Perseroan. Dalam rangka meningkatkan pengembangan
industri batubara di Indonesia, pada 1990 Pemerintah menetapkan penggabungan
Perum Tambang Batubara dengan Perseroan.
Sesuai dengan program pengembangan ketahanan energi nasional, pada
1993 Pemerintah menugaskan Perseroan untuk mengembangkan usaha briket
batubara. Pada 23 Desember 2002, Perseroan mencatatkan diri sebagai perusahaan
publik di Bursa Efek Indonesia dengan kode "PTBA".
Visi dan Misi dari PT Bukit Asam yakni menjadi Perusahaan energi kelas
dunia yang peduli lingkungan Mengelola sumber energi dengan mengembangkan
kompetensi korporasi dan keunggulan insani untuk memberikan nilai tambah
maksimal bagi stakeholder dan lingkungan.

2. PT Freeport Indonesia
Awal Mula Freeport ke Papua Geolog muda kebangsaan Belanda, Jean
Jacques Dozy, pada 1936 bersama rombongan kecil mengembara Papua atas

15
prakarsa dan biaya sendiri. Tujuan utama Dozy adalah mendaki gletser Cartensz
yang ditemukan Jan Cartenszoon pada 1623 saat menjelajah Papua.
Dozy penasaran dengan temuan Cartensz mengenai puncak gunung yang tertutup
salju di Papua. Laporan Cartensz ini sempat menjadi bahan olok-olok karena
dinilai mustahil ada gletser di kawasan khatulistiwa. Ketika sedang menjelajah
Cartensz ini, Dozy terpukau melihat pegunungan tanpa pepohonan atau tundra
yang kemudian dia namakan Grasberg yang artinya Gunung Rumput. Tak jauh
dari Gunung Rumput, Dozy juga membuat sketsa batuan hitam kokoh berbentuh
aneh, menonjol di kaki pegunungan setinggi 3.500 meter. Batuan hitam itu dia
namakan Erstberg yang artinya Gunung Bijih.
Dalam penjelajahannya itu, Dozy juga mengambil batuan yang kemudian
dikirim ke laboratorium. Hasil analisis serta penjelasan batuan diterbitkan dalam
Jurnal Geologi Leiden tahun 1939. Pecahnya perang dunia membuat laporan itu
tak mendapatkan perhatian. Eksekutif dari perusahaan tambang asal Amerika,
Freeport Sulphur, yang pertama kali menggali 'kekayaan' catatan Dozy pada 1959.
Pada awal tahun yang sama, Freeport baru saja kehilangan pertambangan bijih
nikel di Kuba akibat nasionalisasi perusahaan di bawah pimpinan Fidel Castro.
Forbes K. Wilson, manajer eksplorasi Freeport Sulphur yang kemudian
menjadi Presiden Director Freeport Mineral, mendapatkan informasi mengenai
catatan Dozy dari Jan Van Gruisen, eksekutif dari perusahaan East Borneo
Company. Wilson sangat tertarik untuk mengeksplorasi Erstberg. “Saya akan
melihat sendiri Erstberg dan akan berusaha sampai mati,” kata Wilson kepada
Mealey. Freeport pun tak tanggung-tanggung membiayai ekspedisi dan eksplorasi
Wilson senilai US$120 ribu. Menurut Mealey, nilai itu pada 1996 sekitar US$1
juta dolar. Meski saat itu Wilson berusia 50 tahun, dia bertekad berhasil mencapai
Gunung Bijih yang berwarna hitam. Menurut Mealey, sebagai persiapan
ekspedisi, Wilson menghentikan kebiasaan merokok yang sudah 30 tahun dan
menerima imunisasi dari hampir semua penyakit yang pernah dikenal manusia.
“Dia melatih diri hidup di hutan rimba dan pegunungan tinggi yang dingin,” kata
Mealey. Penjelajahan Wilson dibantu beberapa ahli seperti geolog, insinyur,

16
botanis serta perwira polisi. Wilson membuat catatan khusus perjalanannya dalam
buku The Conquest of Cooper Mountain.
Penjelajahan Wilson dan tim berhasil memastikan cadangan bahan
tambang berharga di Erstberg. Pada masa awal ditemukan, diperkirakan adanya
cadangan 33 juta ton bijih besi dengan kandungan tembaga sebesar 2,5 persen.
Namun, Freeport masih membutuhkan izin dan kepastian investasi. Di periode itu,
Indonesia mengalami gonjang-ganjing politik, mulai dari perang perebutan
wilayah Papua Barat hingga Tragedi 1965. Freeport memproses perizinan dengan
mendapatkan bantuan dari Julius Tahija yang berperan sebagai perantara. Menurut
Mealey, Julius yang mengatur pertemuan antara pejabat Freeport dengan Menteri
Pertambangan dan Perminyakan Indonesia, Ibnu Sutowo di Amsterdam.
Selain itu, Freepot menyewa pengacara Ali Budiarjo yang pernah menjadi
Sekretaris Jenderal dan Pertahananan Direktur Pembangunan Nasional pada
1950an. Berkat bantuan Ali, Freeport menjadi perusahaan yang pertama kali
mendapatkan Kontrak Karya dengan masa 30 tahun, setelah lahirnya Undang-
Undang Penanaman Modal pada 1967. Belakangan Ali didaulat sebagai Presiden
Direktur PT Freeport Indonesia pada 1974-1986.
Eksplorasi Grasberg Pada 1980, Freeport bergabung dengan McMoran,
perusahaan eksplorasi minyak dan gas yang dipimpin James Robert Jim Bob
Moffett. Perusahaan kemudian berganti nama menjadi Freeport McMoran dengan
Freeport Indonesia sebagai anak usaha. Menurut Mealey, sejak Moffet ditunjuk
sebagai pimpinan Freeport McMoran pada 1984, dia memerintahkan seluruh
jajaran Freeport meningkatkan eksplorasi. Selain itu, cadangan Erstberg
diperkirakan habis pada 1987. Eksplorasi pertama dilakukan geolog Dave Potter
dengan meneliti Grasberg. Potter dan rekan-rekannya mengebor gunung dengan
kedalaman 200 meter pada 1985. Namun, hasil pemboran pertama itu tidak
meyakinkan. Kemudian pada 1987, Potter mendarat dengan helikopter di atas
puncak gunung dan mulai mengumpulkan contoh batuan permukaan. Hasil
analisis laboratorium menyatakan batuan mengandung emas dengan kadar yang
sangat tinggi. Moffet pun mendorong pemboran di Grasberg. Pada akhir 1980-an,
Mealey turut bergabung dengan Potter membuat beberapa lubang bor.

17
Dari pengalaman eksplorasi, tulis Mealey, Grasberg berbeda dengan
puncak-puncak yang mengelilinginya. Grasberg yang ketinggiannya lebih rendah,
memungkinkan pepohonan besar tumbuh, tetapi dalam kenyataannya vegetasi
yang tumbuh di atas permukaan hanyalah sejenis rumput kasar.
“Anomali vegetasi ini yang merupakan indikasi yang dicari para geolog,” tulis
Mealey.

Kawasan Grasberg di Tembagapura, Papua. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)


Menurut Mealey, pertumbuhan pohon dan semak di Grasberg terhalang oleh tanah
yang bersifat asam, tetapi tidak menjadi masalah bagi jenis rumput kasar untuk
tumbuh. “Keasaman tanah adalah hasil proses pelindian alam terhadap mineral-
mineral sulfida yang mengandung tembaga dan emas,” kata Mealey.
Pengetahuan di atas merupakan kesimpulan yang diperoleh belakangan.
Namun, lanjut Mealey, banyak anomali vegetasi seperti itu terjadi di dunia, tetapi
tidak selalu berkaitan dengan mineralisasi komersial seperti di Grasberg.
Pemboran di Gunung Grasberg dilakukan di lima titik dimulai dari bagian
puncak. Empat lubang pertama menunjukkan kadar emas dan tembaga, namun
tidak terdapat konsentrat endapan emas. Hasil pemboran ke lima membuat
Freeport terkesima karena dari 611 meter kedalaman bor, 591 meter menembus

18
lapisan bijih yang mengandung kadar tembaga 1,69 persen dan kadar emas 1,77
gram per ton. “Hasil pemboran ini dianggap yang paling hebat yang pernah ada
dalam sejarah industri pertambangan,” tulis Mealey.

Grasberg mulai dieksploitasi pada 1988. Tiga tahun setelah pengerukan


itu, Freeport mendapat perpanjangan Kontrak Karya II dengan masa 30 tahun dan
akan habis pada 2021. Pada 1995, cadangan Grasberg sebanyak 40,3 miliar pon
tembaga dan 52,1 juta ons troy emas. Dengan eksploitasi Grasberg, cadangan
Freeport meningkat dua kali lipat. “Kami mengoperasikan pabrik pengolahan
yang canggih dan biaya produksi kami mungkin yang terendah di dunia. Ada
perkiraan bahwa Freeport akan tetap mampu meraih keuntungan dari tambang di
Irian Jaya untuk 45 tahun ke depan,” tulis Mealey.

Pengolahan bijih tambang PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Mimika, Papua.


(ANTARA FOTO/M Agung Rajasa).
Tambang Bawah Tanah Setelah dikeruk hampir 30 tahun, cadangan
emas dan tembaga di penambangan terbuka (open pit) Grasberg akan habis pada
2017. Freeport pun terus melanjutkan eksploitasi dengan menambang bawah
tanah. Ada tiga tambang bawah tanah yang akan menjadi masa depan Freeport,
yakni Deep Ore Zone (DOZ), Big Gossan dan Deep Mill Level Zone (DMLZ).

19
Sejak 2010 tambang bawah tanah DOZ mulai beroperasi. Produksinya berupa
bijih yang mengandung tembaga, emas, dan peraknya mencapai 60 ribu ton bijih
per hari dengan puncaknya pernah mencapai 80 ribu ton bijih per hari. Adapun
Big Gossan yang saat ini produksinya sangat selektif dan tidak banyak. Sejak
September 2015, tambang DMLZ dibuka. Setiap harinya, Freeport mengolah
sekitar 220 ribu -240 ribu ton ore atau bijih. Freeport berniat memperpanjang
kontrak kerja dengan pemerintah dan hingga kini belum ada kepastian apakah
pemerintah memberikan perpanjang kontrak atau tidak.

3. PT Vale Indonesia
PT Vale mempunyai sejarah yang membanggakan di Indonesia. Diawali
dengan ekplorasi di wilayah Sulawesi bagian timur pada tahun 1920-an. Kegiatan
eksplorasi, kajian dan pengembangan tersebut terus dilanjutkan pada periode
kemerdekaan dan selama masa kepemimpinan Presiden Soekarno.
PT Vale (yang saat itu bernama PT International Nickel Indonesia)
didirikan pada bulan Juli 1968. Kemudian di tahun tersebut PT Vale dan
Pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya (KK) yang merupakan
lisensi dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan eksplorasi, penambangan dan
pengolahan bijih nikel. Sejak saat itu PT Vale memulai pembangunan smelter
Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Melalui Perjanjian Perubahan dan Perpanjangan yang ditandatangani pada
bulan Januari 1996, KK tersebut telah diubah dan diperpanjang masa berlakunya
hingga 28 Desember 2025. Pada bulan Oktober 2014, PT Vale dan Pemerintah
Indonesia mencapai kesepakatan setelah renegosiasi KK dan berubahnya beberapa
ketentuan di dalamnya termasuk pelepasan areal KK menjadi seluas hampir
118.435 hektar. Ini berarti luasan areal KK telah berkurang hingga hanya 1,8%
dari luasan awal yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia pada saat
penandatanganan KK tahun 1968 seluas 6,6 juta hektar di bagian timur dan
tenggara Sulawesi akibat serangkaian pelepasan areal KK.

20
4. PT ANTAM Tbk
Kegiatan usaha Perseroan telah dimulai sejak tahun 1968 ketika Perseroan
didirikan sebagai Badan Usaha Milik Negara melalui merjer dari beberapa Perusahaan
tambang dan proyek tambang milik pemerintah, yaitu Badan Pimpinan Umum
Perusahaan-perusahaan Tambang Umum Negara, Perusahaan Negara Tambang Bauksit
Indonesia, Perusahaan Negara Tambang Emas Tjikotok, Perusahaan Negara Logam
Mulia, PT Nickel Indonesia, Proyek Intan dan Proyek-proyek Bapetamb. Perseroan
didirikan dengan nama "Perusahaan Negara (PN) Aneka Tambang" di Republik
Indonesia pada tanggal 5 Juli 1968 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1968.
Pendirian tersebut diumumkan dalam Tambahan No. 36, BNRI No. 56, tanggal 5 Juli
1968. Pada tanggal 14 September 1974, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun
1974, status Perusahaan diubah dari Perusahaan Negara menjadi Perusahaan Negara
Perseroan Terbatas ("Perusahaan Perseroan") dan sejak itu dikenal sebagai "Perusahaan
Perseroan (Persero) Aneka Tambang".
Pada tanggal 30 Desember 1974, ANTAM berubah nama menjadi
Perseroan Terbatas dengan Akta Pendirian Perseroan No. 320 tanggal 30
Desember 1974 dibuat di hadapan Warda Sungkar Alurmei, S.H., pada waktu itu
sebagai pengganti dari Abdul Latief, dahulu notaris di Jakarta jo. Akta Perubahan
No. 55 tanggal 14 Maret 1975 dibuat di hadapan Abdul Latief, dahulu notaris di
Jakarta mengenai perubahan status Perseroan dalam rangka melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 9 tahun 1969
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun
1969 (Lembaran Negara tahun 1969 No. 16. Tambahan Lembaran Negara No.
2890) tentang bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi Undang-undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1969 No. 40), Peraturan Pemerintah No. 12
tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1969 No. 21 dan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1974 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara Aneka Tambang menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero), Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 nomor 33
jo.Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. Kep.
1768/MK/IV/12/1974, tentang Penetapan Modal Perusahaan Perseroan (Persero)
PT Aneka Tambang menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Aneka

21
Tambang, yang telah memperoleh pengesahan dari Menkumham dalam Surat
Keputusannya No. Y.A. 5/170/4 tanggal 21 Mei 1975 dan kedua Akta tersebut di
atas telah didaftarkan dalam buku register yang berada di Kantor Pengadilan
Negeri Jakarta berturut-turut di bawah No. 1736 dan No. 1737 tanggal 27 Mei
1975 serta telah diumumkan dalam Tambahan No. 312 BNRI No. 52 tanggal 1
Juli 1975. Untuk mendukung pendanaan proyek ekspansi feronikel, pada tahun
1997 Perseroan menawarkan 35% sahamnya ke publik dan mencatatkannya di
Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 1999, Perseroan mencatatkan sahamnya di
Australia dengan status foreign exempt entity dan pada tahun 2002 status ini
ditingkatkan menjadi ASX Listing yang memiliki ketentuan lebih ketat.

22

Anda mungkin juga menyukai