Anda di halaman 1dari 5

ILMU KALAM DAN HUKUMNYA

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

‫صحْ بِّه و ُخلفائه‬


َ ‫ ثم على ال ُمبَشِّرين به وآله و‬،‫ والصالة والسالم على سيدنا رسول هللا محمد خير العَبيد‬،‫الحمد هلل ذي الحمد المجيد‬
‫وورثته إلى يوم ال َمزيد‬.

Ilmu Kalam juga disebut dengan ilmu Aqidah atau Ushuluddin yaitu pokok-pokok Agama
karena materi kajian ilmu aqidah ini menyangkut aqidah-aqidah yang merupakan pokok bagi
agama, seperti kepercayaan yang berkaitan dengan ketuhanan, kepercayaan yang berkaitan
dengan kenabian, kepercayaan yang berkaitan dengan hal-hal yang ghaib seperti tentang hari
akhir, hari kiamat, hari pembalasan, surga, neraka dan lain-lain, namun ilmu kalam lebih kepada
pendalaman dalil-dalilnya, oleh karena inilah disebut dengan ilmu kalam (ilmu yang sering
diperbincangkan dalil-dalilnya).

Dinamakan ilmu kalam karena dalam ilmu aqidah ini banyak dibicarakan tentang sifat-sifat
Tuhan yang antara lain adalah sifat kalam. Sedangkan para ulama dan ahli ilmu kalam disebut
dengan mutakallimin yaitu para pakar ilmu kalam.

Ilmu kalam juga dinamakan ilmu Tauhid yaitu ilmu tentang keesaan Tuhan, karena obyek kajian
dalam ilmu ini berangkat dan banyak difokuskan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan keesaan
Tuhan.

Juga dinamakan dengan ilmu an-Nadhor dan al-istidlal karena ilmu aqidah ini lebih banyak
bersandar pada hasil penalaran dan pembuktian dengan dalil aqli disamping dalil aqli.

Imam Abu Hanifah menamakan ilmu aqidah atau ilmu kalam dengan al-Fiqhul akbar yaitu fiqih
besar. Sedangkan ilmu yang berkaitan dengan amaliah sehari-hari seperti ibadah sholat, zakat,
puasa, haji dan lain-lain dinamakan dengan al-fiqhul asghor yaitu fiqih kecil.

Di Indonesia ada juga orang-orang yang menamakan ilmu aqidah ini dengan ilmu sifat dua
puluh, karena dalam ilmu aqidah ini dibicarakan tentang sifat wajib Allah yang jumlahnya dua
puluh. Ada pula yang menamakannya dengan ilmu sifat lima puluh karena dalam ilmu aqidah ini
dibicarakan tentang sifat-sifat yang wajib, mustahil dan yang jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya yang
jumlahnya lima puluh.

Kesimpulannya, istilah-istilah semua itu yaitu ushuluddin, ilmu kalam, ilmu aqidah, ilmu tauhid,
ilmu aqo’id, ilmu sifat dua puluh dan fiqul akbar, merupakan istilah bagi obyek yang satu yaitu
ilmu yang membicarakan tentang keyakinan dan kepercayaan tentang ketuhanan, kenabian,
keakheratan dan lain-lain.
Tidak sedikit di antara kalangan yang berpandangan negative terhadap ilmu kalam yang menjadi
wadah kajian aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Pandangan negative ini dilandasi oleh asumsi
mereka bahwa ilmu kalam itu identik dengan ilmu filsafat yang dianggap negative oleh kalangan
agamawan. Sehingga pada gilirannya anggapan nnegatif tersebut berlaku pula terhadap ilmu
kalam. Atau dari pemahaman yang separuh-separuh.

Sebenarnya anggapan negative terhadap ilmu kalam adalag berangkat dari ketidak fahaman
terhadap hakikat ilmu kalam serta perbedaannya dengan ilmu filsafat. Padahal apabila difahami
dengan benar, ilmu kalam itu berbeda dengan ilmu filsafat. Dengan pencermatan yang agak
seksama, akan ditemukan sekian banyak perbedaan antara ilmu tauhid atau ilmu kalam dengan
ilmu filsafat yang dotolak oleh agamawan itu. Perbedaan antara ilmu kalam dengan ilmu filsafat
tersebut meliputi metodologi (manhaj), karakter penelitian, objek dan tujuan.

Pertama : dari segi metodologi. Kalau diamati dengan seksama, para filosof membicarakan
eksistensi Allah, para malaikat dan lain-lainnya hanya berlandasan pada pemikiran dan rasio.
Mereka menjadikan akal sebagai pokok bagi keyakinan tanpa mempertimbangkan prinsip-
prinsip yang dibawa oleh para nabi. Mereka tidak mengingkatkan dirinya dengan upaya
rekonsiliasi antara rasional dengan prinsip-prinsip yang dibawa oleh para nabi. Demikianm ini
berbeda dengan para ulama tauhid atau ilmu kalam yang membicarakan hal-hal tersebut dalam
konteks menjadikan akal satu-satunya perangkat untuk membuktikan kebenaran ajaran yang
dating dari Allah dan ajaran yang dibawa oleh para nabi. Menurut ulama tauhid akal adalah
sarana / perantara yang dapat membuktikan kebenaran ajaran-jaran agama, bukan fondasi atau
titik tolak bagi keyakinan dalam beragama.

Kedua : dari segi tujuan. Bila kita perhatikan tujuan bidang studi ilmu kalam, akan kita dapati
bahwa seorang ahli ilmu kalam memiliki tujuan yang konkrit yaitu bertujuan memperkokoh dan
memperkuat aqidah yang menjadi keyakinan dalam agama. Hal ini berbeda dengan seorang
filosof yang memiliki tujuan yang masih belum jelas, yaitu mencari kebenaran seperti apapun
bentuknya. Perbedaan antara kedua tujuan ini jelas sekali.

Dari pemaparan di atas kiranya dapat mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ilmu kalam
berbeda dengan ilmu filsafat, dan perbedaan tersebut melahirkan hokum yang berbeda pula bagi
keduanya. Ilmu kalam diajarkan oleh para ulama sementara ilmu filsafat ditolak oleh mereka.

Hukum ilmu kalam atau ilmu Tauhid :

Wahhabi / Salafi : Mereka mengharamkan ilmu kalam secara muthlaq. Mereka berdalih
seandainya ilmu kalam termasuk urusan agama, sudah pasti hal itu urusan terpenting yang
diperintahkan oleh Rasulullah Saw dan mengajarkan metodenya, memuji ilmu kalam dan
memuji orang-orangnya. Tapi Rasul Saw malah mengajarkan istinja’ dan ilmu fiqih lainnya.
Mereka juga mengambil dalil dari ucapan-ucapan ulama kita (Ahlus sunnah) sebagai dalil
pengharaman ilmu kalam. Seperti imam Sayafi’I yang berkata “ Sungguh seorang hamba
berjumpa dengan Allah dengan membawa semua dosa selain dosa syirik lebih baik daripada
berjumpa dengan Allah dengan membawa ilmu kalam “. Bahkan imam Syafi’I memerintahkan
untuk memberi sanksi cambuk dan diarak keliling kampung bagi orang yang mendalami ilmu
kalam dan meninggalkan al-Quran dan Hadits. Padahal bukan demikian yang dimaksud oleh
imam Styafi’i.

Ibnu Taimiyyah, pendiri wahhhabiyyah megatakan : “ Sesungguhnya para pengikut paham


Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm
ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya
secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu
berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga
kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu
mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa
mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan) .

Ahlus sunnah wal Jama’ah : Hukum ilmu kalam diperinci. Mengharamkan ilmu kalam secara
muthlaq adalah salah dan membolehkan ilmu kalam secara muthlaq juga salah.

Hukum ilmu kalam terbagi menjadi empat : Halal, sunnah, wajib dan haram menurut sikon.

Perkara yang haram terkadang dihukumi haram karena dzatnya seperti khomer (arak) dan
bangkai. Alasan keharaman karena dzatnya adanya sifat pada dzatnya yaitu khomer sifatnya
memabukkan dan bangkai sifatnya mati.

Dan dihukumi haram karena yang lainnya (bukan dzatnya) seperti makan tanah atau berwudhu
dengan air curian. Tanah hukumnya halal tp karena membahayakan jika dimakan maka menjadi
haram. Demikian juga air hukumnya halal tapi karena diperoleh dengan cara mencuri maka
hukumnya haram.

Demikian juga ilmu kalam atau ilmu tauhid hokum aslinya adalah halal atau ada manfaatnya
yaitu menjaga aqidah dari ajaran-ajaran yag rancu.

Dan menjadi haram atau ada madhorotnya jika mendorong pada kesyubhatan dan menggoyahkan
aqidah dari kekokohan dan juga dapat memperkuat aqidah orang-orang ahli bid’ah di dalam dada
mereka sekiranya ahli bid’ah semakin terus berkeyakinan pada bid’ahnya akan tetapi jika ia
memiliki sifat fanatisme. Oleh karena itu kamu melihat ahli bid’ah yang awam masih bisa lepas
dari aqidah bid’ahnya dengan sikap lembut, kecuali jika ia tumbuh di kalangan yang suka
berdebat dan fanatisme. Karena seandainya orang-orang dulu dan sekarang jika bersatu untuk
membenarkan aqidahnya, tidak akan mampu mencabut aqidah bid’ahnya dari dadanya bahkan
hawa nafsu dan fanatisme serta membenci lawannya akan menguasai hatinya dan mencegahnya
dari mengetahui kebenaran, sampai-sampaib seandainya ditanyakan padanya “ Apakah kamu
mau Allah menyingkap kebenaran dan memberitahumu bahwa kebenaran ada pada lawanmu ? “
maka niscaya ia akan membenci hal itu karena takut lawannya menjadi senang sedangkan ia
susah atau malu.

Kesimpulannya adalah : Orang-orang awam yang sibuk dengan aktifitas kerjanya, wajib
meninggalkan ilmu kalam atas dasar kesalamatan bagi aqidahnya yang telah ia pelajari dasar-
dasarnya sebagaimana yang telah tersusun dalam QOWAIDUL AQOOID imam Ghozali atau
AQIDATUL AWAM. Karena mempelajari ilmu kalam bisa membahayakannya, sebab terkadang
membuatnya ragu dan goyah aqidahnya maka tidak memunkinkan untuk meluruskannya stelah
itu.

Adapun orang awam yang bid’ah (dholalah) maka sebaiknya diajak kebenaran dengan sikap
lembut yang berdasarkan dalil al-Quran dan hadits yang diselai dengan nasehat lembut karena
hal itu lebih berpengaruh dan lebih bermanfaat ketimbang berdebat.

Adapun jika di daerah itu sedikit adanya bid’ah maka sebaiknya cukup dengan mengajarkan
aqidah ringkas dasarnya saja seperti AQOOIDUL AQOOID imam Ghozali. Tidak harus
mnyebutkan dalil-dalilnya jika tidak ada keraguan, namun jika ada keraguan maka menyebutkan
dalil sekedar butuhnya.

Jika di daerah itu bid’ah sudah mnyebar dan banyak terjadi (seperti di Indonesia ini yang banyak
ajaran atau tauhid wahhabi menyebar dikalangan Ahlus sunnah bahkan ada yang menjadi
kurikulum di sekolah-sekolah NU dan sudah banyak buku-buku gratis ajaran bid’ah mereka
yang dibagi-bagikan saat hendak berangkat haji atau pulang haji) dan ditakutkan bagi anak-anak
kecil dan awamnya tertipu akan hal tersebut, maka tidak mengapa mengajarkan lebih dari
dasarnya namun tetap menurut kadarnya masing-masing seperti kitab ar-Risalatul Qudsiyyah
imam ghozali. Supaya hal itu menjadi penolak pengaruh ajaran-ajaran ahli bid’ah.

Allah Swt btelah berfirman “ QUL HAATUU BURHAANAKUM “ (katakan; tunjukkan


pembuktiannmu)

“ WATILKA HUJJATUNAA AATAINAHA IBRAHIMA ‘ALA QOUMIH “ (itulah hujjah


kami yang kami berikan kepada Ibrahim untuk menghujjah kaumnya)

Para sahabat R.anhum dahulu mendebat orang-orang yang ingkar dan orang yang pertama kali
mengajak ahli bid’ah dengan perdebatan adalah imam Ali Ra yang diutus Ibnu Abbas Ra kepada
kaum khowarij untuk mendebat mereka yang pada akhirnya dua ribu dari kaum khowarij
kembali kepada ajaran imam Ali Ra.
Hasan al-Bashri pun pernah mendebat seorang dari golongan qodariyyah lalu orang itu kalah dan
bertaubat. Dan masih banyak lagi para sahabat lainnya.

Adapun larangan imam Syafi'i mempelajari ilmu kalam adalah karena berakibat menimbulkan
keraguan bagi orang-orang awamnya. Suatu hari seorang sahabat imam syafi'i yang mengadu
pada imam syafi'i, si fulan memberitahukan aku, bahwa Allah begini begini, kemudian imam
syafi';i berkata pada shahabatnya, katakanlah pada si fulan begini begini. dan peristiwa ini terjadi
berulang ulang pada murid imam syafi'i. oleh karena itu, imam syafi'i melarang membahas ilmu
kalam (tauhid yang mendalam) karena menimbulkan keraguan.

Sumber :

- Ihya’ ulumddin, imam ghozali

- Tuhfah al-murid ‘ala jauharat tauhid, syaikh Ibrahim al-Bajuri

- As-Sunnah wal Bid’ah, habib Abdullah bin Muhammad al-Haddad

- Mafahim yajib an tushohhah, sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki

- Silkud Duror, habib Muhammad bin Ali al-Muradi al-Husaini

- Madzhab Al-Asy’ari, Muhammad Idrus Romli

(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)

Anda mungkin juga menyukai