Anda di halaman 1dari 6

Jamiat Kheir Dan Al-Irsyad

Setelah Ahmad Surkati memisahkan diri dari Jamiat Kheir, dengan bantuan
keuangan dari beberapa orang Arab, yang terbesar diantaranya dari Abdullah bin
Alwi Alatas sebanyak f. 60.000[1], Ahmad Surkati membuka madrasah al-Irsyad al-
Islamiyah yang berada dibawah yayasan Jam’iyyah al-Ishlah wal al-Irsyad al-
Arabiyah, yang kepengurusan hariannya diketuai oleh sayid Abdullah bin Abubakar
al-Habsyi. Dalam waktu singkat, organisasi ini mendapatkan pengakuan dari
pemerintah Hindia Belanda tepatnya pada tanggal 11 Agustus 1915.[2]
Bulan Oktober 1915, kaum alawi mengkonfirmasikan kepada Surkati mengenai
fatwa kafaahnya di majalah Sulu Hindia, yang diberi nama Surah al-Jawab . Mereka
bertanya dasar alasan pendapat Surkati mengenai perkawinan seorang syarifah dan
non-sayid. Surkati mengeluarkan fatwa yang menurutnya ia ambil berdasarkan
alquran dan sunnah. Dalam fatwanya, ia mendukung kesetaraan setiap muslim
tanpa memandang keturunan, ras, bahasa, dan mencela pendapat kaum alawi yang
berpendapat bahwa persyaratan pernikahan harus berdasarkan kafaah yang
diantaranya adalah adanya pertimbangan dari segi keturunan. Surkati memberi
argument penjelasan mengenai kesetaraan berdasarkan alquran surat al-Hujurat
ayat 13, yang berbunyi :
Wahai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis laki-laki dan
perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan qabilah-qabilah
untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian
ialah yang paling besar taqwanya.
Melalui pamplet yang berisi penjelasan Surkati itu, membuahkan reaksi dari
kalangan alawi. Mereka menentang Surkati dengan mempertahankan prinsip yang
mereka lakukan. Di antara mereka ialah Abdullah bin Muhammad Sadaqah Dahlan
pengganti Surkati yang menjadi pimpinan di madrasah Jamiat Kheir, dengan
tulisannya yang diberi judul Irsal al-Shihab ala Surah al-Jawab. Dalam jawabannya
Dahlan pun menggunakan dalil-dalil yang diambil dari alquran dan hadits. Ketika
Surkati menggunakan alasan pada prinsip persamaan, Dahlan menggunakan alasan
keutamaan. Dahlan berargumentasi bahwa Allah swt mempunyai hak istimewa
untuk memberikan keutamaan/kelebihan kepada seseorang, dan kaum muslimin
wajib menerima ketentuan Allah tersebut. Untuk menguatkan argumennya Dahlan
mengutip beberapa ayat alquran, diantaranya surat al-Nisa ayat 32, yang berbunyi :
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
Begitu pula surat al-Nisa ayat 34, yang berbunyi :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).
Dahlan melanjutkan argumentasinya dengan menegaskan bahwa Allah telah
memberikan keutamaan kepada keluarga nabi yang disebut Ahlul Bait, yang terdiri
dari Nabi Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein dan semua anak keturunan
mereka. Dahlan mengutip kembali ayat alquran yang terdapat dalam surat al-Ahzab
ayat 33, yang berbunyi :
Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya.
Di samping itu Dahlan juga mendukung argumentasinya berdasarkan hadits
Rasulullah yang berbunyi :
Aku tinggalkan kepada kalian dua bekal, yang pertama kitabullah, di dalamnya
terdapat petunjuk dan cahaya yang terang, ambillah kitabullah itu dan
berpegang teguhlah padanya, dan ahlul baitku. Aku ingatkan kalian kepada
Allah mengenai ahlul baitku. (Beliau mengucapkannya tiga kali).
Dahlan juga menuliskan dalil lain yang menjelaskan keutamaan Rasulullah, yaitu :
Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari bangsa Arab, dan memilih
Quraisy dari Kinanah, kemudian memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilih
aku dari Bani Hasyim …
Ahmad Surkati dengan sikap diam seribu bahasa tak bisa lagi membalas
argumentasi yang dikemukakan oleh Dahlan, bahkan bantahan terhadap tulisan
Abdullah Dahlan tersebut dilakukan oleh Abdullah al-Aqib, anak murid dari Surkati,
dengan judul Fashl al-Khitab fi Ta’yid Surah al-Jawab. Selain tulisan Abdullah
Dahlan, terdapat pula tulisan lain yang membahas masalah kafaah dari kalangan
Alawi, diantaranya kitab al-Burhan al-Nuroni fi Dahdh Muftaroyat al-Sinari al-
Sudani karangan al-Allamah Alwi bin Husein Mudaihij. Selanjutnya argumentasi
yang ditulis oleh Surkati dan pendukungnya terkikis habis oleh tulisan mufti Johor al-
Allamah Alwi bin Thohir al-Haddad dengan judul kitabnya al-Qaul al-Fashl fima li
Bani Hasyim wa Quraisy wa al-Arab min al-Fadhl. Kitab yang diterbitkan pada tahun
1926 tersebut menelanjangi kekeliruan Surkati dalam memberikan fatwa.
Setelah Jakarta, al-Irsyad membuka cabang dan madrasah di kota Tegal,
Pekalongan, Surabaya dan Cirebon. Sistem administrasi pendidikan sepenuhnya
berada dibawah Surkati, dan kurikulum pendidikan modern sepenuhnya ia ambil dari
Jamiat Kheir. Di Tegal, madrasah al-Irsyad dipimpin oleh Abdullah Salim Alatas. Di
kota ini pula didirikan sekolah dengan nama al-Irsyad akan tetapi tidak mempunyai
hubungan dengan organisasi al-Irsyad pimpinan Ahmad Surkati. Pada tanggal 1
November 1913, sekolah al-Irsyad di Tegal didirikan oleh keturunan Arab di daerah
tersebut, yaitu Ahmad bin Muhammad bin Syekh Abubakar sebagai ketua, Said bin
Salim Baasir sebagai wakil ketua, Saleh bin Muhammad bin Sungkar sebagai
sekretaris satu, said bin Abdullah Baasir sebagai sekretaris dua, Husein bin Ahmad
bin Syekh Abubakar sebagai bendahara satu, Abdul Mutholib bin Muhammad bin
Syekh Abubakar sebagai bendahara dua, Abdullah bin Ali Baisa sebagai komisaris
utama. Adapun tujuan dari sekolah al-Irsyad Tegal yaitu untuk kemajuan masyarakat
Islam di bidang pengetahuan agamanya, menulis dan bahasa Arab serta bahasa
lainnya. Selain itu juga bertujuan menolong orang yang mengalami musibah
kematian atau mengadakan pesta pernikahan. Keanggotaannya terbuka untuk
setiap orang yang baik dan beragama Islam.
Keluarnya Ahmad Surkati dari Jamiat Kheir bukanlah disebabkan oleh isu-isu
keagamaan yang saat itu beredar. Keluarnya Surkati lebih disebabkan oleh
konspirasi kolonial Belanda yang telah diatur oleh Umar Manggus dan Rinkes,
penasehat Belanda untuk masyarakat Arab dan pribumi.[3] Hubungan ketiga orang
ini telah terjalin sebelumnya untuk menciptakan konflik di kalangan masyarakat
Islam dan memenuhi aspirasi pribadi. Dari jauh hari kaum alawi telah memberi
nasehat kepada Surkati melalui Jamiat Kheir agar tidak berhubungan dengan Umar
Manggus dan Rinkes, akan tetapi Surkati menolak permintaan mereka. Kedekatan
hubungan antara Surkati, Umar Mangus dan pihak pemerintah kolonial Belanda,
membuat para pejabat Belanda selalu campur tangan untuk menolong kesulitan-
kesulitan kedua orang itu dan al-Irsyad. Sebaliknya, saat itu Jamiat Kheir sedang
berjuang terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sebagai tanda perjuangannya,
Jamiat Kheir menolak untuk mengajarkan bahasa Belanda di sekolahnya dan lebih
memilih bahasa Inggris untuk diajarkan kepada murid-muridnya.
Setelah itu, pengurus Jamiat Kheir menunjuk Abdullah Dahlan sebagai
pengawas pendidikan untuk mengamati semua materi pelajaran yang diberikan
kepada murid-murid dan melaporkannya secara rutin kepada pengurus Jamiat Kheir.
Sebelum hal itu terlaksana, rupanya Surkati telah mengetahui keputusan itu, ia tidak
terima jika harus diperlakukan demikian, maka ia mengambil keputusan untuk
berhenti dari jabatannya, dan pengurus Jamiat Kheir mengabulkannya pada tanggal
18 September 1914. Seminggu setelah keluar, Surkati mengadakan pertemuan di
rumah Umar Manggus untuk menyusun draft Anggaran Dasar organisasi al-Irsyad
yang salah satu pasalnya mengandung maksud menyiarkan pelajaran dan
pengetahuan Islam di Hindia Belanda, dan mendirikan madrasah-madrasah. Tiga
bulan kemudian organisasi tersebut resmi mendapatkan persetujuan dari pemerintah
Hindia Belanda.
Kepengurusan al-Irsyad pertama kali diketuai oleh Salim Awad Balweel, yang
dipecat pada tahun 1920 melalui rapat umum anggotanya. Pada tahun 1919 mulai
timbul konflik intern ditubuh al-Irsyad, ditandai dengan beberapa pengurusnya yang
mengundurkan diri sehingga terjadi perubahan-perubahan dalam kepengurusan al-
Irsyad. Hal ini menjadi perhatian anggota al-Irsyad yang berada di luar Jakarta,
ditambah adanya berita dari kalangan al-Irsyad yang menyatakan bahwa beberapa
sayid alawi meminta kepada Salim bin Awad Balweel, untuk mengganti nama al-
Irsyad dengan ‘al-Katsiri‘, alasan permintaan itu berdasarkan pertimbangan bahwa
nama al-Irsyad telah memecah belah masyarakat Arab asal Hadramaut menjadi dua
kelompok.[4]
Kemudian Salim bin Awad Balweel mengundang pengurus dan anggota al-
Irsyad untuk menghadiri pertemuan umum yang akan diadakan di kantor al-Irsyad di
Batavia pada tanggal 15 Februari 1920. Anggota al-Irsyad menuduh beberapa tokoh
al-Irsyad di Batavia melakukan konspirasi dengan kaum alawi. Selanjutnya anggota
al-Irsyad tersebut menghubungi anggota lainnya untuk terus memperjuangkan
keberadaan organisasi al-Irsyad.
Pada tanggal 14 Februari 1920, beberapa utusan al-Irsyad datang ke Batavia
dan diterima dengan baik oleh Umar Manggus dan pendukungnya. Pada hari yang
sama ketika Salim Balweel datang untuk memulai pertemuan umum organisasi al-
Irsyad, ternyata ia telah dipecat dari posisinya sebagai ketua dan keanggotaannya
dalam organisasi al-Irsyad pun berakhir. Posisi ketua al-Irsyad yang baru dipegang
oleh Ghalib Said bin Tebe’, yang pernah menjadi pimpinan Jamiat Kheir Bogor.
Pada tanggal 26 Mei 1920, Salim bin Awad Balweel mengadakan pertemuan di
rumahnya untuk menandingi al-Irsyad dukungan Umar Manggus. Salim Balweel pun
membawa perkara pemecatannya ke pengadilan, hasilnya pengadilan
memutuskanmenerima gugatan Salim Balweel bahwa pertemuan umum yang
dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 1920 yang berlangsung tanpa kehadirannya
adalah tidak sah. Selanjutnya ia mengumumkan melalui Javasche Courant no. 44
tanggal 1 Juni 1923, bahwa perkumpulan al-Irsyad berdasarkan keputusan rapat
anggota tanggal 26 Maret 1920 telah dibubarkan. Akibatnya pada tahun 1924, al-
Irsyad cabang Surabaya memisahkan diri dan mendirikan yayasan perguruan al-
Irsyad Surabaya yang tidak lagi mempunyai hubungan dengan al-Irsyad pusat.
Kejadian-kejadian tersebut menciptakan suasana tegang yang berkelanjutan
antara Ahmad Surkati dengan beberapa tokoh terpandang al-Irsyad, puncaknya
Surkati dengan penuh rasa penyesalan sebagai pembawa benih perpecahan
ditubuh al-Irsyad khususnya dan masyarakat Arab Hadramaut umumnya, kemudian
mengundurkan diri dari organisasi al-Irsyad.
Pernah di tahun 1930 dalam surat kabar ‘Birhud‘ terdapat tulisan-tulisan yang
mempertanyakan manfaat sekolah-sekolah Arab. Menanggapi tulisan itu, Ahmad
Surkati dengan beberapa orang dari al-Irsyad membentuk kongres yang
memutuskan tunduk kepada keputusan yang dikeluarkan oleh badan yang di
pimpinnya. Sebagai reaksi atas pertemuan itu, Awab Syahbal menerbitkan brosur
yang berisi kritikan keras kepada Ahmad Surkati. Syahbal mengatakan bahwa
Ahmad Surkati pantas untuk diikat lehernya dengan rantai, karena ia telah
menyesatkan masyarakat dengan materi pelajaran-pelajarannya. Abdullah Bajerei
menyetujui maksud baik dan mulia dari Awab Syahbal akan tetapi penyampaian
kritik Syahbal dalam brosurnya, menurut Bajerei terlalu keras.
Sebagaimana Jamiat Kheir, pada tahun 1920 al-Irsyad pernah mendatangkan
Ahmad al-Ghanaim seorang guru dari Mesir. Ia didatangkan al-Irsyad sebagai guru
di sekitar tahun 1920-an, seperti kejadian yang dialami oleh Jamiat Kheir, al-
Ghanaim pun pergi meninggalkan al-Irsyad karena ketidaksepahamannya dengan
al-Irsyad, akan tetapi ia tetap bersikap bijaksana dalam menghadapi persoalan
tersebut. Ketika Nahdhatul Ulama berdiri, ia masuk organisasi itu sebagai salah satu
pengurus, yang kemudian hari diutus oleh organisasi tersebut bersama Abdul
Wahab Hasbullah sebagai delegasi ke Kongres Islam sedunia di Mekkah untuk
memperjuangkan kepada Raja Ibnu Suud agar hokum-hukum menurut empat
madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) mendapat perlindungan dan kebebasan
dalam wilayah kekuasaannya.
Pada pertumbuhan selanjutnya al-Irsyad sangat tergantung kepada
dukunganperkumpulan al-Jam’iyah al-Katsiriyah al-Islahiyah, yang berdiri di Jakarta
dan mendapat pengakuan sejak tanggal 31 Oktober 1931. Dalam Anggaran
Dasarnya, perkumpulan tersebut mempunyai maksud untuk menyiarkan adat istiadat
yang baik dan adat istiadat Arab dan lainnya dari pada adab yang sesuai dengan
agama Islam dan kemanusiaan, dan memberi pengajaran pada bangsa Arab
membaca dan menulis serta bahasa Arab dan lain-lain bahasa, mendirikan gedung-
gedung sekolah, memelihara anak yatim dan misikin, mendamaikan perselisihan
yang timbul antara suku al-Katsiri dan bangsa lain, serta memajukan ekonomi dalam
kalangan bangsa Arab.
Susunan kepengurusan dari perkumpulan al-Katsiriyah semuanya didominasi oleh
orang-orang Arab dari keturunan Syanfari al-Hamdani. Adapun nama-nama yang
duduk pertama kali dalam kepengurusan perkumpulan tersebut, Ketua : Muhammad
Abdullah Abdat, Wakil Ketua : Awab Muhammad Munabari, Sekretaris I : Salim
Abdullah Bin Talib, Sekretaris II : Saleh Jafar Bin Sanad, Bendahara : Said Ali Bin
Aun, Anggota : Ali Badar Haidarah, Ali Saleh Bin Mahri, Chamis Ali Bin Said, Awad
Agil Balfas, Muhammad Said al-Uweini, Salim Jafar Munabari, Aid Said Bin Segeir,
Salim Jaslan Ambadar, Abdul Karim Salmin Bin Mar’i dan Salah Muhammad Bin
Talib.[5]

[1] Deliar Noer, op cit, hal. 75.


[2] Deliar Noer, op cit, hal. 73.
[3] Huub De Jonge & Nico Kaptein, op cit, hal. 210.
[4] Huub De Jonge & Nico Kaptein, op cit, hal. 212.
[5] H. Abubakar, Sejarah Hidup KH. A Wahid Hasyim dan karangan tersiar, hal. 234.

Anda mungkin juga menyukai