PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang disebut dalam sejarah Islam, muncul periode untuk pembabakan waktu
menurut ciri dan karakteristik setiap periode. Secara garis besar sejarah islam dapat dibagi ke
dalam tiga periode besar, yaitu klasik, pertengahan, dan modern. Pada periode klasik keadaan
islam sedang dalam perkembangan yang sangat pesat dalam segi wilayah kekuasaan. Pada masa
pertengahan awal, terjadi kemajuan di 3 dinasti besar islam (Utsmani, Syafawi, Mughal),
sedangkan pada masa pertengahan akhir, 3 dinasti ini mengalami kemunduran. Utsmani dipukul
Eropa, Syafawi diserang suku bangsa Afghan, dan Mughal diperkecil wilayahnya karena gangguan
raja-raja Hindustan. Akibat dari keterpurukan tersebut, kondisi umat islam menjadi mundur dan
statis. Sampai akhirnya banyak lahir pembaharu islam yang membawa islam menuju periode
modern.[1]
Di jazirah Arab sendiri sebagai wilayah kekuasaan Utsmaniyah juga terjadi hal serupa.
Keadaan masyarakat Arab saat itu terdiri atas kabilah-kabilah, dan tidak ada hubungan antara
mereka kecuali hubungan permusuhan. Jalan-jalan tidak aman, dan perampokan terjadi dimana-
mana. Kekuasaan Istanbul saat itu tidak terasa sama sekali, kecuali hanya nama.[2] Kenyataan
itulah yang membuat umat islam saat itu jauh dari agama dan cenderung
melakukan Taklid, Bid’ah, dan Khurafat.
Di tengah kondisi umat islam yang seperti itu, muncul ditengah-tengah mereka seorang
pembaharu. Bukan mencetuskan pemikiran berkaitan pembenahan perpolitikan dunia Islam,
namun mambawa perubahan menyikapi tercemarnya Tauhid dalam masyarakat
Arab.[3] Pembaharu ini ialah Muhammad bin Abdul Wahab, yang dalam buku Fazlur Rahman
berjudul Islam pengikut ajarannya disebut sebagai ‘Gerkan Wahabi’.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kami selaku penyusun makalah menyajikan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab?
2. Apa pemikiran yang diusung Muhammad bin Abdul Wahab?
3. Bagaimana respon dan pengaruh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab terhadap umat Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui latar belakang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
2. Mengetahui pemikiran yang diusung Muhammad bin Abdul Wahab
3. Mengetahui respon dan pengaruh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab terhadap umat Islam
BAB. II
PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Bin Abdul Wahab
Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab memiiki nama lengkap Muhammad bin ‘Abd al Wahhab bin
Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif
at Tamimi al-Hambali an-Najdi.[1] Muhammad Bin Abdul Wahab berasal dari Qabilah Banu
Tamim.[2] Ia lahir tahun 1115 Hijriah (1703 Masehi) dan wafat tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi).
Beliau wafat di usia yang sangat tua, dengan umur sekitar 91 tahun. Muhammad bin Abdul Wahab
belajar ilmu agama dasar bermazhab hambali dari ayahnya yang juga seorang qadhi (hakim).
Pernah juga ia mengaji kepada beberapa guru agama Makkah dan Madinah.[3] Di antara gurunya
di Makkah terdapat nama Syeikh Muhammad Sulaiman al Kurdi, Syeikh Abdul Wahab (bapaknya
sendiri) dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab.
Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.
Hal ini dapat dibaca dalam buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir yang
membakar untuk menolak paham Wahabi), karangan kakaknya, Sulaiman bin Abdul Wahab.
Menurut Ustadz Hazan Khazbyk dalam suatu karangannya dikatakan, bahwa Muhammad bin
Abdul Wahab ketika mudanya banyak membaca, buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan lain-
lain pemuka yang tersesat.[4]
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb merupakan seorang ahli teologi agama Islam dan seorang
tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang
kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin
Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan
kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya
menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah
ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".[5]
B. Pemikiran Yang Diusung Muhammad Bin Abdul Wahab
Garis besar pemikiran Muhammad Bin Abdul Wahab berhubungan dengan pemurnian
Tauhid, yaitu kembali pada dua ajaran pokok islam (Al-Qur’an dan Hadits).[15] Paham ini juga
menolak qiyas sebagai metode untuk memutuskan hukum dalam islam.[16] Selain itu ia juga
terfokus pada upaya memerangi bid’ah.[17] Berikut adalah pokok-pokok pemikiran Muhammad
bin Abdul Wahab:
1) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah, dan orang yang yang menyambah selain-Nya
adalah musyrik.
2) Meminta pertolongan bukan dari Allah, tetapi dari syeikh atau wali dan kekuatan ghaib adalah
syirik
3) Menyebut nama nabi, syaikh, atau malaikat sebagai perantara doa adalah syirik.
4) Meminta syafaat selain dari Allah adalah syirik
5) Bernazar atas nama selain Allah adalah syirik
6) Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an dan Hadits adalah kufur
7) Tidak percaya kepada qada dan qadar adalah kufur
8) Menafsirkan Al-Qur’an dengan ta’wil adalah kufur.[18]
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu aliran yang bernama
Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19. Wahabiyah adalah suatu bagian dari firqah
Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M – 1787 M).[6] Paham atau
Madzhab Wahabi pada hakikatnya adalah kelanjutan dari mazhab Salafiyyah yang dipelopori
Ahmad Ibnu Taimiyyah.
Muhammad bin Abdul Wahab mendalami ilmu-ilmu syariat dengan berkeliling ke wilayah-
wilayah islam, seperti Basrah, Baghdad, Hamadzan, Ashfaham, Qum, dan Kairo. Setelah itu ia
berkeliling mendakwahkan pahamnya yang tak jauh berbeda dengan paham Ibnu taimiyyah dan
mayoritas penganut mazhab Hambali. Abdul Wahab mengadakan pembaruan dengan
memperketat beberapa masalah yang tidak dilakukan oleh guru-gurunya. Ia mengharamkan rokok,
melarang membangun kuburan, meskipun sekedar dengan membuat gundukan tanah, melarang
tashwir (foto atau gambar makhuk bernyawa). Ia juga melarang berbagai adat kebiasaan.[7]
Hal terpenting yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang
agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki
berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan
hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan,
mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap.
Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka,
dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya
bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil
berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana
menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?
Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah. Allah-lah yang
menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama,
selain Kalamullah dan Rasulullah. Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat
para ahli fikih dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah memenuhi
syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan dia wajib melakukannya. Menutup
pintu ijtihad merupakan sebuah bencana atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan
kepribadian dan kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi pintu
ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya mengikuti pendapat atau fatwa
yang tertera dalam buku-buku orang yang di ikutinya.[8]
Gerakan kedua dari usaha pemurnian aqidah yang dilakukan Wahabi adalah pemberantasan
bid’ah, misalnya perayaan Maulid, keluarnya kaum wanita ikut mengiringi jenazah, perayaan-
perayaan spiritual, haul untuk memperingati kematian wali, acara-acara yang lazim dilakukan para
pengikut aliran sufi untuk mengenang kematian guru atau nenek moyang mereka. Di samping itu,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, beberapa kebiasaan, seperti merokok, berlebihan minum
kopi, laki-laki yang memakai kain sutera, mencukur jenggot, dan memakai perhiasan emas, juga
dianggap bid’ah.[9]
Tauhid, menurut Ibnu Abdul Wahhab, pada dasarnya adalah pengabdian (ibadah) hanya
kepada Allah dengan cara yang benar-benar mengesakan-NYA. Ia membagi tauhid menjadi 3,
yaitu :
1. Tauhid Rububiah, berkenaan tentang pengesaan Allah sebagai maha pencipta segala sesuatu yang
terlepas dari segala macam pengaruh dan sebab.
2. Tauhid Asma wa sifat , berhubungan dengan pengesaan nama dan sifat-sifat Allah yang berbeda
dengan Makhluk-NYA.
3. Tauhid Ilahiyah, berkaitan dengan pengesaan Allah sebagai Tuhan yang di sembah.[10]
Di antara ajaran Muhammad bin Abdul Wahab yang berkenaan dengan tauhid adalah :
1. Zat yang boleh disembah hanyalah Allah semata, dan orang yang menyembah kepada selain Allah
telah menjadi musyrikdan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan umat islam bukan lagi penganut tauhid yang murni karena mereka meminta
pertolongan bukan lagi kepada Allah, tetapi kepada para wali dan orang saleh. Muslim seperti ini
telah menjadi musyrik.
3. Termasuk perbuatan musyrik adalah memberikan dan menyebutkan “gelar dan sebutan
kehormatan” kepada nabi, wali atau malaika, terutama dalam shalat, misalnya kata sayyidina,
habibuna, atau syafi’una.
4. Memperoleh dan menetapkan ilmu yang tidak didasarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah
merupakan kekufuran.
5. Menafsirkan Al Qur’an dengn takwil merupakan kekufuran.
6. Pintu ijtihad selalu terbuka dan wajib dilaksanakan oleh orang yang mampu.[11]
Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn Taimiyah.
Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang parsial. Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang
batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk
bid’ah, dan mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk Allah, bukan untuk para
wali, syeikh, atau kuburan.
Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang suci dan bersih. Dia
berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada akidah mereka yang tidak
benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para pendahulunya yang menjunjung tinggi
kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah,
tidak takut mati, atau tidak takut miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat
meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka.[12]
C. Respon Dan Pengaruh Pemikiran Muhammad Bin Abdul Wahab Terhadap Umat Islam
Demikianlah Muhammad bin Abdul Wahab yang selalu memikirkan tauhid dalam aqidah
yang jauh dari syirik, dan tauhid dalam syariah bahwa tidak ada sumber hukum kecuali Al-Qur’an
dan Hadits. Itulah pokok dari dakwah Muhammad bin Abdul Wahab, yang pengaruhnya masih
bisa kita lihat hingga kini. Secara umum, respon dan pengaruh pemikiran Muhammad bin Abdul
Wahab dapat dibagi menjadi dua yaitu kepada masyarakat Jazirah Arab khususnya, dan Dunia
Islam pada umumnya. Berikut adalah penjelasannya:
Wilayah luar Jazirah Arab yang terkena pengaruh ajarannya antara lain:
a. India, dibawa oleh Sayyid Ahmad
b. Al-Jazair, dibawa oleh imam As-Sanusi
c. Mesir, dibawa oleh Muhammad Abduh (Mustofa, 1994: 393)
d. Yaman, dibawa oleh Asy-Syaukani (Mukti, 1995: 57)
e. Sudan, dibawa oleh Utsman Al-Mirghani (Al-Bahiy, 1985: 140)
f. Nigeria, dibawa oleh Utsman Danfodio
g. Guinea, Senegal, dan Mali (Afrika Barat), dibawa oleh Al-Hajj Umar Tal
h. Indonesia, Gerakan Padri dibawa oleh Tuanku Nan Tuo (Nor Huda, 2013: 170)
Kerajaan Utsmaniyah merasa terancam, dan akhirnya 1813 berhasil merebut dua kota suci
kembali. Pada waktu yang sama Istanbul juga mengirimkan dai-dai ke seluruh dunia Islam agar
tidak menerima Wahabiyah. Ulama Islam juga didorong untuk menulis kitab-kitab yang
mendustakan gerakan Wahabi. Atas kekalahan mereka secara politik di Mekkah dan Madinah,
kekuatan mereka menjadi terpecah. Umumnya masyarakat senang atas kekalahan Wahabi, karena
selama ini masyarakat mengenal mereka sebagai gerakan yang keras, sekalipun masyarakat ada
yang tak mengerti hakikat dakwahnya.[30]
BAB. III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) adalah seorang ahli teologi
agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai
mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi dan beliau adalah
seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni.
Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah upaya memperbaiki
kedudukan umat Islam terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu.
Paham tauhid mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar
luas di dunia Islam. Masalah tauhid memang merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab memusatkan perhatiannya
pada persoalan ini.
Muhammad bin Abduh Wahab adalah pembaharu Islam yang kental akan mazhab Hanbali
dan pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia mendasarkan pemikiran pembaharuannya pada pemurnian
Tauhid dan membersihkan bid’ah, khurafat, serta takhayul. Keadaan masyarakat jazirah Arab yang
saat itu jauh dari Tauhid yang murni menjadi fokus utamanya dalam berdakwah. Seseorang yang
Tauhidnya ternoda, dapat dikatakan syirik dan harus diluruskan.
Koalisinya dengan Amir Muhammad ibn Sa’ud berhasil melahirkan kekuatan basis agama
dan politik untuk selanjutnya menguasai Mekkah dan Madinah. Dakwahnya secara terang-
terangan dan keras membuatnya dibenci oleh sebagian besar masyarakat Arab. Namun dampak
yang ditinggalkan untuk masyarakat Jazirah Arab dapat dikatakan positif dengan hilagnya
kemusyrikan. Sementara itu pengaruhnya di Mekkah telah membuat ajarannya diminati jamaah
haji dan akhirnya dibawa ke Negaranya untuk disebarkan menjadi bibit pembaharuan abad 19.
B. Saran
Terlepas dari pro dan kontra pemikiran dan gerakan Muhammad bin Abdul Wahab, yang
jelas ide gerakan pembaharuannya patutlah dihormati dan dihargai sebagai sebuah upaya dari
seseorang muslim yang dengan keyakinan pemahaman tauhidnya telah melakukan sesuatu,
daripada tidak melakukan sesuatu untuk agama.
Daftar Pustaka
Al-Bahiy, Muhammad. 1985. Pemikiran Islam, terj. Bambang Syarif Ma’arif. Bandung: Risalah.
Ali, A. Mukti. 1995. Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan.
Asy-Syak’ah, Mustofa Ahmad. 1994. Islam Tidak Bermazhab, terj. A. M. Basalamah. Jakarta: Gema
Insani Press.
Jamilah, Maryam. 1993. Para Mujahid Agung, terj. Hamid Luthfi A. B.. Bandung: Mizan.
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan
Bintang.
Abbas, Siradjuddin. 2008. I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru.
Ahmad Amin, Husayn. 1995. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Asy-Syak’ah, Mustofa Muhammad. Islam Tidak Bermazhab, Jakarta : Gema Insani Press.
Idahram, Syaikh. 2011. Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Yogyakarta : Pusaka Pesantren.
Wahyudi, K. Yudian. 2009. Gerakan Wahabi di Indonesia, Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press.
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
http://zafirint.wordpress.com/tentang-pemikiran-Muhammad-bin-‘abd-al-wahhab/
[1] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
[2] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008),
hlm. 353.
[3] Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011),
hlm. 30-31.
[4] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru, 2008),
hlm. 353.