Anda di halaman 1dari 3

Melalui Seorang Juru Masak , Profesor

Austria Temukan Islam


Ia dibesarkan dengan cara Kristen konservatif. Kedua orangtuanya penganut Kristen Protestan taat.
Namun ia mengenal Islam melalui seorang juru masa restoran

Lahir di Austria, namun dibesarkan di Jerman. Keluarganya adalah penganut Kristen Protestan yang
taat. Namun beranjak dewasa mulai ragu dengan dogma-dogma dalam ajaran agamanya yang
dianggap tidak rasional. Pencarian kebenaran pun dimulai. Pada usia 16 tahun kembali ke Austria dan
meneruskan studi lanjutnya di Salzburg University hingga meraih gelar doktor ilmu Biologi. Selanjutnya
diterima sebagai dosen dan peneliti di almamaternya. Hingga, dalam sebuah perjalanan ke Mesir, ia
menemukan hidayah melalui perantaraan seorang juru masak hotel yang kemudian jadi suaminya.
Itulah dia Prof. Dr. Aminah Islam (54), Guru Besar Ilmu Biologi pada Universitas Salzburg yang
memeluk Islam Ramadhan 2004 silam. Wanita yang malu difoto karena belum berjilbab itu
menceritakan kisah perjalanan spiritualnya di situs Islam terkemuka www.readingislam.com.

“Saya lahir di Linz, Austria tahun 1953. Namun menghabiskan masa kecil di Muenchen, Jerman hingga
akhirnya pindah ke Salzburg, Austria kala berusia 16 tahun,” ujar Prof. Aminah di awal tulisannya.
Dikatakannya, ia dibesarkan dengan cara Kristen konservatif. Kedua orangtuanya penganut Kristen
Protestan yang taat. Keluarganya juga mengajarkan pendidikan etika dan moral.

Semasa remaja Aminah tidak mengikuti aktifitas di gereja Protestan. Alhasil, orangtuanya lalu
memintanya untuk aktif di gereja Evangelis dan segera menjadi anggota aktif serta menjadi ketua salah
satu kelompok pelajar. Ia belajar Bibel dan yakin dengan dogma bahwa Yesus adalah anak Tuhan.
Demikian juga ia yakini Yesus mati disalib guna menebus dosa-dosa pengikutnya.

Pada mulanya ia jalani semua itu tanpa ada penolakan. Namun beberapa tahun kemudian, masih di
komunitas yang sama, hati kecilnya mulai menolak hingga keluar dari perkumpulan itu karena
bertentangan dengan rasionalnya. Secara berulangkali ia mengatakan bahwa Tuhan masih misterius
baginya. Kala itu ia mulai ragu Yesus sebagai Tuhan. Sejak itulah ia mulai mencari kebenaran hidup.

Aminah menyelesaikan sekolah menengahnya di kota Salzburg. Selanjutnya, di kota kelahiran komponis
kenamaan Mozart itu ia meneruskan pendidikan tinggi di Universitas Salzburg dan mengambil jurusan
Biologi. Belajar sembari bekerja sampingan (part time) di universitas tempatnya belajar pun dilakoni.

Setelah menyelesaikan program doktor, Aminah kemudian menikah dan prosesinya berlangsung di
gereja. Dari permenikahan itu ia memiliki dua orang anak. Namun kebahagiaannya tak berlangsung
lama. Karena alasan tak ada keharmonisan kemudian cerai. Sejak saat itu ia sudah mulai meninggalkan
gereja.

Diterima menjadi dosen

Aminah mencoba melamar kerja karena ia sendirian mengasuh anak-anak. “Alhamdulillah saya dapat
pekerjaan bagus di Universitas Salzburg sebagai staf pengajar dan peneliti di bidang Biologi,” ujarnya
mengenang.

Kemudian ia memutuskan menikah untuk kedua kalinya. Ketika itu ia juga masih dalam proses mencari
kebenaran. Namun pernikahan kedua itu juga bak bencana dan akhirnya cerai lagi. Mirip dengan kasus
pertama.

“Waktu itu suami yang kedua itu mengambil keuntungan dari pekerjaan saya sebagai dosen. Sementara
ia hanya santai saja tanpa ada upaya untuk mencari dukungan financial lainnya. Sakitnya lagi, ia
bahkan tidak peduli terhadap anak-anak,” tukasnya lagi. Syukurnya saat cerai yang kedua itu Aminah
sudah meraih posisi sebagai profesor dan memegang tanggungjawab penuh pekerjaan di kampus.

“Namun saya merasa belum mendapatkan kebahagiaan dalam hidup. Pekerjaan pun dobel dan bahkan
melebihi kapasitas. Ya mengajar, mengasuh anak-anak, mengurus rumah. Hingga saya kelelahan fisik
dan psikis sampai akhirnya mengalami depresi berkepanjangan. Namun saya masih bisa bertahan, itu
karena anak-anak,” akunya.

Selepas perceraian kedua, Aminah mengaku hidup bersama tanpa nikah dengan seorang pria yang
usianya lebih muda 9 tahun dengannya. Hidup bersama tanpa nikah adalah hal lazim di dunia Barat.
“Hanya sebentar, kemudian saya ditinggalkan lagi. Sejak itu saya mulai lagi mengatur hidup sebagai
wanita single, tanpa berharap akan ada pria lagi yang datang. Saya pikir untuk apa lagi. Saya sudah
punya kerja, anak-anak sudah besar, punya apartemen nyaman, mobil, bisa menyalurkan hobi seperti
mendaki gunung, main ski. Sudah bisa berdiri sendiri di atas kedua kaki. Saya sudah tidak punya
kerinduan asmara lagi,” imbuhnya lagi. Namun ia mengaku masih belum puas untuk terus mencari
kebenaran dalam hidup.

Berkenalan dengan Islam

“Pengetahuan tentang Islam sangatlah minim. Masa itu yang saya tahu –melalui media- Islam agama
yang tidak simpatik,” ujarnya. Kala itu ia mengaku tidak pernah mendapatkan kontak dengan Islam
secara langsung dan juga tidak ingin bersentuhan dengan orang-orang dari agama yang waktu itu
disebutnya sebagai agama suka perang.

Sampai akhirnya situasi berubah secara tak terduga. Ceritanya, September 2002 ia bersama koleganya
berencana menghabiskan liburan selama sepekan.

“Kami booking penerbangan pas detik-detik akhir. Syukurlah akhirnya dapat tawaran murah ke Mesir.
Saya memang lagi ingin rilek, mengatur irama hidup kembali selepas lelah bekerja, dan berharap
menemukan kebenaran yang kucari. Jujur saja, tidak ada lagi keinginan untuk menemukan pria idaman
sebagai suami,” ujarnya seraya melanjutkan kisahnya.

“Kala itu, persis di sore pertama kami di hotel saya pergi ke restoran untuk makan malam. Eh entah
bagaimana saya bertemu pandang dengan seorang pria yang terakhir saya ketahui bernama Walid. Ia
juru masak di hotel itu. Kala mata kami bertemu, hati saya bergetar aneh. Ah saya jatuh cinta lagi!.
Walid menceritakan, selepas menjadi suami saya, bahwa ia juga mengalami hal yang sama pada
pandangan pertama itu,” kisah Aminah lagi.

Setelah kejadian itu hampir dua hari mereka tidak bertemu sampai kemudian Walid menulis sepucuk
surat. Isi surat pertamanya itu Walid langsung mengajak Aminah untuk nikah.

“Liburan tinggal beberapa hari lagi dan saya merasakan hati seperti berat meninggalkan tempat itu.
Akhirnya saya kembali ke Austria tanpa ada nomor kontak Walid yang dapat dihubungi. Namun dengan
segera aku berpikir realistis bahwa ada pembatas yang sangat dalam diantara kami (umur, budaya,
agama, pendidikan dan bahasa),” kilahnya. Namun hati tidak bisa ditipu. Akhirnya ia kembali ke Mesir
dua bulan kemudian untuk mendapatkan cintanya lagi. Hanya saja masalah terbesar kala itu adalah
sulitnya komunikasi karena faktor bahasa.

“Nampaknya Allah memang mengatur semua ini. Allah seakan mulai memperlihatkan jalan dalam
hidupku. Beberapa hari selepas kembali ke Austria dari Mesir, seorang wanita datang dari Mesir dan
bekerja sebagai peneliti tamu di institut kami selama satu tahun. Dua minggu kemudian saya pun mulai
ikut kursus bahasa Arab di kampus yang ditawarkan oleh seorang profesor dari Mesir. Mereka juga
mengajarkan banyak hal tentang Islam dan budayanya. Bahasa Arab adalah sebagai upaya untuk
mempermudah komunikasi dengan Walid,” tuturnya mengenang. Karena tertarik untuk mengetahui
lebih jauh tentang Islam, ia membeli banyak buku dan sebuah terjemahan Al-Quran dalam bahasa
Jerman.

Menikah diam-diam

Pada kunjungan kedua kalinya ke Mesir Aminah berkunjung ke keluarga Walid. Ia mengaku terkesan
dengan Walid yang sangat ulet dan berasal dari sebuah keluarga besar yang bermata pencaharian
sebagai petani. Keluarganya memegang teguh ajaran Islam.

“Saya diajak bertemu keluarga besarnya itu. Sore pertama di sana, akhirnya kami sepakat untuk
menikah secara Islam. Hanya melalui bantuan penghulu setempat di desa itu. Kesannya kami menikah
secara diam-diam. Semata-mata untuk menghindari kemaksiatan. Walid sangat komit dengan ajaran
agamanya, bahwa laki-laki dan perempuan yang belum ada ikatan pernikahan haram melakukan
hubungan yang dilarang agama.”

Setelah perjalanan kali kedua itu, Aminah sempat ke Mesir beberapa kali hingga akhirnya kami bisa
menikah secara resmi di Kairo.

“Saya sungguh sangat bahagia waktu itu. kami pun segera mengurus visa Walid untuk memperoleh ijin
berkunjung ke luar negeri. Akhirnya Walid bisa ke Austria persis setahun selepas pertemuan pertama
kami di hotel,” kenangnya.

Aminah secara perlahan mulai belajar banyak hal tentang Islam, baik melalui buku-buku maupun
dengan bantuan rekan-rekan muslim di Austria. Ada hal menarik, yakni tanpa disangka ia diminta oleh
Cairo University untuk menjadi penguji tesis salah seorang mahasiswa di sana. Nah dari beberapa kali
kunjungan akademik itulah ia akrab dengan salah satu Muslimah Mesir yang kemudian jadi tempatnya
bertanya hal Islam. Ia mengaku kagum dengan kebanyakan muslim termasuk kaum mudanya yang
terbuka dan sangat respek jika bicara tentang Allah dan Islam.

Segera selepas kedatangan suaminya ke Austria, merekapun mengadakan kontak dengan mesjid yang
ada di kota Salzburg. Ia menerima hadiah beberapa buku. Salah satu yang sangat berkesan adalah
buku “Bible, Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Alam” karangan Maurice Bucaille, ilmuwan Perancis. Buku
itu sangat sesuai dengan aktivitas yang ia tekuni saat ini. Ia baru tahu, semua pernyataan ilmiah yang
ada dalam Quran ternyata sangat sesuai dengan hasil-hasil penelitian terkini. Matanya makin terbuka.

“Al-Quran ternyata tidak hanya menjelaskan tentang Tuhan dan dunia, tapi juga semua pernyataan di
dalamnya, semisal ilmu-ilmu alam, tidak kontradiksi dengan kenyataan,” ujarnya. Bagi Prof Aminah
yang seorang saintis ilmu alam, tentu saja penjelasan

Al-Quran makin membuatnya mantap untuk mempelajari Islam. “Semakin jelas, Islam bukanlah agama
baru, tapi justru agama yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya, misal Yahudi dan Nasrani.
Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, yang oleh agama lain tidak diakui, adalah pembawa risalah,
pembawa kebenaran yang berasal dari Allah. Tak ada yang disangsikan, Al-Quran adalah perkataan
Allah dan Muhammad utusannya! Jika ini merupakan kebenaran dan saya yakin atas itu, maka saya
harus menerima dan menjalankan semua isi Al-Quran,” tegasnya.

Mengucap dua kalimah syahadah

Persis memasuki Ramadhan 2004, Walid menanyakan dengan bijak akankah Aminah melakukan
langkah terakhir dalam pencariannya (memeluk Islam).

“Tak ada keraguan sama sekali. Saya bahkan menginginkan agar prosesi itu dilaksanakan di rumah
kami dengan mengundang beberapa saudara terdekat, Muslim dan Muslimah. Alhamdulillah, Ramadhan
tahun 2004 saya mengukir sejarah hidup, bersyahadah disaksikan suami, anak-anak dan beberapa
rekan-rekan kami. Sungguh, saya sangat bahagia. Bahagia sekali bisa menjadi bagian dari umat Islam,”
kenangnya.

Mulai saat itu Prof. Fatimah berupaya untuk meningkatkan keyakinan dan ketaqwaannya kepada Allah,
demikian juga pengetahuannya tentang Islam. Dan, berusaha sebaik mungkin melaksanakan ajarannya.
Shalat misalnya, ternyata jauh-jauh hari ia telah belajar bagaimana menunaikan salah satu tiang agama
Islam itu. Juga ia mulai berpuasa di bulan Ramadhan.

Di akhir penuturannya, ia mengakui masih ada dua masalah yang tersisa. Pertama, ia masih ragu
memberitahukan hal keislamannya itu kepada kedua orangtuanya.

“Meskipun mereka telah tahu pendapat saya tentang Islam, tapi saya belum bisa beritahu bahwa saya
sudah masuk Islam. Mereka sudah sangat tua dan sering sakit-sakitan. Takutnya, jika mereka terkejut
bisa berbahaya bagi kesehatan. Tapi ini hanya masalah waktu saja,” ungkapnya.

“Satu lagi masalah yang masih mengganjal, saya belum bisa mengenakan jilbab di tempat kerja.
Memang Austria tidak ada masalah dengan Islam yang telah jadi agama negara. Namun masalahnya,
masyarakat atau lingkungan di universitas saya bekerja masih tabu dengan itu.”

Profesor Fatimah mengaku, kendati begitu ia tetap berjuang untuk jilbabnya itu. Buktinya, dalam setiap
kesempatan ia gunakan untuk bicara dan menjelaskan tentang Islam.

“Alhamdulillah, Allah akhirnya menolong saya menemukan jalan kebenaran yang telah lama saya cari.
Karena itu saya berusaha untuk menjadi muslimah yang baik. Di lingkungan kerja, saya mencoba
mempraktekkan ajaran Islam yang saya ketahui dengan memberikan contoh-contoh yang bagus,”
tukasnya mengakhiri penuturannya kepada Readingislam. Selamat, semoga hidayah Allah kekal
bersamamu saudaraku Fatimah! [sumber: www.hidayatullah.com]

Anda mungkin juga menyukai