Anda di halaman 1dari 9

ASWAJA ANNAHDIYAH

Nama : Khusna hidayatunni’mah


Kelas : Manajemen 2
Nim : 2020110078
Hari/tanggal : Senin, 16 November 2020
Fakultas ekonomi dan bisnis
KE NU-AN
A. Sejarah singkat dan latar belakang NU didirikan
1. Sejarah singkat
Setibanya di Tebuireng, santri As’ad (KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo)
menyampaikan tasbih yang dikalungkan oleh dirinya dan mempersilakan KH Hasyim
Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak
ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin
menyentuh tasbih sebagai amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim
Asy’ari.
Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad selama berjalan
kaki dari Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim Asy’ari
bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad
hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh
As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Setelah mendengar lantunan itu, Kiai
Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk
mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, 2010: 72) Riwayat tersebut merupakan salah
satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah petunjuk berdirinya Nahdlatul Ulama
(NU). Akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk
mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya
Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama
dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim. Petunjuk sebelumnya, pada
akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah
tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-
Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as. Awalnya,
KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian
Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta
persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia
melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Sikap
bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut permintaan Kiai Wahab
juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal
sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). Kiai Hasyim juga menjadi tempat
meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas
dari Kiai Hasyim Asy’ari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus
dikaji secara mendalam.
Hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul
Arifin. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Kiai Hasyim
Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan
diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.
Dari petunjuk tersebut, Kiai As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil
berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk
yang harus dilaksanakan oleh Kiai As’ad sebagai penghubung atau washilah untuk
menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Dari proses lahir dan
batin yang cukup panjang tersebut menggamabarkan bahwa lika-liku lahirnya NU
tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan
organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan
gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah
SWT melalui ikhtiar lahir dan batin. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya
NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU
merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta
alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat. Digawangi oleh KH Wahab
Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan
Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau
Kebangkitan Saudagar pada 1918.
Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu 1914 juga mendirikan kelompok
diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada
juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain,
NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri
sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen yang lebih luas. Komite Hijaz
Embrio lahirnya NU juga berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Problem
keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren ialah ketika Dinasti Saud di
Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan
ziarah seluruh Muslim di dunia yang dianggap bid’ah. Selain itu, Raja Saud juga ingin
menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermadzhab di wilayah kekuasaannya.
Karena ia hanya ingin menerapkan Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan. Rencana
kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami)
di Makkah. Bgai ulama pesantren, sentimen anti-mazhab yang cenderung puritan
dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam
menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri. Choirul Anam (2010)
mencatat bahwa KH Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang
tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang
kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC)—dibentuk tahun
1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926.
Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus
1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan
pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai
Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Mekkah
harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. Sistem
bermadzhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan
diberikan kebebasan”. Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para
tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto,
juga Ahmad Soorkatti. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha
disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berkahir dengan kekecewaan karena
sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut. Hal ini membuat Kiai
Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri
yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926. Pembentukan
Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu
KH Hasyim Asy’ari. Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun
telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama
terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke
Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke
Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai
delegasi Komite Hijaz. Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan
siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah
Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab
1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. Riwayat-riwayat tersebut
berkelindan satu sama lain, yaitu ikhtiar lahir dan batin. Peristiwa sejarah itu juga
membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi rakyat yang
sedang terjajah, problem keagamaan, dan problem sosial di tanah air, tetapi juga
menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah
diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Tepat pada 31 Januri
2020, Nahdlatul Ulama berusia 94 tahun dalam hitungan tahun masehi. Sedangkan
pada 16 Rajab 1441 mendatang, NU menginjak umur 97 tahun. Selama hampir satu
abad tersebut, NU sejak awal kelahirannya hingga saat ini telah berhasil memberikan
sumbangsih terhadap kehidupan beragama yang ramah di tengah kemajemukan
bangsa Indonesia. Setiap tahun, Harlah NU diperingati dua kali, 31 Januari dan 16
Rajab.

2. Latar belakang
Sesungguhnya pemicu berdirinya NU adalah tindakan penguasa baru Arab
Saudi di tahun 1920-an yang berpaham Wahabi yang telah berlebih dalam
menerapkan program pemurnian ajaran Islam. Kala itu pemerintah Arab Saudi
menggusur beberapa petilasan sejarah Islam, seperti makam beberapa pahlawan
Islam dengan dalih mencegah kultus individu. Mereka juga melarang
kegiatan mauludan, bacaan berzanji, diba’an dan sebagainya. Sama dengan alasan
di atas, seluruh kegiatan tersebut dilarang karena mengarah kepada kultus
individu.
Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah saat itu juga selalu menghalangi
jalan bagi madzhab-madzhab selain madzhab Wahabi, terutama madzhab empat.
Sedangkan alasan selanjutnya adalah keinginan untuk menempatkan diri sebagai
penerus khalifah tunggal dunia Islam. Karenanya mereka antara lain mengundang
negara atau jama’ah Islam dari seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk
menghadiri muktamar khilafah di Arab Saudi, walaupun akhirnya gagal
dilaksanakan.
Para ulama Indonesia (terutama para pengasuh pondok pesantren, ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah) menolak keras tindakan penguasa baru Arab Saudi
tersebut. Ulama pesantren bermaksud ikut dalam delegasi ulama Islam Indonesia
yang akan hadir pada muktamar khilafah guna mencari kesempatan untuk
menyampaikan keberatan mereka yang mewakili mayoritas umat Islam Indonesia
kepada penguasa baru Arab Saudi. Namun maksud tersebut terhalang karena
ditolak oleh beberapa kelompok Islam yang lain dengan alasan ulama pesantren
tidak memiliki organisasi seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam dan lain
sebagainya.
Penolakan yang dilatarbelakangi dengan belum adanya organisasi ulama ini,
telah mengobarkan semangat para ulama pesantren untuk menunjukkan
kemandirian dan kekuatannya. Sebuah tekad mengirim sendiri delegasi ulama
pesantren dengan nama Komite Hijaz akhirnya dilakukan guna menghadap
penguasa baru Arab Saudi, sekaligus menyampaikan keberatan para ulama
Indonesia.
Ternyata Komite Hijaz tersebut berhasil mengumpulkan dana dan daya untuk
mengirim sendiri delegasi ke Arab Saudi tanpa terkait dengan delegasi umat Islam
Indonesia. Ketika delegasi Komite Hijaz akan berangkat, disepakati Komite Hijaz
dijadikan organisasi (jam’iyyah) permanen dan diberi nama Nahdlatoel
Oelama (NO), yang berarti kebangkitan para ulama. Hal itu untuk menunjukkan
bahwa para ulama yang selama ini dianggap kolot, tradisional, terbelakang dan
sebagainya, telah bangkit tidak hanya berkumpul, berhimpun, tetapi bangkit,
bangun, berdiri, dan melangkah.
NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan
kemasyarakatan). Jam’iyyah ini dibentuk utuk menjadi wadah perjuangan para
ulama dan para pengikutnya. Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak
selalu berarti NU hanya beranggotakan ulama, tetapi memiliki maksud bahwa
ulama mempunyai kedudukan istimewa di dalam NU, karena beliau adalah
pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah
Sebagai organisasi keagamaan, kedudukan pewaris ini mutlak penting adanya.
Tentu kualitas keulamaan di dalam NU harus lebih terseleksi pada yang lain. Ada
kriteria dan persyaratan yang ketat untuk menjadi ulama NU, di antaranya
memiliki syarat keilmuan, sikap mental, perilaku dan akhlak, sehingga patut
menjadi panutan umat. Oleh karena itu NU harus menjadi panutan pihak lain.
Kualitas NU sangat tergantung kepada kualitas ulamanya.
Setelah ulama pesantren membentuk jam’iyyah NU, maka semesti- nya segala
tindakan mereka disalurkan melalui organisasi ini. Akan tetapi hal ini cukup
disayangkan, bahkan dalam kenyataannya yang terjadi justru beberapa gejala
berikut:
Ulama pesantren masih memiliki dan berpegang kepada kemandirian masing-
masing, terutama dalam mengelola basis sosialnya (para santri dan keluarga serta
para murid dan santri). Campur tangan atau koordinasi yang dapat dilakukan oleh
NU masih sangat kecil.
Uniknya basis sosial para ulama tersebut sangat fanatik kepada NU, sanggup
berjuang mati-matian mengamalkan ajaran NU seperti tahlil, talqin, dan
sebagainya.Hampir seratus persen alumni pesantren menjadi warga NU, meskipun
tidak ada pesantren yang menggunakan nama NU dan tidak diberikan pelajaran
tentang ke-NU-an. Sepertinya mereka jadi NU secara alamiah. Karena itu maka
jangan heran kalau ke-NU-annya juga selalu alamiah.
Melihat kondisi ini, maka NU mempunyai dua wajah:
a) wajah jam’iyyah (NU jam’iyyah), yaitu sebagai organisasi formal
struktural yang mengikuti mekanisme organisasi modern seperti memiliki
pengurus, pengesahan pengurus, pemilihan pengurus, anggota, iuran,
rapat-rapat resmi, keputusan-keputusan resmi, dan lain sebagainya.
b) wajah jama’ah (NU jama’ah), yaitu kelompok ideologis kultural yang
mempunyai pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan
mereka tidak mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam
berbagai kelompok kegiatan, seperti jama’ah yasinan, tahlilan, wali murid
madrasah NU, jama’ah mushalla, dan sebagainya. Anehnya, mereka tidak
mudah diatur sebagai jam’iyyah NU.
Kedua macam kelompok tersebut, merupakan potensi bagi organisasi ini.
Masing-masing harus diurus secara baik dan tepat. Bahkan
idealnya jam’iyyah NU dapat menjadi organisasi kader dengan melakukan
langkah-langkah taktis seperti:
a) Tertib administrasi dan organisasi, mulai dari pendaftaran anggota,
mutasi, proses pembentukan pengurus, dan sebagainya.
b) Pembinaan ideologi dan wawasan yang mumpuni.
c) Disiplin operasional dan langkah-langkah perjuangan.
Sedangkan sebagai jama’ah NU, mereka diharapkan menjadi pendukung
massal bagi gagasan, sikap, langkah amaliyah organisasi dan sebagainya,
meskipun keberadaan mereka tidak terdaftar sebagai
warga jam’iyyah NU.
B. Peranan NU pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan

Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis


perlindungan kaum pejuang kemerdekaan.Demikian halnya yang terjadi di pesantren
Demangan Bangkalan yang dipimpin Kiai Cholil yang sangat kharismatik. Suatu
ketika, ada beberapa pejuang dari Jawa yang bersembunyi dikompleks Pesantren
Demangan yang jauh dari keramaian kota itu.

Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka tidak ada pilihan
lain kecuali harus mengerahkan tentara yang cukup besar untuk mengobrak-abrik 
kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang bersembunyi di pesantren,
tetapi mereka terkejut dan  marah ketika dalam setiap penggerebekan tak menemukan
apa-apa. Tidak seorang pun yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan ditemukan,
di antara sekian santri yanag sedang mengaji.Karena jengkel, akhirnya mereka
menahan Kiai Cholil sebagai sandera.Mereka berharap, dengan menyandera Kiai
Cholil yang sudah sepuh itu, para pejuang mau menyerahkan diri.

Ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan, Belanda direpotkan oleh 


berbagai kejadian yang aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu tahanan tak bisa ditutup,
hal itu membuat semua aparat penjajah harus berjaga siang dan malamagar tahanan
yang lain tidak melarikan diri. Sementara itu para pejuang ditunggu-tunggu tidak
kunjung menyerahkan diri, walaupun pimpinan mereka ditangkap.
Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari ribuan orang dari berbagai penjuru
Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim
makanan kepada Kiai Cholil yang sangat mereka hormati. Tentu saja hal itu juga
memusingkan pihak penjajah, karena penjara menjadi ramai seperti pasar.Akhirnya
mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil.Tapi ini juga tidak
menyelesaikan masalah.Masyarakat yang berbondong-bondong itu berkerumun,
berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang minta ikut ditahan bersama Kiai
Cholil.Melihat kenyataan itu akhirnya Belanda membuat pertimbangan. Dari pada
dipusingkan dengan hal-hal yang tak bisa diatasi, maka akhirnya pihak penjajah
membebaskan  Kiai Cholil tanpa syarat.

Penghormatan masyarakat Jawa dan Madura pada kiai yang satu ini sangat
besar, selain menjadi guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim
Asy’ari, Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan sebagainya, Kiai itu juga dipercaya
sebagai waliyullah yang sangat makrifat. Sang Kiai memang orang yang alim dalam
ilmu nahwu, fiqh dan tarekat.Ia tidak hanya menghafal Al-qur’an, tetapi juga
menguasai segala ilmu Al-qur’an, termasuk qira’ah sab’ah (tujuh macam seni baca
Al-qur’an).Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai kalangan,
termasuk salah satu ulama yang melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai Cholil, sebab
sebelum mendapat isyarah dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari masih menunda
gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mendirikan jam’iyah
ulama itu. Baru setelah mendapat restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad Syamsul
Arifin, Kiai Hasyim Asy’ari segera mendeklarasikan NU sebagai organisasi sosial,
yang segera disambut oleh seluruh ulama Jawa, Madura bahkan luar Jawa dan dari
luar naegeri.

Menentapkan kedudukan Hindia Belanda sebagai Dar Al-Salam yang


menegaskan keterikatan NU dengan nusa bangsa. Hal ini dapat dilihat pada Muktamar
Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936. Sikap Nahdlatul Ulama yaitu
menerapkan politik non coorporation  (tidak mau kerjasama) dengan Belanda dengan
menanamkan rasa benci kepada penjajah para ulama mengharamkan segala sesuatu
yang berbau Belanda sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti
penjajahan. Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam
sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang
terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas.

C. Dasar-dasar paham keagamaan NU menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang


bercirikan:
3. Sikap tawasuth dan i’tidal.
Sikap tawasuth dan i’tidal merupakan sikap tengah yang berintikan pada
prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah
kehidupan beragama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi
kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat
membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang
bersifat tatharuf (esktrim).
4. Sikap Tasamuh
Sikap Tasamuh merupakan Sikap toleran terhadap peradaban pandangan baik
dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi
masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
5. Sikap Tawazun.
Sikap Tawazun merupakan sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan
khidmat kepada Allah, khidmat kepada sesama manusia serta kepada lingkungan
hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
6. Sikap Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Sikap Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan sikap selalu memiliki kepekaan
untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan
bersama serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan
merendahkan nilai- nilai kehidupan.
Dasar-dasar paham keagamaan NU dan sikap kemasyarakatan. NU membentuk perilaku
warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi. Perilaku
warga Nahdliyin adalah sebagai berikut:
7. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
8. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
9. Menjunjung tinggi sifat keikhasan dan berkhidmat serta berjuang.
10. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al- ittihad) serta kasih
mengasihi.
11. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al karimah), dan menjunjung tinggi
kejujuran (ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak.
12. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan negara.
13. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada
Allah.
14. Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ahli-ahlinya.
15. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa
kemaslahatan bagi manusia.
16. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong memacu dan
mempercepat perkembangan masyarakatnya.
17. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

D. NU memang terkenal dengan berbagai amalan yang sering dilakukan secara


berjamaah.Tradisi pewarisannya bisa dibilang cukup panjang.Dari generasi
ke gemerassi mungkin.Kadangkala banyak juga yang mempertanyakan keabsahan
amaliyah ini.Berikut sembilan amaliyah yang umum dikalangan Nahdlotul Ulama:
1) Tahlilan
adalah salah satu ciri khas kaum NU.Bahkan untuk mengetahui seseorang NU
apa tidak cukup dilihat dari apakah seseorang itu ikut kegiatan tahlilan apa tidak.
Tahlilan sendiri adalah sebuah kegitan yang dilakukan bersama oleh kalangan
NU yang berisi pembacaan dzikir,tasbih,ayat quran tahlil,tahmid dan lain
sebagainya.Biasanya acara ini diselenggarakan dalam berbagai
momentum kalangan NU.Yang paling jamak adalah ketika mendoakan
seseorang
yang sudah meninggal.Biasanya dilakukan pada malam hari pertama sampai ke
empat puluh berlanjut terus hari ke 100,1000 dan haul tiap tahunnya.
2) Ziarah kubur
Warga NU akrab seklai dengan budaya ziarah kubur.Mendatangi makam para
auliya,ulama atau leluhur sembaru membaca berbagai doa disana.Jangan
dimaknai kaum NU berdoa kepada kuburan.Tapi melalui para orang orang yang
terlebih dahulu mereka merasa lebih dekat dengan yang maha kuasa dan
mengingatkan mereka bahwa kehidupan pada hakikatnya adalah fana dan tidak
kekal.
Khusus ziarah makam para wali sudah menjadi tradisi dan bahkan sangat
ramai seklai pengunjungnya.Ini dilaksanakan biasnya rombongan.Jika ke makam
para leluhur hampir tiap hari raya idhul fitri dan hari hari tertentu manjadi
budaya yang mapan dikalangan NU.
3) Maulid nabi
Untuk menunjukan kecintaannya pada Nabi,paling tidak pada bulan kelahiran
Nabi yaitu bulan Robiul Awwal banyak sekali kegiatan bernuansa keagamaan
dalam berbagai bentuk.Ada Dibaab.Barzanji,pengajian dlsb dalam
rangka Maulid Nabi.Kegiatan ini banyak dihujat karen dianggap tidak memiliki
dassar yang kukuh yang pernah nabi laksankan pada masa hidup Nabi.
4) Istighosah
Istighosah memiliki arti memohon pertolongan kepada Alloh SWT.Oleh
wargaNU biasanya dilaksanakan bersama-sama dalam satu majlis.Dalam skala
besar PBNU pernah menyeleksanakan istighosah dalam skala besar atau
istighosah kubro baik tingkat Nasional maupun tingkat daerah.
5) Qunut
Cobalah anda sholat subuh disuatu tempat.Bila jamaah dalam tempat tersebut
melakukan qunut dapat dipastikan itu adalah warga NU.Tapi sebenarnya Qunut
dibagi menjadi 3:
a. Qunut Shubuh:Imam Syafii menyatakan bahwa qunut subuh dibaca
bberdasarkan hadis dari Anas bin Malik.
b. Qunut Nazilah:qunut ini dibaca warga NU ketika sedang menghadai
kesudahan baik wabah penyakit,tantangan,bencana dlsb.
c. Qunut Witir : qunut ini dilaksanakan pada rakaat terakhir bulan Romadlon
pada malam ke 16-30 bulan Romadhon.
6) Talqin
Talqin Adalah amaliyah kaum Nu disaat ada saudaranya yang meningla
dunia.Talqin
berasal dari Bahasa Arab yang artinya memahamkan atau mengingatkan.Talqin
biasnya dibacakan dalam bahasa arab tapi sering  juga dibacakan dalam Bahasa
Jawa.
Adapun tatacaranya orang yang menalqin berposisis duduk dihadapan kepala
mayyit.Sedangkan para hadirin hendaknya berdiri,Dana salah seorang yang
biasanya pemua keagamaan mulai membacakan talqin bagi si mayyit.
7) Adzan 2 kali dalam sholat jumat
Setiap menjelang sholat Jumat dimasjid-masjid NU,ada seorang laki-laki yang
berdiri sambil memegang tongkat.Setelah membacakan hadis Nabi yang berisi
anjuran kepada para Jama’ah dan kemudian dilakukan adzan yang kedua
kalinya.
Praktek semcam ini meniru pada zama Shahabat Utsman dan praktik semacam
ini sama dengan yang dipraktikan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
8) Tingkepan
Acara ini berbentuk pembacaan doa dan pemberian sedekah dalam rangka
tujuh bulan kehamilan seorang wanita yang pertama kali hamil.Dan biasanya
disela-sela acara dibacakan surat Yusuf dan surat
 Maryam,dengan harapan agar anaknya akan lahir seganteng Nabi Yusuf dan
secantik Siti Maryam
9) Merujuk kitab kuning
Selai pada Alquran dan Alhadist,warga NU selalu berpegangan pada ulama
lama baik melalui kyai maupun merujuk pada kitab kunang yang dianggap
standar oleh para Ulama NU.
Kitab kuning ini biasanya ditulis dalam bahasa arab dan biasanya berbentuk
tulisan arab tanpa harakat(gundul) Ini tidak lain karena tradisi intelektual NU
yang selalu berpegangan pada sanad san karena berhati-hati agar supaya
pemahaman agamanya tidak melenceng dari apa yang telah digariskan oleh para
Salafuna Assholih yang berpegana pada tradisi Nabi Muhammad SAW.

Anda mungkin juga menyukai