2. Latar belakang
Sesungguhnya pemicu berdirinya NU adalah tindakan penguasa baru Arab
Saudi di tahun 1920-an yang berpaham Wahabi yang telah berlebih dalam
menerapkan program pemurnian ajaran Islam. Kala itu pemerintah Arab Saudi
menggusur beberapa petilasan sejarah Islam, seperti makam beberapa pahlawan
Islam dengan dalih mencegah kultus individu. Mereka juga melarang
kegiatan mauludan, bacaan berzanji, diba’an dan sebagainya. Sama dengan alasan
di atas, seluruh kegiatan tersebut dilarang karena mengarah kepada kultus
individu.
Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah saat itu juga selalu menghalangi
jalan bagi madzhab-madzhab selain madzhab Wahabi, terutama madzhab empat.
Sedangkan alasan selanjutnya adalah keinginan untuk menempatkan diri sebagai
penerus khalifah tunggal dunia Islam. Karenanya mereka antara lain mengundang
negara atau jama’ah Islam dari seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk
menghadiri muktamar khilafah di Arab Saudi, walaupun akhirnya gagal
dilaksanakan.
Para ulama Indonesia (terutama para pengasuh pondok pesantren, ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah) menolak keras tindakan penguasa baru Arab Saudi
tersebut. Ulama pesantren bermaksud ikut dalam delegasi ulama Islam Indonesia
yang akan hadir pada muktamar khilafah guna mencari kesempatan untuk
menyampaikan keberatan mereka yang mewakili mayoritas umat Islam Indonesia
kepada penguasa baru Arab Saudi. Namun maksud tersebut terhalang karena
ditolak oleh beberapa kelompok Islam yang lain dengan alasan ulama pesantren
tidak memiliki organisasi seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam dan lain
sebagainya.
Penolakan yang dilatarbelakangi dengan belum adanya organisasi ulama ini,
telah mengobarkan semangat para ulama pesantren untuk menunjukkan
kemandirian dan kekuatannya. Sebuah tekad mengirim sendiri delegasi ulama
pesantren dengan nama Komite Hijaz akhirnya dilakukan guna menghadap
penguasa baru Arab Saudi, sekaligus menyampaikan keberatan para ulama
Indonesia.
Ternyata Komite Hijaz tersebut berhasil mengumpulkan dana dan daya untuk
mengirim sendiri delegasi ke Arab Saudi tanpa terkait dengan delegasi umat Islam
Indonesia. Ketika delegasi Komite Hijaz akan berangkat, disepakati Komite Hijaz
dijadikan organisasi (jam’iyyah) permanen dan diberi nama Nahdlatoel
Oelama (NO), yang berarti kebangkitan para ulama. Hal itu untuk menunjukkan
bahwa para ulama yang selama ini dianggap kolot, tradisional, terbelakang dan
sebagainya, telah bangkit tidak hanya berkumpul, berhimpun, tetapi bangkit,
bangun, berdiri, dan melangkah.
NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan
kemasyarakatan). Jam’iyyah ini dibentuk utuk menjadi wadah perjuangan para
ulama dan para pengikutnya. Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak
selalu berarti NU hanya beranggotakan ulama, tetapi memiliki maksud bahwa
ulama mempunyai kedudukan istimewa di dalam NU, karena beliau adalah
pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah
Sebagai organisasi keagamaan, kedudukan pewaris ini mutlak penting adanya.
Tentu kualitas keulamaan di dalam NU harus lebih terseleksi pada yang lain. Ada
kriteria dan persyaratan yang ketat untuk menjadi ulama NU, di antaranya
memiliki syarat keilmuan, sikap mental, perilaku dan akhlak, sehingga patut
menjadi panutan umat. Oleh karena itu NU harus menjadi panutan pihak lain.
Kualitas NU sangat tergantung kepada kualitas ulamanya.
Setelah ulama pesantren membentuk jam’iyyah NU, maka semesti- nya segala
tindakan mereka disalurkan melalui organisasi ini. Akan tetapi hal ini cukup
disayangkan, bahkan dalam kenyataannya yang terjadi justru beberapa gejala
berikut:
Ulama pesantren masih memiliki dan berpegang kepada kemandirian masing-
masing, terutama dalam mengelola basis sosialnya (para santri dan keluarga serta
para murid dan santri). Campur tangan atau koordinasi yang dapat dilakukan oleh
NU masih sangat kecil.
Uniknya basis sosial para ulama tersebut sangat fanatik kepada NU, sanggup
berjuang mati-matian mengamalkan ajaran NU seperti tahlil, talqin, dan
sebagainya.Hampir seratus persen alumni pesantren menjadi warga NU, meskipun
tidak ada pesantren yang menggunakan nama NU dan tidak diberikan pelajaran
tentang ke-NU-an. Sepertinya mereka jadi NU secara alamiah. Karena itu maka
jangan heran kalau ke-NU-annya juga selalu alamiah.
Melihat kondisi ini, maka NU mempunyai dua wajah:
a) wajah jam’iyyah (NU jam’iyyah), yaitu sebagai organisasi formal
struktural yang mengikuti mekanisme organisasi modern seperti memiliki
pengurus, pengesahan pengurus, pemilihan pengurus, anggota, iuran,
rapat-rapat resmi, keputusan-keputusan resmi, dan lain sebagainya.
b) wajah jama’ah (NU jama’ah), yaitu kelompok ideologis kultural yang
mempunyai pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan
mereka tidak mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam
berbagai kelompok kegiatan, seperti jama’ah yasinan, tahlilan, wali murid
madrasah NU, jama’ah mushalla, dan sebagainya. Anehnya, mereka tidak
mudah diatur sebagai jam’iyyah NU.
Kedua macam kelompok tersebut, merupakan potensi bagi organisasi ini.
Masing-masing harus diurus secara baik dan tepat. Bahkan
idealnya jam’iyyah NU dapat menjadi organisasi kader dengan melakukan
langkah-langkah taktis seperti:
a) Tertib administrasi dan organisasi, mulai dari pendaftaran anggota,
mutasi, proses pembentukan pengurus, dan sebagainya.
b) Pembinaan ideologi dan wawasan yang mumpuni.
c) Disiplin operasional dan langkah-langkah perjuangan.
Sedangkan sebagai jama’ah NU, mereka diharapkan menjadi pendukung
massal bagi gagasan, sikap, langkah amaliyah organisasi dan sebagainya,
meskipun keberadaan mereka tidak terdaftar sebagai
warga jam’iyyah NU.
B. Peranan NU pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan
Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka tidak ada pilihan
lain kecuali harus mengerahkan tentara yang cukup besar untuk mengobrak-abrik
kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang bersembunyi di pesantren,
tetapi mereka terkejut dan marah ketika dalam setiap penggerebekan tak menemukan
apa-apa. Tidak seorang pun yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan ditemukan,
di antara sekian santri yanag sedang mengaji.Karena jengkel, akhirnya mereka
menahan Kiai Cholil sebagai sandera.Mereka berharap, dengan menyandera Kiai
Cholil yang sudah sepuh itu, para pejuang mau menyerahkan diri.
Penghormatan masyarakat Jawa dan Madura pada kiai yang satu ini sangat
besar, selain menjadi guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim
Asy’ari, Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan sebagainya, Kiai itu juga dipercaya
sebagai waliyullah yang sangat makrifat. Sang Kiai memang orang yang alim dalam
ilmu nahwu, fiqh dan tarekat.Ia tidak hanya menghafal Al-qur’an, tetapi juga
menguasai segala ilmu Al-qur’an, termasuk qira’ah sab’ah (tujuh macam seni baca
Al-qur’an).Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai kalangan,
termasuk salah satu ulama yang melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai Cholil, sebab
sebelum mendapat isyarah dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari masih menunda
gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mendirikan jam’iyah
ulama itu. Baru setelah mendapat restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad Syamsul
Arifin, Kiai Hasyim Asy’ari segera mendeklarasikan NU sebagai organisasi sosial,
yang segera disambut oleh seluruh ulama Jawa, Madura bahkan luar Jawa dan dari
luar naegeri.