Anda di halaman 1dari 2

Risalah Komite Hijaz kepada Raja Sa’ud Jumat 28 April 2017 10:29 WIB BAGIKAN:

Pesantren sejak awal kelahirannya adalah institusi penguatan akhlak melalui ilmu-ilmu agama yang
bersumber dari berbagai literatur klasik kitab kuning (turats). Kekayaan redaksi dan keilmuan dari
para ulama membuat santri mampu berpikir kritis dan terbuka terhadap setiap perbedaan. Namun,
pesantren yang lahir kala bangsa Indonesia sedang mengalami penjajahan tidak menjauhkan diri
untuk berjuang agar terbebas dari keterkungkungan akibat kolonialisme. Identitas kebangsaan pun
terus diperkuat dengan meneguhkan tradisi dan budaya sebagai kekayaan intelektual bangsa
Indonesia. Terbukti, pesantren mampu menancapkan rasa cinta tanah air yang kuat di dada para
pejuang bangsa, termasuk santri dan ulama. Mobilitas perjuangan tidak berhenti dalam persoalan
kebangsaan, tetapi juga akidah kala ulama pesantren yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU)
berupaya keras menjaga kemerdekaan bermadzhab di tanah Hijaz (Mekkah dan Madinah). Hal itu
dilakukan karena Raja Ibnu Sa’ud dari Najed dengan paham Wahabi puritannya berusaha melarang
madzhab berkembang di Hijaz. Padahal, kebebasan brmadzhab telah berlangsung lama sehingga
Hijaz menjadi salah satu tempat menimba ilmu dari umat Islam di dunia. Perjuangan kalangan
pesantren yang saat itu diinisasi oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) menunjukkan bahwa
ulama pesantren tidak hanya melakukan perjuangan di tingkat lokal, tetapi juga dalam skala
internasional dengan melakukan upaya diplomasi global. Sebab tentu dalam melakukan perjuangan
meneguhkan madzhab ini, KH Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab, KH Raden Asnawi Kudus, dan tokoh-
tokoh pesantren lain melihat bahwa warisan intelektual para ulama dalam ijtihadnya yang
berdampak munculnya beragam madzhab harus tetap dipertahankan. Apalagi di tanah Hijaz sendiri
yang menjadi perjuangan penting Nabi Muhammad SAW dalam mengembangkan agama Islam
sebagai Rahmat, tidak terkerangkeng dengan sentimen suku yang hingga saat ini seolah menjadi
sumber konflik yang luar biasa di tanah Arab. Kiai Wahab dan kawan-kawan memahami bahwa
Islam tidak hanya akan berkembang di tanah Arab, melainkan juga di seluruh belahan dunia.
Sentimen anti-madzhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan
budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu
sendiri. Kiai Wahab bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung Centraal Comite Al-Islam
(CCI)--dibentuk tahun 1921--yang kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC)
—dibentuk tahun 1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam
Islami) di Mekkah tahun 1926. Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada
21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan
pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara
lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Mekkah harus mendesak Raja Ibnu
Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. Sistem bermadzhab yang selama ini berjalan di
tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”. Kiai Wahab beberapa kali
melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan
H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkatti. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang
berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berkahir dengan kekecewaan karena sikap
tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut. Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya
melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan
Komite Hijaz pada Januari 1926. Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia
Islam ini telah mendapat restu KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947). Perhitungan sudah
matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite
Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan
dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten,
Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Namun
setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim
Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul
Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. Komite Hijaz bersepakat
menyusun risalah atau mandat dan materi pokok yang hendak disampaikan langsung kepada Raja
Ibnu Sa’ud di Mekkah dalam forum Muktamar Dunia Islam. Risalah Komite Hijaz terdiri dari 5 (lima)
poin yang berasal dari pokok pikiran para ulama NU, sebagai berikut (Choirul Anam, 1985): 1.
Meminta kepada Raja Ibnu Sa’ud untuk tetap melakukan kebebasan bermadzhab empat: Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hambali. 2. Memohon tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah karena
tempat tersebut diwakafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan
Khaizuran, dan lain-lain. 3. Mohon disebarluaskan ke seluruh dunia Islam setiap tahun sebelum
jatuhnya musim haji mengenai hal ihwal haji. Baik ongkos haji, perjalanan keliling Mekkah maupun
tentang Syekh (guru). 4. Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di tanah Hijaz, ditulis
sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-
undang tersebut. 5. Jam’iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah
menghadap Raja Ibnu Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul NU tersebut. (Fathoni Ahmad)

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/77439/risalah-komite-hijaz-kepada-raja-saud

Anda mungkin juga menyukai