Anda di halaman 1dari 21

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiografi Regional

Daerah penyelidikan termasuk dalam Cekungan Sumatera Selatan,


yang dipengaruhi oleh system penunjaman lempeng yang terdapat di sebelah
barat Pulau Sumatera, yaitu antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng India-
Australia. secara fisiografis bagian selatan dari Sumatera ini dapat dibagi
menjadi 4 (empat) bagian, yaitu cekungan Sumatera Selatan, Bukit Barisan
dan Tinggian lampung, Cekungan Bengkulu, meliputi lepas pantai antara
daratan Sumatera dan rangkaian pulau-pulau di sebelah barat Sumatera, dan
Rangkaian kepulauan (fore arc ridge) di sebelah barat Sumatera, yang
membentuk suatu busur tak bergunung-api di sebelah barat Pulau Sumatera
(Gambar 2).
Berdasarkan konsep Tektonik Lempeng, kedudukan cekungan
batubara Tersier di Indonesia bagian barat berkaitan dengan sistem busur
kepulauan. Dalam sistem ini dikenal adanya cekungan busur belakang,
cekungan busur depan dan cekungan antar busur. Masing-masing cekungan
tersebut memiliki karakteristik endapan batubara yang berbeda antara satu
dengan lainnya. Menurut (Koesoemadinata dkk. 1978), semua cekungan
batubara Tersier di Indonesia (termasuk Cekungan Sumatera Selatan)
digolongkan jenis cekungan paparan karena berhubungan dengan kerak
benua pada semua sisinya, kecuali Cekungan Kutai dan Cekungan Tarakan di
Kalimantan Timur yang digolongkan sebagai continental margin.
Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami empat kali orogenesa,
yakni : pada zaman Mezosoikum Tengah, Jura Awal –Kapur Awal, Kapur Akhir –
Tersier Awal, Plio-Pleistosen. Setelah orogenesa terakhir dihasilkan kondisi
struktur geologi regional seperti terlihat pada saat ini, yaitu, Zona Sesar
Semangko, yang terbentuk dari hasil tumbukan antara Lempeng Sumatera
Hindia dan Pulau Sumatera, perlipatan dengan arah utama baratlaut –
tenggara, sebagai hasil efek gaya kopel sesar Semangko, Sesar-sesar yang
berasosiasi dengan perlipatan dan sesar-sesar Pra Tersier yang mengalami
peremajaan.
Berkenaan dengan posisi dan aktivitas tektonik lempeng maka hampir
di seluruh wilayah bagian selatan-barat P. Sumatera merupakan daerah yang
relatif sering terjadi gempa bumi. Secara seismik telah tercatat beberapa
gempa bumi yang memiliki skala Richter cukup tinggi antara 5 hingga 6.
Namun demikian banyak wilayah prospek tambang di Indonesia yang memiliki
kecenderungan seismitivitas tinggi tepat dapat beroperasi dengan aman selama

7
8

nilai-nilai keamanan selalu diperhitungkan dalam pembuatan design tambang,


terutama yang menyangkut stabilitas lereng.

Gambar 2. Fisiografi Pulau Sumatera dan Jambi (Van Bemmelen, 1949)

2.2. Geologi Regional


Berdasarkan kerangka tektonik Indonesia, Cekungan Sumatera Selatan
dan Sumatera Tengah merupakan suatu cekungan besar yang mempunyai
sedimentasi sama yang dipisahkan oleh pegunungan Tigapuluh. Daerah
Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi depresi Jambi di utara, Sub
Cekungan Palembang Tengah dan Sub Cekungan Palembang Selatan atau
Depresi Lematang masing-masing dipisahkan oleh tinggian batuan dasar
(basement). Tiga antiklinorium yang dipisahkan oleh tinggian batuan dasar
adalah Antiklinorium Pendopo, Antiklinorium Palembang dan Antiklinorium
Muaraenim.
Pola umum geologi dan tatanan stratigrafi secara regional telah cukup
dipahami berkat kegiatan eksplorasi minyak bumi di Cekungan Sumatera
9

Selatan dan Sumatera Tengah (De Coster, 1974). Shell Mijnbouw (1978)
memperbaiki penamaan dan tatanan stratigrafi, khususnya Formasi Muara
Enim dibagi menjadi 4 angka yang didasarkan atas kelompok kandungan
batubara dari bawah ke atas yaitu anggota M1, M2, M3 dan M4.
Berdasarkan peta geologi regional Lembar Jambi daerah penelitian
hanya terdapat 1 formasi yaitu Formasi Muaraenim.

Gambar 3. Peta Geologi Lembar Jambi, Sumatera


10

2.3. Struktur Geologi


Struktur yang dijumpai pada cekungan Sumatra Selatan adalah
lipatan, sesar dan kekar yang sebagian besar terjadi pada batuan Tersier.
Lipatan yang terjadi pada umumnya berarah baratlaut – tenggara sampai
barat-timur, pada batuan yang berumur Oligosen-Miosen sampai Plio-
Plistosen. Sesar turun, berarah baratlaut-tenggara, terjadi pada batuan yang
berumur Oligosen-Miosen sampai Miosen Tengah, dan pada batuan yang
berumur Miosen sampai Plio-Plistosen memiliki arah timurlautbaratdaya
sampai utara-selatan. Kekar yang terjadi pada umumnya berarah timurlaut-
baratdaya sampai timur-barat.
Cekungan Sumatra Selatan merupakan bagian dari cekungan belakang
busur Sumatra, dan dipisahkan dari cekungan Sumatra Tengah pada bagian
utara, oleh pegunungan Duabelas/Tigapuluh, yang merupakan singkapan
batuan pra-tersier, pada bagian selatan dibatasi oleh Tinggian Lampung. Pada
bagian barat Cekungan Sumatera Selatan dibatasi oleh Bukit Barisan dan
batas timur berupa Paparan Sunda.
Seperti juga halnya dengan cekungan Sumatra Timur lainnya, pola
perkembangan tektoniknya sangat dipengaruhi oleh sesar-sesar mendatar
menganan (sesar Semangko), yang terjadi sebagai akibat interaksi konvergen
antara lempeng Hindia Australia dan lempeng Mikro-Sunda.
Pada Cekungan Sumatra Selatan dapat diamati adanya 3 (tiga) pola
sesar utama, yang sebagian besar di rekam dari data geofisik (seismik dan
gaya berat) dan dari hasil korelasi pemboran (Pulunggono, 1984). Arah-arah
tersebut adalah : baratlaut-tenggara, utara-selatan, timurlaut-baratdaya. Hal
ini disebabkan terjadinya perubahan arah subduksi pada Jura Akhir-Kapur
Akhir, Kapur Akhir- Tersier Awal, Miosen Tengah-Resen.
Perlipatan yang melibatkan semua batuan Tersier di cekungan Sumatra
selatan, memperlihatkan arah yang hampir sama yaitu baratlaut-tenggara,
kurang lebih tegak lurus pada tegasan Sumatra yang berarah timurlaut-
baratdaya. Pola-pola sesar ini juga nampaknya sangat berperan sebagai
kontrol dalam sebaran dan bentuk daripada cekungan dan sub-sub cekungan
di Sumatera Selatan.
Sejarah tektonik pada cekungan Sumatra Selatan dari Mesozoikum
Tengah sampai Resen dapat dibagi menjadi empat peristiwa utama (de Coster,
1974) :
Mesozoikum Tengah
Pada saat ini batuan-batuan yang berumur Paleozoikum dan awal
Mesozoikum mengalami perlipatan, pengangkatan, pensesaran, metamorfisme
11

yang kemudian menjadi zona kompleks pembentuk kerangka struktur dasar


Sumatera. Batuan Mesozoikum Tengah tersingkap di sepanjang Bukit Barisan
dan Tigapuluh, Duabelas, dan beberapa pegunungan yang berada di daerah
cekungan.
Berdasarkan pengamatan anomali gaya berat dan arah penyebaran
batas litologi batuan yang berumur Paleozoikum dan Mesozoikum, ditemukan
adanya suatu patahan baratlaut- tenggara (arah sumatra) dan sejajar batas
penyebaran batuan PraTersier.
Kapur Akhir – Tersier Awal
Pada Kapur Akhir- Tersier Awal terjadi tensile stress pada area
cekungan Sumatra Selatan yang menciptakan fase ekstensi. Tensile stress
pada Cekugan Sumatra Selatan menghasilkan struktur-struktur yang
berhubungan dengan sesar geser dengan arah utara- selatan. Batuan yang
diduga memiliki umur Kapur AkhirTersier Awal tersingkap berupa batuan Tufa
dan klastik pada sumur Lawu dan sepanjang pegunungan di bagian tenggara
Lahat.
Miosen Tengah
Pada Tersier Awal – Miosen, terjadi subsiden pada cekungan Sumatra
Selatan dan pengendapan sedimen Tersier. Subsiden ini diselingi peristiwa
diastrophisme pada pegunungan Bukit Barisan dan pergerakan struktur minor
di daerah cekungan Sumatra Selatan. Pada masa tektonik ini dihasilkan sesar
turun dan ketidakselarasan setempat.
Plio-Pleistosen
Peristiwa tektonik pada Plio-Pleistosen merupakan yang terkahir yang
memengaruhi perkembangan geologi Sumatra. Pada peristiwa ini terjadi
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan, perkembangan sesar geser
Semangko di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan, pembentukan gunungapi ,
perlipatan dan pensesaran batuan seperti yang kita ketahui pada saat ini.

2.4. Geomorfologi
Sistem penelitian dan pemetaan geomorfologi telah banyak
dikembangkan selaras dengan tujuan penelitian yang dilakukannya, tetapi
masih banyak terjadi kerancuan, khususnya pemahaman geomorfologi untuk
tujuan pemetaan geologi. Salah satu sistem yang telah banyak dimanfaatkan
untuk berbagai tujuan yaitu sistem yang dikembangkan oleh International
Institute for Aerial survey and Earth Sciences (ITC), Belanda.
Verstappen (1967 dan 1968) dan Van Zuidam (1968 dan 1975) telah
mengembangkan sistem penelitian geomorfologi berdasarkan pengalamannya di
seluruh dunia, khususnya di wilayah tropis (Indonesia dan Amerika Latin),
12

selanjutnya disebut dengan sistem pembuatan peta geomorfologi untuk


berbagai macam tujuan. Metode ITC dapat digunakan untuk tujuan pemetaan
geologi, karena memasukkan beberapa aspek geomorfologi disertai dengan
legenda yang sederhana dan jelas, sehingga menjadi suatu sistem pemetaan
geomorfologi yang memiliki karakteristik yang jelas.
Unsur - unsur yang perlu diperhatikan didalam menyusun sistem
geomorfologi adalah sebagai berikut :
1. Sistem dapat digunakan untuk setiap daerah dan lentur (fleksibel), artinya
legenda pada peta harus dapat dijadikan simbol untuk suatu keputusan
obyek penelitian.
2. Sistem dapat digunakan untuk pemetaan dengan berbagai macam skala,
sehingga isi peta diselaraskan dengan skala secara konseptual dan grafis.
3. Sistem harus memberi penekanan terhadap unsur - unsur bentuklahan,
sehingga sistem mampu dijadikan landasan penelitian geomorfologi analitik
dan geomorfologi sintetik.
4. Sistem harus menghasilkan peta - peta yang sederhana, sehingga dapat
menekan biaya pembuatan peta.
Secara umum, unsur-unsur geomorfologi dalam pemetaan meliputi
morfografi, morfogenetik, dan morfometri. Morfografi merupakan gambaran
bentuk permukaan atau arsitektur bumi. Morfogenetik merupakan proses
ataupun asal-usul terbentuknya permukaan bumi, pada umumnya dipengaruhi
oleh proses eksogen dan proses endogen. Sedangkan morfometri merupakan
suatu peniliaian kuantitatif dari suatu bentuklahan, misalnya aspek material
penyusun.
Secara garis besar, peta geomorfologi dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu peta geomorfologi analitik, peta geomorfologi analitik, dan peta geologi
pragmatik. Ketiga jenis peta tersebut dibedakan berdasarkan tingkat
kerinciannya. Dalam rangkaian kegiatan pemetaan ini, penulis membatasi
hanya pada pemetaan geomorfologi analitik. Adapun aspek utama dalam
pemetaan geomorfologi analitik disajikan dalam Tabel 2.
13

Tabel 2. Aspek Utama Pemetaan Geomorfologi (Van Zuidam,1985)

Berdasarkan aspek tersebut di atas, Van Zuidam (1975) membagi


geomorfologi ke dalam delapan jenis satuan bentuk lahan. Adapun kedelapan
satuan geomorfologi tersebut disebutkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Bentuk lahan (Van Zuidam 1975)


14

2.5. Stratigrafi Regional


Cekungan Sumatera Selatan membentang mulai dari tinggian Asahan
di baratlaut sampai ke tinggian Lampung yang terletak di bagian paling
Selatan pulau. Dibatasi oleh pegunungan Barisan di sebelah Baratdaya.
Batuan Pra-Tersier, yang terdiri atas batuan malihan dan batuan beku
berumur Mesozoikum, diduga merupakan dasar dari cekungan Tersier yang
ada. Satuan batuan dasar ini telah mengalami pensesaran, perlipatan, dan
penerobosan.
Sedimentasi yang terjadi di Cekungan Sumatera Selatan berlangsung
pada dua fase (Jackson, 1961), yaitu;
Fase transgresi, pada fase ini diendapkan dari kelompok Telisa, yang terdiri
dari Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi
Gumai. Kelompok Telisa ini diendapakan secara tidak selaras di atas Batuan
induk Pra-Tersier.
Fase regresi, pada fase ini dihasilkan endapan dari kelompok Palembang yang
terdiri dari Formasi Air Benakat, Formasi Muara enim, dan Formasi Kasai.
Batuan yang menjadi dasar cekungan diduga berupa terdiri atas batuan
malihan dan batuan beku yang berumur Mesozoikum.
15

Gambar 4. Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (De Coster, 1974)

Formasi Lahat
Formasi ini diendapkan tidak selaras di atas batuan dasar yang
berumur Pra-tersier (gambar 3). Berumur Paleosen sampai Awal Oligosen.
Memiliki ketebalan antara 760 sampai 1070 meter.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan darat, kehadiran tuff
menunjukkan adanya aktifitas vulkanik. Formasi ini terdiri dari Konglomerat,
Batupasir, Batulempung abu-abu sampai hitam kecoklatan, tufa, breksi dan
terkadang terdapat lapisan Batubara tipis.
Formasi Talang Akar
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras (gambar 3) di atas Formasi
Lahat (De Coster dan Koesomadinata, 1974), tetapi Pulunggono (1976)
mengatakan bahwa formasi ini terletak selaras di atas Formasi Lahat. Pada
bagian tepi cekungan formasi ini diendapakan secara tidak selaras di atas
batuan Pra-Tersier. Formasi ini memiliki umur Oligosen Atas – Miosen Bawah
16

dengan ketenalan berkisar antara 460 sampai 610 meter. Formasi ini
diendapakan pada lingkungan laut dangkal sampai fluvial.
Formasi Talang Akar dicirikan oleh batuan berupa Batulanau,
Batupasir, dan sisipan Batubara. Pada bagian tengah terdapat serpih yang
diendapkan pada lingkungan laut. Kandungan pasir yang ada pada formasi ini
semakin bertambah mendekati tepi cekungan.
Formasi Baturaja
Formasi ini diendapakan selaras di atas Formasi Talang Akar (gambar
3). Formasi ini memiliki ketebalan 200 sampai 250 meter, pada Bukit Garba
ketebalannya mencapai 520 meter. Formasi Baturaja diendapkan pada Awal
Miosen dan pada lingkungan darat sampai laut dangkal.
Formasi Baturaja dicirikan oleh batuan berupa Batugamping keras dan
berlapis, Batugamping pasiran, Batugamping Serpihan, Serpih gampingan,
napal dengan kandungan fosil foraminifera, moluska dan koral. Batugamping
pada formasi ini beralih menjadi serpih gampingan mendekati tengah
cekungan, dan menjadi Batupasir gampingan kaya akan glaukonit ke arah
pinggir cekungan.
Formasi Gumai
Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Baturaja (gambar 3).
Memimilki ketebalan kurang lebih 2200 meter, kecuali pada daerah depresi
Lemarang ketebalannya 4800 meter, dan mencapai beberapa ratus meter pada
Pegunungan Gumai. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam
dimana air laut menggenangi hampir seluruh cekungan. Formasi Gumai
berumur Miosen Bawah sampai Miosen Tengah.
Formasi Gumai dicirikan oleh batuan berupa Batupasir gampingan,
dan Serpih gampingan kaya akan foraminifera pada bagian bawah dan sisipan
Batugamping tipis pada bagian tengah dan atas.
Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat diendapkan selaras di atas Formasi Gumai (gambar
3). Formasi ini memiliki ketebalan lapisan antara 100 sampai 130 meter.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, yang juga
menunjukkan awal dari siklus regresi.
Formasi Air Benakat memiliki ciri-ciri batuan berupa Serpih gampingan
umur Miosen Akhir. kaya akan foraminifera dengan sisipan Batugamping pada
bagian bawah. Semakin ke atas dijumpai sisipan-sisipan Batupasir yang
banyak mengandung glaukonit dan presentase kandungan Batupasir semakin
ke atas semakin besar. Pada bagian atas dijumpai adanya sisa-sisa tumbuhan
17

dan Batubara yang merupakan batas Formasi Air Benakat dan Formasi Muara
Enim.
Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim diendapkan selaras di atas Formasi Air Benakat.
Formasi ini memiliki ketebalan antara 450 sampai 1200 meter dengan umur
Miosen Atas – Pliosen. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal,
dataran delta dan non-marine.
Formasi Muara Enim dicirikan oleh batuan yang berupa Batupasir,
Batulanau, Batulempung, dan Batubara. Pada bagian atas formasi ini sering
terdapat Tuf atau lempung tufaan. Formasi ini juga merupakan formasi
pembawa batubara yang dapat dibedakan menjadi 4 anggota (Gambar 5),
terdiri dari yang tertua ke yang termuda yaitu :
1. M1. terdiri dari pasir, lanau dan lempung berwarna coklat dan abu-
abu dengan sedikit glaukonitan. Terdiri dari seam batubara Keladi dan
Merapi.
2. M2. batas atasnya ditempatkan pada puncak seam Mangus dan batas
bawah pada lantai seam Petai. Anggota M2 terdiri dari perulangan batu
lempung, lempung pasiran berwarna coklat abuabu, pasir halus-
sedang, coklat abu-abu dibagian bawah berwarna hijau abu-abu, serta
batubara. Lapisan batubara yang terdapat dalam anggota ini terdiri
dari seam Petai, Suban, dan mangus, dengan penyebaran tidak
kontinyu
3. M3. terdiri dari perselingan pasir dan lanau, biru hijau, lempung
abuabu hijau dan coklat, horizon pasir 3-6 meter yang terletak 40
meter diatas seam Mangus dan terdapat kantong-kantong gas.
Batupasir dalam anggota ini dicirikan oleh kehadiran nodulnodul
batubesi kalsitan yang mempunyai rongga-rongga bekas gas. Terdiri
dari lapisan batubara Benuang dan Burung.
4. M4. terutama disusun oleh batulempung dan batupasir serta beberapa
lapisan batubara. Lapisan batubara terdiri dari seam Kebon, Enim,
Jelawatan dan Niru.
18

Gambar 5. Seam Batubara anggota Formasi Muara Enim (Shell, 1978)

Endapan batubara yang terdapat pada Formasi Muara Enim


berdasarkan kompilasi data dari beberapa lapangan batubara diketahui
seluruhnya berjumlah ± 21 lapisan batubara. Namun di beberapa lapangan
batubara endapan batubara utama yang dijumpai adalah sebanyak 10
(sepuluh) lapisan, yakni lapisan Batubara Mangus sebanyak 2 lapisan (A1 dan
A2), Batubara Suban sebanyak 2 lapisan (B/B1 dan B2), Batubara Petai (C)
sebanyak 3 lapisan (C/C1, C2 dan C3), Batubara Merapi (D) sebanyak 1
lapisan, dan Batubara Kladi (E) sebanyak 2 lapisan (E/E1 dan E2).
Formasi Kasai
Formasi ini diendapkan selaras namun di beberapa tempat diendapkan
tidak selaras di atas Formasi Muara Enim, endapan Tersier terakrasi di
Cekungan Sumatera Selatan. Formasi ini diendapkan pada lingkungan darat
dengan ketebalan antara 500 sampai 1000 meter dan berumur Pliosen Bawah.
Formasi Kasai dicirikan oleh batuan berupa Batupasir tufaan dan
kerikil yang merupakan hasil rombakan batuan sedimen hasil pembentukan
antiklin yang terbentuk selama orogenesa Plio-Pleistosen, hasil rombakan
Bukit Barisan, dan hasil aktivitas vulkanik.
19

2.6. Dasar Teori


Batubara
Batubara adalah bahan tambang non logam yang sifatnya seperti arang
kayu, tetapi panas yang dihasilkan lebih besar. Batubara adalah fosil dari
tumbuh-tumbuhan yang mengalami perubahan kimia akibat tekanan dan suhu
yang tinggi dalam kurun waktu lama. Komposisi penyusun batu bara terdiri
dari campuran hidrokarbon dengan komponen utama karbon. Di samping itu
juga mengandung senyawa dari oksigen, nitrogen, dan belerang. Batu bara
diklasifikasikan menurut kadar kandungan karbon yang ada di dalamnya, yaitu
berturut-turut makin besar kadarnya lignite, bitumen, dan antrasit. Batubara
merupakan salah satu sumber energi yang telah lama digunakan dan
memegang peranan penting saat ini. Peranannya semakin meningkat seiring
dengan perkembangan dan kebutuhan industri. Krisis energi akibat
ketergantungan yang besar terhadap minyak dan gas bumi menjadikan
batubara sebagai sumber energi alternatif yang semakin dibutuhkan.
Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada
kondisi lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah terkena
pengaruh-pengaruh syn-sedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-
pengaruh tersebut dihasilkan batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan
struktur yang bervariasi. Lingkungan pengendapan batubara dapat digunakan
untuk menentukan penyebaran lapisan, cara terjadinya, serta kualitas
batubara. Namun sering kali masih belum dapat menghasilkan yang prediksi
yang akurat (Thomas, 2002).
Genesa Batubara
Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar,
terbentuk dari sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai
hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung
selama jutaan tahun sehingga mengakibatkan pengkayaan kandungan
karbonnya (Wolf, 1984 dalam Anggayana 2002).
Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan penting yang harus dilewati
oleh bahan dasar pembentuknya (tumbuhan). Tahapan penting tersebut yaitu :
tahap pertama adalah terbentuknya gambut (peatification) yang merupakan
proses mikrobial dan perubahan kimia (biochemical coalification). Serta tahap
berikutnya adalah proses-proses yang terdiri dari perubahan struktur kimia dan
fisika pada endapan pembentuk batubara (geochemical coalification) karena
pengaruh suhu, tekanan dan waktu.
20

Penggambutan (Peatification)
Gambut merupakan batuan sedimen organik ( tidak padat ) yang dapat
terbakar dan berasal dari sisa – sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang
tumbang dan mati di permukaan tanah, pada umumnya akan mengalami
proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga setelah
beberapa waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Daerah yang ideal
untuk pembentukan gambut misalnya rawa, delta sungai, danau dangkal atau
daerah dalam kondisi tertutup udara. Gambut bersifat porous, tidak padat dan
umumnya masih memperlihatkan struktur tumbuhan asli, kandungan airnya
lebih besar dari 75 % (berat) dan komposisi mineralnya kurang dari 50%
(dalam keadaan kering).
Menurut Bend,1992 dalam C.F.K Diessel (1992), untuk dapat terbentuknya
gambut, beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu, evolusi tumbuhan, iklim,
geografi dan tektonik daerah.
Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan
tempat yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak
ada penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah terus
mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat
kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat mencapai 90 % dan kandungan air
menurun drastis hingga 60 % pada saat terbentuknya brown-coal. Sebagian
besar lingkungan yang memenuhi kondisi tersebut merupakan topogenic low
moor. Hanya pada beberapa tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi
dapat terbentuk rawa gambut ombrogenik (high moor) (C.F.K Diessel, 1992).
Pembatubaraan (Coalification)
Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, sub-
bituminous, bituminous, antrasit sampai meta-antrasit. Proses pembentukan
gambut dapat berhenti karena beberapa proses alam seperti misalnya karena
penurunan dasar cekungan dalam waktu yang singkat. Jika lapisan gambut
yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka tidak ada
lagi bahan anaerob, atau oksigen yang dapat mengoksidasi, maka lapisan
gambut akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen. Tekanan terhadap
lapisan gambut akan meningkat dengan bertambah tebalnya lapisan sedimen.
Tekanan yang bertambah besar pada proses pembatubaraan akan
mengakibatkan menurunnya porositas dan meningkatnya anisotropi. Porositas
dapat dilihat dari kandungan airnya yang menurun secara cepat selama proses
perubahan gambut menjadi brown coal. Hal ini memberi indikasi bahwa masih
terjadi proses kompaksi.
21

Proses pembatubaraan terutama dikontrol oleh kenaikan temperatur,


tekanan dan waktu. Pengaruh temperatur dan tekanan dipercayai sebagai
faktor yang sangat dominan, karena sering ditemukan lapisan batubara high-
rank (antrasit) yang berdekatan dengan intrusi batuan beku sehingga terjadi
kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga dapat disebabkan
karena bertambahnya kedalaman. Sementara bila tekanan makin tinggi, maka
proses pembatubaraan makin cepat, terutama di daerah lipatan dan patahan.
Ada 2 teori yang menerangkan terjadinya batubara yaitu :
Teori In-situ. Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang
berasal dari hutan dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang
terbentuk sesuai dengan teori in-situ biasanya terjadi di hutan basah dan
berawa, sehingga pohon-pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh,
langsung tenggelam ke dalam rawa tersebut, dan sisa tumbuhan tersebut tidak
mengalami pembusukan secara sempurna, dan akhirnya menjadi fosil
tumbuhan yang membentuk sedimen organik.
Teori Drift. Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang
berasal dari hutan yang bukan di tempat dimana batubara tersebut
terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori drift biasanya terjadi di
delta-delta, mempunyai ciri-ciri lapisan batubara tipis, tidak menerus (splitting),
banyak lapisannya (multiple seam), banyak pengotor (kandungan abu cenderung
tinggi). Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap
biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).
Parameter Geometri Lapisan Batubara
(Kuncoro, 2000) menjelaskan agar geometri lapisan batubara menjadi
berarti dan menunjang untuk perhitungan cadangan, bahkan sampai pada
tahap perencanaan tambang, penambangan, pencucian, pengangkutan,
penumpukan, maupun pemasaran, maka parameternya adalah:
Ketebalan. Ketebalan lapisan batubara berhubungan langsung dengan
perhitungan cadangan, perencanaan produksi, sistem panambangan dan umur
tambang. Karenanya, maka faktor pengendali terjadinya arah perubahan
ketebalan, penipisan, pembajian, splitting dan kapan terjadinya perlu diketahui.
Apakah terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perbedaan
kecepatan akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya
channel, sesar dan proses karst atau terjadi setelah pengendapan, antara lain
karena sesar atau erosi permukaan.
Pengertian tebal perlu dijelaskan, apakah tebal tersebut termasuk
parting (gross coal thickness), tebal lapisan batubara tidak termasuk parting (net
22

coal thickness) atau tebal lapisan batubara yang dapat ditambang (mineable
thickness).
Kemiringan. Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh
terhadap perhitungan cadangan ekonomis, nisbah pengupasan, dan system
penambangan. Besarnya kemiringan harus berdasarkan hasil pengukuran
dengan akurasi tinggi. Dianjurkan pengukuran kedudukan lapisan batubara
menggunakan kompas dengan metode dip direction, sekaligus harus
mempertimbangkan kedudukan lapisan batuan yang mengapitnya.
Pola sebaran. Pola Sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada
penentuan batas perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan.
Oleh karena itu, faktor pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah
dikendalikan oleh struktur lipatan (antiklin, sinklin, menunjam), homoklin,
struktur sesar dengan pola tertentu atau dengan pensesaran kuat.
Kemenerusan lapisan batubara. Faktor pengendali kemenerusan
lapisan batubara adalah jarak dan apakah kemenerusannya dibatasi oleh
proses pengendapan dan split, sesar,, intrusi atau erosi. Contoh pada split,
kemenerusan lapisan batubara dapat terbelah oleh bentuk membaji dari
sedimen, bukan batubara. Berdasarkan penyebabnya dapat karena proses
sedimentasi (autosedimentational split) atau tektonik yang ditunjukkan oleh
perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar.
Keteraturan Lapisan Batubara. Faktor pengendalinya adalah pola
kedudukan lapisan batubara (jurus dan kemiringan), artinya :
a. Apakah pola lapisan batubara di permukaan menunjukkan pola teratur (garis
menerus yang lurus, melengkung pada elevasi yang hampir sama) atau
membentuk pola tidak teratur (garis yang tidak menerus, melengkung pada
elevasi yang tidak sama).
b. Apakah bidang lapisan batubara membentuk bidang permukaan yang hampir
rata, bergelombang lemah atau bergelombang.
c. Juga harus dipahami faktor pengendali keteraturan lapisan batubara.
Bentuk lapisan batubara. Bentuk lapisan batubara adalah
perbandingan antara tebal lapisan batubara dan kemenerusannya, apakah
termasuk kategori bentuk melembar, membaji, melensa, atau bongkah.
Roff dan Floor. Kontak batubara dengan roof merupakan fungsi dari
proses pengendapannya. Pada kontak yang tegas menunjukkan proses
pengendapan berlangsung secara tiba-tiba, sebaliknya jika proses pengendapan
lambat kontaknya akan terlihat berangsur kandungan karbonannya. Roof
banyak mengandung fosil sehingga baik untuk korelasi.
23

Litologi pada floor lebih bervariasi seperti serpih, batulempung,


batulanau, batupasir, batugamping atau soil yang umumnya lebih massif. Bila
berupa seatearth (merupakan istilah umum untuk batuan berbutir kasar
maupun halus yang mengandung akar tumbuhan dalam posisi tumbuh dan
berada di bawah lapisan batubara) umumnya mengandung bekas akar
tumbuhan, berwarna abu-abu cerah sampai coklat, plastis, merupakan tanah
purbatempat tumbuhan hidup, tidak mengandung alkali, kandungan kalsium
dan besi rendah. Terjadi karena proses perlindian oleh air yang jenuh asam
humik dari pembusukan tanaman.
Cleat. Cleat adalah kekar didalam lapisan batubara, khusunya pada
batubara bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar.
Adanya cleat dapat disebabkan beberapa faktor yaitu, mekanisme pengendapan,
petrografi batubara, derajat batubara, tektonik (struktur geologi), aktifitas
penambangan
Berdasarkan ganesanya membedakan cleat menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Endogenous cleat dibentuk oleh gaya internal akibat pengeringan atau
penyusutan material organic. Umumnya tegak lurus bidang perlapisan
sehingga bidang kekar cenderung membagi lapisan batubara menjadi
fragmen-fragmen tipis yang tabular.
b. Exogenic cleat dibentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan
kejadian tektonik. Mekanismenya tergantung pada karakteristik struktur
dari lapisan pembawa batubara. Cleat ini terorientasi pada arah tegasan
utama dan terdiri dari dua pasang kekar yang saling membentuk sudut.
c. Included cleat bersifat lokal akibat proses penambangan dengan adanya
perpindahan beban kedalam struktur tambang. Frekuensi included cleat
tergantung pada tata letak tambang dan macam teknologi penambangan
yang digunakan.
Terjadinya cleat ada hubungannya dengan pola kekar pada lapisan
pembawa batubara, sehingga dapat digunakan untuk menghubungkan pola
cleat dengan struktur geologi dari suatu daerah.
Pelapukan. Tingkat pelapukan batubara penting dilakukan karena
berhubungan dengan dimensi lapisan batubara, kualitas, perhitungan
cadangan dan penambangannya. Oleh karena itu karakteristik pelapukan dan
batas pelapukan harus ditentukan. Pada batubara lapuk selain harus
ditentukan batasnya dengan batubara segar, juga berpengaruh pada
pengukuran tebalnya. Kondisi ini umumnya dijumpai pada batubara dengan
kandungan abu dan moisture tinggi.
24

Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan adalah lingkungan yang kompleks yang
disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi dimana
sedimen diendapkan (Koesoemadinata, 1981).
Batubara tidak dapat terbentuk disemua lingkungan , hanya lingkungan
tertentu seperti swamp atau marsh yang dipengaruhi proses-proses reduksi
yang dapat menghasilkannya. Oleh karena itu analisis lingkungan pengendapan
sangat penting diketahui untuk menafsirkan pola-pola penyebaran dan
ketebalan lapisan batubara.
Batubara terbentuk bersama-sama dengan bahan anorganik yang
umumnya berupa sedimen klastik halus seperti batulempung, batulanau dan
batupasir. Assosiasi batuan tersebut merupakan lapisan sedimen pembawa
batubara (coal bearing).
Proses pembentukan batubara merupakan proses yang kompleks
dengan lingkungan pengendapan yang khas. Menurut J.C Horne dkk, 1978, ada
beberapa macam lingkungan pengendapan berdasarkan karakteristik masing-
masing lingkungan (Gambar 6 dan Gambar 7) sebagai berikut:

Gambar 6. Model lingkungan pada daerah stabil (Horne, 1978)

Endapan Transisional (Transitional lower delta plain). Endapan


yang merupakan transisi antara upper delta plain dan lingkungan lower delta
25

plain yang ditandai oleh perkembangan rawa yang intensif pada pengisian yang
hampir lengkap dari teluk yang interdistribusi.
Lapisan batubara pada umumnya tersebar meluas dengan
kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan seperti
pada batubara upper delta plain, batubara di transisi ini berkembang split
didaerah dekat channel kontemporer dan oleh washout yang disebabkan oleh
aktivitas channel subsekuen.

Gambar 7. Sekuen Vertikal Transitional Lower Delta Plain (Horne, 1978)

Pada Gambar 7. dapat dijelaskan susunan dari urutan dan asosiasi


fasies sebagai berikut:
a. Swamp, terdiri dari batubara,seat rock lempungan.
b. Crevasse splay, terdiri dari batupasir, pasir halus, ripple ; coarsening upward.
c. Interdistributary bay, terdiri dari serpih dan batulanau dengan nodule
siderite, struktur burrow, mengandung fauna air payau-marine.
d. Levee, terdiri dari batupasir dan batulanau, lamination-cross bedding
perlapisannya tidak teratur, climbing ripple, struktur akar,sortasi buruk.
e. Channel, terdiri dari batupasir, pasir halus-sedang, struktur climbing, riplle
pada bagian atas, festoon cross bedding pada bagian bawah, scouring
(penggerusan) pada bagian dasar lapisan ; endapan konglomerat dan siderite
kerakal mengisi pada bagian bawah di atas bidang gerus ; finning upward ;
single-storied (migrasi lateral satu arah).
26

Endapan Upper Delta Plain – Endapan Fluvial. Didalam lingkungan


upper delta plain atau fluvial, endapan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh
podshaped pada bagian lapisan bawah dari dataran banjir yang terbatas dengan
channel sungai bermeander.

Gambar 8. Sekuen vertikal upper delta plain - fluvial (Horne, 1978)

Lapisan batubara yang dihasilkan cenderung sejajar dengan kemiringan


pengendapan, tetapi sedikit yang menerus dibandingkan dengan fasies lower
delta plain. Berhubung bagian yang teratur sedikit jumlahnya yang mengikuti
channel sungai, maka lapisan-lapisan tebal – sangat tebal dengan jarak relatif
pendek dengan jumlah split mungkin berkembang dalam hubungannya dengan
endapan tanggung yang kontemporer. Bentuk lapisan mungkin juga
dimodifikasi secara besar-besaran oleh perkembangan washout pada tingkat
akhir dari proses pengendapan (Gambar 8.) urutan dan asosiasi fasies yang
terdiri dari:
a. Flood plain, terdiri dari batulanau dan batulempung
b. Backswamp, terdiri dari batubara; seat rock lempungan dengan fosil
tanaman.
c. Levee, terdiri dari batupasir dan batulanau, lamination-cross bedding
perlapisannya tidak teratur, climbing ripple, struktur akar, sortasi buruk.
d. Channel, terdiri dari batupasir, pasir sedang-kasar, struktur climbing ripple
pada bagian atas, festoon cross bedding pada bagian bawah, scouring
(penggerusan) pada bagian dasar lapisan ; endapan konglomerat.
27

Lingkungan Pengendapan Regional Daerah Telitian


Secara regional daerah telitian masuk kedalam Formasi Muara Enim
(Tmpm) yang berada pada lingkungan pengendapan laut dangkal, delta, dan non
marine. Yang menjadi penciri lingkungan pengendapan pada Formasi Muara
Enim adalah banyak ditemukan rawa dan struktur sedimen berupa laminasi.

Anda mungkin juga menyukai