TINJAUAN PUSTAKA
7
8
Selatan dan Sumatera Tengah (De Coster, 1974). Shell Mijnbouw (1978)
memperbaiki penamaan dan tatanan stratigrafi, khususnya Formasi Muara
Enim dibagi menjadi 4 angka yang didasarkan atas kelompok kandungan
batubara dari bawah ke atas yaitu anggota M1, M2, M3 dan M4.
Berdasarkan peta geologi regional Lembar Jambi daerah penelitian
hanya terdapat 1 formasi yaitu Formasi Muaraenim.
2.4. Geomorfologi
Sistem penelitian dan pemetaan geomorfologi telah banyak
dikembangkan selaras dengan tujuan penelitian yang dilakukannya, tetapi
masih banyak terjadi kerancuan, khususnya pemahaman geomorfologi untuk
tujuan pemetaan geologi. Salah satu sistem yang telah banyak dimanfaatkan
untuk berbagai tujuan yaitu sistem yang dikembangkan oleh International
Institute for Aerial survey and Earth Sciences (ITC), Belanda.
Verstappen (1967 dan 1968) dan Van Zuidam (1968 dan 1975) telah
mengembangkan sistem penelitian geomorfologi berdasarkan pengalamannya di
seluruh dunia, khususnya di wilayah tropis (Indonesia dan Amerika Latin),
12
Formasi Lahat
Formasi ini diendapkan tidak selaras di atas batuan dasar yang
berumur Pra-tersier (gambar 3). Berumur Paleosen sampai Awal Oligosen.
Memiliki ketebalan antara 760 sampai 1070 meter.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan darat, kehadiran tuff
menunjukkan adanya aktifitas vulkanik. Formasi ini terdiri dari Konglomerat,
Batupasir, Batulempung abu-abu sampai hitam kecoklatan, tufa, breksi dan
terkadang terdapat lapisan Batubara tipis.
Formasi Talang Akar
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras (gambar 3) di atas Formasi
Lahat (De Coster dan Koesomadinata, 1974), tetapi Pulunggono (1976)
mengatakan bahwa formasi ini terletak selaras di atas Formasi Lahat. Pada
bagian tepi cekungan formasi ini diendapakan secara tidak selaras di atas
batuan Pra-Tersier. Formasi ini memiliki umur Oligosen Atas – Miosen Bawah
16
dengan ketenalan berkisar antara 460 sampai 610 meter. Formasi ini
diendapakan pada lingkungan laut dangkal sampai fluvial.
Formasi Talang Akar dicirikan oleh batuan berupa Batulanau,
Batupasir, dan sisipan Batubara. Pada bagian tengah terdapat serpih yang
diendapkan pada lingkungan laut. Kandungan pasir yang ada pada formasi ini
semakin bertambah mendekati tepi cekungan.
Formasi Baturaja
Formasi ini diendapakan selaras di atas Formasi Talang Akar (gambar
3). Formasi ini memiliki ketebalan 200 sampai 250 meter, pada Bukit Garba
ketebalannya mencapai 520 meter. Formasi Baturaja diendapkan pada Awal
Miosen dan pada lingkungan darat sampai laut dangkal.
Formasi Baturaja dicirikan oleh batuan berupa Batugamping keras dan
berlapis, Batugamping pasiran, Batugamping Serpihan, Serpih gampingan,
napal dengan kandungan fosil foraminifera, moluska dan koral. Batugamping
pada formasi ini beralih menjadi serpih gampingan mendekati tengah
cekungan, dan menjadi Batupasir gampingan kaya akan glaukonit ke arah
pinggir cekungan.
Formasi Gumai
Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Baturaja (gambar 3).
Memimilki ketebalan kurang lebih 2200 meter, kecuali pada daerah depresi
Lemarang ketebalannya 4800 meter, dan mencapai beberapa ratus meter pada
Pegunungan Gumai. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam
dimana air laut menggenangi hampir seluruh cekungan. Formasi Gumai
berumur Miosen Bawah sampai Miosen Tengah.
Formasi Gumai dicirikan oleh batuan berupa Batupasir gampingan,
dan Serpih gampingan kaya akan foraminifera pada bagian bawah dan sisipan
Batugamping tipis pada bagian tengah dan atas.
Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat diendapkan selaras di atas Formasi Gumai (gambar
3). Formasi ini memiliki ketebalan lapisan antara 100 sampai 130 meter.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, yang juga
menunjukkan awal dari siklus regresi.
Formasi Air Benakat memiliki ciri-ciri batuan berupa Serpih gampingan
umur Miosen Akhir. kaya akan foraminifera dengan sisipan Batugamping pada
bagian bawah. Semakin ke atas dijumpai sisipan-sisipan Batupasir yang
banyak mengandung glaukonit dan presentase kandungan Batupasir semakin
ke atas semakin besar. Pada bagian atas dijumpai adanya sisa-sisa tumbuhan
17
dan Batubara yang merupakan batas Formasi Air Benakat dan Formasi Muara
Enim.
Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim diendapkan selaras di atas Formasi Air Benakat.
Formasi ini memiliki ketebalan antara 450 sampai 1200 meter dengan umur
Miosen Atas – Pliosen. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal,
dataran delta dan non-marine.
Formasi Muara Enim dicirikan oleh batuan yang berupa Batupasir,
Batulanau, Batulempung, dan Batubara. Pada bagian atas formasi ini sering
terdapat Tuf atau lempung tufaan. Formasi ini juga merupakan formasi
pembawa batubara yang dapat dibedakan menjadi 4 anggota (Gambar 5),
terdiri dari yang tertua ke yang termuda yaitu :
1. M1. terdiri dari pasir, lanau dan lempung berwarna coklat dan abu-
abu dengan sedikit glaukonitan. Terdiri dari seam batubara Keladi dan
Merapi.
2. M2. batas atasnya ditempatkan pada puncak seam Mangus dan batas
bawah pada lantai seam Petai. Anggota M2 terdiri dari perulangan batu
lempung, lempung pasiran berwarna coklat abuabu, pasir halus-
sedang, coklat abu-abu dibagian bawah berwarna hijau abu-abu, serta
batubara. Lapisan batubara yang terdapat dalam anggota ini terdiri
dari seam Petai, Suban, dan mangus, dengan penyebaran tidak
kontinyu
3. M3. terdiri dari perselingan pasir dan lanau, biru hijau, lempung
abuabu hijau dan coklat, horizon pasir 3-6 meter yang terletak 40
meter diatas seam Mangus dan terdapat kantong-kantong gas.
Batupasir dalam anggota ini dicirikan oleh kehadiran nodulnodul
batubesi kalsitan yang mempunyai rongga-rongga bekas gas. Terdiri
dari lapisan batubara Benuang dan Burung.
4. M4. terutama disusun oleh batulempung dan batupasir serta beberapa
lapisan batubara. Lapisan batubara terdiri dari seam Kebon, Enim,
Jelawatan dan Niru.
18
Penggambutan (Peatification)
Gambut merupakan batuan sedimen organik ( tidak padat ) yang dapat
terbakar dan berasal dari sisa – sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang
tumbang dan mati di permukaan tanah, pada umumnya akan mengalami
proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga setelah
beberapa waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Daerah yang ideal
untuk pembentukan gambut misalnya rawa, delta sungai, danau dangkal atau
daerah dalam kondisi tertutup udara. Gambut bersifat porous, tidak padat dan
umumnya masih memperlihatkan struktur tumbuhan asli, kandungan airnya
lebih besar dari 75 % (berat) dan komposisi mineralnya kurang dari 50%
(dalam keadaan kering).
Menurut Bend,1992 dalam C.F.K Diessel (1992), untuk dapat terbentuknya
gambut, beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu, evolusi tumbuhan, iklim,
geografi dan tektonik daerah.
Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan
tempat yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak
ada penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah terus
mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat
kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat mencapai 90 % dan kandungan air
menurun drastis hingga 60 % pada saat terbentuknya brown-coal. Sebagian
besar lingkungan yang memenuhi kondisi tersebut merupakan topogenic low
moor. Hanya pada beberapa tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi
dapat terbentuk rawa gambut ombrogenik (high moor) (C.F.K Diessel, 1992).
Pembatubaraan (Coalification)
Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, sub-
bituminous, bituminous, antrasit sampai meta-antrasit. Proses pembentukan
gambut dapat berhenti karena beberapa proses alam seperti misalnya karena
penurunan dasar cekungan dalam waktu yang singkat. Jika lapisan gambut
yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka tidak ada
lagi bahan anaerob, atau oksigen yang dapat mengoksidasi, maka lapisan
gambut akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen. Tekanan terhadap
lapisan gambut akan meningkat dengan bertambah tebalnya lapisan sedimen.
Tekanan yang bertambah besar pada proses pembatubaraan akan
mengakibatkan menurunnya porositas dan meningkatnya anisotropi. Porositas
dapat dilihat dari kandungan airnya yang menurun secara cepat selama proses
perubahan gambut menjadi brown coal. Hal ini memberi indikasi bahwa masih
terjadi proses kompaksi.
21
coal thickness) atau tebal lapisan batubara yang dapat ditambang (mineable
thickness).
Kemiringan. Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh
terhadap perhitungan cadangan ekonomis, nisbah pengupasan, dan system
penambangan. Besarnya kemiringan harus berdasarkan hasil pengukuran
dengan akurasi tinggi. Dianjurkan pengukuran kedudukan lapisan batubara
menggunakan kompas dengan metode dip direction, sekaligus harus
mempertimbangkan kedudukan lapisan batuan yang mengapitnya.
Pola sebaran. Pola Sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada
penentuan batas perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan.
Oleh karena itu, faktor pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah
dikendalikan oleh struktur lipatan (antiklin, sinklin, menunjam), homoklin,
struktur sesar dengan pola tertentu atau dengan pensesaran kuat.
Kemenerusan lapisan batubara. Faktor pengendali kemenerusan
lapisan batubara adalah jarak dan apakah kemenerusannya dibatasi oleh
proses pengendapan dan split, sesar,, intrusi atau erosi. Contoh pada split,
kemenerusan lapisan batubara dapat terbelah oleh bentuk membaji dari
sedimen, bukan batubara. Berdasarkan penyebabnya dapat karena proses
sedimentasi (autosedimentational split) atau tektonik yang ditunjukkan oleh
perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar.
Keteraturan Lapisan Batubara. Faktor pengendalinya adalah pola
kedudukan lapisan batubara (jurus dan kemiringan), artinya :
a. Apakah pola lapisan batubara di permukaan menunjukkan pola teratur (garis
menerus yang lurus, melengkung pada elevasi yang hampir sama) atau
membentuk pola tidak teratur (garis yang tidak menerus, melengkung pada
elevasi yang tidak sama).
b. Apakah bidang lapisan batubara membentuk bidang permukaan yang hampir
rata, bergelombang lemah atau bergelombang.
c. Juga harus dipahami faktor pengendali keteraturan lapisan batubara.
Bentuk lapisan batubara. Bentuk lapisan batubara adalah
perbandingan antara tebal lapisan batubara dan kemenerusannya, apakah
termasuk kategori bentuk melembar, membaji, melensa, atau bongkah.
Roff dan Floor. Kontak batubara dengan roof merupakan fungsi dari
proses pengendapannya. Pada kontak yang tegas menunjukkan proses
pengendapan berlangsung secara tiba-tiba, sebaliknya jika proses pengendapan
lambat kontaknya akan terlihat berangsur kandungan karbonannya. Roof
banyak mengandung fosil sehingga baik untuk korelasi.
23
Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan adalah lingkungan yang kompleks yang
disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi dimana
sedimen diendapkan (Koesoemadinata, 1981).
Batubara tidak dapat terbentuk disemua lingkungan , hanya lingkungan
tertentu seperti swamp atau marsh yang dipengaruhi proses-proses reduksi
yang dapat menghasilkannya. Oleh karena itu analisis lingkungan pengendapan
sangat penting diketahui untuk menafsirkan pola-pola penyebaran dan
ketebalan lapisan batubara.
Batubara terbentuk bersama-sama dengan bahan anorganik yang
umumnya berupa sedimen klastik halus seperti batulempung, batulanau dan
batupasir. Assosiasi batuan tersebut merupakan lapisan sedimen pembawa
batubara (coal bearing).
Proses pembentukan batubara merupakan proses yang kompleks
dengan lingkungan pengendapan yang khas. Menurut J.C Horne dkk, 1978, ada
beberapa macam lingkungan pengendapan berdasarkan karakteristik masing-
masing lingkungan (Gambar 6 dan Gambar 7) sebagai berikut:
plain yang ditandai oleh perkembangan rawa yang intensif pada pengisian yang
hampir lengkap dari teluk yang interdistribusi.
Lapisan batubara pada umumnya tersebar meluas dengan
kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan seperti
pada batubara upper delta plain, batubara di transisi ini berkembang split
didaerah dekat channel kontemporer dan oleh washout yang disebabkan oleh
aktivitas channel subsekuen.