Anda di halaman 1dari 38

26

BAB II

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Pembalikan Beban Pembuktian

1. Pengertian Pembalikan Beban Pembuktian

Sebelum membahas tentang pembalikan beban pembuktian, maka

sebelumnya Penulis ingin memaparkan terlebih dahulu pengertian dari

pembuktian. Dikaji secara umum, kata pembuktian berasal dari kata bukti yang

berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan

kebenaran suatu hal. Atau dapat dikatakan bahwa pembuktian adalah suatu

perbuatan membuktikan. Dari makna leksikon atau kosakata, pembuktian menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip olek Lilik Mulyadi adalah:

“Suatu proses, cara perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar


atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. Sedangkan dari perspektif
yuridis, menurut M. Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman yang dibenarkan undang-undang membuktikan
1
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa”.

Munir Fuady yang dikutip oleh Syaiful Bakhri “hukum pembuktian

adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian yakni

1 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003,
(Bandung: PT. Alumni, 2007). hlm. 84
27

segala proses, dengan menggunakan alat bukti yang sah, dilakukan tindakan
2
dengan prosedur khusus dan guna mengetahui fakta di persidangan”.

Menurut Sudirjo yang dikutip oleh Syaiful Bakhri, bahwa secara umum

“pembuktian berarti bukti yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu

peristiwa, sehingga perbuatan bermakna suatu perbuatan untuk membuktikan

suatu kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan serta meyakinkan”.

Dengan demikian maka:

“pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana


yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha
mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut
umum, terdakwa dan penasihat hukum, yang kesemuanya terikat pada
ketentuan dan tata cara serta penilaian alat bukti dan tidak boleh
3
bertentangan dengan undang-undang”.
Dari pengertian tentang pengertian sebagaimana yang telah dijelaskan

di atas, dalam hal pembuktian dikenal dengan adanya istilah beban pembuktian.

Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah pembagian

beban pembuktian. Hukum pembuktian harus mengatur dengan tegas ke pundak

siapa pembuktian harus dibebankan (burden of proof, burden of producing


4
evidence).

Menurut Munir Fuady:

“Beban pembuktian adalah suatu penentuan oleh hukum

2 Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, (Jakarta: Total
Media bekerjasama dengan Pusat Pengkajian & Pengembangan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah, 2009). hlm. 3
3Ibid., hlm, 27
4
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2006), hlm. 45
28

tentang siapa yang harus membuktikan suatu fakta yang sedang


diperiksa di persidangan guna membuktikan dan meyakinkan bahwa
fakta tersebut benar-benar terjadi. Dengan konsekuensi hukum jika
yang berkewajiban membuktikan tidak dapat membuktikan fakta
5
tersebut maka fakta tersebut tidak pernah terbukti.”
2. Macam-Macam Beban Pembuktian

Konsekuensi logis dari teori pembuktian yang telah dijelaskan di atas,

berkorelasi dengan eksistensi terhadap asas pembuktian. Dikaji dari perspektif

6
ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat 3 (tiga) teori beban pembuktian:

a. Beban Pembuktian Pada Penuntut Umum

Teori pembuktian yang dibebankan kepada penuntut umum berarti

penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara

akurat untuk meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Beban pembuktian

pada penuntut umum ini berkorelasi pada asas praduga tidak bersalah dan

aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination)

sebagai manifestasi dari Fith Amandement Konstitusi Amerika Serikat yang

menyatakan bahwa “ No person... shall be compelled in any criminal cases to be

a witness against him self. Selain itu juga sejalan dengan pendapat Glanville

Williams bahwa “when it said defendant to a criminal charge is presummed to

be innocent, what is relly mean is that the burdent of proving his guilt is upon

prosecution” Teori beban pembuktian ini dianut oleh Indonesia, sesuai Pasal 66

KUHAP yang menyatakan “tersangka atau terdakwa tidak dibebani beban

5 Lilik Mulyadi, op.cit., hlm. 101-103


6 Ibid., 101-103
29

7
pembuktian”.

b. Beban Pembuktian Pada Terdakwa

Dalam teori pembuktian ini terdakwa berperan secara aktif menyatakan

bahwa dirinya tidak bersalah. Oleh karena itu dalam persidangan terdakwa yang

akan menyiapkan segala beban pembuktian, dan apabila terdakwa tidak mampu

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah maka dia dinyatakan bersalah

melakukan tindak pidana. Umumnya teori beban pembuktian ini disebut dengan

“Pembalikan Beban Pembuktian”. “Pada hakikatnya pembalikan beban

pembuktian ini merupakan suatu penyimpangan dalam hukum pembuktian dan

8
merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana”.

c. Beban Pembuktian Berimbang

Dalam teori ini baik penuntut umum maupun terdakwa saling

membuktikan di depan persidangan. Penuntut umum akan membuktikan

kesalahan terdakwa dan sebaliknya terdakwa atau penasihat hukumnya akan

membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. “Asas

pembalikan beban pembuktian dalam hukum pidana dikenal dalam undang-

undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

9
Pidana Pencucian Uang”.

Teori beban pembuktian dikaji dari tolok ukur penuntut umum dan

7 Ibid., hlm. 102


8 Ibid., hlm. 102-103
9 Syaiful Bakhri, op.cit., hlm., 82
30

terdakwa dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu:

1)Pertama, “sistem beban pembuktian biasa atau konvensional, yaitu penuntut


umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat-alat bukti yang

ditentukan oleh undang-undang kemudian terdakwa dapat menyangkal alat

10
bukti tersebut dan beban pembuktian sesuai ketentuan pasal 66 KUHAP”.

2)Kedua, teori pembalikan beban pembuktian yang kemudian terbagi lagi

dalam pembuktian terbalik yang bersifat absolut atau murni yaitu terdakwa

atau penasihat hukumnya membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah.

“Beban pembuktian selanjutnya adalah pembalikan beban pembuktian bersifat

terbatas dan berimbang dalam arti terdakwa membuktikan bahwa dirinya

tidakbersalah dan penuntut umum membuktikan bahwa terdakwa bersalah”. 11

Terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa, hakim, maupun

penuntut umum mempunyai peran dan sikapnya masing-masing. Dalam hal

terdakwa, maka pembalikan beban pembuktian perlu diperhatikan apakah ia

akan menggunakan haknya tersebut atau tidak. Namun secara pasti keduanya

mempunyai konsekuensi hukum. Dalam menggunakan haknya maka yang harus


12
ditekankan adalah:

1) Ia harus membuktikan bahwa ia tidak melakukan delik


sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum.

2) Ia berkewajiban untuk memberikan keterangan tentang


seluruh harta bendanya sendiri, harta benda isterinya atau

10 Ibid., hlm. 103


11 Ibid., hlm. 104
12 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata, Dan Korupsi di
Indonesia, (Bogor: Penerbit Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 154
31

suaminya, harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada
kaitannya dengan perkara yang bersangkutan. Terdakwa dapat
membuktikan perolehan/pelepasan hartanya mengenai kapan,
bagaimana dan bersama siapa saja yang terlibat dan sebab-sebab
bisa terjadi. Penggunaan hak terdakwa ini satu sisi dapat
menguntungkan dirinya dan di sisi lain dapat merugikan dirinya
sendiri.

Penuntut umum tidak mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan

undang-undang kepada terdakwa, tetapi tidak berarti penuntut umum tidak

memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam

rekuisitornya. Sedangkan terhadap keterangan terdakwa, hakim akan

mempertimbangkan semuanya dan bersikap bebas dalam menentukan


13
pendapatnya yaitu sebagai berikut:

1) Keterangan terdakwa hanya berlaku bagi terdakwa sendiri.

2) Jika terdakwa terbukti tidak melakukan delik korupsi maka


keterangan itu dipakai sebagai hal yang menguntugkan bagi
pribadinya.

Jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak

seimbang/sebanding dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan,

keterangan itu dapat dipergunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada

bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana, atau dengan kata lain

keterangan itu merugikan bagi Terdakwa.

Berkaitan dengan beban pembuktian maka dalam pemeriksaan tindak

pidana pengajuan alat bukti yang sah menurut undang-undang di dalam


14
persidangan dilakukan oleh:

13 Ibid., hlm, 156


14 Ibid., hlm. 23
32

1) Penuntut umum guna membuktikan dakwaannya.

2) Terdakwa atau penasihat hukum, jika terdapat alat bukti yang


bersifat meringankan atau membebaskan terdakwa dari segala tuntutan
hukum

Pengajuan alat bukti dalam persidangan dalam hal dilakukan penuntut

umum adalah alat bukti yang memberatkan (adecharge) dan terdakwa atau

penasihat hukumnya dalam hal pembuktian yang meringankan (acharge).

Namun pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa bukan merupakan suatu

kewajiban, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP yang menyatakan

“Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. “Hal ini

merupakan wujud konkrit dari asas praduga tidak bersalah, maka pada
15
prinsipnya yang membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum”.

Selanjutnya Alfitra menjelaskan bahwa:

“Hakim dalam persidangan bersifat aktif, oleh karena itu


apabila dinilai perlu hakim bisa memerintahkan penuntut umum untuk
menghadirkan saksi tambahan. Demikian juga sebaliknya, jika hakim
menilai pembuktian cukup maka hakim dapat menolak alat-alat bukti
yang diajukan dengan alasan pembuktian sudah ada cukup
meyakinkan. Namun yang tetap harus menjadi perhatian bagi hakim
adalah bahwa mengajukan alat bukti merupakan hak penuntut umum
dan terdakwa, oleh karena itu penolakan pengajuan alat bukti harus
16
benar-benar dipertimbangkan dan cukup beralasan”.
Sebagai dasar pemeriksaan persidangan adalah surat dakwaan atau

catatan dakwaan untuk perkara singkat yang berisi tentang perbuatan-perbuatan

yang dilakukan oleh terdakwa pada hari, tanggal, jam serta tempat dilakukannya

suatu perbuatan pidana. “Oleh karenanya yang harus dibuktikan dalam

15 Ibid., hlm.23
16 Ibid., hlm.24
33

persidangan adalah perbuatan-perbuatan terdakwa yang dianggap melanggar


17
ketentuan hukum pidana”.

Sedangkan hal yang tidak perlu dibuktikan adalah segala sesuatu yang

telah diketahui secara umum (fakta notoir), sebagaimana diatur dalam Pasal 184

ayat (2) yang menyatakan bahwa “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak

perlu dibuktikan, misalnya matahari terbit dari Timur ke Barat, menyalakan

18
lampu pada saat berkendaraan di malam hari, berjalan sebelah kiri”.

3. Sistem Pembuktian

Hukum pembuktian dalam hukum pidana di Indonesia, dikenal dengan


19
beberapa teori pembuktian, yaitu:

a. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

(positief watelijk)

Menurut teori ini, pembuktian bergantung kepada alat-alat yang disebut

secara limitatif dalam undang-undang. Undang-undang telah menentukan alat-

alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim, cara hakim mempergunakan alat

bukti tersebut dan cara hakim dalam memutus terbukti atau tidaknya perkara

yang sedang diadili. Hakim terikat pada adagium bahwa alat bukti tersebut telah

digunakan sesuai ketentuan undang-undang, maka hakim harus menentukan

terdakwa bersalah meskipun hakim berkeyakinan bahwa terdakwa tidak

bersalah. “Sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi pembuktian yang diatur oleh

17 Ibid, hlm. 24
18 Ibid., hlm. 24
19 Lilik Mulyadi, op. cit, hlm. 93
34

undang-undang, maka hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah,


20
walaupun menurut keyakinannya sebenarnya terdakwa salah”.

Menurut D. Simons, “teori pembuktian ini bermaksud untuk

menyingkirkan unsur subjektivitas seorang hakim dan mengikat hakim secara

21
ketat dengan peraturan perundang-undangan”. “Pada sistem pembuktian ini

yang dicari adalah kebenaran formal. Oleh karena itu, sistem pembuktian ini

22
dipergunakan dalam hukum acara perdata”.

b. Teori Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim

Dalam teori pembuktian ini hakim dapat menjatuhkan putusan

berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Sistem

pembuktian menurut keyakinan hakim mempunyai dua bentuk polarisasi yaitu

conviction intime dan conviction raisonee. “Dalam pembuktian conviction

intime kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan hakim belaka, dan

23
hakim tidak terikat dengan suatu peraturan”. Hakim tidak terikat pada alat

bukti, namun atas dasar keyakinan yang timbul dari hati nurani dan sifat

kebijaksanaan hakim. “Salah satu negara yang menganut sistem pembuktian ini

24
adalah Amerika”.

Sedangkan dalam pembuktian conviction raisonee:” keyakinan hakim

tetap memegang peranan penting namun penerapan keyakinan hakim ini

20 Ibid., hlm. 93
21 Ibid.
22 Alfitra, op.cit, hlm, 30
23 Ibid., hlm. 95
24 Eddy O.S. Hiariej, Teori Dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012),
hlm. 16
35

dilakukan secara selektif, yaitu dibatasi dengan alasan-alasan yang rasional

25
dalam mengambil keputusan”. Dalam konteks hukum acara pidana di

Indonesia conviction raisonee digunakan dalam persidangan tindak pidana

ringan, termasuk perkara lalu lintas dan persidangan perkara dalam acara cepat

yang tidak membutuhkan jaksa penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa,

tetapi polisi yang mendapatkan kuasa dari jaksa penuntut umum untuk dapat

26
menghadirkan terdakwa di sidang pengadilan.

c. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

Dalam teori pembuktian negatif hakim hanya dapat menjatuhkan pidana

terhadap terdakwa apabila terdapat alat bukti yang disebutkan secara limitatif

dalam undang-undang disertai dengan keyakinan hakim terhadap eksistensi alat

bukti tersebut. “Pada hakikatnya teori pembuktian negatif merupakan peramuan

antara dua teori pembuktian yaitu teori pembuktian menurut undang-undang


27
secara positif dan teori pembuktian menurut keyakinan hakim”.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo bahwa:

“Sistem pembuktian negatif ini terletak diantara dua sistem yang


berhadap-hadapan antara sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim.
Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah apabila dia
yakin dan keyakinannya didukung dengan alat bukti yang sah menurut
28
undang-undang”.
Dalam sistem pembuktian negatif ada dua hal yang merupakan syarat

25 Ibid., hlm. 96
26 Ibid., hlm. 16
27 Ibid.
28 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi,
(Bandung: Mandar, 2009), hlm. 91
36

29
untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni:

1) Wettelijk: adanya bukti-bukti yang sah yang telah ditetapkan dalam


undang-undang.

2) Negatief: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan


bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.

“Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah

dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan

seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa hakim untuk

menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan


30
oleh jaksa penuntut umum”.

Oleh sebab itu walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara

dan terbukti menurut undang-undang namun jika hakim tidak yakin dengan

kesalahan terdakwa maka hakim dapat saja membebaskan terdakwa. “Begitu

juga sebaliknya jika hakim tetap pada keyakinannya bahwa terdakwa bersalah

namun jika tidak didukung dengan alat bukti yang menurut undang-undang
31
maka hakim harus menyatakan terdakwa tidak terbukti tidak bersalah”.

Menurut Wiryono Prodjodikoro, teori pembuktian negatif menurut


32
undang-undang sebaiknya dipertahankan dengan alasan:

1) Sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang


kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu pidana, jangan
sampai hakim memvonis terdakwa bersalah padahal dirinya sendiri
tidak mempunyai keyakinan mengenai hak tersebut.

29 Alfitra, op. cit., hlm, 30


30 Ibid., hlm., 29
31 Adnan Paslyadja, Hukum Pembuktian (Penekanan Pada Hukum Acara Pidana), Pusat
Diklat Kejaksaan RI, (Jakarta: 1997), hlm. 21
32 Alfitra, op. cit., hlm. 158
37

2) Lebih bagus jika ada aturan hakim yang mengikat dalam


menyusun keyakinannya agar ada patokan-patokan tertentu yang
harus diturut oleh hakim dalam memeriksa perkara di pengadilan.

Dari ketiga teori pembuktian di atas, KUHAP dan praktik peradilan

menganut dua polarisasi sistem pembuktian. Pertama, teori pembuktian secara

negatif yang diterapkan dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan “Hakim

tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

33
melakukannya”.

Kedua, pada sisi lain Pasal 183 KUHAP dan praktik peradilan juga

menganut sistem pembuktian secara positif. “Hal ini dikarenakan keyakinan

pada Pasal 183 KUHAP tidak diterapkan secara limitatif. Karena jika dalam

amar/dictum putusan hakim tidak menyebutkan rumusan klausul “secara sah

34
dan meyakinkan” tidak membuat suatu putusan batal demi hukum”.

Sehingga secara teoritis dan normatif hukum pembuktian di Indonesia

menggunakan sistem pembuktian secara negatif, tetapi dalam praktik peradilan

dan penerapan Pasal 183 mulai nampak pergeseran menuju teori pembuktian

menurut undang-undang secara positif, bahwa unsur “sekurang-kurangnya dua

alat bukti” merupakan aspek dominan, sedangkan keyakinan hakim hanyalah

bersifat unsur pelengkap, “karena tanpa adanya unsur keyakinan hakim tidak

mengakibatkan batalnya putusan yang praktiknya hanya “diperbaiki” atau

33 Ibid., hlm. 97
34 Ibid., hlm. 99
38

35
“ditambahi” pada tingkat banding atau kasasi”.

Prinsip umum pembuktian diatur dalam Pasal 183 KUHAP sebagai

general rule, dan sebagai pengaturannya yang lebih rinci diatur dalam pasal-

pasal lain misalnya Pasal 185 ayat (2). Dalam Pasal 185 ayat (2) disebutkan

bahwa “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya. Asas ini

disebut dengan unus testis nullus testis bahwa satu saksi bukan merupakan
36
saksi”.

Menurut P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang yang dikutip oleh

Syaiful Bakhri:

“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang


akan diajukan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum sepenuhnya
diserahkan kepada majelis hakim, hakim harus berpikir logis, berusaha
untuk menjelaskan dan memberikan arti mengenai sejumlah gejala yang
mereka jumpai yakni dengan cara menghubungkan secara timbal balik
dari gejala yang satu dengan gejala yang lain. Dengan demikian dalam
keputusan hakim harus menjelaskan cara berpikir yang telah mereka
tempuh sehingga membuat mereka sampai pada kesimpulanyang
dijadikan dasar bagi putusan hakim. Para hakim harus menjelaskan
mengenai kenyataan dan keadaan yang telah dijadikan dasar bagi
37
keputusannya.
Pembuktian dalam konteks yuridis yang bersifat kemasyarakatan, selalu

mengandung ketidakpastian dan tidak akan mencapai kebenaran mutlak. Jadi

pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak

berperkara dan penggganti-penggantinya dan memungkinkan pula terjadinya

35 Ibid., hlm. 100


36 Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian, (Depok: Gramata Publishing, 2012), hlm.
52.hlm. 56
37
Ibid., hlm. 52
39

38
perbedaan penilaian antar sesama hakim.

Menurut Bachtiar Efendie, bahwa:

“Aspek hukum pembuktian sudah dimulai sejak tahapan


penyelidikan perkara pidana. Pada tahapan ini ketika penyelidik
bertindak untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya peristiwa tersebut
dilanjutkan pada tahapan penyidikan, disinilah sudah ada perbuatan
pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan, yang mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang suatu
39
tindak pidana yang dilanjutkan dengan menemukan tersangkanya”.
Hakikatnya, pembuktian dalam hukum pidana merupakan bagian yang

sangat penting. Pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan

menyatakan kesalahan seseorang. Menurut Lilik Mulyadi:

“Pembuktian dilakukan di dalam proses peradilan yang akan


menentukan apakah seseorang dapat dijatuhkan suatu pidana
(veroordeling) karena terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa
seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, atau seseorang dapat
dibebaskan dari dakwaan (vrisjpraak) karena seseorang tidak terbukti
melakukan tindak pidana atau seseorang dapat dilepaskan dari segala
tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) karena apa yang
didakwakan kepadanya telah terbukti namun perbuatan tersebut bukan
40
merupakan tindak pidana”.
Dalam hukum pembuktian tidak dapat dipisahkan antara kepentingan

umum dan kepentingan individu. Karena itu inisiatif untuk melindungi

kepentingan umum melalui suatu alat negara yang khusus yakni kejaksaan

yang dibebani kewajiban pembuktian untuk melakukan tututan pidana, sehingga

38 Bachtiar Efendie et. Al, Surat Gugat dan Hukum Pembutian Dalam Perkara Perdata,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), Cet. ke 1, hlm 49-50
39 Lilik, op. cit, hlm, 85
40 Ibid., hlm. 76
40

hakim dalam perkara pidana diwajibkan untuk mencari kebenaran materiil. “Hal

ini berbeda dengan praktek peradilan perdata dimana hakim tidak boleh

mencampuri hak-hak perdata selama para pihak tidak melakukan gugatan di

41
depan pengadilan”.

Pasal 1 angka 2 dan 5 KUHAP menegaskan bahwa “untuk dapat

dilakukannya penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang

pengadilan, sejak awal sudah diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat

42
bukti”. Pada hakikatnya proses pembuktian lebih dominan dalam sidang

pengadilan guna menemukan kebenaran materil tentang peristiwa yang terjadi

dan memberi keyakinan hakim tentang kejadian tersebut agar hakim dapat

43
memberikan putusan yang adil.

Dalam melakukan pembuktian, penuntut umum harus menyiapkan alat-

alat bukti dan barang bukti secara akurat yang bertujuan untuk meyakinkan

hakim dalam memutuskan kesalahan terdakwa. “Hal ini berhubungn erat dengan

asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi untuk tidak menyalahkan diri

44
sendiri”.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo yang dikutip oleh Lilik

Mulyadi:

“pada proses pembuktian itu terdapat korelasi dan interaksi


tentang apa yang diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran
materil melalui tahap pembuktian terhadap alat-alat bukti dan

41 Syaiful, op.cit, hlm. 20


42 Ibid., hlm. 85
43 Ibid., hlm. 85
44 Ibid., hlm. 28l
41

45
pembuktian dengan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti;

2. Apakah terdakwa terbukti bersalah atas perbuatan-perbuatan yang


didakwakannya;

3. Delik apakah yang dilakukannya sehubungan dengan perbuatan-


perbuatan tersebut;

4. Pidana apakah yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa;

Hukum pembuktian secara umum berorientasi pada dimensi-dimensi


46
sebagai berikut berikut:

1. Alat bukti yang sah menurut hukum berupa keterangan saksi,


keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

2. Adanya asas pembuktian secara negatif untuk menyatakan


seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana yaitu dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah yang ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah pelakunya.

Nilai atau kekuatan alat bukti dalam melakukan pembuktian serta cara

menilai suatu alat bukti yaitu dengan sungguh-sungguh memperhatikan

kesesuaian antara keterangan saksi antara satu dengan yang lain, dengan alat

bukti lain, alasan yang digunakan saksi dalam memberikan keterangan serta cara

hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya

mempengaruhi suatu keterangan dapat dipercaya atau tidak, cara pembuktian

dan lain sebagainya.

Secara umum kegiatan pembuktian dapat dibedakan dalam 2 bagian,

yaitu:

45 Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 86


46 Ibid., hlm., 90-91
42

1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta, merupakan kegiatan pemeriksaan

alat-alat bukti yang diajukan di muka sidang pengadilan oleh jaksa penuntut

umum dan penasehat hukm, atau atas kebijakan majelis hakim. Proses ini

akan berakhir saat ketua majelis menyatakan secara lisan dalam sidang

bahwa pemeriksaan perkara dari alat-alat bukti dan barang bukti yang

diajukan dalam sidang termasuk pemeriksaan setempat telah selesai

dilaksanakan.

2. Bagian pekerjaan penganalisaan fakta yang sekaligus penganalisaan hukum,

merupakan bagian pembuktian berupa penganalisaan terhadap fakta-fakta

yang didapat selama persidangan berlangsung, kemudian dianalisa oleh

jaksa penuntut umum dalam requisitoir, penasehat hukum dalam pledoi dan

majelis hakim dalam vonis.

B. Latar Belakang Beban Pembuktian

Menurut Syaiful Bakhri yang dikutip dari Martiman Prodjomihardjojo:

“Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan bagian


yang sangat esensial guna menentukan nasib seorang terdakwa.
Bersalah atau tidaknya terdakwa sebagaimana yang telah didakwakan
dalam surat dakwakan ditentukan dalam proses pembuktian. Hal
tersebut merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran dari isi
surat dakwaan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum.
Kegunaannya adalah untuk memperoleh kebenaran sejati (materil)
terhadap beberapa pertanyaan seperti perbuatan manakah yang
dianggap terbukti bahwa terdakwa bersalah, tindak pidana apakah yang
47
dilakukan, dan hukuman apa yang akan dijatuhkan”.
Sebagai suatu masalah yang sangat penting maka sebaiknya

47 Syaiful Bakhri, op.cit, hlm. 15


43

pembuktian semestinya dijalankan dengan adil sehingga tidak berat sebelah. Jika

pembuktian dilakukan secara berat sebelah maka apriori menjerumuskan pihak

yang menerima beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu persoalan yuridis

yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi ke Mahkamah agung.

“Pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap suatu pelanggaran

hukum atau undang-undang yang dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung

48
untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan yang bersangkutan”.

Penuntut umum harus mempersiapkan alat bukti dan barang bukti

secara akurat yang bertujuan untuk meyakinkan hakim dalam memutuskan

kesalahan terdakwa. Konsekuensi prinsip ini berhubungan erat dengan asas

praduga tidak bersalah dan aktualisasi tidak mempersalahkan diri sendiri,

sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 KUHAP. “Hak-hak tersangka atau

terdakwa yang bersumber pada asas praduga tak bersalah, adalah setiap orang

yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang

pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang

49
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Pembuktian dalam perspektif hukum acara pidana yakni ketentuan dari

ketertarikan pihak-pihak pada tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan

oleh undang-undang untuk membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari

dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntu umum, terdakwa,

maupun penasihat hukum. Tidak dibenarkan bila terdakwa melakukan tindakan

48 Ibid., hlm. 23
49 Ibid.
44

yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti, dan tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang. Tidak dibenarkan untuk mempertahankan sesuatu yang

dianggap benar di luar ketentuan undang-undang. Di dalam putusannya hakim

harus sadar dan cermat dalam menilai dan mempertimbangkan kekuatan

pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. “Dalam

meletakkan kebenaran yang ditemuukan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan

hakim harus dapat menguji kebenaran tersebut dengan alat bukti yang ditemukan

50
dalam undang-undang”.

Secara limitatif, kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat

bukti dipergunakan dan dinilai dengan dilakukannya pembatasan yang dibenarkan

oleh undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatukan

hakim dapat terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. Hakim

harus senantiasa berpedoman pada pembuktian dan menghindari pemikiran yang

subjektif. Oleh karenanya, KUHAP telah menggariskan pedoman dalam proses

peradilan pidana dalam hal beban pembuktian yakni penuntut umum yang

bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya

dan upaya dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sebaliknya, terdakwa dan

penasihat hukum mempunyai hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan

oleh penuntut umum sesuai dengan cara-cara yang ditentukan dalam undang-

undang. Sanggahan, bantahan dan eksepsi harus berdasarkan hukum dengan saksi

yang meringankan atau alibi yang sesuai dengan fakta yuridis. Pembuktian berarti

sebuah penegasan, yang berarti ketentuan tindak pidana lain harus dijatuhkan

50 Ibid, hlm. 21
45

kepada terdakwa. “Dengan surat dakwaan penuntut umum yang bersifat alternatif

dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan

pengadilan maka kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa

yang di dakwakan pada dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan


51
pembuktian”.

lebih lanjut dijelaskan oleh Syaiful Bakhri bahwa:

“Beban pembuktian mengalami perkembangannya dalam


rangka meneguhkan sistem peradilan pidana yang lebih modern dan
humanistis dengan tetap memperhatikan perlindungan hak-hak asasi
manusia. Pencapaian beban pembuktian masih dijalankan dengan
prinsip pemaksaan terhadap kesewenang-wenangan, sehingga cara-cara
pemberlakuan beban pembuktian masih menjadi perhatian dan terus
mengalami perbaikan sepanjang masanya dengan berbagai rezim
kekuasaan. Oleh karena itu urgensi beban pembuktian dalam sistem
peradilan pidana masih terus dikaji dan ditingkatkan model-model
penerapannya hingga mencapai keadilan yang sebenarnya. Namun yang
menjadi perhatian adalah rezim hakim di pengadilan yang
menggunakan keyakinan atas suatu bukti yang digunakan sebagai alat
keyakinan hakim dalam memutuskan suatu sengketa apapun, termasuk
52
pencarian kebenaran meteril dalam hukum pidana”.
Menurut Akil Mochtar,”diterapkannya pembalikan pembuktian kepada

terdakwa adalah sifat suatu kasus yang pembuktiannya dirasakan sangat sulit,

sehingga sering berakhir dengan dibebaskannya terdakwa dari perkara-perkara

tersebut”. Para penyelenggara negara yang terlibat suatu kasus seringkali berada

pada posisi yang menyulitkan penyelidikan dan penyidikan yang sekaligus

menyulitkan penyidik untuk memperoleh bukti sehingga menambah tingkat

kesulitan dan menentukan keabsahannya (validity) dan nilai kekuatan

pembuktiannya (probative). Misalnya dalam perkara korupsi, seringkali suatu

51 Ibid., hlm. 22
52 Ibid., hlm. 26
46

perkara dihentikan penyidikannya atas dasar alasan kekurangan alat bukti,

meskipun di samping itu juga terdapat pendapat yang menyatakan bahwa:

“penyidik kurang mampu dan kurang kreatif dalam mencari bukti terjadinya

53
perkara korupsi”.

C. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Pada mulanya pencucian uang bukanlah suatu tindak pidana, tapi hanya

sebagai perbuatan melawan hukum untuk menghindari pajak. Pada tahun 1986

pencucian uang menjadi suatu perbuatan kriminal di Amerika dan kemudian diikuti

oleh berbagai negara. Pencucian uang dimasukkan dalam terminologi kejahatan

pertama kali dikenal di Amerika pada tahun 1930an yang merujuk pada tindakan para

mafia yang memproses uang hasil kejahatannya untuk dicampur dengan kekayaan

hasil bisnis yang sah. Menurut Michael A. De Feo yang dikutip oleh Yenti Garnasih,

“istilah money laundering berasal dari kegiatan para mafia yang membeli perusahaan-

perusahaan pencucian pakaian (loundromat) sebagai tempat menginvestasikan atau

mencampur hasil kejahatan mereka yang berasal dari hasil pemerasan, penjualan

54
ilegal minuman keras, perjudian dan pelacuran”.

Definisi tindak pidana pencucian uang menjadi sesuatu yang sangat

53 Akil Mochtar, Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran,
(Bandung: 2009), hlm. 4
54 Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 48
47

penting berkaitan dengan asas legalitas dalam hal ini lex certa, yaitu nullum

crimen sine lege stricta atau tiada suatu kejahatan tanpa adanya suatu peraturan

yang jelas dan terbatas. Hal ini juga menyiratkan bahwa ketentuan tindak pidana

harus dirumuskan secara jelas dan limitatif atau terbatas, tidak bersifat karet demi

menjaga kepastian hukum. “Implikasi tersebut antara lain bahwa definisi

menunjukkan rumusan delik, selain itu juga paling tidak menunjukkan siapa yang

55
dimaksud sebagai pelaku, dan unsur-unsur objektif serta subjektifnya”.

Menurut Black's Law Dictionary yang dikutip oleh Yunus Husein

memberikan pengertian money laundering adalah “Term used to describe

investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug

transaction, amd other illegal sources into legitimate channels so that is original

56
source cannot be traced.”

Sedangkan pengertian pencucian uang menurut UU No. 8/2010 Pasal 1

butir a bahwa “pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-

unsur tindak pidana sesuai dengan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang

ini”. Unsur-unsur tindak pidana pencucian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

butir a dijabarkan dalam Pasal selanjutnya, yaitu:

Pasal 3

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,


membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa
ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau
surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang

55 Ibid., hlm. 47
56 Yunus Husein, Pencegahan Dan Pemberantasa Tindak Pidana Pencucian Uang di
Indonesia, Makalah disampaikan dalam lokakarya terbatas tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
oleh Financial Club, Graha Niaga, Lantai 28, Jakarta, tanggal 5-6 Mei 2004, hlm. 8
48

diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4

Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,


sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidanaPencucian Uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 5

(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,


pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan basil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Tujuan melakukan pencucian uang adalah memberikan legitimasi pada

dana yang diperoleh secara tidak sah (illicit funds). Dengan menggunakan cara

tertentu dan membuat dana bergerak secara leluasa di tengah masyarakat tanpa

menghadapi resiko penyitaan (confiscation) atau memicu adanya penangkapan

serta tindakan hukum lain. Praktek pencucian uang dimulai dari dana yang tidak

sah (dirty money) atau disebut sebagai uang haram. “Pada umumnya uang

sebagai uang halal karena dua hal yaitu pertama melalui pengelakan pajak dan

kedua dilihat dari cara perolehannya melalui tindakan ilegal atau cenderung
57
sebagai hasil kejahatan”.

57 Ibid., hlm. 55
49

Di Indonesia tindak pidana pencucian uang termasuk dalam salah satu

dari 24 (dua puluh empat) jenis predicate offences yang diatur dalam UU Nomor

8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasam Tindak Pidana Pencucian

Uang. “Diperkirakan uang yang dicuci di Indonesia pada umumnya berasal dari

tindak pidana korupsi, narkotika dan psikotropika. Maka untuk mencegah tindak

pidana korupsi sebaiknya bukan hanya menggunakan ketentuan dalam tindak

58
pidana korupsi namun juga ketentuan dalam tindak pidana pencucian uang”.

Tindak pidana pencucian uang erat kaitannya dengan tindak pidana

korupsi. Agar tindak pidana korupsi dapat diberantas maka sebaiknya bukan

hanya tindak pidana korupsi yang diberantas tetapi juga tindak pidana pencucian

uang. “Dengan pendekatan pencucian uang maka dana-dana hasil korupsi dapat

59
disita untuk dapat dikembalikan kepada kas negara”.

Desakan untuk menindak pelaku pencucian uang atau money

laundering timbul dari kegagalan upaya-upaya penegakan hukum untuk

mengakhiri illegal drug traffic. “untuk mengakhiri perdagangan narkoba tersebut

harus dapat diupayakan pencegahan terhadap lalu lintas uang yang berasal dari

60
perdagangan narkoba itu sendiri”.

Menurut Sutan Reny Sjahdeni:

“Aliran uang melalui sistem perbankan internasional yang


dilakukan oleh para pelaku pencucian uang adalah untuk menopang
kegiatan mereka yang melanggar hukum dengan memberikan dana

58 Ibid.
59 Ibid.
60 Sutan Remy Sjahdeni, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007), Cet. 2, hlm. 27
50

segar untuk membiayai operasi mereka dalam membeli barang-barang


dan jasa-jasa yang mereka perlukan. Apabila aliran uang yang sampai
kepada para pelaku kejahatan dapat diputuskan maka organisasi
kejahatan makin lama akan mati, sekalipun permintaan atas jasa
61
mereka sangat besar”.
Pemberantasan tindak pidana pencucian uang mempunyai korelasi yang

sangat erat dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak

pidana korupsi membawa beberapa keuntungan dan manfaat bagi pemberantasan


62
tindak pidana korupsi, yaitu:

a. Untuk membantu penegakan hukum dan mendeteksi upaya para


koruptor dalam menyembunyikan dan menyamarkan uang atau harta
hasil tindak pidana korupsi pada sistem keuangan dan perbankan, kita
dapat menggunakan laporan yang diterima Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”).

b. PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka


mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 2 undang-undang nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (“UU PPTPPU”).

c. Untuk meminta keterangan dari penyedia jasa keuangan tentang


harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan ke PPATK,
tersangka atau terdakwa tidak memerlukan ijin dari penegak hukum,
sedangkan untuk kasus korupsi menurut undang-undang Nomor 31
tahun 1999 Jo undang-undang tahun 2001 diperlukan permohonan
kepada penegak hukum. Dengan demikian ketentuan dalam tindak
pidana pencucian uang unuk memperoleh bukti dalam rangka
pemberantasam korupsi.

d. Ketentuan dalam undang-undang TPPU memberikan perlindungan


bagi saksi dan pelapor pada setiap tahap pemeriksaan. Hal tersebut
dapat mendorong aspirasi masyarakat untuk ikut serta dalam
pemberantasam korupsi, sehingga pemberantasam korupsi menjadi
lebih efektif.

e. Adanya pembuktian terbalik, yaitu terdakwa wajib membuktikan


bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.
Sedangkan dalam ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi

61 Ibid, hlm., 28
62 Yunus Husein, op.cit, hlm. 63-64
51

terdakwa sebatas mempunyai hak untuk membuktikan bahwa harta


kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, dalam pasal-pasal
tertentu kewajiban pembuktian tetap berada pada penuntut umum.

f. Dalam hal tersangka sudah meninggal dunia, sebelum putusan


hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa
yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang
maka hakim akan mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan
terdakwa yang disita itu dirampas untuk negara. Sedangkan dalam
ketentuan tindak pidana korupsi bahwa jika terdakwa meninggal
dunia sebelum adanya putusan hakim, sedangkan secara nyata telah
terbukti adanya kerugian negara maka penuntut umum segera
menyerahkan berkas berita acara sidang perkara tersebut kepada
pengacara negara atau kepada instansi yang dirugikan untuk
dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.

g. Dalam ketentuan tindak pidana pencucian uang, dapat dipidana


setiap orang yang menerima atau menguasai: penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan
penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana, atau yang disebut istilah “tindak
pidana pencucian uang secara pasif”. Ketentuan ini sangat efektif
untuk mencegah penyebarluasan hasil korupsi dan sekaligus
mempermudah pengejarannya.

h. PPATK dapat dimanfaatkan untuk memperoleh keterangan dari


negara lain atau memanfaatkan database dan hasil analisis yang
dimiliki.

2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Praktik Pencucian Uang

Faktor penyebab timbulnya kejahatan money laundering sangat banyak

dan komplek. Berbagai hal dan pendorong terjadinya praktik ini mulai dari

birokrasi pemerintah, sistem perbankan hingga beratnya biaya sosial dan kesulitan

hidup yang dialami rakyat. Namun dari sejumlah faktor dapat diinventarisasi
63
dalam beberapa penyebab:

a. Faktor rahasia bank (bank secrecy) yang begitu ketat. Ketatnya

63
N.H.T Siahaan, Money Laundering & Kejahatan Perbankan, (Jakarta: Jala Penerbit,
2008), hlm. 28
52

suatu peraturan bank dalam hal kerahasiaan atas nasabah dan data-
data rekeningnya menyebankan para pemilik dana gelap sulit dilacak.

b. Penyimpanan dana secara “anymous saving passbook account”.


Ketentuan perbankan memberi kemungkinan bagi nasabah untuk
menyimpan uang dengan nama samaran atau tanpa nama (anonim).

c. Adanya ketidaksungguhan dari negara-negara dalam melakukan


pemberantasan praktik pencucian uang dengan sistem perbankan.
Ketidakseriusan ini adalah karena suatu negara memandang bahwa
penempatan dana sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan.

d. Munculnya sistem teknologi perbankan secara elektronik dengan


apa yang dimaksud dengan electronic money atau e-money. sistem ini
dapat dilakukan melalui jaringan internet (cyberpayment). Sistem
inilah yang dimanfaatkan oleh para pelaku pencuci uang dengan apa
yang dimaksud cyberlaundering. E-money adalah suatu sistem digital
yang ditandatangani suatu lembaga penerbit melalui kunci enkripsi
pribadi (private encryption key) dan melalui enkripsi (rahasia) ini
dapat ditransmisikan kepada pihak lain.

e. Faktor selanjutnya adalah karena dimungkinkan praktik layering


(pelapisan), dimana sumber pertama sebagai pemilik sesungguhnya
sebagai penyimpan pertama tidak lagi diketahui secara jelas karena
deposan yang terakhir hanya diberi tugas untuk mendepositokannya
disuatu bank. Pemindahan demikian dilakukan beberapa kali sehingga
sulit dilacak oleh petugas.

f. Adanya ketentuan bahwa hubungan antara lawyer dan klien adalah


hubungan yang bersifat kerahasiaan yang tidak boleh diungkapkan,
sehingga seorang klien tidak dapat dimintai keterangan mengenai
hubungannya dengan klien.

3. Metode Pencucian Uang

Beberapa metode money laundering yang dikenal terdapat 3 (tiga)

metode. Pertama, adalah metode buy and sell conversion. Metode ini dilakukan

melalui transaksi barang dan jasa. Misalnya suatu aset dapat dibeli dan dijual

kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual secara lebih mahal dari

harga normal, selisih harga tersebut dibayar dengan uang illegal dan kemudian

dicuci dengan transaksi bisnis. Barang yang atau jasa tersebut dapat diubah
53

seolah-olah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan
64
yang ada di suatu bank.

Kedua, metode offshore conversion. Dengan cara ini uang kotor

dikonversi ke suatu wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan

bagi para penghindar pajak (tax heaven money laundering centers) untuk

kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah tersebut. Di negara-

negara yang termasuk dalam dalam istilah tax heaven memang terdapat sistem

hukum perpajakan yang tidak terlalu ketat, terdapat sistem rahasia bank yang

sangat ketat, birokrasi bisnis yang cukup mudah untuk memungkinkan adanya

rahasia bisnis yang ketat serta pembentukan usaha trust fund. “Untuk mendukung

kegiatannya para pelaku money laundering menggunakannjasa-jasa pengacara,

akuntan atau konsultan keuangan dan pegelola keuangan yang handal untuk

65
memanfaatkan segala celah yang ada di negara itu”.

Ketiga adalah dengan metode legitimate business convertion. Metode

ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan tau

pemanfaatan dari sesuatu hasil uang kotor. Hasil dari uang kotor itu dikonversi

secara transfer atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau

ditransfer ke bank lainny. “Pelaku biasanya bekerjasama dengan suatu perusahaan

yang rekeningnya dapat dipergunakan sebagai “terminal” untuk menampung uang

66
kotor tersebut. Demikian dikutip oleh Siahan dari Business News 2001”.

64 Ibid., hlm 26-27


65 Ibid., hlm 26-27
66 Ibid., hlm 26-27
54

4. Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang

a. Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Bukan Pelaku Tindak Pidana

Asal (Predicate Crime)

Pelaku tindak pidana pencucian uang yang bukan pelaku tindak pidana

asal atau sering disebut dengan modus orang ketiga adalah dengan menggunakan

seseorang untuk menjalankan sesuatu perbuatan tertentu yang diinginkan oleh

pelaku pencucian uang. “Perbuatan tersebut dapat dengan menggunakan atau

mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang bisa menjadi orang ketiga

67
yang berlainan atau tidak sama dan tidak hanya satu orang saja”.

Tujuan utama menggunakan modus orang ketiga adalah agar pelaku

sebenarnya tindak pidana asal atau pemilik sebenarnya bermaksud tidak

diketahui dan tidak tertera namanya. Dalam proses pencucian uang perbuatan

tersebut merupakan pelapisan (layering) yaitu pelaku pencucian uang berusaha

mengurangi dampak jejak di atas kertas asal mula uang atau aset, lapisan

transaksi berupa unit-unit usaha yang nampak dipermukaan atau mekanisme

penutupan lainnya dijalankan yang mungkin juga melibatkan tempat-tempat atau

penyedia jasa keuangan atau bank di negara lain dimana tempat-tempat tersebut

terdapat sistem kerahasiaan bank yang sangat ketat dan dilindungi. Ciri-ciri

68
modus ini adalah:

67 Tb. Irman S, Praktik Pencucian Uang Dalam Praktik dan Fakta, (Bandung: MQS

68 Ibid., hlm 92-93


55

Orang ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya suatu nama alias

atau nama palsu dalam dokumen.

1) Orang ketiga biasanya menyadari bahwa dirinya sedang


dipergunakan dalam tindakan pencucian uang sehingga patut
diduga orang tersebut melakukan perbuatan menyamarkan atau
menyembunyikan asal-usul uang, aset atau asal-usul pelaku.
2) Kebanyakan orang ketiga adalah orang dekat dengan pelaku agar
dapat berkomunikasi dengan baik untuk melaksanakan perintah-
perintah yang diberikan.
b. Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Adalah Pelaku Tindak Pidana

Asal (Predicate Crime)

Dalam tindak pidana pencucian uang bukan hanya pelaku tindak pidana

uang saja sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang namun juga pelaku tindak

pidana asal (predicate crime) dapat bertindak sebagai pelaku tindak pidana

pencucian uang. Misalnya : “pelaku kajahatan narkoba yang secara aktif

menghasilkan uang dari narkoba tersebut kemudian secara aktif uang tersebut

ditransaksikan ke dalam jasa keuangan, maka pelaku tindak pidana asal dalam hal

69
ini adalah juga pelaku tindak pidana pencucian uang”.

Dengan demikian tindak pidana pencucian uang bukan hanya

dikenakan kepada penerima hasil kejahatan tetapi juga kepada pembuat hasil

kejahatan tersebut yang ditransaksikan kepada penyedia jasa keuangan. Namun

jika uang hasil kejahatan tersebut disimpan di suatu tempat dan tidak dimasukkan

dalam sistem jasa keuangan maka perbuatan menyimpan tersebut bukan

70
merupakan tindak pidana pencucian uang.

69 Ibid.
70 Ibid.
56

5. Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam Pasal 73 UU No. 8 / 2010 yang merupakan alat bukti dalam

pemeriksaan adalah:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,dikirimkan,


diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat
yang serupa optik dan dokumen; dan

c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 16.

Adapun ketentuan dalam pasal 1 angka 16 UU No. 8 Tahun 2010

adalah:

Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,


dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda
fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tapi tidak terbatas pada:
1) tulisan, suara atau gambar;
2) peta, rancangan, foto atau sejenisnya
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca
atau memahaminya
.
Alat bukti yang dipergunakan dalam pemeriksaan suatu tindak pidana

pencucian uang menurut pasal 73 UU PPTPPU memang sangat beragam. Hal ini

jelas merupakan suatu kebutuhan dalam pemberantasan pencucian uang karena

masalah pencucian uang merupakan masalah yang sangat kompleks karena

modus dan sistem kejahatan yang dipraktikkan oleh para pelaku pencucian uang

sudah melibatkan alat-alat berteknologi tinggi.


57

6. Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Undang-Undang No. 8

tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang

a. Pasal 69 UU No. 8/2010

Pasal 69

Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang


pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

UU No. 8/ 2010 menetapkan bahwa

“tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri


sendiri dan untuk membuktikannya tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu
tindak pidna asalnya (predicate crime), meskipun pada dasarnya tindak
pidana pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan dari tindak suatu
tindak pidana asal (predicate crime)”.

b. Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 2010

Pasal 77

“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib


membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana”.

Suatu ketentuan yang mewajibkan kepada terdakwa untuk

membuktikan asal-usul harta kekayaannya, bahwa harta kekayaannya telah

diperoleh dari suatu usaha yang sah secara hukum, bukan berasal dari hasil suatu

tinda pidana. Ketentuan ini menyimpang dari Pasal 66 KUHAP tentang prinsip

“jaksa membuktikan” yakni prinsip hukum pidana yang menganut bahwa jaksa

diwajibkan untuk membuktikan dakwaan jaksa yang diajukan kepada terdakwa.

Namun pembalikan beban pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa ini


58

71
tetap tidak menghilangkan hak jaksa untuk melakukan pembuktian.

c. Pasal 78 UU Nomor 8 Tahun 2010

Pasal 78

(1). Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan
bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal
atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1).

(2). Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan


perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat
buktyang cukup.

Pasal 77 dan Pasal 78 mengatur ketentuan bahwa:

“terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan asal-usul


harta kekayaannya. Pembalikan beban pembuktian ini sifatnya terbatas
yaitu hanya berlaku pada sidang di pengadilan dan tidak berlaku untuk
tahapan penyidikan. Selain itu sistem metode pembuktian ini tidak
berlaku pada semua jenis tindak pidana namun hanya terbatas pada
tindak pidana berat seperti korupsi, penyelundupan, narkotika,
72
psikotropika atau tindak pidana perbankan”.
d. Pasal 79 (4) UU Nomor 8 Tahun 2010

Pasal 79 ayat (4):

Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan


terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan
tindak pidana Pencucian uang, hakim atas tuntutan penuntut umum
memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tentang penyitaan harta kekayaan

terdakwa yang meninggal dunia sebelum dijatuhkannya vonis pengadilan oleh

71 Ibid., hlm. 76-77.


72 Sutan Remy Sjahdeini, Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat Pencucian
Uang”,Hukumonline:http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12317/%memburu-aset- koruptor
dengan-menebar-jerat-pencucian-uang, 3 Desember 2010.
59

hakim Dengan perintah hakim agar harta kekayaan terdakwa tersebut disita jika

dalam pemeriksaan telah ditemukan bukti yang cukup kuat. Pemeriksaan tindak

pidana pencucian uang terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil

dari tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Dan untuk kelancaran pemeriksaan di pengadilan jika terdakwa telah

dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan

yang sah perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa sesuai

dengan ketentuan Pasal 79 ayat (1) yang berbunyi “Dalam hal terdakwa telah

dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan

yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa”.

Menurut Andrian Sutedi:

“Pencucian uang merupakan independent crime, artinyakejahatan yang


berdiri sendiri walaupun tindak pidana ini lahir dari kejahatan asalnya misalnya
korupsi namun rezim anti pencucian uang di hampir seluruh negara
menempatkan pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang tidak bergantung
pada kejahatan asalnya dalam hal dilakukannya proses penyidikan pencucian
73
uang”.
7. Konsekuensi Hukum Pembalikan Beban Pembuktian

Penerapan pembalikan pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang

mempunyai konsekuensi hukumnya sendiri. Jika terdakwa tidak mampu


74
membuktikan asal-usul harta kekayaannya maka:

73 Andrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2008, hlm. 288.
74 Ramelan, Reda Manthovani, Pailine David, Panduan Untuk Jaksa Penuntut Umum
Indonesia Dalam Penanganan Harta Hasil Perolehan Kejahatan, Australia Legal Development
Facility (LDF) dan Pusat Pendidikan Dan Latihan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, hlm. 150
60

a. Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku untuk salah


satu unsur tindak pidana yaitu unsur mengenai asal-usul harta
kekayaan yang dikaitkan dengan tindak pidana, bukan mengenai
pembuktian unsur secara keseluruhan dalam hal menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, atau
perbuatan lainnya atas harta kekayaan tersebut. Unsur-unsur tersebut
selain asal-usul harta kekayaan tetap menjadi kewajiban penuntut
umum untuk membuktikannya.

b. Pembalikan beban pembuktian hanya dilakukan pada


tahapan pemeriksaan di pengadilan, bukan pada tahapan penyidikan.

Arif Amrullah menjelaskan bahwa:

“Tindak pidana pencucian uang bukan sekedar permasalahan


nasional namun juga menjadi permasalahan internasional, oleh
karenanya penanganannya harus melalui pendekatan kerjasama
internasional. Dilihat dari sistem peradilan pidana maka aspek
kerjasama internasional ini merupakan aspek yang sangat membantu
sistem peradilan pidana, yaitu penanggulangan kejahatan pencucian
75
uang dengan menggunakan sarana hukum pidana”.
Tindak pidana pencucian uang sebagai suatu tindak pidana yang dapat

membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

memerlukan peraturan perundang-undangan yang ketat untuk menjamin

efektivitas penegakan hukumnya, dikarenakan sulitnya pengungkapan atas

tindak pidana ini maka diberlakukan lah pembalikan beban pembuktian yang

dibebankan kepada Terdakwa.

Sebagai respon atas kebekuan penegakan hukum dalam tindak pidana

pencucian uang yang sulit terungkap, maka dalam perkembangan teori hukum

modern lahirlah apa yang dinamakan dengan teori hukum progresif yang lahir

dari pemikiran Satjipto Raharjo. Menurut pendapat Satjipto Raharjo yang

75 M. Arief Amrullah, Money Laundering Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta:


Bayumedia, 2004) Cet 2, hlm. 133
61

dikutip oleh M. Syamsudin bahwa : “ilmu hukum tidak dapat bersifat steril dan

mengisolasi diri dari perubahan yang terjadi di dunia. Ilmu hukum normatif

yang berbasis pada abad ke 19 tidak akan berhasil mencerahkan masyarakat

76
pada abad ke 20 dengan segala perubahan dan perkembangannya” .

Berbeda dengan ilmu hukum yang berbasis pada teori positivistis yang

sangat mengandalkan paradigma peraturan (rule), ilmu hukum progresif lebih

mengutamakan paradigma manusia (people). Bagi hukum progresif hukum

adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya manusia untuk hukum.

“Pentingnya hukum progresif didasarkan pada pengalaman antara lain gagalnya

hukum dalam membawa koruptor ke penjara oleh lembaga peradilan, akibatnya

77
hukum justru menjadi safe heaven bagi koruptor”.

Menurut M. Syamsudin, secara umum karakter hukum progresif dapat


78
diidentifikasi sebagai berikut:

a. Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

b. Hukum bukan institusi yang mutlak dan final, karena hukum


selalu berada dalam proses untuk terus-menerus menjadi (law
process, law in the making).

c. Tujuan hukum adalah kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

d. pembebasan terhadap kultur penegakan hukum yang dirasa tidak


memberikan keadilan substantif.

e. Hukum harus peka terhadap perubahan yang terjadi di


masyarakat, social, nasional maupun global

76 M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,


(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) Cet. Ke 1, hlm.104.
77 Ibid., hlm. 105
78 Ibid., 107
62

f. Menolak status quo manakala nmenimbulkan dekadensi suasana


korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat.

g. Hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendiri,


melainkan dilihat dari tujuan social yang ingin dicapai.

h. Hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan, tetapi


keluar dan melihat efek dari bekerjanya hukum.

Penegakan hukum progresif muncul di tengah kegalauan

keterpurukan bangsa Indonesia yang mengalami krisis penegakan hukum. Oleh

karenanya diperlukan pemikiran yang komprehensif untuk mencari jalan keluar

dari keterpurukan. Penegakan hukum progresif tidak hanya menjalankan

peraturan perundang-undangan, tetapi menangkap kehendak hukum masyarakat.

“Oleh karena itu ketika suatu peraturan dianggap membelenggu penegakan

hukum, maka dituntut kreativitas penegakan hukum agar mampu menciptakan

produk hukum yang mengakomodasi kehendak masyarakat yang bertumpu pada

79
nila-nilai yang hidup di masyarakat”.

Dalam hukum progresif perubahan tidak lagi berpusat pada

peraturan, akan tetapi pada kreativitas pelaku hukum dalam mengaktualisasikan

hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Peraturan yang buruk tidak harus

menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan

keadilan bagi rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan

interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. “Namun demikian

pembaruan hukum progresif membutuhkan sebuah model atau kerangka kerja

yang berfungsi sebagai platform, karena tanpa adanya platform maka langkah

pembaruan sulit diwujudkan bahkan tidak menutup kemungkinan inisitaif

79 Ibid., hlm. 109


63

80
individual seorang pelaku hukum menjadi liar dan sewenang-wenang”.

Menurut Bernard L. Tanya, terdapat tiga pertimbangan pemikiran


81
dalam mencapai tujuan hukum progresif:

a. Hukum progresif berusaha menolak keadaan status quo manakala


keadaan tersebut menimbulkan dekadensi, semangat merugikan
rakyat

b. Semangat hukum progresif adalah perlawanan dan


pemberontakan untuk mengakhiri kelumpuhan hukum.

c. Kehadiran sebuah eksemplar atau contoh/model, akan dapat


menyatukan kekuatan hukum progresif pada suatu platform aksi.

Sebagaimana pendapat Akil Mochtar yang telah dijelaskan sebelumnya

bahwa penerapan pembalikan pembuktian dalam pemeriksaan tindak pidana

pencucian uang sebagaimana yang diatur pada Pasal 77 UU No. 8/2010 adalah

karena sulitnya mengungkap tindak pidana tersebut, maka diberlakukan lah

penerapan pembalikan pembuktian yang dibebankan kepada Terdakwa. Dengan

demikian penerobosan hukum dalam melumpuhkan kebuntuan hukum sejalan

dengan pemikiran hukum progresif yang mengedepankan keadilan dan pencari

keadilan namun tetap berpijak pada peraturan yang menjadi aturan pelaksanaan

demi menjaga asas kepastian hukum dan menghindari kesewenang-wenangan

pelaku hukum.

80 Ibid., hlm. 113.


81 Ibid.

Anda mungkin juga menyukai