Anda di halaman 1dari 38

Presentasi Kasus

PRE EKLAMPSIA BERAT PADA PRIMIGRAVIDA HAMIL


POSTTERM DALAM PERSALINAN KALA I FASE AKTIF

Disusun oleh :

Gyanita Windy Herfina G99162013


Aninditya Verinda Putrinadia G99162014
Inayatul Maula G99161049
Septiana Charismawati G99162089

Pembimbing :
dr. Deyna Primavita Pahlevi, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD DR. SOEDIRMAN
KEBUMEN
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Preeklampsia merupakan suatu sindroma komplikasi medis yang


sering terjadi pada wanita hamil. Preeklampsia didefinisikan sebagai
sindroma yang ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria yang
mempengaruhi 5-7 % kehamilan. Preeklampsia merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas (kematian) ibu, janin, neonatal serta
penyebab utama kelahiran prematur yang terkait dengan morbiditas
neonatal dan telah dikaitkan dengan penyakit kardiovaskular dan penyakit
metabolik pada bayi baru lahir (Lindheimer et al., 2008; Rugolo et al.,
2011). Pada negara sedang berkembang frekuensi eklampsia dilaporkan
berkisar antara 0,3-0,7%, sedang di negara-negara maju angka eklampsia
lebih kecil, yaitu 0,05-0,1%. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia
yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya
perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI)
dan anak. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari
tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia
berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor
predisposisi yang lain. Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan adalah
gangguan penglihatan, sakit kepala, nyeri epigastrik, dan adanya edema
(American College of Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim et al., 2014).
Insidensi preeklampsia sekitar 5% sampai 10% dari seluruh
kehamilan, dengan insidensi yang lebih tinggi pada kehamilan pertama,
kehamilan kembar, dan wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
(Lindheimer et al., 2008; Rugolo et al., 2011). Di Indonesia, preeklampsia
berat dan eklampsia merupakan penyebab kematian ibu berkisar 1,5-25%,
sedangkan kematian bayi antara 45-50%. Kematian preeklampsia dan
eklampsia merupakan kematian obsetrik langsung, yaitu kematian akibat
langsung dari kehamilan, persalinan atau akibat komplikasi tindakan
pertolongan sampai 42 hari pascapersalinan (Djannah dan Arianti, 2010).
Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya insiden
preeklampsia pada ibu hamil. Faktor risiko yang dapat meningkatkan
insiden preeklampsia antara lain mola hidatidosa, nulipara, usia <20 tahun
atau >35 tahun, janin lebih dari satu, multipara, hipertensi kronis, diabetes
mellitus atau penyakit ginjal. Preeklampsia/eklampsia dipengaruhi juga
oleh paritas, genetik dan faktor lingkungan. Kehamilan dengan
preklampsia lebih umum terjadi pada primigravida, sedangkan pada
multigravida berhubungan dengan penyakit hipertensi kronis, diabetes
melitus dan penyakit ginjal (Artikasari, 2009; Djannah dan Arianti, 2010).
Penyebab preeklampsia/eklampsia sampai sekarang belum
diketahui secara pasti. Banyak teori yang menerangkan namum belum
dapat memberi jawaban yang memuaskan. Teori yang dewasa ini banyak
dikemukakan adalah iskemia plasenta. Namun teori ini tidak dapat
menerangkan semua hal yang berkaitan dengan kondisi ini. Hal ini
disebabkan karena banyaknya faktor yang menyebabkan terjadinya
preeklampsia/eklampsia (Wibowo dan Rachimhadi, 2009).

B. Tujuan
Mengetahui manajemen penatalaksanaan kasus partus tak maju pada
primigravida hamil postterm dalam persalinan kala I fase aktif.
BAB II
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. AY
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 66 kg
TB : 155 cm
Alamat : Buluspesantren, Kebumen, Jawa Tengah
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 25 Desember 2017 pukul 09.00 WIB
No. RM : 367265
2. Keluhan Utama
Kencang-kencang
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G1P0A0, usia 23 tahun, usia kehamilan 38+1 minggu datang
rujukan dari bidan dengan keterangan G1P0A0 UK 38+1 minggu inpartu
kala I fase aktif dengan PEB Pasien merasa hamil 9 bulan, kenceng-
kenceng teratur sudah dirasakan sejak pukul 03.00, gerakan janin masih
dirasakan, air ketuban belum dirasakan keluar, lendir darah (-), pusing (-),
nyeri ulu hati (-), pandangan kabur (-). Pasien juga mengeluhkan tekanan
darah tinggi sejak usia kehamilan 7 bulan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat perdarahan saat hamil : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
5. Riwayat Haid
Menarche : 13 tahun
Lama menstruasi : 7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari
6. Riwayat Obstetri
Hamil I : sekarang
HPHT : 1 April 2017
HPL : 8 Januari 2018
UK : 38+1 minggu
7. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, telah menikah ketika berusia 22 tahun, usia pernikahan 1
tahun.
8. Riwayat KB
Pasien belum pernah memasang KB sebelumnya.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital :
Tensi : 174/115 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
c. Kepala : mesocephal
d. Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
g. Thorax :
1) Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor// sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan
(-/-), wheezing (-)
h. Abdomen :
Inspeksi : striae gravidarum (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal,
intrauterine, memanjang, presentasi kepala
punggung kanan, His (+) 3x/10’/40”, DJJ (+) 142
x/menit reguler, kepala masuk panggul < 2/3
bagian, TFU : 27 cm
Perkusi : timpani
Genital : VT : v/u tenang, dinding vagina dbn, portio
lunak mendatar di tengah, diameter: 8 cm, eff:
75%, preskep, kepala turun di Hodge II, kulit
ketuban dan penunjuk sudah dapat dinilai, ubun-
ubun kecil pukul 11, air ketuban (-), lendir darah
(-)
Ekstremitas :
oedema akral dingin
- - - -
+ + - -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM DARAH TANGGAL 25 Desember 2017:
Hb : 11,7 g/dl Kimia Klinik
Hct : 36 % GDS : 89 mg/dl
AL : 12,0 x103/uL (↑) Creatinine: 0,70 mg/dl
AT : 255 x103/uL Ureum : 18 mg/dl
AE : 4,2 x103/uL
BT : 3,00 menit
CT : 3,30 menit
Urinalisis
Protein Kualitatif : +3

CTG TANGGAL 25 Desember 2017


- Baseline : 150 x / menit
- Variabilitas : >5
- Aselerasi :+
- Deselerasi : -
- Kontraksi : +
- Fetal movement :+

D. SIMPULAN
Seorang G1P0A0 usia 23 tahun usia kehamilan 38+1 minggu datang rujukan
dari bidan dengan keterangan G1P0A0 UK 38+1 minggu dengan PEB, protein
urin +1, TD 174/115. Pasien merasa hamil 9 bulan, kencang-kencang teratur
sudah dirasakan sejak 6 jam SMRS, gerakan janin masih dirasakan, air
ketuban belum dirasakan keluar, lendir darah (-). BAB dan BAK dalam batas
normal.
Riwayat peyakit lain seperti asma, alergi, dan penyakit jantung dan darah
tinggi disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 174/85 mmHg. Palpasi
abdomen teraba supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intrauterine,
memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, his (+) 3x/10’/40”, DJJ (+)
142 x/menit reguler, kepala masuk panggul < 2/3 bagian, TFU : 27 cm..
Pemeriksaan vaginal toucher didapatkan v/u tenang, dinding vagina dalam
batas normal, portio lunak mendatar, diameter serviks : 8 cm, efficement:
75%, presentasi kepala, kepala di Hodge II, kulit ketuban dan penunjuk sudah
dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (-).
Hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb (11,7 g/dl),
hematokrit (36%), eritrosit (4,2 x106/uL), leukosit (12,0 ribu/uL), trombosit
(255 x 103/uL), ureum (18 mg/dl) dan creatinine (0,7 mg/dl). Pemeriksaan
protein urin didapatkan hasil +3.

E. DIAGNOSIS AWAL
PEB pada primigravida hamil aterm DP kala I fase aktif
F. PROGNOSIS
Dubia

G. TERAPI
1. Protap PEB:
a. O2 3 lpm
b. Infus RL 12 tpm
c. Inj. MgSO4 20% 4 gr dalam 15 menit (initial dose)
d. Inj. MgSO4 20% 1 gr/jam selama 24 jam (maintenance dose)
e. Nifedipine 3x10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg
f. Pasang DC
2. Awasi KU/VS/BC + DJJ
3. Awasi tanda-tanda impending eklamsi
4. Lanjut persalinan pervaginam kala II diperingan dengan VE
5. Observasi 10
6. Evaluasi 2 jam lagi
H. FOLLOW UP
1. Evaluasi 25 Desember 2017 11.30
G1P0A0, 23 tahun UK 38+1 minggu
Keluhan : merasa ingin mengejan
Keadaan umum : baik, composmentis
Vital sign : Tekanan darah : 150/90 mmHg RR : 20x/mnt
Nadi : 84x/mnt Suhu : 36,50C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : Cor/ Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra
uterine, memanjang, punggung kiri, presentasi kepala,
DJJ (+) 140x/menit reguler, His (+) 4x/10’/50”, kepala
masuk panggul >2/3 bagian
Genital : Vaginal Toucher : V/u tenang, dinding vagina dalam
batas normal, pembukaan lengkap, effacement 100%,
KK (-), penunjuk di jam 12, kelapa di hodge III, air
ketuban (+), sarung tangan lendir darah (+)
Diagnosis Kala II, PEB pada primigravida hamil aterm
Terapi :
a. Pimpin persalinan dengan vakum ekstraksi
b. Siapkan resusitasi bayi
c. Awasi KU/VS/tanda-tanda impending eklamsi

2. Evaluasi tanggal 25 Desember 2017 pukul 11.30 WIB


Lahir bayi perempuan dengan BB 2700 gr, Apgar Skor 7-8-9 dengan VE

3. Evaluasi tanggal 25 Desember 2017 pukul 11.35 WIB


Lahir plasenta lengkap ukuran 21x21x1cm bentuk cakram
4. Evaluasi tanggal 25 Desember 2017 pukul 13.30 WIB 2 jam post
partus
P1A0, 23 tahun
Keluhan : tidak ada
Keadaan umum : baik, composmentis
Vital sign : Tekanan darah : 130/90 mmHg RR : 20x/mnt
Nadi : 88 x/mnt Suhu : 36,50C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : Cor/ Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat,
kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+)
Diagnosis : Post vacum ekstraksi a/i PEB pada primipara hamil
aterm
Terapi :
- Protap PEB :
a. O2 3 lpm
b. Infus RL 12 tpm
c. Inj. MgSO4 20% 1 gr/jam selama 24 jam
d. Nifedipine 3x10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg
e. Awasi KU/VS/ tanda impending eklampsia
- Amoxicillin 500 mg/ 8 jam per oral
- Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam per oral
- Etabion 2x1

5. Evaluasi tanggal 26 Desember 2017 pukul 06.00


P1A0, 23 tahun
Keluhan : tidak ada
Keadaan umum : baik, composmentis
Vital sign : Tekanan darah : 130/85 mmHg RR : 20x/mnt
Nadi : 100 x/mnt Suhu : 36,50C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : Cor/ Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat,
kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+) rubra
Diagnosis : Post vacum ekstraksi a/i PEB pada primipara hamil
aterm
Terapi : - Protap PEB :
a. O2 3 lpm
b. Infus RL 12 tpm
c. Inj. MgSO4 20% 1 gr/jam selama 24 jam
d. Nifedipine 3x10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg
e. Awasi KU/VS/ tanda impending eklampsia
- Amoxicillin 500 mg/ 8 jam per oral
- Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam per oral
- Etabion 2x1

6. Evaluasi tanggal 27 Desember 2017 pukul 06.00


P1A0, 23 tahun
Keluhan : tidak ada
Keadaan umum : baik, composmentis
Vital sign : Tekanan darah : 130/80 mmHg RR : 20x/mnt
Nadi : 96 x/mnt Suhu : 36,50C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : Cor/ Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat,
kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+) rubra
Diagnosis : Post vacum ekstraksi a/i PEB pada primipara hamil
aterm
Terapi : - Protap PEB :
a. O2 3 lpm
b. Infus RL 12 tpm
c. Inj. MgSO4 20% 1 gr/jam selama 24 jam 
selesai pukul 02.00
d. Nifedipine 3x10 mg jika TD ≥ 160/110
mmHg
e. Awasi KU/VS/ tanda impending eklampsia
- Amoxicillin 500 mg/ 8 jam per oral
- Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam per oral
- Etabion 2x1

7. Hasil Laboratorium 27 Desember 2017 pukul 09.00


SGOT 115 U/L
SGPT 51 U/L
Globulin 2.8 g/dL
Total protein 4.97 g/dL
Albumin 2.2
Protein Urin +2

8. Evaluasi tanggal 27 Desember 2017 pukul 10.00 WIB


P1A0, 23 tahun
Keluhan : tidak ada
Keadaan umum : baik, composmentis
Vital sign : Tekanan darah : 130/85 mmHg RR : 20x/mnt
Nadi : 90 x/mnt Suhu : 36,40C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : Cor/ Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat,
kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+) rubra
Diagnosis : Post vacum ekstraksi a/i PEB pada primipara hamil
aterm
Terapi :
-Protap PEB :
a. O2 3 lpm
b. Infus RL 12 tpm
c. Inj. MgSO4 20% 1 gr/jam selama 24 jam
d. Nifedipine 3x10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg
e. Awasi KU/VS/ tanda impending eklampsia
- Amoxicillin 500 mg/ 8 jam per oral
- Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam per oral
- Etabion 2x1
- Plasbumin

9. Evaluasi tanggal 28 Desember 2017 pukul 06.00 WIB


P1A0, 23 tahun
Keluhan : tidak ada
Keadaan umum : baik, composmentis
Vital sign : Tekanan darah : 130/80 mmHg RR : 20x/mnt
Nadi : 88 x/mnt Suhu : 36,40C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Thorax : Cor/ Pulmo dalam batas normal
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat,
kontraksi (+)
Genital : darah (-), lochia (+) rubra
Diagnosis : Post vacum ekstraksi a/i PEB pada primipara hamil
aterm
Terapi : - Amoxicillin 500 mg/ 8 jam per oral
- Asam mefenamat 500 mg/ 8 jam per oral
- Etabion 2x1
- BLPL
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Preeklampsia
a. Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi kehamilan tertentu yang dapat
disebabkan oleh kegagalan fungsi endotel vaskuler dan vasospasme
pembuluh darah dengan keterlibatan multisistem yang terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu. Preeklampsia dapat berlangsung hingga 4-6 minggu
post-partum. Penyakit ini ditentukan oleh kejadian hipertensi onset baru
ditambah onset baru proteinuria dengan atau tanpa edema patologis. Tanda
dan gejala lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan, sakit
kepala, nyeri epigastrik, dan adanya edema (American College of Obstetrics
and Gynecology, 2013; Lim et al., 2014).
Insidensi preeklampsia sekitar 5% sampai 10% dari seluruh kehamilan,
dengan insidensi yang lebih tinggi pada kehamilan pertama, kehamilan
kembar, dan wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya (Lindheimer et
al., 2008; Rugolo et al., 2011).

b. Faktor Risiko
1) Primigravida
2) Riwayat keluarga dengan preeklampsia
3) Riwayat preeklampsia pada kehamilan
Risiko preeklampsia meningkat tujuh kali lipat pada kehamilan
dengan riwayat preeklampsia sebelumnya.
4) Adanya hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya
5) Usia Kehamilan
Preeklampsia pada kehamilan pertama dengan persalinan dengan
usia kehamilan 32 minggu sampai 36 minggu akan meningkatkan risiko
preeklampsia pada kehamilan kedua sebesar 25,3 %.
6) Obesitas
Wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) < 20 kg/m2 memiliki
risiko sebesar 4,3% dan mereka dengan BMI > 35 kg/m2 memiliki
risiko sebesar 13,3%
7) Donor oosit atau inseminasi donor dan riwayat trombofilia
8) Infeksi saluran kemih, diabetes melitus, penyakit vaskular kolagen,
mola hidatidosa, dan penyakit periodontal
9) Usia Ibu
Wanita yang hamil pada usia 35 tahun atau lebih memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia.
10) Ras
Di Amerika Serikat, preeklampsia pada wanita berkulit putih 1.8
% dan 3 % pada wanita berkulit hitam.
11) Faktor tambahan yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia adalah
kehamilan multipel, plasentasi yang buruk dan beberapa hal lain yang
meningkatkan massa plasenta dan perfusi plasenta yang buruk
(American College of Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim et al.,
2014).

c. Patogenesis dan Patofisiologi


1) Disfungsi Endotel
Gangguan sel endotel pembuluh darah akan menimbulkan
kebocoran khususnya pada sistem mikrovaskular yang akan direspon
tubuh dengan manifestasi agregasi tombosit. Dalam keadaan normal, sel
endotel akan memproduksi prostasiklin (PGI2) dan trombosit akan
memproduksi tromboksan 2 (TXA2) (Birawa et al., 2009).
Prostasiklin (PGI2) merupakan vasodilator kuat otot polos yang
bekerja pada reseptor spesifik sel otot polos dan merangsang
pembentukan cyclic adenosinmonophosphate (cAMP) melalui siklus
adenylate serta faktor relaksasi yang kuat. Tromboxan (TXA) merupakan
vasokonstriktor kuat. Akibat rasio PGI2 : TXA meningkat maka efek
vasokonstriksi meningkat juga dan menyebabkan terjadinya hipertensi.
Disfungsi endotel akan menyebabkan keluarnya mediator inflamasi
seperti TNF-α, Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8
(IL-8), Interleukin-10 (IL-10) dan fibronektin serta mikropartikel endotel
yang terbukti meningkat pada preeklampsia (Birawa et al., 2009).
2) Stres Oksidatif dan Nitrat Oksida
Disfungsi Nitrat Oksida (NO) merupakan salah satu jalur yang
terlibat dalam patogenesis preeklampsia. NO adalah vasodilator utama
dan radikal bebas yang sangat reaktif, disintesis oleh sel endotel dari L-
arginine. Penurunan konsentrasi NO dalam plasma dan plasenta dapat
menyebabkan kurangnya efek vasodilatasi parakrin pada aliran darah
uteroplasenta (Rugolo et al., 2011).
Penurunan bioavailabilitas NO terjadi melalui pengurangan
produksi atau peningkatan konsumsi NO oleh stres oksidatif. Stres
oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksin akan
merangsang kerusakan sel endotel pembuluh darah yang nantinya akan
menimbulkan disfungsi endotel (Roeshadi, 2006; Rugolo et al., 2011).
Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan antara produksi
zat-zat vasodilator (misalnya prostasiklin dan nitrat oksida) dengan
vasokonstriktor (misalnya endotelium I, tromboksan, dan angiotensin II)
sehingga terjadi vasokontriksi dan menyebabkan hipertensi (Roeshadi,
2006).
3) Implantasi Abnormal
Salah satu mekanisme yang berperan pada proses abormalitas
invasi trofoblas dan remodeling pembuluh darah adalah jalur Notch
signaling (American College of Obstetrics and Gynecology, 2013). Jalur
Notch signaling mengatur diferensiasi dan fungsi sel selama sel kontak di
dalam jaringan. Komponen ini adalah komponen penting di mana sel-sel
trofoblas janin menginvasi dan merubah pembuluh darah ibu
(Hunkapiller et al., 2011).
Notch2floxlflox; Tpbpa-Cre yang gagal merubah pembuluh darah ibu
secara adekuat akan menyebabkan penurunan perfusi plasenta.
Kegagalan transformasi fisiologis ini dikaitkan dengan tidak adanya
Notch2 karena berkurangnya diameter pembuluh darah dan perfusi
plasenta. Trofoblas mengkoordinasi peningkatan pasokan pembuluh
darah ibu melalui invasi progresif dan pelebaran pembuluh darah ibu.
Perivaskular dan endovaskular sitotrofoblas sering gagal untuk
mengekspresikan JAG1 yang merupakan ligan Notch di preeklampsia
memberikan bukti lebih lanjut bahwa kelainan pada Notch signaling
memiliki peran penting dalam patogenesis preeklampsia (Hunkapiller et
al., 2011).
4) Faktor Angiogenik
Pada plasenta ibu terdapat dua protein yang dapat mencapai jumlah
abnormal di sirkulasi ibu. Pertama adalah solubleFms-like tyrosine kinase
1 (sFlt-1) yang merupakan reseptor placental growth factor (PIGF) dan
vascular endothelial growth factor (VEGF). Peningkatan kadar sFlt-1 ibu
akan menurunkan konsentrasi sirkulasi PIGF dan VEGF sehingga terjadi
disfungsi endotel. Inaktivasi VEGF bebas menyebabkan endoteliosis
gromular sehingga terjadi proteinuria. Kedua, protein antiangiogenik,
soluble endoglin (sEng) yang dapat mengganggu pengubahan ikatan
growth factor β1 menjadi reseptor endotelial sehingga mengurangi nitrat
oksida endotel dan menyebabkan terjadinya preeklampsia (Lindheimer et
al., 2008; American College of Obstetrics and Gynecology, 2013).
5) Renin - Angiotensin System (RAS)
Angiotensin II type-1 receptor autoantibody (AT1–AA) ikut
berperan dalam peningkatan sel endotel dan sensitivitas tekanan darah
serta sensitivitas angiotensin II (ANGII) (Wenzel et al., 2011). Sel
endotel meningkatkan sekresi endhotelin-1 (ET-1) dalam merespon
ANGII atau AT1-AA. Ketika AT1-AA dan ANGII bergabung, sekresi sel
endotel ET-1 meningkat 200 kali lipat dibandingkan jika hanya merespon
ANGII atau AT1-AA saja. Sementara itu, baik ANGII atau AT1-AA
akan meningkatkan tekanan darah selama kehamilan. AT1-AA memiliki
peran penting untuk meningkatkan sensitivitas sel endotel ataupun
tekanan darah terhadap ANGII selama kehamilan (LaMarca B, 2012).
6) Sistem Imun
Respon inflamasi memiliki peran penting selama plasentasi,
natural cell killer mensekresi sitokin yang akan meningkatkaninfiltrasi
trofoblas ke arteri spiral sehingga menyebabkan respon inflamasi
desidua. Plasentasi yang buruk dan berkurangnya suplai darah
uteroplasenta menyebabkan hipoksia plasenta yang diikuti pelepasan
beberapa mediator seperti faktor pertumbuhan dan reseptor terlarutnya,
sitokin inflamasi, debris plasenta, dan produk stres oksidatif plasenta. Hal
ini menyebabkan respon inflamasi sistemik yang berhubungan erat
dengan disfungsi sel endotel dan aktivasi leukosit (Rugolo, 2011).
Genbacev dalam Uzan et al. (2011) menyatakan preeklampsia dapat
terjadi akibat penurunan sistem kekebalan ibu yang mencegah
pengenalan unit fetoplasenta. Produksi berlebihan sel imun menyebabkan
sekresi tumor necrosis factor α (TNFα) yang akan menginduksi apoptosis
sititrofoblas ekstravili. Colbern et al. dalam Uzan et al. (2011) juga
menyatakan bahwa sistem Human Leukocyte Antigen (HLA) juga
memainkan peran dalam invasi arteri spiral, dan wanita dengan pre-
eklampsia menunjukkan penurunan kadar HLA-G dan HLA-E.
Gambar 3.1 Patogenesis Preeklampsia (Rugolo et al., 2011)
d. Diagnosis dan Klasifikasi Preeklampsia
1) Menurut Onset
Menzies et al. dalam Hypertesive Disease in Pregnancy
menggolongkan preeklampsia menjadi dua jenis yaitu preeklampsia onset
awal dan preeklampsia onset lambat. Preeklampsia onset awal cenderung
berkembang sebelum usia kehamilan 34 minggu, preeklampsia onset
lambat muncul pada atau setelah usia kehamilan 34 minggu.
Preeklampsia onset awal biasanya dikaitkan dengan disfungsi plasenta,
penurunan volume plasenta, IUGR, abnormalitas uterus dan evaluasi
Doppler arteri umbilikus, disfungsi multiorgan, kematian perinatal dan
luaran maternal dan neonatal yang kurang baik. Preeklampsia onset
lambat diperkirakan muncul dari gangguan konstitusional ibu, hal itu
lebih terkait dengan plasenta yang normal dan hasil evaluasi Doppler
yang baik, berat lahir normal dan luaran ibu dan janin yang baik
(Arulkumaran et al., 2014).
2) Menurut Derajat
a) Preeklampsia ringan
Preeklampsia ringan didefinisikan sebagai hipertensi (tekanan
darah ≥ 140/90 mm Hg) tanpa bukti kerusakan organ. Pasien yang
sebelumnya sudah memiliki hipertensi esensial, preeklampsia
didiagnosis jika tekanan darah sistolik telah meningkat sebesar 30
mmHg atau jika tekanan darah diastolik telah meningkat sebesar 15
mmHg (Lim et al., 2014).
b) Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat dikaitkan dengan tingkat mortalitas dan
morbiditas perinatal yang tinggi dan didefinisikan sebagai tekanan
darah sistolik ibu ≥ 160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg atau lebih tinggi dua kali lipat pada pemeriksaan setidaknya 6
jam terpisah; gangguan neurologis maternal seperti sakit kepala
terus-menerus, tinitus yang menyebar, refleks tendon polikinetik,
eklampsia, edema paru akut, proteinuria ≥ 5 g/hari atau lebih dari 3+
pada dua sampel urin yang dikumpulkan secara acak minimal 4 jam
terpisah, oliguria < 500 cc/hari, kreatinin > 120 µmol/L, sindrom
HELLP, trombositopenia < 100.000/mm3, edema paru atau sianosis,
nyeri epigastrium dan atau gangguan fungsi hati, dan kriteria pada
janin terutama pertumbuhan janin terhambat (PJT), oligohidramnion,
kematian janin dalam rahim, atau abrupsio plasenta (Sibai dan
Barton, 2007; Lim et al., 2014).
Kriteria diagnosis preeklampsia berat menurut POGI tahun
2010 adalah preeklampsia dengan salah satu atau lebih gejala dan
tanda dibawah berikut :
(1) Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat tekanan
sistolik ≥ 160 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 110
mmHg
(2) Proteinuria, yaitu protein ≥ 5 gr/jumlah urin selama 24
jam atau dipstick 4 +
(3) Oliguria, adalah produksi urin < 400-500 cc/ 24 jam
(4) Kenaikan kreatinin serum
(5) Edema paru dan sianosis
(6) Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan
abdomen.
(7) Gangguan otak dan visus antara lain perubahan
kesadaran, nyeri kepala, skotomata, dan pandangan
kabur.
(8) Gangguan fungsi hepar
(9) Hemolisis mikroangiopatik
(10) Trombositopenia; yaitu trombosit< 100.000 sel/ mm3
(11) Sindroma HELLP
POGI (2010) membagi preeklampsia berat dalam beberapa
kategori :
(1) Preeklampsia berat tanpa impending eklampsi
(2) Preeklampsia berat dengan impending eklampsi, dengan
gejala impending : nyeri kepala, mata kabur, mual dan
muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri kuadran kanan atas
abdomen.
Penatalaksanaan preeklampsia berat bertujuan mengendalikan
tekanan darah dan mencegah terjadinya eklampsia, persalinan
pervaginam pada pasien dengan kehamilan cukup bulan dan operasi
caesar pada kasus mendesak atau ketika induksi persalinan gagal,
dengan pengaturan waktu yang seimbang antara keselamatan ibu
dengan risiko kelahiran janin yang berpotensi prematur. Manajemen
kehamilan hanya untuk beberapa pasien yang jauh dari usia
kehamilan cukup bulan tetapi stabil pada pemberian terapi obat
antihipertensi, dengan hasil pemeriksaan laboratorium stabil dan
profil biofisik janin yang meyakinkan (Turner, 2010).
Norwitz dan Funai (2008) memberikan pedoman untuk
mengidentifikasi kondisi di mana manajemen kehamilan dapat
digunakan untuk pasien dengan preeklampsia berat:
(1) Tidak ada istilah preeklampsia sedang – hanya ada ringan atau
berat.
(2) Ketika janin dapat dilahirkan dengan aman, segera melakukan
proses persalinan, dengan catatan ada perawatan neonatal yang
baik.
(3) Tidak ada manfaat bagi ibu untuk melanjutkan kehamilan
ketika sudah terdiagnosis preeklampsia berat.
(4) Tidak ada pengelolaan konservatif untuk keadaan: terdapat
gejala utama eklamsia, edema paru, gangguan serebrovaskular,
oliguria atau gagal ginjal, kerusakan hati atau gangguan
hemopoetik, dan ditandai dengan adanya growth restriction
(hambatan pertumbuhan).
(5) Pengobatan anemia hemolitik, peningkatan enzim hati, dan
jumlah trombosit yang rendah (sindrom HELLP) dengan
steroid terbukti meningkatkan beberapa marker atau tanda dari
preeklampsia berat tetapi tidak dapat memperbaiki keluaran ibu
atau janin, sehingga tetap diindikasikan untuk melakukan
persalinan.
(6) Kontrol tekanan darah, tekanan darah sistolik harus kurang dari
160 mmHg dan tekanan darah diastolik harus kurang dari 105-
110 mmHg.
(7) Mempertahankan kehamilan ketika sudah didiagnosis
preeklampsia berat hanya boleh dilakukan di rumah sakit pusat
ketiga dengan memberikan informed consent yang lengkap
setelah konseling dengan spesialis fetomaternal dan
neonatologis.
Komplikasi preeklampsia berat pada ibu meliputi edema
pulmo, infark miokardial, acute respiratory distress syndrome,
koagulopati, gagal ginjal berat, dan retinal injury. Komplikasi pada
janin dan bayi baru lahir berasal dari insufisiensi uteroplasenta atau
kelahiran prematur, atau bisa dari keduanya (American College of
Obstetrics and Gynecology, 2013).

e. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan
proteinuria. Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran.
Dengan adanya tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan
kejang, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan.
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-
gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif, antara lain: nyeri kepala frontal, gangguan visual dan nyeri
epigastrium. Sedangkan gejala obyektif, antara lain: hiperreflexia, eksitasi
motorik, dan sianosis (Artikasari, 2009).
Diagnosis banding untuk preeklampsia berat antara lain: hipertensi
menahun, penyakit ginjal, dan epilepsi.
f. Penanganan
Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah mencegah kejang,
perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan
bayi sehat.
1. Preeklampsia Ringan
a) Rawat jalan:
 Tirah baring (miring) tidak total
Tirah baring posisi miring: menghilangkan tekanan uterus pada
vena kava inferior  meningkatkan aliran darah balik
meningkatkan curah jantung  meningkatkan aliran darah ke organ-
organ vital  ginjal: filtrasi glomerolus meningkat  diuresis
meningkat  ekskresi Na meningkat  menurunkan reaktivitas
kardiovaskular  mengurangi vasospasme  menurunkan tekanan
darah.
Selain itu, peningkatan curah jantung juga menambah oksigenasi
plasenta sehingga memperbaiki kondisi janin.
 Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya,
dan roboransia prenatal.
 Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedatif.
 Dilakukan pemeriksaan lab: Hb, hematokrit, fungsi hati, fungsi ginjal,
dan urin lengkap.
b) Rawat inap:
 Bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan proteinuria selama 2
minggu.
 Ada satu/ lebih gejala dan tanda preeklampsia berat.
Selama di RS, lakukan:
- Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab.
- Pemeriksaan kesejahteraan janin: USG, Doppler, dan NST.
- Konsultasi ke bagian mata, jantung, dll (Cunningham, 2005;
Saifuddin, 2006; Manuaba, 2007).
- Pada kehamilan preterm (< 37 minggu): bila tekanan darah
mencapai normal, persalinan ditunggu sampai aterm. Pada
kehamilan aterm (> 37 minggu): persalinan ditunggu sampai
muncul tanda-tanda persalinan alami. Persalinan dapat
dilakukan secara spontan dengan induksi, bila perlu
memperpendek kala II (Cunningham, 2005; Saifuddin, 2006;
Manuaba, 2007).

2. Preeklampsia Berat
Pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan
pengelolaan dasar sebagai berikut :
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya : yaitu terapi
medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk
penyulitnya
b. Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya
: yang tergantung pada umur kehamilan.
Sikap terhadap kehamilannya dibagi 2, yaitu :
1) Ekspektatif ; konservatif : bila umur kehamilan < 37
minggu, artinya : kehamilan dipertahankan selama
mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa
2) Aktif, agresif ; bila umur kehamilan ≥ 37 minggu,
artinya kehamilan dikahiri setelah mendapat terapi
medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Pemberian terapi medikamentosa


1) Segera masuk rumah sakit
2) Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
3) Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
4) Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi
kejang.
5) Pemberian MgSO4 dibagi :
- Loading dose (initial dose) : dosis awal
- Maintenance dose : dosis lanjutan
6) Anti hipertensi
Diberikan : bila tensi ≥ 160/110
Jenis obat: Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30
menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
 Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa
lidah (sub lingual) karena absorbsi yang terbaik adalah
melalui saluran pencernaan makanan.
Desakan darah diturunkan secara bertahap :
1. Penurunan awal 25% dari desakan sistolik
2. Desakan darah diturunkan mencapai :
3. - < 160/105
- MAP < 125
 Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL
diberikan secara IV selama 5 menit, bila gagal dalam 1 jam
dapat diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila
masih gagal dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi dengan
dosis 15 mg selama 5 menit.
7) Diuretikum
Diuretikum yang diberikan hanya atas indikasi :
a. Edema paru
b. Payah jantung kongestif
c. Edema anasarka
8) Diet
Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan
kalori yang berlebih, batasi cairan yang masuk ke dalam tubuh
(POGI, 2010).
g. Komplikasi
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver
dalam bentuk kemungkinan:
1) Perdarahan subkapsular
2) Perdarahan periportal sistem dan infark liver
3) Edema parenkim liver
4) Peningkatan pengeluaran enzim liver (Manuaba, 2007).
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari
kemampuan sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan
menimbulkan berbagai bentuk kelainan patologis sebagai berikut:
 Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
 Iskemia yang menimbulkan infark serebal
 Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
 Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
 Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital
medula Oblongata (Manuaba, 2007).
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utamaialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia daneklampsia.

h. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2–
48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan
antenatal, di samping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat
mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak,
decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal, dan aspirasi cairan
lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intrauterin
(Artikasari, 2009).

2. Leukositosis
a. Definisi
Leukositosis adalah peningkatan jumlah sel darah putih (leukosit)
melebihi kadar normal di dalam darah yaitu 11.000/mm³ (Gandasoebrata,
2007). Leukositosis pada wanita hamil adalah peningkatan jumlah leukosit
yang melebihi kadar normal di dalam darah pada masa kehamilan. Ross
(2011) mengatakan bahwa jumlah sel darah putih yang lebih dari
15.000/mm³ merupakan indikasi adanya infeksi pada wanita hamil. Pada
wanita hamil, sebagai kompensasi mengandung janin terjadi peningkatan
fisiologis dari leukosit. Efek ini terjadi akibat toleransi ibu terhadap
antigen jaringan asing dari janin yang bersifat semialogenik
(Cunnningham, 2008). Penyebab leukositosis pada wanita hamil antara
lain infeksi virus, infeksi bakteri, dan infeksi protozoa.

b. Hubungan leukositosis dengan kehamilan


Peningkatan kadar leukosit pada wanita hamil sering terjadi akibat
adanya infeksi selama kehamilan sebagai respon terhadap agen infeksius
(Sutedjo, 2008). Proses inflamasi akibat agen infeksius ini akan
mencetuskan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, sitokin,
leukotrien, dan prostaglandin. Hal ini menyebabkan terjadinya reaksi
peradangan dengan perantara sel darah putih untuk melakukan proses
fagositosis pada bakteri. Molekul aktif seperti prostalglandin E2 (PGE2)
dan prostaglandin F2 (PGF2) terlibat dalam proses kelahiran normal.
Dengan adanya proses infeksi, level sitokin dan PGE2 menjadi meningkat
yang dapat menstimulasi terjadinya kelahiran prematur (Cunningham,
2008).
3. Anemia
a. Definisi
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam
darahnya kurang dari 12 gr%. Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah
kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I
dan III atau kadar <10,5 gr% pada trimester II. Anemia paling sering
disebabkan karena kekurangan zat besi (Fatimah et al, 2011).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk
eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan gambaran sel darah merah
hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron = SI) dan transferin
menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity/TIBC)
meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta di tempat yang
lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali. Banyak faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain, kurangnya
asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi
diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat
besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa
penyembuhan dari penyakit (Ojofeitimi et al, 2008).

b. Anemia defisiensi besi pada kehamilan


Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema
kesehatan yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama di negara
berkembang. Badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO)
melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi
besi sekitar 35-75% serta semakin meningkat seiring dengan pertambahan
usia kehamilan. Menurut WHO 40% kematian ibu di negara berkembang
berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada
kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut, bahkan
tidak jarang keduanya saling berinteraksi (Ojofeitimi et al, 2008).
Upaya pencegahan telah dilakukan dengan pemberian tablet besi
selama kehamilan. Akan tetapi hasilnya belum memuaskan. karena dalam
kehamilan, terjadi peningkatan absorpsi dan kebutuhan besi dimana total
besi yang dibutuhkan adalah sekitar 1000 mg. Kebutuhan yang tinggi di
mana cadangan besi di tubuh kosong maka hal ini tidak dapat dipenuhi
melalui diet besi harian dan juga oleh besi suplemen. Menurut teori
tersebut, supelemen besi seharusnya diberikan pada periode sebelum hamil
untuk mengantisipasi rendahnya cadangan besi tubuh. Kegagalan ini
mungkin diakibatkan oleh rendahnya bahkan kosongnya cadangan besi
tubuh sewaktu pra-hamil, terutama di negara sedang berkembang. Oleh
karena itu, suplemen besi yang hanya diberikan waktu kehamilan tidak
cukup untuk mencegah terjadinya anemia defisiensi besi (Ojofeitimi et al,
2008).

c. Gejala Anemia Defisiensi Besi


Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan
besar yaitu : gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala
penyakit dasar:
1) Gejala umum anemia
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-
kunang, serta telinga berdenging. Anemia bersifat simtomatik jika
hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan
dibawah kuku.
2) Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai
pada anemia jenis lain adalah koilonychia, atropi papil lidah,
stomatitis angularis, disfagia, atrofi mukosa gaster sehingga
menimbulkan akhloridia, pica.
3) Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit
yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya
pada anemia akibat cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis
membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti
jerami.
Gejala anemia pada kehamilan yaitu ibu mengeluh cepat lelah, sering
pusing, palpitasi, mata berkunang-kunang, malaise, lidah luka, nafsu
makan turun (anoreksia), konsentrasi hilang, nafas pendek (pada anemia
parah) dan keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil muda, perubahan
jaringan epitel kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu, lemah, lelah,
disphagia dan pembesaran kelenjar limpa (Ojofeitimi et al, 2008; Fatimah
et al, 2011).

d. Patofisiologi Defisiensi Besi Pada Ibu Hamil


Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut
Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang
dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran
darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: plasma 30%, sel
darah 18% dan haemoglobin 19%. Bertambahnya darah dalam kehamilan
sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam
kehamilan antara 32 dan 36 minggu. Secara fisiologis, pengenceran darah
ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan
adanya kehamilan (Winkjosastro, 2002).
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh
karena perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dan
pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada
trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan
meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterem serta
kembali normal 3 bulan setelah partus.

e. Dampak Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil


Anemia defisiensi besi dapat berakibat fatal bagi ibu hamil karena
ibu hamil memerlukan banyak tenaga untuk melahirkan. Setelah itu, pada
saat melahirkan biasanya darah keluar dalam jumlah banyak sehingga
kondisi anemia akan memperburuk keadaan ibu hamil. Kekurangan darah
dan perdarahan akut merupakan penyebab utama kematian ibu hamil saat
melahirkan.
Penyebab utama kematian maternal antara lain perdarahan
pascapartum (disamping eklampsia dan penyakit infeksi) dan plasenta
previa yang kesemuanya bersumber pada anemia defisiensi. Ibu hamil yang
menderita anemia gizi besi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat
gizi bagi dirinya dan janin dalam kandungan. Oleh karena itu, keguguran,
kematian bayi dalam kandungan, berat bayi lahir rendah, atau kelahiran
prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita anemia gizi besi.
Anemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko. Menurut penelitian,
tingginya angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga
menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak
cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia
meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko
kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan
angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan
antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis
dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat
mentolerir kehilangan darah.
Soeprono menyebutkan bahwa dampak anemia pada kehamilan
bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan
kelangsungan kehamilan (abortus, partus imatur/prematur), gangguan
proses persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atoni), gangguan
pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan stress
kurang, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus,
dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dan lain-lain)
(Ojofeitimi et al, 2008).
Salah satu efek Anemia defisiensi besi (ADB) adalah kelahiran
premature dimana hal ini berasosiasi dengan masalh baru seperti berat
badan lahir rendah, defisiensi respon imun dan cenderung mendapat
masalah psikologik dan pertumbuhan. Apabila hal ini berlanjut maka hal
ini berkorelasi dengan rendahnya IQ dan kemampuan belajar. Semua hal
tersebut mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia,
produktivitas dan implikasi ekonomi. cara penanganannya dengan
memberikan tablet besi folat (Tablet Tambah Darah/TTD) yang
mengandung 60 mg elemental besi dan 250 ug asam folat) 1 tablet selama
90 hari berturut-turut selama masa kehamilan (Ojofeitimi et al, 2008).
BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang G1P0A0 usia 23 tahun usia kehamilan 38 minggu datang rujukan


dari Bidan ke RSUD dr. Soedirman dengan keterangan G1P0A0 UK 38+1 minggu
dengan PEB, protein urin +1, TD 174/115. Pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan
janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur sudah dirasakan, air ketuban
belum dirasakan keluarm lendir darah (+). BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat peyakit lain seperti asma, alergi, dan penyakit jantung dan darah tinggi
disangkal.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama pasien kenceng-kenceng.
Kenceng-kenceng pada perut (his) yang teratur 2x dalam 10 menit merupakan
tanda dalam persalinan. Pada pasien ini his terjadi secara teratur, 3 x dalam 10
menit selama 30-40 detik sehingga dapat dikatakan pasien ini dalam persalinan.
HPMT pasien pada tanggal 1 April 2017, dapat diketahui usia kehamilan pasien
38 minggu yang berarti pasien hamil aterm. Seseorang dikatakan hamil aterm jika
usia kehamilannya ≥ 37minggu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 174/115 mmHg.
Tekanan darah pasien yang tinggi masuk ke kriteria diagnosa Preeklampsia Berat
(PEB) yaitu tekanan darah ≥ 160/110 mmHg. Sebelumnya pasien mengaku
tekanan darahnya tidak pernah tinggi. Dalam preeklampsi berat menurut onsetnya
dibedakan menjadi 2 yaitu early onset dan late onset. PEB early onset biasanya
terjadi pada usia kehamilan sebelum 34 minggu sedangkan late onset biasanya
terjadi pasa usia kehamilan setelah 34 minggu. Pada kasus ini, pasien diduga
mengalami PEB early onset karena tekanan darahnya ≥ 160/110 mmHg, baru
terjadi pada usia kehamilan pasien 7 bulan. Untuk memastikan diagnosis PEB
perlu dilakukan pemeriksaan uji urinalisa Ewitz. Keluhan pusing, mual muntah,
nyeri ulu hati dan pandangan kabur disangkal pasien, sehingga pasien ini tidak
mengalami impending eklampsi
Pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan palpasi abdomen teraba supel, nyeri
tekan (-), teraba janin tunggal, intrauterine, memanjang, presentasi kepala
punggung kiri, his (+) 3x/10’/30-40”, DJJ (+) 142 x/menit reguler, kepala masuk
panggul < 2/3 bagian, TFU : 27 cm. Pemeriksaan vaginal toucher didapatkan v/u
tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak mendatar, diameter
serviks : 8 cm, efficement: 75%, presentasi kepala, kepala di Hodge III, kulit
ketuban dan penunjuk sudah dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (+).
Dari hasil pemeriksaan abdomen dan genital diketahui bahwa pasien dalam
persalinan. Dari pemeriksaan abdomen diketahui kepala bayi masuk panggul <
2/3 bagian kemudian dari pemeriksaan genital ditemukan ada pembukaan pada
serviks 8 cm, pendataran serviks masih 75% dan ada pengeluaran pervaginam
yang menandakan bahwa pasien sudah dalam persalinan.
Hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb (11,7 g/dl),
hematokrit (36%), eritrosit (4,2 x106/uL), leukosit (12,0 ribu/uL), trombosit (255
x 103/uL), ureum (18 mg/dl) dan creatinine (0,7 mg/dl). Pemeriksaan protein urin
didapatkan hasil +3. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah diketahui hasil
urinalis Ewitz pada pasien ini +3. Sehingga diagnosis PEB dapat digunakan pada
pasien ini
Sebelumnya pada pasien ini diberikan terapi protap PEB untuk mencegah
pasien jatuh ke kondisi eklampsia atau impending eklampsia. Adapun protap PEB
adalah oksigenasi dengan nasal kanul 3 liter per menit, infus ringer laktat 20 tetes
per menit, injeksi MgSO4 20% 4 gr dalam 15 menit (initial dose) dan injeksi
MgSO4 20% 1 gr/jam selama 24 jam (maintenance dose), serta pemberian
nifedipin jika tekanan darah pasien ≥ 160/110 mmHg. Syarat pemberian MgSO4
adalah refleks patella (+), respiration rate 16-20x per menit, jumlah urin minimal
30 cc dalam 4 jam. Selama pemberian MgSO4 urine output pasien harus dikontrol
dengan cara pemasangan kateter dan dihitung balance cairannya. Hal ini
dimaksudkan agar pada pasien ini keseimbangan elektrolit tetap terjaga dan tidak
terjadi hipermagnesia. MgSO4 yang diberikan berfungsi sebagai profilaksis
kejang, tokolitik, antihipertensi dan diuretik. Apabila pasien mengalami
keracunan MgSO4 maka dapat diberikan antidotum kalsium glukonas.
DAFTAR PUSTAKA

Artikasari K. Hubungan antara Primigravida dengan Angka Kejadian


Preeklampsia/Eklampsia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode 1
Januari–31 Desember 2008; 2009(Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).

Atmakusumah, T.D. Setyaningsih, I. 2009. Dasar-dasar talasemia: salah satu jenis


hemoglobinopati. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing.

Atmakusumah, T.D., Wahidiyat, P.A., Sofro, A.S., Wirawan, R., Tjitrasari, T.,
Setyaningsih, I., Wibawa, A. 2010. Pencegahan Thalassemia. Hasil Kajian
Konvensi HTA. Jakarta: 16 Juni.

Barut F, Barut A, Gun BD, Kandemir NO, Harma MI, Harma M, Aktun E,
Ozdamar SO. 2010. Intrauterine growth restriction and placental
angiogenesis. Diagnostic Pathology, 5 (24): 5-7.

Cousens, N.E., Gaff, C.L., Metcalfe, S.A., Delatycki, M.B. 2010. Carrier
screening for Beta-thalassaemia:a review of International practice. European
Journal of Human Genetics, 18: 1077-1083.

Cunningham FG. Chapter 34. Hypertensive Disorders In Pregnancy. In Williams


Obstetri. 22nd Ed. New York :Medical Publishing Division, pp: 762-764;
2005.

Djannah SN, Arianti IS. Gambaran Epidemiologi Kejadian


Preeklampsia/Eklampsia di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun
2007–2009; 2010 Diakses dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/view/2782/1506
pada tanggal 3 Mei 2016.

Fatimah, Hadju et al. Pola Konsumsi dan Kadar Hemoglobin Pada Ibu Hamil di
Kabupaten

Galanello, R., Cao, A. 2011. Alpha-thalassemia. Genetics in Medicine, 13(2): 83-


88

Kilpatrick, S.J. 2014. Anemia and Pregnancy. In : Creasy, R.K., Resnik, R. Iams,
J.D., Lockwood, C.J, Moore, T.R., Greene, M.F. Creasy & Resnik’s
Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th edition. Elsevier.
Manuaba IBG. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, pp 401-31; 2007

Ojofeitimi EO, Ogunjuyigbe PO, Sanusi, et al. Poor Dietary Intake of Energy and
Retinol among Pregnant Women: Implications for Pregnancy Outcome in
Southwest Nigeria. Pak. J. Nutr. 2008; 7(3):480-484.

Old, J. 2013. Hemoglobinopathies and Thalassemias. In: Rimoin, D.L., Pyeritz,


R.E., Korf, I. Emery and Rimoin’s Essential Medical Genetics. Elsevier.

Pignatti, C. B., Galanello, R. 2014. Thalassemia and Related Disorders:


Quantitative Disorders of Hemoglobin Synthesis. In : Greer, J.P., Arber, D.
A., Glader, B., List, A.F., Means, R.T., Paraskevas, F, Rodgers, G.M.
Wintrobe’s Clinical Hematology. 13th edition. Lippincott Williams&
Wilkins.

POGI (2010). Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan.


http://www.pogi.or.id/pogi/app/webroot/upload/downloadfile/a2a69f846d41c
0a7e9a1a2757d6b8ba8_hipertensidalamkehamilanhkfmpogiprotaphipertensid
alamkehamilan.docx

Purba RT. Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia/. Perbandingan Efektivitas Terapi Besi Intravena dan Oral pada
Anemia Defisiensi Besi dalam Kehamilan. Maj Kedokt Indon, Volum: 57,
Nomor: 4, April 2007. Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Riset Kesehatan Dasar 2007. 2008. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ross MG, Monsano RZ, Smith CV, Talavera F, Gaupp FB. 2013. Fetal growth
restriction. http://emedicine.medscape.com/article/261226overview#showall

Ruangvutilert, P. 2007. Thalassemia is a Preventable Gen Disease. Siriraj Med J,


59: 330-333.

Rund, D., Rachmileweitz, E. 2005. β-Thalassemia. N Engl J Med, 353: 1135-


1146.

Sabang A, Berghella V. 2013. Intrauterine Growth Restriction (IUGR): Etiology


and Diagnosis. Curr Obstet Gynecol Rep, 2: 102-111
Saifuddin AB, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : YBPSP, pp: M37-9; 2006.

Sheridan C. 2005. Intrauterine Growth Restriction- diagnosis and management.


Australian Family Physician Vol. 34, No. 9.

Storck S, Zieve D, Eltz DR, Slon S, Wang N. 2012. Intrauterine growth


restriction. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001500. htm.

Strong, J., Rutherford, J.M. 2011. Anemia and White Blood Cell Disorders. In:
James, D. High Risk Pregnancy Management. 4th edition. Elsevier.

Welch, E., Wright, J. 2010. Inherited red cell disorders. In: Pavord, S., Hunt, B.
The Obstetric Hematology Manual. Cambridge University Press.

Wibowo B, Rachimhadi T. 2009. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu


Kebidanan. Edisi III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
pp. 281-99.

Winkjosastro Hanifa. 2002. Ilmu Kebidanan. Penerbit PT.EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai