Anda di halaman 1dari 11

TUGAS AKHIR MODUL 1

NAMA: MOHAMAD GUFRON

Benda-benda yang termasuk najis ringan, sedang, dan berat

a. Najis mukhaffafah, yaitu najis yang ringan. Yang termasuk najis ini adalah air kencing anak
laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan dan minum selain air susu ibu.
Dengan demikian air kencing anak perempuan yang belum berumur dua tahun tidak termasuk
najis ini meskipun belum makan dan minum selain air susu ibu. Cara mensucikan najis ini cukup
dengan memercikkan air pada benda yang kena najis ini.

b. Najis mughallazhah, yaitu najis yang berat. Yang termasuk ke dalam najis ini adalah air liur
anjing atau babi dan bekas jilatannya. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh bekas
jilatan tersebut dengan air yang suci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan
tanah yang suci.

c. Najis mutawasithah, yaitu najis pertengahan antara najis yang ringan dan yang berat. Yang
termasuk dalam najis ini adalah semua najis selain dari najis mukhaffafah dan najis
mughallazhah.

Yang termasuk dalam najis ini adalah:

1) Bangkai binatang selain dari binatang laut (ikan) dan binatang darat yang tidak berdarah
seperti belalang.

2) Darah baik merah maupun putih selain hati dan limpa.

3) Air kencing selain yang tidak termasuk najis mukhaffafah.

4) Air madzi, yaitu cairan berwarna putih yang keluar dari kemaluan baik lakilaki maupun
perempuan yang tidak disertai tekanan syahwat yang sangat kuat, misalnya karena berciuman,
berangan-angan tentang masalah seksual, dan yang sejenisnya.

5) Semua yang keluar dari lubang qubul dan dubur, kecuali air mani (cairan putih yang keluar
karena tekanan syahwat yang sangat kuat).

6) Khamer atau minuman keras yang memabukkan.

7) Muntah.

8) Darah haidl, nifas, dan istihazhah (darah penyakit).


9) Bagian binatang yang diambil dari tubuhnya sewaktu masih hidup.

Najis mutawasithah dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Najis hukmiyah, yaitu najis yang diyakini adanya, tetapi tidak tampak zat dan warnanya,
baunya, atau rasanya, seperti air kecing yang sudah kering. Cara mensucikannya cukup dengan
mengalirkan air pada benda yang kena najis.

2) Najis ‘ainiyah, yaitu najis yang masih jelas zat dan warnanya, baunya, atau rasanya. Cara
mensucikannya dengan menghilangkan zat, warna, bau, dan rasanya.

Hal-hal yang termasuk hadas besar dan hadas kecil

Hadas ada dua macam, yaitu:

a. Hadas kecil, yaitu hadas yang dapat disucikan dengan melakukan wudlu atau tayammum,
seperti bersentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim (kerabat
dekat), mengeluarkan sesuatu dari lubang qubul (“pintu depan”) maupun lubang dubur (“pintu
belakang”)

b. Hadas besar, yaitu hadas yang bisa disucikan dengan mandi wajib atau tayammum, seperti
haidl, nifas, atau melahirkan bagi perempuan, serta junub atau janabat bagi laki-laki maupun
perempuan.

Rukun shalat

1. Berdiri tegak pada shalat fardhu bagi yang mampu

2. Takbiiratul-ihraam, yaitu ucapan: 'Allahu Akbar', tidak boleh dengan ucapan lain

3. Membaca Al-Fatihah

4. Ruku'

5. I'tidal (Berdiri tegak) setelah ruku'

6. Sujud dengan tujuh anggota tubuh

7. Bangkit darinya

8. Duduk di antara dua sujud

9. Thuma'ninah dalam semua amalan


10. Tertib antara tiap rukun

11. Tasyahhud Akhir

12. Duduk Tasyahhud Akhir

13. Shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

14. Dua Kali Salam

Syarat-Syarat Shalat

1. Islam

2. Berakal

3. Tamyiz

4. Menghilangkan Hadats (Thaharah)

5. Menghilangkan Najis

6. Menutup Aurat

7. Masuk Waktu

8. Menghadap Kiblat

9. Niat

Sunnah-sunnah dalam shalat :

1. Do’a Istiftaah

2. Meletakkan (telapak) tangan kanan di atas (punggung) tangan kiri pada dada tatkala berdiri
sebelum ruku’

3. Mengangkat kedua tangan dengan jari-jari rapat yang tebuka (tidak terkepal) setinggi bahu
atau telinga tatkala takbir pertama, ruku’, bangkit dari ruku’, dan ketika berdiri dari tasyahhud
awal menuju raka’at ketiga

4. Tambahan dari sekali tasbih dalam tasbih ruku’ dan sujud

5. Tambahan dari ucapan Rabbanaa walakal hamdu setelah bangkit dari ruku’

6. Tambahan dari satu permohonan akan maghfirah (yaitu bacaan Rabbighfirlii) Diantara dua
sujud
7. Meratakan kepala dengan punggung dalam ruku’

8. Berjauhan antara kedua lengan atas dengan kedua sisi, antara perut dengan kedua paha dan
antara kedua paha dengan kedua betis pada waktu sujud

9. Mengangkat kedua siku dari lantai ketika sujud

10. Duduk iftiraasy (duduk di atas kaki kiri sebagai alas dan menegakkan kaki kanan) pada
tasyahhud awal dan Diantara dua sujud.

11. Duduk tawarruk (duduk pada lantai dan meletakkan kaki kiri di bawah kaki kanan yang
tegak) pada tasyahhud akhir dalam shalat tiga atau empat raka’at

12. Mengisyaratkan dengan telunjuk pada tasyahhud awal dan tasyahhud akhir sejak mulai
duduk sampai selesai tasyahhud

13. Mendo’akan shalawat dan berkah untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
keluarga beliau serta untuk Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan keluarga beliau pada tasyahhud awal

14. Berdo’a pada tasyahhud akhir

15. Mengeraskan (jahr) bacaan pada shalat Fajar (Shubuh), Jum’at, Dua Hari Raya, Istisqaa`
(minta hujan), dan pada dua raka’at pertama shalat Maghrib dan ‘Isya`

16. Merendahkan (sirr) bacaan pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, pada raka’at ketiga shalat Maghrib
dan dua rakaat terakhir shalat ‘Isya`

17. Membaca lebih dari surat Al-Fatihah.

Demikian juga kita harus memperhatikan apa-apa yang tersebut dalam riwayat tentang sunnah-
sunnah selain yang telah kami sebutkan. Misalnya, tambahan dari ucapan Rabbanaa walakal
hamdu setelah bangkit dari ruku’ untuk imam, makmum, dan yang shalat sendiri, karena hal itu
termasuk sunnah. Meletakkan kedua tangan dengan jari-jari terbuka (tidak rapat) pada dua lulut
ketika ruku’ juga termasuk sunnah.

Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat

Hal-hal yang membatalkan shalat adalah:

1. Yakin telah berhadats (batal wudhu’).

2. Meninggalkan sutu rukun dari rukun-rukun shalat (seperti: ruku’, sujud, tuma’ninah, dan lain-
lain) atau satu syarat dari syarat-syarat shalat (seperti: wudhu, menutup aurat, menghadap
kiblat, dan lainnya) dengan sengaja tanpa udzur (halangan/alasan).
3. Makan atau minum dengan sengaja.

4. Sengaja berbicara bukan karena mashlahat shalat.

5. Tertawa dengan bersuara.

6. Lewatnya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam, di hadapan orang yang shalat pada
tempat sujudnya

Tata cara pelaksanaan salat ‘idain adalah sebagai berikut:

1.Dilaksanakan secara berjamaah.

Didahului azan dan iqamah Dalam hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Tidak ada azan
bagi sembahyang hari Raya Fitrah (Aidilfitri) dan sembahyang Hari Raya Korban (Aidiladha). Juga
tiada iqamat.” (H.R. al-Bukhari/907). Dalam pelaksanaan salat ‘idain tidak disunahkan didahului
dengan azan dan iqamah, yang disunahkan adalah salah seorang yang biasanya disebut bilal
menyerukan lafaz; “Mari kita melaksanakan salat.”

2.Jumlah rakaatnya adalah 2 rakaat.

takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan takbir lima kali pada rakaat kedua.

3. Imam mengeraskan bacaan (jahran)

4.Setelah salat id dilanjutkan dengan khutbah

Takbir tujuh kali dalam rakaat yang pertama tersebut tidak termasu takbiratul ihram. Demikian
juga takbir lima kali dalam rakaat yang kedua tidak termasuk takbir intidal saat berdiri dari
sujud. Takbir tujuh kali pada rakaat yang pertama dibaca setelah membaca doa iftitah,
sedangkan takbir lima kali dalam rakaat kedua dibaca ketika sudah berdiri sempurna pada
rakaat yang kedua sebelum imam membaca surah al-Fatihah. Di sela-sela takbir tujuh kali pada
rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua

Perbedaan pandangan ulama tentang pelaksanaan salat Jumat

1. Dikerjakan pada waktu Dzuhur

Jumhur ulama mazhab berpendapat bahwa shalat jum’at hanya sah bila dikerjakan pada waktu
Dzuhur dan tidak sah dikerjakan pada waktu lainnya.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat sahabat Anas ra. Ia berkata, “Rasulullah Saw biasa shalat
Jum’at setelah matahari condong.” (HR. Bukhari).

Pendapat inilah yang diikuti mayoritas ulama, tidak ada yang menyelisihi kecuali sebagian
pengikut mazhab Hanbali.

imam Ahmad, bahwa shalat jum’at boleh dikerjakan pada waktu matahari tergelincir, tetapi
awal waktunya adalah waktu bolehnya dilaksanakan shalat ‘id. Pendapat ini disesuaikan dengan
perkataan Abdullah bin saidan.

2. Diawali Khutbah Jum’at

Ulama bersepakat bahwa shalat jum’at harus didahului oleh khutbah jum’at, shalat jum’at tidak
shah tanpanya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt : “Maka bersegeralah kamu
mengingat Allah.” (Al Jumu’ah:9).

Makna ‘mengingat’ pada ayat diatas adalah khutbah, karena Nabi Saw tidak pernah
mengerjakan shalat jum’at kecuali berkhutbah sebelumnya.

3. Berjama’ah

Ulama telah bersepakat, bahwa shalat jum’at wajib dikerjakan secara berjama’ah. Tidak ada
perbedaan pandangan dalam hal ini, namun, mereka berbeda pendapat tentang batas minimal
jumlah jama’ah yang menghadirinya, berikut ini pendapat ulama mazhab mengenai hal ini:

a. Al-Hanafiyah

Pendapat yang paling shahih dari mazhab ini mengatakan bahwa jum’at sudah mencukupi
dikerjakan dengan tiga orang selain imam.

Dalil yang digunakan yaitu bahwa tidak ada nash dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan
jumlah tertentu, tetapi hanya diisyaratkan dalam bentuk jama’. Dan dalam kaidah bahasa arab,
jumlah minimal untuk bisa disebut jama’ adalah tiga orang, bahkan dua orang (isim tasniyah)
sudah masuk kategori jama’.

ِ‫اذ يوُيذنروُا اولبيوييع يذلذنكوم يخويرْر للنكوم ذإنِ نكنتنوم تيوعلِينموُين‬


‫صلَّذة ذمن ييووُذم اولنجنميعذة يفاَوسيعووُا إذيلىَ ذذوكذر ل‬
‫يياَ أييَييهاَ اللذذيين آيمننوُا إذيذا ننوُذديِ لذلِ ل‬

“Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka
bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu`ah : 9)

Kata kalian pada ayat diatas menurut mazhab hanafi tidak menunjukkan pada jumlah tertentu,
tetapi hanya bermakna jama’.
b. Al-Malikiyah

Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu baru sah bila dilakukan oleh minimal
12 orang untuk shalat dan khutbah.

Pendapat ini didasarkan pada riwayat yang disebutkan dalam surat Al-Jumu’ah yaitu peristiwa
bubarnya sebagian peserta shalat jumat karena datangnya rombongan kafilah dagang yang baru
pulang berniaga. Serta merta mereka meninggalkan Rasulullah Saw yang saat itu sedang
berkhutbah sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja.
‫اذ يخويرْر ممين اللِلوهذوُ يوُذمين التميجاَيرذة يوُ ل‬
‫ان يخوينر اللراذزذقيين‬ ‫ك يقاَئذةماَ قنول يماَ ذعنيد ل‬ َ‫يوُإذيذا يرأيووُا تذيجاَيرةة أيووُ ليوهةوُا انفي ي‬
‫ضوُا إذليوييهاَ يوُتييرنكوُ ي‬

“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri. Katakanlah: `Apa yang di sisi Allah lebih
baik daripada permainan dan perniagaan`, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.” ( Al-Jumu`ah :
11)

Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih tetap berada dalam shaf shalat
Jum`at itu itu dianggap sebagai syarat minimal jumlah peserta shalat Jumat.

c. Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah

Kedua mazhab ini menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh
minimal 40 orang yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.

Dalil yang digunakan adalah sebuah hadits dari Ibnu Mas`ud ra. bahwa Rasulullah Saw shalat
Jum`at di Madinah dengan jumlah jama’ah 40 orang atau lebih. (HR. Ad-Daruquthuny).

4. Tidak boleh ada banyak pelaksanaan shalat jum’at disuatu daerah tanpa sebab tertentu

Diantara syarat sahnya jumat, mazhab Syafi’i menetapkan tidak bolehnya ada pelaksanaan
shalat jum’at yang berbilang di suatu tempat, kecuali jika daerah itu sangat besar dan sulit untuk
mengumpulkan jamaah di satu tempat.

Adapun dalil dari syarat ini, yaitu Rasulullah SAW, para sahabat, Khulafa Rasyidin, dan para
tabi’in tidak pernah melakukan shalat jumat kecuali satu shalat jumat saja dalam satu daerah.
Karena, dengan membatasi pada satu pelaksanaan saja diperkirakan akan mencapai tujuan
utama, yaitu menampakan simbol-simbol persatuan dan persamaan opini. Demikian pula hal
yang sama ditetapkan oleh kalangan mazhab Hanbali.
Demikian pula dengan mazhab Maliki, mereka menetapkan, bila shalat jumat dikerjakan
berbilang, maka masjid yang mengerjakan shalat jumat yang pertama itulah yang sah,
sedangkan yang lain diwajibkan shalat dzuhur bagi semua jamaah.

Intinya, pendapat mayoritas ulama (mahab Maliki yang termasyhur, lalu mazhab Syafi’i dan
Hambali), melarang pelaksanaan shalat jumat secara berbilang kecuali kedaruratan.

Adapun mazhab Hanafi, memiliki pendapat dan fatwanya sendiri mereka mengatakan, boleh
melaksanakan shalat jumat lebih dari satu shalat jumat dalam sebuah kota dibeberapa tempat
untuk menghindari kesulitan yang terjadi. Karena, dengan mengharuskan shalat jumat bersatu
disatu tempat jelas akan menyulitkan, disebabkan jauhnya jarak bagi sebagian besar jamaahnya.
Kemudian tidak ditemukan dalil-dalil yang melarang untuk membagi-bagi pelaksanaan shalat
jumat dan tidak pula disebutkan kondisi yang mendesak atau alasan kebutuhan yang dapat
mencegah terjadinya pelaksanaan salat jumat secara berbilang, apalagi dikota-kota besar.

Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Kesimpulannya, suatu daerah/ kota yang sangat
luas, jika menyulitkan penduduknya untuk berkumpul di satu masjid, dan itu boleh jadi karena
berjauhannya tempat tinggal mereka atau sempitnya masjid (yang ada) –seperti di Baghdad,
Ashbahan, dan kota lain yang luas– maka boleh shalat Jumat didirikan di beberapa masjid kalau
dibutuhkan.”

Al-Lajnah Ad-Daimah pernah ditanya tentang masalah ini, kemudian Al-Lajnah menjawab :
“Apabila keadaannya lokasi yang jauh, maka tidak berkewajiban shalat jum’at, dan kewajibannya
hanyalah shalat dhuhur, akan tetapi yang lebih baik adalah berusaha mencari pekerjaan yang
dekat dengan bangunan-bangunan supaya dekat dengan masjid, dan bisa menunaikan shalat
jumat dan jama’ah bersama kaum muslimin di masjid-masjid, mendengarkan nasehat-nasehat,
serta mempelajari perkara-perkara agama yang kamu butuhkan.”

Dalam pandangan ulama kontemporer, diantaranya Syaikh Wahbah Zuhaili, Yusuf al Qaradhawi,
dan sebagian besar ulama Azhar, pendapat terakhir dari Hanafi inilah yang dipandang paling
kuat.

5. Izin Penguasa
Mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa shalat jum’at yang ditegakkan disuatu tempat harus atas
izin penguasa. Hal ini karena pelaksanaan shalat jumat itu dihadiri kaum muslimin dalam jumlah
besar, yang mana masing-masing tentu memiliki pendapat-pendapat yang saling berbeda satu
sama lain, dan hal ini hanya bisa disatukan dengan adanya keputusan penguasa.

Tetapi Jumhur ulama mazhab menolak pendapat ini, karena dalam riwayat telah jelas
disebutkan, Ali bin Abi Thalib ra. Pernah mengimami shalat sedangkan khalifah Utsman bin
Affan ketika itu masih ada (dalam kondisi terkepung).

Dan hal tersebut dibenarkan oleh sayidina Utsman.

6. Perkampungan

Pendapat mazhab Hanafi, juga pendapat Atha’, Ibnul Mubarak, dan lainnya, menyatakan boleh
didirikan shalat Jumat lebih dari satu masjid walaupun dalam satu daerah/ kota, jika memang
dibutuhkan, seperti karena luasnya daerah tersebut (sehingga manusia kesulitan menghadiri
shalat Jumat di satu tempat), jauhnya masjid dari rumah-rumah mereka, sempitnya masjid, atau
takut fitnah.

Sedangkan menurut Maliki, shalat jum’at tetap wajib atas penduduk dusun, dan dikerjakan di
masjid jami’ tempat tersebut. Namun, tidak boleh dikerjakan ditengah penduduk yang
bangunan rumahnya dari kain, karena kemungkinan penduduknya suka melakukan perjalanan.

Sedangkan mazhab syafi’i menetapkan masyarakat dusun tetap wajib jum’at sedangkan
masyarakat yang berada di padang pasir (tempat kerja) meskipun memiliki bangunan dari kayu,
tiada kewajiban jum’at. Pendapat yang serupa juga di tetapkan oleh Hanabilah.

Intinya, shalat jumat menurut mayoritas ulama harus ditegakkan di kota atau sebuah kampung.

D. Waktu Shalat Jum’at

Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu shalat Jum’at sama dengan waktu shalat zhuhur,
yaitu dari tergelincirnya matahari hingga masuknya waktu ashar. Hal ini berdasarkan hadits Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at ketika
matahari telah condong (ke barat). (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 904).

Disebutkan juga dalam hadits Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dahulu
kami shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika matahari telah
tergelincir.” (Shahih Muslim, “Kitab al-Jumu’ah”).

Demikian pula diriwayatkan dari Umar, Ali, an-Nu’man bin Basyir, dan ‘Amr bin Huraits
radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka shalat Jum’at setelah tergelincirnya matahari. (Fathul Bari
2/387).
Namun, ada pendapat yang menyatakan bolehnya shalat Jum’at sebelum tergelincirnya
matahari, seperti pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah dan selainnya. Landasan pendapat ini
adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

‫س‬ ‫صملِيِّ اولنجنميعةي ثنلم نيوذهي ن‬


‫ب إيلىَ ذجيماَلذيناَ فيننذروينحيهاَ ذحويين تينزووُنل اللشوم ن‬ ‫يكاَينِ يرنسووُنل اذ صل ا علِيه وُسلِم ين ي‬

“Adalah Rasulullah shalat Jum’at kemudian kami pergi menuju unta-unta (pembawa air) kami,
lalu kami mengistirahatkannya ketika tergelincirnya matahari.” (HR. Muslim dalam “Kitabul
Jumu’ah”).

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at sebelum
tergelincirnya matahari, karena para sahabat mengistirahatkan unta-unta pembawa air mereka
setelah Jum’atan di saat matahari tergelincir. Dengan demikian, tentu pelaksanaan shalat Jum’at
terjadi sebelumnya.

Telah dinukil dari sebagian salaf (yakni sahabat Nabi) tentang pelaksanaan shalat Jum’at
sebelum tergelincirnya matahari.

Di antaranya adalah atsar Bilal al-‘Absi bahwa ‘Ammar (bin Yasir) radhiyallahu ‘anhuma shalat
Jum’at mengimami manusia. Para jamaah waktu itu (pendapatnya) menjadi dua kelompok.
Sekelompok mengatakan (bahwa shalatnya) sesudah matahari tergelincir dan sekelompok yang
lain mengatakan sebelum tergelincir.

Demikian pula atsar dari Abu Razin. Dia berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Ali (bin
Abi Thalib). Terkadang kami telah mendapati adanya bayangan dan terkadang kami belum
mendapatinya.” (Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan dinyatakan sahih oleh
al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25)

Tentang hadits-hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at setelah
tergelincirnya matahari, pendapat ini menjawab bahwa hal itu tidak menafikan bolehnya shalat
Jum’at sebelumnya. (Nailul Authar 3/310).

Kesimpulannya, shalat Jum’at sebelum/menjelang tergelincirnya matahari itu boleh


sebagaimana jika dilakukan setelah tergelincirnya matahari. Pendapat ini pula yang dikuatkan
oleh asy-Syaikh al-Albani (seperti dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25).

E. Ancaman bagi Orang yang Meninggalkan Jum’atan

Melaksanakan shalat Jum’at adalah syiar orang-orang saleh, sedangkan meninggalkannya adalah
pertanda kefasikan dan kemunafikan yang mengantarkan pada kebinasaan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ت أيووُ ليييوختيذملن ان يعيلِىَ قنلِنووُبذذهوم ثنلم لييينكووُننلن ذمين اوليغاَفذلِذويين‬


‫ليييونتيذهييلن أيوقيوُارْم يعون يوُودذعذهنم اولنجنميعاَ ذ‬
“Hendaknya orang-orang berhenti meninggalkan Jum’atan, atau (kalau tidak) Allah Subhanahu
wata’ala akan menutup hati-hati mereka, kemudian tentu mereka akan menjadi orang-orang
yang lalai.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, “Kitabul Jumu’ah”, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhuma)

Apabila seseorang ditutup hatinya, dia akan lalai melakukan amalan yang bermanfaat dan lalai
meninggalkan hal yang memudaratkan (membahayakan).

Hadits ini termasuk ancaman yang keras terhadap orang yang meninggalkan dan meremehkan
Jum’atan. Juga menunjukkan bahwa meninggalkannya adalah faktor utama seseorang akan
diabaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala. (lihat Subulus Salam 2/45)

Ancaman tersebut terarah kepada yang meninggalkan Jum’atan tanpa uzur. Al-Imam ath-
Thabarani rahimahullah meriwayatkandalam al-Mu’jam al-Kabir dari Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya),
“Barangsiapa meninggalkan 3 Jum’atan tanpa uzur, dia ditulis sebagai golongan munafikin.”
(Shahih at-Targhib no. 728)

Anda mungkin juga menyukai