Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik (SN) adalah penyakit ginjal kronik paling sering pada
masa anak.1 Insiden kasus ini di Amerika Serikat dan Inggris berkisar 2- 4 kasus
baru per 100.000 anak per tahun. Sedangkan di negara berkembang seperti
Indonesia diperkirakan berkisar 6 kasus per tahun tiap 100.000 anak berusia
kurang dari 14 tahun dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah
2:1.2
Sindrom nefrotik idiopatik ditandai dengan manifestasi klinis berupa
proteinuria masif, hipoalbuminemia berat, edema, dan hiperkolesterolemia.
Sesuai dengan International Study on Kidney Disease in Children (ISKDC),
kortikosteroid masih merupakan pilihan pertama untuk terapi sindrom nefrotik.3
Jenis kortikosteroid yang digunakan pada anak dengan sindrom nefrotik adalah
prednison dengan dosis penuh yaitu 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu. Sindrom
nefrotik berdasarkan respon terapinya terbagi menjadi sindrom nefrotik sensitif
steroid dan sindrom nefrotik resisten steroid 11.
Sindrom nefrotik resisten steroid tidak terjadi remisi setelah pemberian
dosis penuh 2mg/kgBB/hari selama 4 minggu. Sindrom nefrotik dengan kelainan
minim dapat terjadi remisi, relaps jarang, dan relaps sering. Apabila relaps
sering, pemberian kortikosteroid dosis alternate menjadi 8-21 minggu.4 Efek
dari terapi kortikosteroid ini dapat timbul akibat pemberian yang terus menerus
terutama dalam dosis yang besar 12
Beberapa efek samping kortikosteroid yang sering terjadi seperti diabetes
melitus, hipertensi, gangguan distribusi lemak, ulkus peptikum, nekrosis tulang,
miopati, gangguan psikiatrik, dan katarak.6 Prevalensi katarak pada anak di
dunia sekitar 15 per 10.000 kasus.7 Pada beberapa penelitian, sebesar 10 %
penyebab katarak didapat pada anak karena penggunaan terapi kortikosteroid.8
Di negara berkembang kasus kebutaan anak akibat katarak dapat mencapai 1- 4

1
per 10.000 kasus. Oleh sebab itu, World Health Organization (WHO)
mencanangkan program Vision 2020 untuk mengurangi berbagai penyebab
kebutaan pada anak 13

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


 Nama : I Nengah Bisal Antara
 Usia : 18 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Agama : Hindu
 Alamat : Kuta Undisa
 Status perkawinan : belum kawin
 Pekerjaan :-
 MRS : 28-2-19
 No.RM : 2839.73

2.2 Anamnesis
 Keluhan utama: Bengkak seluruh tubuh
 Riwayat Penyakit Sekarang:
 Riwayat Penyakit Dahulu: Asma (-), Penyakit Jantung (-), Diabetes Melitus (-),
Hipertensi (+), penyakit yang sama atau sindrom nefrotik (+)
 Riwayat Penyakit Keluarga: Asma (-), Penyakit Jantung (-), Diabetes Melitus
(-), Hipertensi (-), dan tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit
yang sama dengan pasien.
 Riwayat Pengobatan: -
 Riwayat Gizi:
Pasien memiliki nafsu makan yang baik, frekuensi makan 3 kalisehari dengan
jumlah takaran nasi dan lauk yang tidak terlalu banyak.
 Riwayat Sosial:
Merokok (-), Minum Alkohol (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum :Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
 Tanda vital :
- Tekanan darah : 120/70mmHg
- Nadi : 76x/menit,reguler, isi cukup, teraba kuat
- Pernafasan : 20 x/menit,kedalaman cukup, nafas cuping hidung (-)
- Suhu :36,3 °C, suhu aksila
- Berat badan : 60 kg

3
- Tinggi badan : 158 cm
- IMT : 24,0 kg/m2 kategori overweight
- CMCK :200 ml – 300 ml
- SpO2 : 98%
Status Generalis dan Lokalis
 Kulit :Elastisitas kulit menurun, terdapat bercak kemerahan pada seluruh
tubuh
 Kepala : Normocephali, alopecia (-), rambut putih dan tidak mudah
dicabut
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+),
pupil bulat isokor kiri dan kanan, edema palpebra (+/+)
 Telinga : Normotia, serumen (-/-), discharge (-/-)
 Hidung : Discharge(-/-), deformitas (-/-), deviasi septum nasi (-/-), nafas
cuping hidung (-), mukosa hiperemis (-/-)
 Mulut : Mukosa pucat (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil dan faring
hiperemis (-), mukosa bibir kering, sianosis perioral (-)

 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid


(-), JVP 5+1 cmH2O, deviasi trakea (-)
 Thoraks Anterior
Inspeksi

Statis : simetris, bentuk normochest


Dinamis : simetris, tidaktampak ketertinggalan gerak dinding dada
kanan dan kiri,pernapasan thorakoabdominal, retraksi
interkostal (-/-)
Palpasi

Nyeri tekan (-)

Vokal fremitus

Lap. paru atas : Vokal fremitus kanan = Vokal fremitus kiri


Lap. paru tengah : Vokal fremitus kanan = Vokal fremitus kiri
Lap. paru bawah : Vokal fremitus kanan = Vokal fremitus kiri
Perkusi
Hemitoraks Dextra Hemithoraks Sinistra
Lap. paru atas Sonor Sonor

4
Lap. paru tengah Sonor Sonor
Lap. paru bawah Sonor Sonor

Auskultasi
Hemitoraks Dextra Hemithoraks Sinistra
Lap. paru atas Vesikuler, rh (-), wh (-) Vesikuler, rh (-), wh (-)
Lap. paru tengah Vesikuler, rh (-), wh (-) Vesikuler, rh (-), wh (-)
Lap. paru bawah Vesikuler, rh (-), wh (-) Vesikuler, rh (-), wh (-)

 Thoraks Posterior
Inspeksi
Statis : simetris, bentuk normochest
Dinamis :simetris, jejas (-)

Palpasi

Nyeri tekan (-)

Vokal fremitus

Lap. paru atas : Vokal fremitus kanan = Vokal fremitus kiri


Lap. paru tengah : Vokal fremitus kanan = Vokal fremitus kiri
Lap. paru bawah : Vokal fremitus kanan = Vokal fremitus kiri
Perkusi
Hemitoraks Dextra Hemithoraks Sinistra
Lap. paru atas Sonor Sonor
Lap. paru tengah Sonor Sonor
Lap. paru bawah Sonor Sonor

Auskultasi
Hemitoraks Dextra Hemithoraks Sinistra
Lap. paru atas Vesikuler, rh (-), wh (-) Vesikuler, rh (-), wh (-)
Lap. paru tengah Vesikuler, rh (-), wh (-) Vesikuler, rh (-), wh (-)
Lap. paru bawah Vesikuler, rh (-), wh (-) Vesikuler, rh (-), wh (-)

5
 Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi :iktus kordis teraba di ICS V linea Midclavicularis sinistra
melebar (-), thrill (-)
Perkusi : batas kanan : ICS 4 Linea Paraternalis dekstra
batas kiri : ICS 4 Linea midklavikula sinistra
batas pinggang : ICS 3 Linea Parasternalis sinistra
batas atas : ICS 2 Linea Sternalis sinistra
Auskultasi: S1S2 tunggal reguler, murmur sistolik (-),gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : distensi (+), asites (+), caput medusa (-), tidak tampak adanya
massa, tidak tampak adanya tanda-tanda peradangan.
Auskultasi : bising usus (+) sedikit melemah 7 x/menit

Perkusi : timpani (+), pekak di regio kanan atas

Palpasi :nyeri tekan regio epigastrium (+), hepatomegali (-),

splenomegali(-), ballotement ginjal (-)

 Ekstremitas :akral hangat, edema (+) kedua tungkai bawah, CRT <2 detik.
2.4.Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 27 februari 2019)


Hematologi Nilai Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 11,6 109/l 3,5–10,0 High
LYM% 23,9 - 25-40 Low
LYM# 2,80 % 0,9-5.2 Normal
MXD# 1,30 % 2-8 Low
9
MXD% 1,30 10 /l 0,1 – 1,5 Normal
12
RBC 6,06 10 /l 4–6 Normal
HGB 16,8 g/dl 14-18 High
HCT 49,4 % 42-52 Normal
MCV 81,5 Fl 88-99 Normal
MCH 27,7 Pg 31-37 Normal
MCHC 34,0 g/dl 27-31 High
RDW-CV 13,1 % 11,5 – 14,5 Normal

6
PLT 347 109/l 100 – 400 Normal
MPV 10,0 fL 7,7 – 11,0 Normal
PDW 12,1 fL 0,1 – 99,9 Normal
PCT 0,22 % 0,01 – 9,99 Normal
P–LCR 25,4 % 15-25 High

Foto X-ray BOF

Hasil pemeriksaan foto polos BOF

- distribusi udara sampai distal colon, tidak tampak dilatasi colon, tidak tampak
dilatasi loop usus. Tidak tampak gambarn hearing bone

- tidak tampak lesi radioopaq di lintasan traktus urinarius

- preperitoneal fat line dan psoas line dalam batas normal

- si joint,hipjoint, yang tampak kesan dalam batas normal

- tulang-tulang yang tampak intak

Kesan

- Tidak tampak dilatasi kolon/usus halus


- Tidak tampak ASK radioopak
2.5. Diagnosis Kerja

1. Sindrom nefrotik

2. Asites dan efusi pleura bilateral

2.6. Penatalaksanaan

Terapi Parenteral:
- IVFD RL D5 %: Aminofluid 28 tpm
- Drip albumin 20/100 cc (iv)
Terapi Injeksi:
- Cefotaxim 3x1 gr iv

7
- Methylprednison 2x67,5 j (iv)
- Enomeprazol 2x 40 g iv
- Ondancentron 3x4 gr iv

2.7. Rencana Kerja

- Pemeriksaan elektrolit
- Pemeriksaan kimia klinik (GDS, SC, Urea UV)
- Planning USG abdomen
2.8. Follow Up
No
Hari/Tanggal Pemeriksaan Planning
.
1. Selasa, 28 S:bengkak seluruh tubuh, lemes (+), nyeri TerapiParenteral:
Februari 2019 perut(+) mual (+), muntah (-) - IVFD
(R. cempaka ) RL:DS
O: :Aminofluid 2
Keadaan umum : Tampak sakit b tpm
sedang - Inj. Cefotaxim
Kesadaran : CM, GCS E4V5M6 3x1 gr iv
Tanda-tanda Vital - Inj. Myethil
- Tekanan darah :120/80 mmHg prednisolon
- Nadi : 80x/menit 2x62,5 g iv
- Frekuensi nafas : 20x/menit - Inj.
- Suhu : 36ºC Ondancentron
- SpO2 : 97% 3x4 mg iv
- BB : 60 kg - Drip albumin
- TB : 158 cm 20% 100 cc iv
- IMT : 24,0 kg/m2 - Ezoneperazole
Pemeriksaan fisik: 2x4 g iv
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), reflek pupil Rencana:
(+/+), pupil isokor kanan-kiri - Pertahankan

8
THT : bibir sianosis (-),faring hiperemis(-), NGT U/T
tonsil T1/T1 distensi (-)
Leher : deviasi trakea (-), PKGB (-), JVP - Mulai Cek
5+1 cmH2O CMCK
Thorax - Puasa
Pulmo : bentuk dinding dada normal, suara - Lipid profil
nafas vesikuler(+/+), rhonki(-/-), - Bun/sc
wheezing (-/-) - Usg abdomen
Cor :S1S2 tunggal regular, murmur (-)
Abd :distensi (+), bising usus (+) normal ,
nyeri tekan(-), hepar dan lien tidak
teraba, shifting dullnes (+)
Ekst: akral hangat, edema tungkai bawah
(+/+),CRT <2 detik,
A: Sindrom nefrotik

No Hari/Tanggal Pemeriksaan Planning


.
2. Jum’at, 01 S: - IVFD
maret 2019 Bengkak (+) berkurang, nyeri perut (-), RL:DS
(R. cempaka ) flatus (+),BAB (-) mual muntah (-) :Aminofluid 2
O: b tpm
Keadaan umum : Tampak sakit
- Inj. Cefotaxim
sedang
3x1 gr iv
Kesadaran : CM, GCS E4V5M6
Tanda-tanda Vital - Inj. Myethil

- Tekanan darah : 120/80 mmHg prednisolon

- Nadi : 78x/menit 2x62,5 g iv

- Frekuensi nafas :20x/menit - Inj.


- Suhu : 36ºC Ondancentron

9
- SpO2: 98% 3x4 mg iv
- CMCK : 200 ml – 300 ml
- Drip albumin
- BB : 60kg
20% 100 cc iv
- TB : 158 cm
- Ezoneperazole
- IMT : 28 kg/m2 2x4 g iv
Pemeriksaan fisik:
Rencana:
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), reflek pupil
- Pertahankan
(+/+), pupil isokor kanan-kiri NGT U/T
distensi (-)
THT : bibir sianosis (-),faring hiperemis(-),
- Puasa
tonsil T1/T1

Leher : deviasi trakea (-), PKGB (-), JVP


5+1 cmH2O

Thorax

Pulmo : bentuk dinding dada normal, suara

nafas vesikuler(+/+), rhonki(-/-),

wheezing (-/-)

Cor :S1S2 tunggal regular, murmur (-)

Abd :distensi (+), bising usus (+) normal ,

nyeri tekan(-), hepar dan lien tidak

teraba, shifting dullnes (+)

Ekst: akral hangat, edema tungkai bawah

(+/+),CRT <2 detik,

10
A: Sindrom nefrotik

Asites dan Efusi pleura bilateral

No
Hari/Tanggal Pemeriksaan Planning
.
3. Sabtu,2 maret S: Bengkak (+) minimal, nyeri perut (-), - IVFD RL:DS
2019 NGT keruh :Aminofluid 2 b
(R.Cempaka) O: tpm
Keadaan umum :Tampak sakit sedang - Inj. Cefotaxim
Kesadaran : CM, GCS E4V5M6 3x1 gr iv
Tanda-tanda Vital - Inj. Myethil
- Tekanan darah : 140/90 mmHg prednisolon
- Nadi : 80x/menit 2x62,5 g iv
- Frekuensi nafas :20x/menit - Inj. Ondancentron
- Suhu : 36ºC 3x4 mg iv
- SpO2: 98% - Drip albumin
- CMCK : 200 ml – 300 ml 20% 100 cc iv
- BB : 60kg - Ezoneperazole
- TB : 158 cm 2x4 g iv
- IMT : 28 kg/m2 - Furoseid 20-0-0
Pemeriksaan fisik: mg iv
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), reflek pupil - Sprinolakton 50
(+/+), pupil isokor kanan-kiri mg -0-0 p.o
THT : bibir sianosis (-),faring hiperemis(-), - Simvastatin 0-0-
tonsil T1/T1 20 mg
Leher : deviasi trakea (-), PKGB (-), JVP Rencana:
5+1 cmH2O - Pertahankan NGT
Thorax U/T distensi (-)
Pulmo : bentuk dinding dada normal, suara - Puasa

11
nafas vesikuler(+/+), rhonki(-/-), - Usg abdomen
wheezing (-/-) tunggu hasil
Cor :S1S2 tunggal regular, murmur (-) - Cek albumin
Abd :distensi (+), bising usus (+) normal , besok
nyeri tekan(-), hepar dan lien tidak
teraba, shifting dullnes (+)
Ekst: akral hangat, edema tungkai bawah
(+/+),CRT <2 detik,
A: Sindrom nefrotik

3. Senin,4 maret S: Bengkak (+) minimal, nyeri perut (-), TerapiParenteral:


2019 mual(+), muntah (-) NGT keruh - IVFD RL:DS
(Cempaka) O: :Aminofluid 2 b
Keadaan umum : Tampak sakit sedang tpm
Kesadaran : CM, GCS E4V5M6 - Inj. Cefotaxim
Tanda-tanda Vital 3x1 gr iv
- Tekanan darah : 120/80 mmHg - Inj. Myethil
- Nadi : 78x/menit prednisolon
- Frekuensi nafas :20x/menit 2x62,5 g iv
- Suhu : 36ºC - Inj.
- SpO2: 98% Ondancentron
- CMCK : 200 ml – 300 ml 3x4 mg iv
- BB : 60kg - Drip albumin
- TB : 158 cm 20% 100 cc iv
- IMT : 28 kg/m2 - Ezoneperazole
Pemeriksaan fisik: 2x4 g iv
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), reflek pupil Rencana:
(+/+), pupil isokor kanan-kiri - Pertahankan
THT : bibir sianosis (-),faring hiperemis(-), NGT U/T
tonsil T1/T1 distensi (-)

12
Leher : deviasi trakea (-), PKGB (-), JVP - Puasa
5+1 cmH2O - Usg abdomen
Thorax tunggu hasil
Pulmo : bentuk dinding dada normal, suara - Cek albumin
- Cek elektrolit
nafas vesikuler(+/+), rhonki(-/-),
wheezing (-/-)
Cor :S1S2 tunggal regular, murmur (-)
Abd :distensi (+), bising usus (+) normal ,
nyeri tekan(-), hepar dan lien tidak
teraba, shifting dullnes (+)
Ekst: akral hangat, edema tungkai bawah
(+/+),CRT <2 detik,
A: Sindrom nefrotik
Asites dan Efusi pleura bilateral

Urinalisa 03/03/2019

Hasil Nilai Rujukan


URINALISA
Urin Lengkap
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Kimia Urin
Berat jenis 1.015 1.015 - 1.025
pH 6,5 4,5 – 8
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah samar Negatif Negatif
Protein ++/Pos Negatif
Urobilinogen Negatife Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Gula reduksi Negatif Negatif
Sedimen

13
Leukosit 0-2 0-4
Eritrosit 0-1 0-2
Epitel Positif Negative
Jamur Negative Negative
Bakteria Positif/+ Negatif

Pemeriksaan Elektrolit (tanggal 3 maret 2019)

No. Parameter Hasil Nilai Rujukan


1. K 4,12 3,5 – 5,5 mmol/L
2. Na 136,2 136– 145 mmol/L
3. Cl 107,0 96 – 108 mmol/L
4. nCa 1,34 1,05 – 1,35 mmol/L
5. TCa 2,69 2,10 – 2,70mmol/L

Pemeriksaan Kimia Klinik (tanggal 3 maret 2019)

Referensi Rentang Keteranga


Pemeriksaan Hasil Satuan
Nilai n
Glukosa 96 mg/dL 75 – 115 Normal
CHOL HDL 36,4 mg/dl 40-50 Low
DISPECT
CHOLESTEROL 300 mg/dl 0-200 High
Creatinine 12,66 mg/dL 0,6 – 1,1 High

14
TRIGLISERIOL 171 mg/dl 0-150 High
S
CHOL LDL 261,4 mg/dl 100-129 High
Urea UV 201 mg/Dl 10 – 50 High
Albumin 1,94 mg/dl 3,2-5,3 Low

Hasil pemeriksaan USG abdomen

- Hepar : ukuran, letak, bentuk dan echo parenkim kesan normal permukaan
halus tidak tampak dilatasi vascular, tidak tampak dilatasi duktus bilier
intra dan ekstrahepatik
- GB : dinding tipis, tidak tampak echo batu / massa
- Lien : ukuran bentuk, letak, permukaan dan echo parenkim dalam batas
normal tidak tampak SOL
- Pancreas :letak, bentuk, ukuran dan echo kesan normal
- Ginjal kanan : ukuran, letak, bentuk, kesan normal dan echo parenkim
sedikit meningkat. Tidak tampak dilatasi pcs, tidak tampak echo batu /
massa
- Ginjal kiri : ukuran, letak, bentuk, kesan normal dan echo parenkim
sedikit meningkat. Tidak tampak dilatasi pcs, tidak tampak echo batu /
massa
- VU :dinding tipis, tidak tampak echo batu / massa
- Tidak tampak gambaran dilatasi colon/usus halus, peristaltic positif dan
sedikit melemah
- Tampak cairan bebas dalam cavum peritoneum dan dalam cavum pleura
bilateral
Kesan :
- Ukuran kedua ginjal normal dengan echo insufisiensi parenkim
- Asites dan efusi pleura bilateral
- Tidak tampak gambaran dilatasi colon/usus halus. Peristaltic positif sedikit
melemah
- Organ abdomen yang lain yang terscan terkesan normal
Selasa, 5 maret S: Bengkak (-), nyeri perut (-), NGT jernih BPL
-Cefixime 2x100
2019 O:
-Metylprednisolon
(Cempaka) Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2x8

15
Kesadaran : CM, GCS E4V5M6 -OMZ 2x20 gr tab
-vip albumin 3x2
Tanda-tanda Vital
gr
- Tekanan darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 78x/menit
- Frekuensi nafas :20x/menit
- Suhu : 36ºC
- SpO2: 98%
- CMCK : 200 ml – 300 ml
- BB : 60kg
- TB : 158 cm
- IMT : 28 kg/m2
Pemeriksaan fisik:
Mata : anemis (-/-), ikterik (-/-), reflek pupil
(+/+), pupil isokor kanan-kiri
THT : bibir sianosis (-),faring hiperemis(-),
tonsil T1/T1
Leher : deviasi trakea (-), PKGB (-), JVP 5+1
cmH2O
Thorax
Pulmo : bentuk dinding dada normal, suara
nafas vesikuler(+/+), rhonki(-/-),
wheezing (-/-)
Cor :S1S2 tunggal regular, murmur (-)
Abd :distensi (+), bising usus (+) normal ,
nyeri tekan(-), hepar dan lien tidak
teraba, shifting dullnes (+)
Ekst: akral hangat, edema tungkai bawah
(-/-),CRT <2 detik,
A: Sindrom nefrotik
Asites dan Efusi pleura bilateral

16
2.9. Resume
pasien dating ke RSU bangli diantarkan oleh keluarganya dengan keluhan
bengkak pada kaki, perut dan wajah yang dialami sejak kurang lebih 3 minggu
yang lalu. Bengkak pada kemaluannya tidak ada. Demam tidak ada. Mual (+),
muntah (+). Nyeri perut ada dan hilang timbul sejak tadi pagi. Pasien mengaku
mempunyai pola makan yang tidak teratur . pasien juga mengaku bias BAK.
BAK juga berwarna kuning pekat, tidak ada darah pada saat BAK. Flatus (+)
dan BAB terakhir tadi pagi. Pasien pernah di rawat di salah satu RS dengan
keluhan sindrom nefrotik.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi sindrom nefrotik

Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg
berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga
kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang
dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia

3.2 Epidemiologi Sindrom nefrotik

Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma


nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila ini timbul

17
sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau
toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom
nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16
tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di
Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun.
Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri
menunjukkan 2/3 kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.

Pasien syndrome nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga
kelompok :

1. Kongenital

2. Responsive steroid, dan

3. Resisten steroid

Bentuk congenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya


kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara
resesif autosom. Kelompok responsive steroid sebagian besar terdiri atas anak-
anak dengan sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di
Jakarta diantara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM. kelompok
tidak responsive steroid atau resisten steroid terdiri atas anak-anak dengan
kelainan glomerolus lain. Disebut sindroma nefrotik sekunder apabila penyakit
dasarnya adalah penyakit sistemik karena obat-obatan, allergen, dan toksin, dll.
Sindroma nefrotik dapat timbul dan besrsifat sementara pada tiap penyakit
glomerolus dengan keluarnya protein dalam jumlah yang cukup banyak dan
cukup lama.
3.3 Klasifikasi Sindrom nefrotik
Klasifikasi sindrom nefrotik yang didasarkan pada respon steroid adalah
1. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Menurut ISKDC, sindrom nefrotik sensitif steroid dapat terjadi remisi total
(proteinuria ≤ 4 mg/m2) dalam 4 minggu dengan pemberian dosis penuh dan

18
kemudian dapat dilanjutkan dengan pemberian secara alternate.14
2. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Apabila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi


remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.15,16 Sindrom nefrotik pada
anak, sebagian besar ( 80-90%) mempunyai gambaran patologi anatomi berupa
Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal(SNKM). Pada pengobatan kortikosteroid
inisial. 16

3.4 Etiologi Sindrom nefrotik


Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom


nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat
kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling
sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah
sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang
ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer


dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney
Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini
menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak
berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International
Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht
(1971).2

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3

19
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI pp. 381-426.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa


sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak. 4 Di
Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan
5
data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan
6
Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.

20
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping
obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :

a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom


Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
3.4 Patofisiologi Sindrom nefrotik

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya


sindrom nefrotik, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi
sekunder. Penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar, salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat
di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama
dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi
terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial. 7 proteinuria dinyatakan
”berat” untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien
yang bukan sindroma nefrotik. Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40
mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula


oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein
sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik

21
secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar
lipid kembali normal 8.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid


plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan
menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif
merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan
air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan
tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang


memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat
retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan
kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori
ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah
sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom
nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik
justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin
plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori
overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah
sebagai akibat hipervolemia.

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang


dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung

22
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu 3.\

Kelainan Glomerolus
Kelainan Glomerolus

Albuminuria Retensi Na renal


primer

Hipoalbuminemia
Volume Plasma >>>

Tek.Onkotik koloid
plasma <<<

Volume Plasma >>> Edema

Retensi Na renal
sekunder >>>

Edema

23
Teori Underfilled Teori Overfilled

3.5 Manifestasi Klinis Sindrom nefrotik

Dimasa lalu orang tua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu
makan yang kurang, mudah terangsang, adanya gangguan gastrointestinal dan
sering terkena infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya
dengan beratnya edema, sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat
edema. Namun dengan pengobatan, kortikosteroid telah mengubah perjalanan
klinik SN secara drastis dan dapat dikatakan bahwa baik oleh anak, orang tua atau
dokter SN bukan lagi merupakan masalah edema, tapi masalah salah satu efek
samping obat terutama bagi anak-anak yang tidak responsive terhadap pengobatan
steroid. Dilaporkan kira-kira 80% anak dengan SN menderita SNKM dan lebih
dari 90% anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah
pengobatan awal dengan kortikosteroid

Manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak
dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga
keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering
bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum
atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).9

Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai


sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak
pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab
hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak
lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP.
Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada
pasien SNKM.9

24
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang
meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat
terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat
menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.9

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. 9 Anak
sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan
kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh
anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama
menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.9 Manifestasi
klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95%
penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah
yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita,
skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum
dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami
restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit,
anak tampak lebih pucat.

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian


International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil

25
umur.2 Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari.
Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien
dengan tipe yang lain.9

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum <


2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan
umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol
LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar
lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun
tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom
nefrotik.1,5

Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
SNKM. Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom
nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi
pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan
secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran
asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai
pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal

3.6 Komplikasi Sindrom nefrotik

Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau
sebagai akibat pengobatan.

1. Kelainan koagulasi dan timbulnya thrombosis

Kelainan ini timbul dari dua mekanisme yang berbeda :


a. Peningkatan permeabilitas glomerolus mengakibatkan :

26
i. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin
seperti antirombin III, protein S bebas, plasminogen dan alfa
antiplasmin

ii. Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit melalui


tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena
hiporikia dan tertekannya fibrinolisis

b. Aktivasi sistem homeostatic di dalam ginjal dirangsang oleh factor


jaringan monosit dan oleh papran matriks subendotelial pada kapiler
glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukkan fibrin dan
agregasi trombosit

2. Perubahan hormon dan mineral

Kelainan ini timbul karena protein pengikat hormone hilang dalam urin.
Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien
SN dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinuria
3. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi

4. Infeksi

Penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah :


a. Kadar immunoglobulin yang rendah

b. Defisiensi protein secara umum

c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri

d. Hipofungsi limfa

e. Akibat pengobatan imunosupresif

5. Peritonitis

27
6. Infeksi Kulit

7. Anemia

8. Gangguan tubulus renal

3.7 Penatalaksanaan Sindrom nefrotik

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah


tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi
pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam
waktu 10-14 hari.

Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan


sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut :

Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik

28
Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
3 hari berturut-turut.

Proteinuria  2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari


Kambuh
berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.

Kambuh tidak
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
sering
bulan.

Kambuh  2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 


4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Kambuh sering

Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.


Responsif-steroid

Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid,


Dependen-steroid
atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.

Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60


Resisten-steroid mg/m2/hari selama 4 minggu.

Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa
tambahan terapi lain.
Nonresponder
awal Resisten-steroid sejak terapi awal.

Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.


lambat

29
PROTOKOL PENGOBATAN

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)


menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi)
sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu,
kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m 2/hari secara
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu
pengobatan dihentikan.10

A. Sindrom nefrotik serangan pertama

1. Perbaiki keadaan umum penderita :

a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke
bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal.

b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.

c. Berantas infeksi.

d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.

e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema
anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu
aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.

2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah


diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau

30
kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu
waktu 14 hari.

B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)

Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse


ditegakkan.

Perbaiki keadaan umum penderita.

a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering


Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4
kali dalam masa 12 bulan.

1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.

2. Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang


sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
prednison dihentikan.

b. Sindrom nefrotik kambuh sering

adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4
kali dalam masa12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.

2. Rumatan

31
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m 2/48 jam diberikan
selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian
20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m 2/48 jam selama 6
minggu, kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu
siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi
anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen,
terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal

Siklofosfamid atau klorambusil


8-12 minggu

Relaps Tidak Relaps

Prednison selang sehari


dosis efektif minimal

Toleransi baik Efek samping Siklosporin (CyA)

Relaps Tidak Relaps

Pengobatan Dikurangi bertahap sampai


simtomatik dosis efektif minimal

Tabel 3. Cara pengobatan yang diusulkan terhadap pasien SNKM dengan relaps frekuen
atau dependen steroid

32
3.7 Prognosis

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun.

2. Disertai oleh hipertensi.

3. Disertai hematuria.

4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.

5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi


respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50%
di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi
dengan pengobatan steroid.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr 11
: 158-61.

2. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome


in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory
chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.

3. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI pp. 381-426.

4. Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical


Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical
Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.

5. Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi
anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta :
Universitas Indonesia, 14 Oktober.

6. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E,
editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas
Airlanggap. 137-46.

7. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The


primary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with

34
minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J
Pediatr 98 : 561.

8. Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW,
editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and
Company pp. 681-726.

9. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar
18] [(20) : screens]. Available from:
URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm on September 16, 2002
at 08.57.

10. Niaudet P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up


To Date 2000; 8.

11. Wila Wirya IG. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T,Trihono P,
Pardede SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI; 2002. h. 381-422.

12. Syarif A, Ari E, Arini S, Armen M, Azalia A, Bahroelim B, dkk. Farmakologi


dan Terapi. Edisi lima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
13. Gilbert C E, Foster A. Childhood blindness in the context of VISION 2020:
The right to sight. Bull World Health Organization.2001; 79:227-232.
14. Tune B, Stanley A. Treatment of the idiopathic nephrotic syndrome :
Regimens and Outcomes in children and adults. Journal of the American
Society and Nephrology. 1997; 824-832.
15. Wila Wirya IG. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P,
Pardede SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI; 2002. h. 381-422.
16. Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO. Konsensus Tata Laksana
Sindrom Nefrotik pada Anak; Jakarta; Indonesia; 2005.

35
36

Anda mungkin juga menyukai