Demam Tifoid
Demam Tifoid
A. Definisi
Demam tifoid (bahasa Inggris: typhoid fever) atau yang di masyarakat
Indonesia lebih dikenal dengan nama tifus, adalah penyakit yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya yaitu Salmonella
typhii. Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia dan disebarkan melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan
infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan
minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang
terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 2010).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari
penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis. (Syaifullah Noer,
2009).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-
gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type
A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 2010).
Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah Penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam
lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan
kesadaran.
B. Epidemiologi
Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada
iklim. Kebersihan perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit
ini meskipun lingkungan hidup umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi dan
penyediaan sarana air yang baik dapat mengurangi penyebaran penyakit ini.
merupakan penyakit endermik di Indonesia.
Penyebaran Geografis dan Musim
Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia.
Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu
sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang
diperhatikan.
Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis
kelamin lelaki atau perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering
diderita anak-anak. Orang dewasa sering mengalami dengan gejala yang
tidak khas, kemudian menghilang atau sembuh sendiri. Persentase
penderita dengan usia di atas 12 tahun seperti bisa dilihat pada tabel di
bawah ini.
Usia Persentase :
12 - 29 tahun 70 - 80 %
30 - 39 tahun 10 - 20 %
> 40 tahun 5 - 10 %
C. Etiologi
Merupakan infeksi septisemia yang disebabkan oleh Salmonella
Typhi di mana infeksi ini merupakan masalah penting dalam morbiditas dan
mortalitas di Indonesia. Selain itu, demam tifoid juga disebabkan oleh
Salmonella Paratyphi A, Salmonella Paratyphi B, dan Salmonella Paratyphi
C. Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang
termasuk dalam famili Enterobacteriaceae.
Salmonella memiliki karakteristik memfermentasikan glukosa dan
mannose tanpa memproduksi gas, tetapi tidak memfermentasikan laktosa atau
sukrose. Seperti Enterobacteriaceae yang lain Salmonella memiliki tiga
macam antigen yaitu antigen O (tahan panas, terdiri dari lipopolisakarida),
antigen Vi (tidak tahan panas, polisakarida), dan antigen H (dapat
didenaturasi dengan panas dan alkohol). Antigen ini dapat digunakan untuk
pemeriksaan penegak diagnosis
D. Manifestasi Klinik
Ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat
Gejala klinis :
1. Demam 3 minggu,
2. Gangguan pada saluran pencernaan :
a. Nafas berbau tidak sedap
b. Bibir kering dan pecah-pecah,
c. Lidah ditutupi selaput putih kotor,
d. Perut kembung,
e. Hati dan limpa membesar,
f. Biasanya tedapat konstipasi, bisa
juga diare
3. Gangguan kesadaran (apatis sampai somnolen)
Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya
adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit
tidaklah khas, berupa :
a. Anoreksia
b. Rasa malas
c. Sakit kepala bagian depan
d. Nyeri otot
e. Lidah kotor
f. Gangguan perut (perut meragam dan sakit)
Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)
Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa
langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah
sebagai berikut.
1. Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam
tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala,
pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi
antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat
dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak
enak,sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu
pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah
kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor.
Episteksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa
kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut,
akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja
terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya
terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi
dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari,
kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada
penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran
2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan
atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada
infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa
menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.
2. Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian
meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua
suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam).
Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang
semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini
relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala
toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang
mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah
tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan
tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang
kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran
hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan
kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi
dan lain-lain.
3. Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir
minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati.
Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur
mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya
kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana
toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa
delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan
inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga
tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.
Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat
meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat
dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba
denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi
miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya
kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
4. Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini
dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena
femoralis.
Relaps:
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek.Kekambuhan dapat lebih ringan
dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada
infeksi primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak
diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.
E. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara,
yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan / kuku),
Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada
penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang
lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat
akan hinggap dimakanan yang akan dimakan oleh orang yang sehat.
Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya
seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi
masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke
dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan
limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk
ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah
dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus
dan kandung empedu.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium
sebagai berikut :
1. Darah tepi :
a. Anemia, pada
umumnya terjadi
karena supresi
sumsum tulang,
defisiensi Fe, atau
perdarahan usus.
b. Leukopenia, namun
jarang kurang dari
3000/uL.
c. Limfositosis relatif
dan anaeosinofilia
pada permulaan
sakit.
d. Trombositopeni terutama pada demam tifoid berat.
2. Pemeriksaan serologi
a. Serologi Widal : untuk membuat diagnosis yang diperlukan adalah titer
terhadap antigen O dengan kenaikan titer 1/200 atau kenaikan 4 kali
titer fase akut ke fase konvalesens.
b. Kadar Ig M dan Ig G (Typhi-dot).
c. Tes TUBEX®
d. Metode enzyme immunoassay (EIA)
e. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan
f. Pemeriksaan dipstik.
3. Biakan Salmonela
a. Biakan darah terutama pada minggu I perjalanan penyakit.
b. Kultur tinja terutama pada minggu II perjalanan penyakit.
4. Identifikasi kuman secara molekuler :
Mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri
S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
G. Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar riwayat penyakit, gambaran
klinik dan laboratorium (jumlah lekosit menurun dan titer widal yang
meningkat) . Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman pada
salah satu biakan.
H. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan,
sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopeni dan atau
koagulasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema dan pleuritis.
4) Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolelitiasis.
5) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis dan sindrom
katatonia.
Pada anak-anak dengan paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaaan toksemia berat dan
kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.
Komplikasi bisa terjadi jika demam tifoid tidak diterapi dengan
baik. Antara komplikasi yang bisa terjadi adalah osteomielitis, DVT,
perdarahan pada traktus intestinal atau perforasi usus, kolesistitis,
miokarditis, pielonefritis, meningitis, dan abses.
I. Pencegahan
Pencegahan penyakit demam Tifoid bisa dilakukan dengan cara perbaikan
higiene dan sanitasi lingkungan serta penyuluhan kesehatan. Imunisasi
dengan menggunakan vaksin oral dan vaksin suntikan (antigen Vi
Polysaccharida capular) telah banyak digunakan. Saat ini pencegahan
terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama
chotipa (cholera-tifoid-paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak
usia 2 tahun yang masih rentan, bisa juga divaksinasi.
J. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
1. Pemberian antibiotik untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran
kuman. Antibiotik yang dapat digunakan :
a. Kloramfenikol. Dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg
diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam,
kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 25 mg selama 5 hari
kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan dkk di RSUP Persahabatan),
penggunaan kloramfenikol masih memperlihatkan hasil penurunan
suhu 4 hari, sama seperti obat-obat terbaru dari golongfan kuinolon.
b. Ampisilin/Amoksisilin. Dosis 50 – 150 mg/kg BB, diberikan selama 2
minggu.
c. Kotrimoksazol, 2x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
d. Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian Penyakit Tropis dan
Infeksi FKUI-RSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi
demam tifoid dengan baik. Demam pada umumnya mereda pada hari
ke-3 atau menjelang hari ke-4.
2. Istirahat dan perawatan profesional, bertujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi
dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat
tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Paien dengan
kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu
diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif). Pertama pasien diberi
diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat
kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (pantang sayuran dan serat kasar) dapat diberikan dengan aman.
Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk
mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga
keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan
optimal.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Dasar data pengkajian klien :
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur
semalaman karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan
aktivitas/kerja s/d efek proses penyakit.
2. S i r k u l a s i
Tanda : Takhikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses imflamasi
dan nyeri). Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K).
Hipotensi termasuk postural. Kulit/membran mukosa : turgor
buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
3. Integritas Ego
Gejala : Ansietas, ketakutan, emosi kesal, mis. Perasaan tidak
berdaya/tidak ada harapan. Faktor stress aku/kronis mis.
Hubungan dengan keluarga/pekerjaan, pengobatan yang mahal.
Faktor budaya – peningkatan prevalensi.
Tanda : Menolak, perhatian menyempit, depresi.
4. Eliminasi
Gejala : Tekstur feces bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau berair.
Episode diare berdarah tidak dapat diperkirakan, hilang timbul,
sering tidak dapat dikontrol, perasaan dorongan/kram (tenesmus).
Defakasi berdarah/pus/mukosa dengan atau tanpa keluar feces.
Peradarahan perektal.
Tanda : Menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik atau adanya
peristaltic yang dapat dilihat. Haemoroid, oliguria.
5. Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah. Penurunan BB. Tidak toleran terhadap
diet/sensitive mis. Buah segar/sayur, produk susu, makanan
berlemak.
Tanda : Penurunan lemak subkutan/massa otot. Kelemahan, tonus otot dan
turgor kulit buruk. Membran mukosa pucat, luka, inflamasi
rongga mulut.
6. Higiene
Tanda : Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri. Stomatitis
menunjukkan kekurangan vitamin. Bau badan.
7. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri/nyeri tekan pada kuadran kanan bawah (mungkin hilang
dengan defakasi). Titik nyeri berpindah, nyeri tekan, nyeri mata,
foofobia.
Tanda : Nyeri tekan abdomen/distensi.
8. K e a m a n a n
Gejala : Anemia hemolitik, vaskulitis, arthritis, peningkatan suhu
(eksaserbasi akut), penglihatan kabur. Alergi terhadap
makanan/produk susu.
Tanda : Lesi kulit mungkin ada, ankilosa spondilitis, uveitis,
konjungtivitis/iritis.
9. Seksualitas
Gejala : Frekuensi menurun/menghindari aktivitas seksual.
10. Interaksi Sosial
Gejala : Masalah hubungan/peran s/d kondisi, ketidakmampuan aktif
dalam sosial.
11. Penyuluhan Pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.
B. Diagnosa Keperawatan
3) Diare b/d inflamasi, iritasi dan malabsorpsi usus, adanya toksin dan
penyempitan segemental usus ditandai dengan :
a. Peningkatan bunyi usus/peristaltik.
b. Defakasi sering dan berair (fase akut)
c. Perubahan warna feses.
d. Nyeri abdomen tiba-tiba, kram.
Tujuan :
Klien akan melaporkan penurunan frekuensi defakasi, konsistensi
kembali normal.
Klien akan mampumengidentifikasi/menghindari faktor pemberat.
Intervensi :
1) Observasi dan catat ferkuensi defakasi, karekteristik, jumlah dan
faktor pencetus.
Rasional : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji
beratnya episode.
2) Tingkatkan tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur.
Rasional : Istirahat menurunkan motalitas usus juga menurunkan
laju metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai
komplikasi. Defakasi tiba-tiba dapat terjadi tanpa tanda
dan dapat tidak terkontrol, peningkatan resiko
inkontinensia/jatuh bila alat-alat tidak dalam jangkauan
tangan.
3) Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan.
Rasional : Menurunkan bau tak sedap untuk menghindari rasa malu
klien.
4) Identifikasi makanan/cairan yang mencetuskan diare.
Rasional : Menghindari iritan dan meningkatkan istirahat usus.
5) Observasi demam, takhikardi, lethargi, leukositosis/leukopeni,
penurunan protein serum, ansietas dan kelesuan.
Rasional : Tanda toksik megakolon atau perforasi dan peritonitis
akan terjadi/telah terjadi memerlukan intervensi medik
segera.
6) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :
Antikolinergik.
Rasional : Menurunkan motalitas/peristaltik GI dan menurunkan
sekresi digestif untuk menghilangkan kram dan diare.
Steroid
Rasional : Diberikan untuk menurunkan proses inflamasi.
Antasida
Rasional : Menurunkan iritasi gaster, mencegah inflamasi dan
menurunkan resiko infeksi pada kolitis.
Antibiotik
Rasional : Mengobati infeksi supuratif lokal.
7) Bantu/siapkan intervensi bedah.
Rasional : Mungkin perlu bila perforasi atau obstruksi usus terjadi
atau penyakit tidak berespon terhadap pengobatan medik.
4) Konstipasi b/d masukan cairan buruk, diet rendah serat dan kurang
latihan, inflamasi, iritasi, ditandai dengan : tidak ada feses.
Tujuan :
Klien akan menampakkan/melaporkan kembali pola fungsi usus yang
normal.
Intervensi :
1) Observasi bising usus.
Rasional : Kembalinya fungsi GI mungkin terlambat oleh
inflamasi intraperitoneal, obat-obatan. Adanya bunyi
abnormal menunjukkan adanya komplikasi.
5) Gangguan pola tidur b/d nyeri pada kepala dan nyeri abdomen, ditandai
dengan:
a. Klien mengatakan sulit tidur tadi malam
b. Klien mengatakan belum tidur
c. Suami klien mengatakan istrinya tidur
d. Wajah klien tampak lemas dan tidak segar
Tujuan:
Klien melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
Klien menunjukkan perilaku untuk mengurangi kekambuhan.
Intervensi:
1) Tentukan kebiasaan tidur biasanya dan perubahan yg terjadi
Rasional: Mengkaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi yg tepat
2) Berikan tempat tidur yg nyaman & beberapa milik pribadi, mis bantal
dan guling.
Rasional: Meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan
fisiologis/psikologis
3) Dorong beberapa aktivitas fisik ringan selama siang hari. Jamin pasien
berhenti beraktivitas beberapa jam sebelum tidur.
Rasional: Aktivitas siang hari dapat membantu pasien mggnakan
energi & siap tidur malam hari.
4) Kurangi kebisingan dan lampu.
Rasional: Memberikan situasi kondusif untuk tidur
5) Dorong posisi nyaman, bantu dalam mengubah posisi.
Rasional: Pengubahan posisi mengubah area tekanan &
meningkatkan istirahat.
6) Gunakan pagar tempat tidur sesuai indikasi; rendahkan tempat tidur
bila mungkin.
Rasional: Dapat merasa takut jatuh karna perubahan ukuran & tinggi
tempat tidur. Pagar tempat tidur memberi keamanan &
dapat digunakan untk mmbantu mgbah posisi.
Kumar, Vinay. Et.al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Vol.2 Ed. 7. Jakarta :
EGC.
N. Richard. Mitchell. Et.al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins
dan Coutran. Jakarta : EGC.
Zul Dahlan. 2008. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.